Di masa silam, tata ruang serta
perkembangan wilayah dan kota lebih dipandang sebagai fenomena internal saja,
namun kini dengan semakin terintegrasinya perekonomian secara global, harus diakui
bahwa tata ruang bukanlah suatu fenomena internal semata, tetapi dinamikanya
sangat dipengaruhi faktor-faktor global.
Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun
yang lalu, bahwa gejala globalisasi ekonomi akan melanda dunia dengan sangat hebat,
memasuki abad 21. Globalisasi, yang pada dasarnya ditandai dengan bebasnya
aliran, modal, manusia, barang, serta informasi, pada gilirannya telah membawa
implikasi semakin terintegrasinya sistem sosioekonomi dan politik secara
global.
Globalisasi telah mengakibatkan
restrukturisasi kota dan wilayah di dunia (Knock, 1994; Sassen, 1994). Kota dan
wilayah terintegrasi dalam suatu jejaring (networks), satu dengan lainnya terkait
erat. Namun kota dan wilayah yang terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring
itu bersifat selektif, artinya tidak semua kota atau wilayah mempunyai
kesempatan sama dapat masuk kedalam jejaring tersebut. Hanya kota dan wilayah
yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat masuk. Sementara itu,
persaingan antarkota dan wilayah untuk menarik investasi, terjadi dalam
jejaring tersebut. Artinya, fungsi srta peran kota dan wilayah bisa naik-turun sesuai
kinerjanya. Proses ini, pada gilirannya, berdampak pada restrukturisasi tata
ruang kota dan wilayah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam
tulisan ini akan dikemukakan sejauh mana globalisasi telah mempengaruhi tata ruang
di Indonesia, khususnya pada periode dua dasawarsa terakhir. Lebih spesifik
lagi, dibahas tentang implikasi globalisasi pada perkembangan serta tata ruang
wilayah dan kota pada masa boom ekonomi (1980 sampai pertengahan 1990an),
krisis ekonomi (1998-2000) dan pasca krisis (era otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal).
FAKTOR-FAKTOR
GOBALISASI
Globalisasi terkait dengan beberapa
faktor. Pertama, kemajuan teknologi produksi yang selanjutnya dimanfaatkan bagi
segmentasi produksi industri secara global. Kini perusahaan yang bergerak dalam
industri produksi tidak perlu lagi memproduksi barang dalam suatu pabrik di
suatu lokasi tertentu, melainkan dengan cara merakit komponen industri yang
diproduksi di berbagai lokasi pada berbagai negara. Hal inilah yang
dipersepsikan sebagai new international division of labor. Contoh yang sangat
jelas adalah industri komputer dan sepatu olah-raga, dimana terdapat lokasi produksi
komponen di satu pihak dan ada lokasi asembling di pihak lain. Hingga akhir
abad ke-20, dunia menyaksikan suatu fenomena perpindahan (relocation) secara off-shore
dan perluasan industri dari negara berkembang, termasuk dari negara industri
maju seperti Korea Selatan dan Taiwan, ke negara sedang berkembang, sebagai salah
satu strategi merebut pasar dan sekaligus memperoleh tenaga kerja murah.
Faktor kedua, institusi finansial dunia
telah berkembang membentuk suatu jejaring (networks), yang pada gilirannya
sangat menopang proses segmentasi industri. Faktor ketiga, kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi yang sangat memfasilitasi pengaliran modal, komoditas
serta informasi. Dengan ditopang oleh kemajuan ini, maka pusat-pusat (headquarters)
perusahaan transnasional yang umumnya terdapat di negara-negara yang telah berkembang
dapat mengendalikan operasi cabang serta anak perusahaannya (branch) di negara
berkembang dengan mudah.
Apa makna fenomena yang digambarkan di
atas ?. Pada hakekatnya ini mewujudkan sifat modal (capital) yang harus terus berakumulasi,
agar tetap hidup (survive). Guna keperluan tersebut, teknologi yang dipakai
harus terus berkembang sehingga tetap dapat bersaing, sementara pasar pun harus
makin meluas. Bagaikan gayung bersambut, banyak negara sedang berkembang yang
mengadopsi kebijakan pengembangan substitusi impor dalam strategi
industrialisasinya, melihat relokasi industri dari negara telah berkembang
sebagai anugerah dalam pembangunan ekonomi nasional, sehingga kerja sama pun
harus dilakukan. Untuk itu, kebijaksanaan mengundang modal asing merupakan
prasyarat agar kerja sama berjalan lancar. Pada tahap berikutnya, tatkala ekspor
komoditas berbasis sumber alam, seperti minyak dan gas bumi, komoditas pertanian
dan lainnya menghadapi tekanan di pasar dunia, cara ini pun masih dianggap
efektif pada kebijakan pengembangan industri non-migas untuk tujuan ekspor,
seperti yang terjadi di Indonesia.
Faktor keempat, lembaga internasional
seperti WTO (World Trade Organization) memfasilitasi bebasnya aliran ini,
dengan keharusan bagi negara-negara di dunia, khususnya negara yang sedang
berkembang, untuk menghapuskan hambatan-hambatan (bariers) yang menghambat
aliran tersebut, baik yang besifat tariff maupun non-tariff. Pelanggaran bagi
ketentuan yang ditetapkan dapat berakibat sanksi ekonomi bagi negara-negara
yang melakukannya. Walaupun hal ini sering mengundang protes dari negara yang
sedang berkembang, namun tampaknya mereka tidak berdaya menghadapi tekanan-tekanan
ini, yang sesungguhnya diprakarsai negara yang telah berkembang, khususnya
Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Sebagai akibat dari situasi di atas,
terjadilah integrasi negara sedang berkembang ke dalam sistem perekonomian
dunia, yang digerakan oleh akumulasi kapital. Hal ini telah membawa sistem kehidupan
ekonomi, politik dan sosial bertransformasi besar-besaran, yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Proses ini terjadi bukan hanya pada tataran produksi
komoditas, namun juga pada tataran konsumsi dan cita rasa. Sebagai contoh,
dewasa ini sangat mudah memperoleh sebotol Coca-Cola di suatu wilayah perdesaan
di Thailand atau di Jawa, karena masyarakat perdesaan di sana telah menjadikan
Coca-Cola sebagai salah satu bagian dari kehidupannya.
Upaya untuk memberikan citra masyarakat
modern oleh perusahaan-perusahaan tersebut melalui iklan media elektonik ataupun
media cetak, memang merupakan metoda ampuh.
________________________________________________________________________
Sumber : Globalisasi dan Tata Ruang Wilayah Kota
Tommy Firman
0 comments:
Posting Komentar