Wilayah pesisir adalah
daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh
sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin.
Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air
tawar maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Batas
Wilayah Pesisir
Pertanyaan pertama yang
seringkali muncul dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan
batas-batas dari suatu batas wilayah pesisir (coastal zone). Sampai
sekarang belum ada defenisi wilayah pesisir yang baku namun
terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan, sehingga wilayah pesisir memiliki dua
macam batas yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai dan batas
yang tegak lurus dengan garis
pantai. Penetapan
batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus dengan garis pantai sejauh ini
belum ada kesepakatan, sehingga batas-batas wilayah pesisir berbeda dari satu
dengan negara lainnya terlebih lagi dengan adanya perbedaan karakteristik
lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri(Rokhmin Dahuri dkk,
2001:5).
Wilayah pesisir juga
merupakan pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir
meliputi wilayah daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut perembesan air asin. Ke
arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
bagian laut yang terjadi di darat seperti sedimentasi, dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencamaran (Soegiarto dalam Rokhmin Dahuri, dkk, 2001 : 8).
Secara fisik, kawasan
pesisir dapat terdiri dari daerah-daerah daratan (terrestial atauinland areas),
lahan-lahan pantai (coastal waters), perairan lepas pantai (offshore waters)
dan perairan di luar yurisdiksi nasional. Peran dan pengaruh manusia di tiga
daerah sangat nyata terlihat. Oleh karena itu daerah-daerah tersebut biasanya
merupakan fokus perhatian pengelolaan. Namun batas-batas wilayah pesisir yang
ditetapkan tiap negara berbeda-beda.
Di Indonesia ada semacam
kesepakatan tentang defenisi kawasan ini, namun belum resmi yaitu
kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan lautan yang bertemu di garis pantai.
Wilayah daratan merupakan wilayah yang mencakup daerah yang tergenang atau
tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti pasang
surut, angin laut dan intrusi garam. Sedangkan wilayah laut mencakup wilayah
perairan yang dipengaruhi oleh proses-proses alami daratan seperti sedimentasi
dan aliran air tawar ke laut dan perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan
manusia di darat. Dengan demikian jarak batas-batas dan laut dari
garis pantai suatu kawasan pesisir di Indonesia dapat berbeda-beda tergantung
kekuatan pengaruh masing-masing faktor darat dan laut.
Tipologi
Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai
Penanganan kawasan pantai
dilakukan dengan mempertimbangkan tipologi pantai. Pembagian tipe pantai
kawasan perencanaan didasarkan pada klasifikasi tipologi pantai yang disusun
oleh PSDAL UNHAS dengan Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Departemen
Pekerjaan Umum, Tahun 1997, secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam 5
(lima) jenis, yaitu :
a. Tipe A, pantai berupa teluk dan
tanjung yang panjang dan beberapa pulau terletak di mulut teluk,
kemiringan dasar yang curam (>0,1) dan terbentuk dari kerikil, daratan
pantai yang berbukit, tinggi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di
bawah 1 meter/detik tipe pasang surut adalah setengah harian, priode ulang
kejadiaan badai di atas 1 tahun. Pantai tipe A sangat potensial dikembangkan
menjadi kawasan perdagangan, jasa pelayanan, pergudangan, pelabuhan, industri,
permukiman dan resort/pariwisata.
b. Tipe B, pantai berupa teluk tanpa
pulau terletak di mulut teluk, kemiringan dasar yang landai (0,01 Pantai tipe B
cukup potensial dikembangkan menjadi kawasan perdagangan dan prasarana
penunjang pantai tipe A, namun perlu dilakukan rekayasa khusus untuk meningkatkan
aksesibilitas terhadap pusat kota misalnya pembuatan dermaga, reklamasi pantai
dan sebagainya.
c. Tipe C, pantai berupa laguna,
kemiringan dasar yang datar (s<0,01) dan terbentuk dari lumpur, memiliki
lingkungan rawa pantai, tinggi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di
bawah 0,5m/detik, tipe pasang surut adalah setengah harian, periode ulang
kejadiaan badai di atas 15 tahun. Pantai tipe C tidak potensial untuk kegiatan
binaan penduduk, perlu rekayasa khusus melalui penguatan dan peningkatan khusus
untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pusat kawasan kota misalnya pembuatan
dermaga, reklamasi pantai dan sebagainya.
d. Tipe D, pantai terbuka, kemiringan
dasar yang landai (0,01<1) dan terbentuk dari pasir, memiliki lingkungan
muara, tinggi ombak datang diantara 1<2 meter, kecepatan arus diantara 0,5
dan 1 m/detik, tipe pasag surut campuran, periode, kejadiaan ulang badai 5
sampai 15 tahun. Pantai Tipe D pada umumnya dimanfaatkan untuk budidaya air
payau, hutan rawa, pengambangan ecoturisme, penikmatan penjelajahan hutan
pantai dan melihat flora dan fauna langka serta permukiman.
e. Tipe E, pantai terbuka kemiringan
dasar yang curam (s<0,1) dan terbetuk dari kerikil memiliki lingkungan
muara, tinggi ombak datang di atas 2 meter, kecepatan arus di atas 1 m/detik,
tipe pasang surut harian, periode kejadiaan ulang badai di antara 5-15 tahun Tipe
E, umumnya dimanfaatkan untuk pelabuhan dengan rekayasa break water yang
lebih panjang untuk membuat kolam pelabuhan yang lebih luas, pengembangan
ecoturisme, memancing dan permukiman.
Sumber : http://euforia-arisam.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar