Senin, 24 Desember 2012

Globalisasi dan Tata Ruang


Di masa silam, tata ruang serta perkembangan wilayah dan kota lebih dipandang sebagai fenomena internal saja, namun kini dengan semakin terintegrasinya perekonomian secara global, harus diakui bahwa tata ruang bukanlah suatu fenomena internal semata, tetapi dinamikanya sangat dipengaruhi faktor-faktor global.

Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun yang lalu, bahwa gejala globalisasi ekonomi akan melanda dunia dengan sangat hebat, memasuki abad 21. Globalisasi, yang pada dasarnya ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang, serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya sistem sosioekonomi dan politik secara global. 
Seperti dikemukakan Castells (1996) bahwa space of places telah berubah menjadi space of flows. Tentu saja, hal ini, berdampak luar biasa pada negara sedang berkembang, seperti Indonesia, sehingga masalah pembangunan yang dihadapi negara sedang semakin rumit. Globalisasi tidak mengenal batas-batas yurisdiksi negara ataupun propinsi (sub-nation). Contohnya dapat disaksikan pada hubungan berbagai wilayah (negara) yang berbatasan secara langsung, misalnya Hongkong (sebelum manjadi bagian dari Cina) dengan beberapa Propinsi di Cina Selatan, seperti Ghuang Zhu; Mexico dengan Amerika Serikat, khususnya disekitar negara bagian Texas dan California; dan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) Sijori (Singapura-Johor-Riau).

Globalisasi telah mengakibatkan restrukturisasi kota dan wilayah di dunia (Knock, 1994; Sassen, 1994). Kota dan wilayah terintegrasi dalam suatu jejaring (networks), satu dengan lainnya terkait erat. Namun kota dan wilayah yang terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring itu bersifat selektif, artinya tidak semua kota atau wilayah mempunyai kesempatan sama dapat masuk kedalam jejaring tersebut. Hanya kota dan wilayah yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat masuk. Sementara itu, persaingan antarkota dan wilayah untuk menarik investasi, terjadi dalam jejaring tersebut. Artinya, fungsi srta peran kota dan wilayah bisa naik-turun sesuai kinerjanya. Proses ini, pada gilirannya, berdampak pada restrukturisasi tata ruang kota dan wilayah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan sejauh mana globalisasi telah mempengaruhi tata ruang di Indonesia, khususnya pada periode dua dasawarsa terakhir. Lebih spesifik lagi, dibahas tentang implikasi globalisasi pada perkembangan serta tata ruang wilayah dan kota pada masa boom ekonomi (1980 sampai pertengahan 1990an), krisis ekonomi (1998-2000) dan pasca krisis (era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal).

FAKTOR-FAKTOR GOBALISASI
Globalisasi terkait dengan beberapa faktor. Pertama, kemajuan teknologi produksi yang selanjutnya dimanfaatkan bagi segmentasi produksi industri secara global. Kini perusahaan yang bergerak dalam industri produksi tidak perlu lagi memproduksi barang dalam suatu pabrik di suatu lokasi tertentu, melainkan dengan cara merakit komponen industri yang diproduksi di berbagai lokasi pada berbagai negara. Hal inilah yang dipersepsikan sebagai new international division of labor. Contoh yang sangat jelas adalah industri komputer dan sepatu olah-raga, dimana terdapat lokasi produksi komponen di satu pihak dan ada lokasi asembling di pihak lain. Hingga akhir abad ke-20, dunia menyaksikan suatu fenomena perpindahan (relocation) secara off-shore dan perluasan industri dari negara berkembang, termasuk dari negara industri maju seperti Korea Selatan dan Taiwan, ke negara sedang berkembang, sebagai salah satu strategi merebut pasar dan sekaligus memperoleh tenaga kerja murah.

Faktor kedua, institusi finansial dunia telah berkembang membentuk suatu jejaring (networks), yang pada gilirannya sangat menopang proses segmentasi industri. Faktor ketiga, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat memfasilitasi pengaliran modal, komoditas serta informasi. Dengan ditopang oleh kemajuan ini, maka pusat-pusat (headquarters) perusahaan transnasional yang umumnya terdapat di negara-negara yang telah berkembang dapat mengendalikan operasi cabang serta anak perusahaannya (branch) di negara berkembang dengan mudah.

Apa makna fenomena yang digambarkan di atas ?. Pada hakekatnya ini mewujudkan sifat modal (capital) yang harus terus berakumulasi, agar tetap hidup (survive). Guna keperluan tersebut, teknologi yang dipakai harus terus berkembang sehingga tetap dapat bersaing, sementara pasar pun harus makin meluas. Bagaikan gayung bersambut, banyak negara sedang berkembang yang mengadopsi kebijakan pengembangan substitusi impor dalam strategi industrialisasinya, melihat relokasi industri dari negara telah berkembang sebagai anugerah dalam pembangunan ekonomi nasional, sehingga kerja sama pun harus dilakukan. Untuk itu, kebijaksanaan mengundang modal asing merupakan prasyarat agar kerja sama berjalan lancar. Pada tahap berikutnya, tatkala ekspor komoditas berbasis sumber alam, seperti minyak dan gas bumi, komoditas pertanian dan lainnya menghadapi tekanan di pasar dunia, cara ini pun masih dianggap efektif pada kebijakan pengembangan industri non-migas untuk tujuan ekspor, seperti yang terjadi di Indonesia.

Faktor keempat, lembaga internasional seperti WTO (World Trade Organization) memfasilitasi bebasnya aliran ini, dengan keharusan bagi negara-negara di dunia, khususnya negara yang sedang berkembang, untuk menghapuskan hambatan-hambatan (bariers) yang menghambat aliran tersebut, baik yang besifat tariff maupun non-tariff. Pelanggaran bagi ketentuan yang ditetapkan dapat berakibat sanksi ekonomi bagi negara-negara yang melakukannya. Walaupun hal ini sering mengundang protes dari negara yang sedang berkembang, namun tampaknya mereka tidak berdaya menghadapi tekanan-tekanan ini, yang sesungguhnya diprakarsai negara yang telah berkembang, khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Sebagai akibat dari situasi di atas, terjadilah integrasi negara sedang berkembang ke dalam sistem perekonomian dunia, yang digerakan oleh akumulasi kapital. Hal ini telah membawa sistem kehidupan ekonomi, politik dan sosial bertransformasi besar-besaran, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Proses ini terjadi bukan hanya pada tataran produksi komoditas, namun juga pada tataran konsumsi dan cita rasa. Sebagai contoh, dewasa ini sangat mudah memperoleh sebotol Coca-Cola di suatu wilayah perdesaan di Thailand atau di Jawa, karena masyarakat perdesaan di sana telah menjadikan Coca-Cola sebagai salah satu bagian dari kehidupannya.

Upaya untuk memberikan citra masyarakat modern oleh perusahaan-perusahaan tersebut melalui iklan media elektonik ataupun media cetak, memang merupakan metoda ampuh.

________________________________________________________________________
Sumber : Globalisasi dan Tata Ruang Wilayah Kota
                 Tommy Firman

0 comments: