Senin, 03 Desember 2012

Paradigma Holistik


Sementara itu cara kita memahami realitas melalui ilmu
pengetahuan telah berkembang semakin terfragmentasi
dalam spesialisasi dan kita cenderung menganggap
bisa menyelesaikan masalah dengan hanya
menjumlahkan kotak-kotak mozaik yang disampaikan
para spesialisnya
-Vaclav Havel, 2006-



Perdebatan inter maupun intra disiplin ilmu dalam sepanjang sejarah manusia seolah tidak pernah berhenti. Meskipun ada kecenderungan pada tataran intra disiplin ilmu sudah mulai ada kesepakatan atau titik temu, namun dari sudut pandang yang lebih general, perdebatan-perdebatan tersebut terus eksis. Sebagai contoh adalah ketika beberapa mahzab ilmu ekonomi sudah mulai menyatu dalam Consensus Washington, namun demikian nampaknya ilmu ekonomi masih enggan dicampuradukan dengan ilmu politik. Maka wajar paradigma dan cara menyelesaikan masalah dari masing-masing tokoh disiplin ilmu masih banyak yang bertolak belakang. Tidak jarang proses dialektik yang dimunculkan malahan bersifat destruktif di mana semakin memparsialkan hubungan antara disiplin ilmu itu sendiri.



Konsep pengkotak-kotakan disiplin ilmu ini semakin hari mendapatkan tantangan yang semakin besar. Banyaknya permasalahan di peradaban kontemporer seperti kriminalitas, kemiskinan, ketimpangan, hingga inflasi yang tiada henti seharusnya membuka mata manusia akan sebuah kompleksitas alam semesta. Paradigma yang mereduksi sebuah integritas pengetahuan semesta menjadi cabang-cabang ilmu yang cenderung linier ini dibangun bukan dengan waktu yang sebentar. Butuh waktu sekitar 3 abad lebih untuk sebuah paradigma besar ini mengakar dalam pikiran umat manusia kontemporer.

Sebuah masa yang kelak akan dikenal ‘abad pencerahan’ dimulai dari beberapa filsuf yang sangat yakin bahwa ada sebuah “mesin” besar yang menggerakkan alam semesta ini. Pemikiran yang muncul sekitar abad ke-16. Mesin ini dipercaya memiliki subsistem-subsitem yang merupakan mesin yang lebih kecil. Hingga untuk menanggapi permasalahan alam semesta, subsistem-subsitem ini dapat difokuskan menjadi representasi yang bisa digeneralisasikan. Mulai dari Copernicus, Kepler, F. Bacon hingga Galileo mencoba menyikapi hal-hal yang berlangsung di alam semesta dengan pendekatan-pendekatan logis dan empiris. Pengertian dan pemikiran logis ini tidak terlepas dari konsep pemikiran bahwa alam semesta adalah sebuah gerak mekanis yang memiliki hubungan kasualitas yang pasti. Bahkan Galileo berkata, “Filsafat ditulis dalam buku besar yang terhampar di depan mata kita; tetapi kita tidak dapat memahaminya jika kita tidak memelajari bahasa dan huruf yang dipakainya terlebih dahulu. Bahasa itu adalah matematika, dan hurufnya adalah segitiga, lingkaran dan bentuk-bentuk geometris lainnya”.

“Cogito, Ergo Sum”, saya berpikir maka saya ada, kata-kata terkenal filsuf terkenal Descartes, bisa dikatakan merupakan landasan filsafat yang paling terkenal membangun peradaban rasional setelah masa Galileo. Metode yang digunakan Descartes bersifat analitik. Metode itu terdiri atas pemecahan pikiran dan masalah menjadi potongan-potongan kecil dan penyusunan kembali potongan-potongan itu dalam tatanan logisnya (Capra, 1997). Peradaban analitik rasional yang berujung pada sebuah gerak ilmu pengetahuan yang terkotak-kotak dalam ranahnya masing-masing. Senada dengan pemikiran Galileo, Descartes percaya bahwa kunci alam adalah struktur matematis, dan dalam pemikirannya ilmu itu sinonim dengan matematika.

Puncak dari pemikiran ini berada pada masa Isaac Newton. Jika Descartes memulai pemikiran-pemikirannya dengan logika deduktif yang kental akan matematika dan Galileo membuktikan banyak gerak alam dengan pengamatan empirisnya, maka Newton lah yang berhasil memadukannya. Sebagai seorang ahli matematika yang tangguh, Newton berhasil membuktikan gerak-gerak alam semesta ke dalam persamaan-persamaan matematika. Teori-teorinya pun berhasil diterapkan di berbagai bidang, mulai dari fisika, astronomi, hingga kimia.

Sifat-sifat gaib, metafisik dan intuistik yang dalam beberapa cara pandang merupakan eksistensi yang tidak terbantahkan “dibuang” dalam kerangka ilmiah yang berkembang saat ini. Padahal di peradaban kuno yang tidak bisa dikatakan “peradaban terbelakang”, penunjukkan sifat keseimbangan dalam menyikapi gejala-gejala alam semesta sudah muncul dalam beberapa bentuk ajaran. Seperti Taoisme yang menyuguhkan konsep Yin-Yang nya. Bahkan dalam konteks yang sedikit berbeda, agama-agama yang hadir di muka bumi masih penuh hal-hal yang gaib, metafisik, dan non-material. Poin-poin yang apabila dibenturkan dengan sikap rasional radikal tentu saja tidak akan menemukan titik temu yang terang benderang.

F. Capra mengatakan pemikiran dari Galileo, Descartes, hingga Newton inilah yang akhirnya dikenal dengan fisika klasik. Materi dianggap sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi, dam dunia dianggap sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi, dan dunia materi dipandang sebagai suatu kumpulan dari objek-objek yang terpisah yang dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. Oleh karena itu, para ilmuwan percaya bahwa fenomena yang kompleks selalu bisa dipahami dengan cara mereduksinya menjadi balok-balok bangunan dasarnya. Sikap inilah yang dikenal dengan reduksionisme (Ibid, 2004:43)

Paradigma reduksionisme yang berkembang di setiap disiplin ilmu, pada saat ini akhirnya harus menghadapi fase evaluasi yang justru datang dari ilmu fisika itu sendiri. Hal ini dimulai ketika para ilmuwan memulai penyelidikannya tentang materi lebih jauh ke objek atom dan subatom. Landasan fisika klasik ternyata tidak sanggup menjawab fenomena atom dan subatom yang penuh ketidakpastian. Hingga muncullah subjek-subjek relativitas dan quantum dalam ilmu fisika modern yang tidak dapat dijelaskan dengan paradigma lama ilmu fisika. Bahkan salah satu ahli fisika, Werner Heisenberg pernah berkata, “Mungkinkah Alam itu absurd sebagaimana yang tampak pada kita dalam eksperimen-eksperimen atom ini?” Penelitian tentang subatom dan atom yang lebih seksama menunjukan bahwa partikel-partikel subatom tidak mempunyai makna sebagai entitas yang terpisah. Akan tetapi semua itu bisa dipahami hanya sebagai interkoneksi atau korelasi.

Tanpa kita sadari, pola-pola spesialisasi atau dalam bahasa ekonomi terkenal dengan istilah division of labor, merupakan turunan dari filsafat fisika yang telah mengakar lebih dari 3 abad lamanya. Namun ilmu itu sendiri telah mengalami autokritik yang luar biasa signifikan. Maka aneh jika disiplin ilmu lain terus memegang prinsip-prinsip reduksionisme sambil terus mencari pembuktian kebenaran fisika klasik dalam konteks disiplin ilmu mereka. Paradigma holistik adalah sebuah keniscayaan ketika justru peradaban manusia memasuki era yang lebih modern. “Peradaban reduksionisme” mungkin hanya sebagian kecil proses pengantar menuju peradaban yang lebih baik. Hanya sebuah proses dinamika peradaban yang kecil dan tidak akan berlangsung selama-lamannya sebagai kebenaran mutlak.

0 comments: