Akal kita memang terbatas. Apa yang disampaikannya masih
memiliki konsekuensi salah apabila tidak melalui alur metode pemerolehan
pengetahuan secara benar. Itu pun dengan catatan bahwa metode (karena akal
bermain pada tataran konsep, pada umumnya kita merujuk logika) disepakati
benar. Apa yang disampaikan akal salah apabila antara yang dikonsepkan dan
objek matter tidak koresponden. Dan dapat dikatakan benar apabila keduanya
mengalami korespondensi.
Prof. Mulyadi Kertanegara, pada salah sesi kuliah
“Philoshopy of Science” di ICAS, mencontohkan hal ini dengan konsep hasil
penjumlahan seratus sapi dengan seratus sapi adalah duaratus sapi. Dan tentu
ini benar adanya karena dalam realitas, jika kita mengumpulkan seratus sapi
kemudian menambahkan seratus sapi lagi maka jumlah sapi yang ada adalah dua
ratus sapi. Dan hal itulah yang dinamakan terjadi korespondensi antara konsep
dan yang dikonsepkan.
Lain lagi misalnya bila kita melihat bintang di langit,
dan kita mengkonsepkan bahwa bintang yang ada di langit adalah kecil. Namun,
kenyataannya bintang-bintang itu begitu besar ukurannya. Jadi tidak ada
korespondensi antara apa yang kita dapatkan dari akal dengan apa yang ada pada
realitas. Hal ini terjadi karena, pertama, pencerapan indra pada
objek matter ternyata terbatas pada jarak, ruang, dan waktu. Sehingga ketika,
objek yang dicerapnya terlampau jauh atau terlampau dekat maka terjadilahfallacy.
Kedua, hasil pencerapan yang diterima akal, dalam
proses inteleksi, juga mengalami fallacy karena pada tingkat
pencerapan awal telah terjadi kesalahan. Dan menurut saya hal inilah yang
menjadi kelemahan akal. Terkadang akal sulit menyaring apa yang disampaikan
indra, benar dan tidaknya hal itu. Dan untunglah hal ini terbantu dengan adanya
proses penalaran ulang, verifikasi atau Proper memilih falsifikasi, dalam
proses pencarian kebenaran pengetahuan.
Dan ketika berbicara pada tataran lain, dengan objek
kajiannya hal-hal metafisis, tentu pertanyaan lebih lanjut adalah sampai
manakah akal mampu menjelaskan objek kajian yang tidak dapat diverifikasi
ataupun difalsifikasi melalui pendekatan empiris? Dengan jelas terkait hal ini
Prof. Mulyadi Kertanegara, menyatakan bahwa kita dapat mengandalkan logika
dalam pencarian hal-hal dalam ruang tanpa batas ini. Pertanyaan sampai mana
akal mampu menangkap kebenaran yang ada objek kajian metafisis dijawab beliau
dengan; pertama, “Apa itu yang real? Kita terbiasa menganggap bahwa yang
real adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra kita. Atau dengan kata
lain, sesuatu dapat dikatakan real apabila dapat dibuktikan dengan pendekatan
empiris. Sesuatu nyata bila objek matter-nya benda-benda fisik. Pola fikir kita
telah terkonstruk oleh pemikiran Barat yang cenderung empiristis.
Kedua, Kita harus yakin bahwa selain dunia fisik,
dunia non fisik pun juga real. Kita dapat melihat bahwa di sini ada sebuah
meja. Kemudian, apakah pengenalan kita akan meja tersebut hilang setelah kita
tidak melihat meja yang ada di sini? Jadi selain hal-hal yang fisik, ide-ide
atau konsep-konsep yang kita kenal adalah real. Bahkan Aristoteles menyatakan
bahwa sebenarnya yang real adalah ide-ide kita ini. Selain itu, kita dapat
melihat bahwa keteraturan yang begitu luar biasa dalam alam tidak mungkin ada
dengan sendirinya. Pasti ada yang mengatur itu semua sedemikian rupa.” Dan kita
tentu tidak hendak menyatakan bahwa yang mengatur itu adalah realitas fisis
yang terbatas. Ada sesuatu di luar hal-hal fisik yang menjadi “penggerak” itu
semua.
Berkenaan dengan realitas fisik dan non fisik, bagi saya
untuk menyatakan bahwa hal fisik itu real adalah suatu yang tidak lagi
menimbulkan tanya lagi dalam benak. Mungkin saya boleh menyangsikan apa yang
saya lihat, saya sentuh, saya dengar, saya rasa, atau yang saya indrai, namun,
saya masih dapat berpegang pada suatu objek yang dapat saya verifikasi atau
saya falsifikasi. Kalaupun salah bisa lagi dibuktikan kembali. Permasalahan
lagi-lagi muncul pada pembuktikan realitas metafisis, seperti pertanyaan di
atas. Sampai sejauh manakah akal dengan logikanya menemukan dan memahami
realita ini?
Sampai saat ini bangunan nalar logis masih nampak begitu
kuat, dan terlihat masih mampu menjelaskan prihal realitas metafisis. Sebut
saja misalnya penjelasan tentang keberadaan Tuhan. Bangunan yang dibangun
seperti apa yang dikatakan Prof. Mulyadi Kertanegara di atas, salah satunya,
tentang adanya realitas pengatur segala keteraturan dapat dikatakan begitu
sempurna. Premis, segala sesuatu yang teratur ada pengaturnya, secara common
sense kita tak dapat membatahnya. Begitupun anak premisnya, bahwa alam
teratur, hal ini telah teruji secara empirik kebenarannya. Dan kesimpulan bahwa
keteraturan alam membutuhkan pengatur agaknya bukan menjadi soal yang berarti.
Sayangnya pembuktian oleh akal semacam ini samasekali
belum menyentuh realitas yang dijelaskan. Karena bagaimanapun objek matter-nya
bukan objek yang sedang dikaji, itu pun kalau mau memahami relitas metafisik
sebagai objek. Beruntung misalnya, sebuah kursi memiliki realitas fisik dan non
fisik. Sehingga, jika ada yang hendak menolak realitas ide-nya, dapat disanggah
dengan adanya realitas fisik-nya.
Dan sejauh mana akal dapat mengenali realitas metafisika,
saya kira hal itu masih sebatas tataran ide-ide yang telah dibangun oleh logika
manusia. Tentang “objeknya”, mungkin akal tak pernah mengenalnya.
Sumber : Kuliah Dr. Mulyadi Kartanegara di ICAS University
0 comments:
Posting Komentar