Rabu, 05 Desember 2012

Korespondensi Antara Konsep dengan yang Dikonsepkan


Akal kita memang terbatas. Apa yang disampaikannya masih memiliki konsekuensi salah apabila tidak melalui alur metode pemerolehan pengetahuan secara benar. Itu pun dengan catatan bahwa metode (karena akal bermain pada tataran konsep, pada umumnya kita merujuk logika) disepakati benar. Apa yang disampaikan akal salah apabila antara yang dikonsepkan dan objek matter tidak koresponden. Dan dapat dikatakan benar apabila keduanya mengalami korespondensi.

Prof. Mulyadi Kertanegara, pada salah sesi kuliah “Philoshopy of Science” di ICAS, mencontohkan hal ini dengan konsep hasil penjumlahan seratus sapi dengan seratus sapi adalah duaratus sapi. Dan tentu ini benar adanya karena dalam realitas, jika kita mengumpulkan seratus sapi kemudian menambahkan seratus sapi lagi maka jumlah sapi yang ada adalah dua ratus sapi. Dan hal itulah yang dinamakan terjadi korespondensi antara konsep dan yang dikonsepkan.



Lain lagi misalnya bila kita melihat bintang di langit, dan kita mengkonsepkan bahwa bintang yang ada di langit adalah kecil. Namun, kenyataannya bintang-bintang itu begitu besar ukurannya. Jadi tidak ada korespondensi antara apa yang kita dapatkan dari akal dengan apa yang ada pada realitas. Hal ini terjadi karena, pertama, pencerapan indra pada objek matter ternyata terbatas pada jarak, ruang, dan waktu. Sehingga ketika, objek yang dicerapnya terlampau jauh atau terlampau dekat maka terjadilahfallacy.

Kedua, hasil pencerapan yang diterima akal, dalam proses inteleksi, juga mengalami fallacy karena pada tingkat pencerapan awal telah terjadi kesalahan. Dan menurut saya hal inilah yang menjadi kelemahan akal. Terkadang akal sulit menyaring apa yang disampaikan indra, benar dan tidaknya hal itu. Dan untunglah hal ini terbantu dengan adanya proses penalaran ulang, verifikasi atau Proper memilih falsifikasi, dalam proses pencarian kebenaran pengetahuan.

Dan ketika berbicara pada tataran lain, dengan objek kajiannya hal-hal metafisis, tentu pertanyaan lebih lanjut adalah sampai manakah akal mampu menjelaskan objek kajian yang tidak dapat diverifikasi ataupun difalsifikasi melalui pendekatan empiris? Dengan jelas terkait hal ini Prof. Mulyadi Kertanegara, menyatakan bahwa kita dapat mengandalkan logika dalam pencarian hal-hal dalam ruang tanpa batas ini. Pertanyaan sampai mana akal mampu menangkap kebenaran yang ada objek kajian metafisis dijawab beliau dengan; pertama, “Apa itu yang real? Kita terbiasa menganggap bahwa yang real adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra kita. Atau dengan kata lain, sesuatu dapat dikatakan real apabila dapat dibuktikan dengan pendekatan empiris. Sesuatu nyata bila objek matter-nya benda-benda fisik. Pola fikir kita telah terkonstruk oleh pemikiran Barat yang cenderung empiristis.

Kedua, Kita harus yakin bahwa selain dunia fisik, dunia non fisik pun juga real. Kita dapat melihat bahwa di sini ada sebuah meja. Kemudian, apakah pengenalan kita akan meja tersebut hilang setelah kita tidak melihat meja yang ada di sini? Jadi selain hal-hal yang fisik, ide-ide atau konsep-konsep yang kita kenal adalah real. Bahkan Aristoteles menyatakan bahwa sebenarnya yang real adalah ide-ide kita ini. Selain itu, kita dapat melihat bahwa keteraturan yang begitu luar biasa dalam alam tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada yang mengatur itu semua sedemikian rupa.” Dan kita tentu tidak hendak menyatakan bahwa yang mengatur itu adalah realitas fisis yang terbatas. Ada sesuatu di luar hal-hal fisik yang menjadi “penggerak” itu semua.

Berkenaan dengan realitas fisik dan non fisik, bagi saya untuk menyatakan bahwa hal fisik itu real adalah suatu yang tidak lagi menimbulkan tanya lagi dalam benak. Mungkin saya boleh menyangsikan apa yang saya lihat, saya sentuh, saya dengar, saya rasa, atau yang saya indrai, namun, saya masih dapat berpegang pada suatu objek yang dapat saya verifikasi atau saya falsifikasi. Kalaupun salah bisa lagi dibuktikan kembali. Permasalahan lagi-lagi muncul pada pembuktikan realitas metafisis, seperti pertanyaan di atas. Sampai sejauh manakah akal dengan logikanya menemukan dan memahami realita ini?

Sampai saat ini bangunan nalar logis masih nampak begitu kuat, dan terlihat masih mampu menjelaskan prihal realitas metafisis. Sebut saja misalnya penjelasan tentang keberadaan Tuhan. Bangunan yang dibangun seperti apa yang dikatakan Prof. Mulyadi Kertanegara di atas, salah satunya, tentang adanya realitas pengatur segala keteraturan dapat dikatakan begitu sempurna. Premis, segala sesuatu yang teratur ada pengaturnya, secara common sense kita tak dapat membatahnya. Begitupun anak premisnya, bahwa alam teratur, hal ini telah teruji secara empirik kebenarannya. Dan kesimpulan bahwa keteraturan alam membutuhkan pengatur agaknya bukan menjadi soal yang berarti.

Sayangnya pembuktian oleh akal semacam ini samasekali belum menyentuh realitas yang dijelaskan. Karena bagaimanapun objek matter-nya bukan objek yang sedang dikaji, itu pun kalau mau memahami relitas metafisik sebagai objek. Beruntung misalnya, sebuah kursi memiliki realitas fisik dan non fisik. Sehingga, jika ada yang hendak menolak realitas ide-nya, dapat disanggah dengan adanya realitas fisik-nya.

Dan sejauh mana akal dapat mengenali realitas metafisika, saya kira hal itu masih sebatas tataran ide-ide yang telah dibangun oleh logika manusia. Tentang “objeknya”, mungkin akal tak pernah mengenalnya.

Sumber : Kuliah Dr. Mulyadi Kartanegara di ICAS University

0 comments: