Tuhanku,
bereskan akidahku dari cengkraman kerumitanku. Tuhanku, kukuhkan aku dalam
menghadapi akidah sesat. Tuhanku, jangan Engkau cegah perkembangan akal dan
ilmuku, hanya karena terlalu fanatik, sentimental, dan “tercerahkan”. Tuhanku,
cerdaskan pikiranku dan terangkan penglihatanku selalu, supaya aku tidak
bertindak sebelum tahu benarnya sesuatu,
Tuhanku,
siapakah orang kafir? Siapakah orang muslim? Siapakah orang Syiah? Dan siapakah orang
suni itu? Apakah kiranya batas-batas yang membedakan mereka satu sama lainnya? Sungguh
aku menanti datangnya hari penyucian pemahaman dan pengetahuan tentang agama di
satu-satunya negeri Islam ini (Iran). Sehingga seorang “juru bicara resmi
agama” kita dapat memotret Fatimah seperti bidikan Sulaiman Katani,
seorang dokter beragama Kristen; memotret Imam Ali seperti seorang beragama Kristen, Dr. George Jordac, memotretnya. Menangkap ahlulbait seperti riset si Katolik, Massignon.
Mengerti Abu Dzar seperti dalam tulisan Abdul Hamid Judah as-Sahhar. Mengurai Alquran seperti dalam terjemahan Blachère, seorang pendeta resmi gereja. Atau dapat berbicara tentang nabi kita, Muhammad, seperti Maxim Rodinson, seorang peneliti beragama Yahudi.
seorang dokter beragama Kristen; memotret Imam Ali seperti seorang beragama Kristen, Dr. George Jordac, memotretnya. Menangkap ahlulbait seperti riset si Katolik, Massignon.
Mengerti Abu Dzar seperti dalam tulisan Abdul Hamid Judah as-Sahhar. Mengurai Alquran seperti dalam terjemahan Blachère, seorang pendeta resmi gereja. Atau dapat berbicara tentang nabi kita, Muhammad, seperti Maxim Rodinson, seorang peneliti beragama Yahudi.
Seperti
juga saya berharap, suatu saat nanti, Islam dan para pendukungnya serta para
penegak wilayah yang resmi dapat bersama-sama menerjemahkan karya
orang-orang kafir yang resmi itu.
Namun
bilamana yang memandang Imam Husain—sosok
imam pembawa bendera sejarah yang berwarna merah dan contoh mukjizat
manusia—adalah orang-orang licik yang ketika bau kematian tercium, seketika itu
pula memelas kepada para algojo dan meminta seteguk air; bila orang dengan
kepribadian seperti itu yang memandangnya, maka rusaklah semuanya.
Bilamana
orang-orang seperti mereka yang memandang Imam Ali—simbol kemuliaan, keramat,
dan keluhuran, dan yang ketajaman lidahnya menyamai pedangnya—(mereka akan
memandangnya) sebagai orang yang lemah, penakut, dan maju mundur, sehingga
sedikit saja rasa takut menyentuh beliau, maka beliau pun akan membaiat
orang-orang zalim dan mendekati para perampas hak khilafah.
Imam Ali adalah
orang yang tak kenal takut. Dia tidak pernah ingin mendekati orang-orang yang
merampok hak khilafahnya, mengikuti mereka, menjadi anggota parlemen Saqifah,
dan memberikan haknya kepada orang lain yang tidak akan selayak dan sepatut dia
dalam memegang tampuk kepemimpinan. Ketika rasa takut mencekamnya, tidak lantas
Imam Ali mau mengawinkan putrinya kepada si perampas hak yang telah menyakiti
istrinya sendiri, Fatimah.
Fatimah,
kata Rasul, adalah salah satu dari empat manusia dalam sejarah yang paling
istimewa. Dia adalah kiblat wanita sedunia. Dialah yang kedua tangannya pernah
dicium Rasul dengan penuh rasa hormat. Dia adalah istri sekaligus sahabat
tercinta Ali. Fatimah juga putri semata wayang Rasulullah.
Dia juga wanita yang telah mendidik Husain dan Zainab.
Merekalah, orang-orang yang memandang Faimah sekadar sebagai perempuan yang
sering mengutuk, putus asa, tersedu-sedu selalu oleh tangis akan apa yang
menimpa tulang punggungnya atau akan tanah yang dicuri pemerintah; merekakah
syiah itu?
Apakah
mereka, yang memandang Zainab hanya sekadar sebagai orang yang tangannya patah
dan lesungnya hilang akibat kematian kakaknya, Husain bin Ali, itukah
orang-orang Syiah? Adalah Zainab perempuan yang, ketika melihat kakaknya
terbujur kaku, malah bersegera pergi untuk mengumumkan revolusi penuh
berkahnya. Dia bukan wanita yang diceraikan suaminya supaya lebih leluasa dalam
menjalankan tugasnya sebagai peniti jalan jihad, seperti kata sebagian orang
Syiah.
Zainab,
wanita yang manakala melihat seorang syahid tak dikenal, segera dia menangis,
memukul dadanya, dan berduka cita untuknya. Tetapi, ketika si syahid itu adalah
anaknya sendiri, dia tidak menangis, mengerang, ataupun memukul dadanya. Seolah
dia mengharapkan pertikaian ini hanya menumpahkan darah keluarganya dan tidak
selain mereka. Dialah perempuan suci yang dalam perjalanan pulangnya dari
Karbala, dalam keadaan tubuhnya terikat erat oleh tali panjang, dia tetap
mengumandangkan seruan-seruan ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Gema seruan itu pun
mengguncangkan istana para pengkhianat dan bumi tempat para tiran
berjalan-jalan. Dialah macan betina yang mengungkapkan epos dan meneteskan
semangat juang kepada para pahlawan wanita lainnya dalam iring-iringan para
wanita masa depan. Dia bukan wanita sebarang wanita yang mengeluh, menangis dan
meraung-raung karena kematian kakaknya, Husain bin Ali.
Apakah
orang-orang yang memandang Zainab sekadar seperti wanita yang kehilangan arah
tujuan ketika melihat kakaknya terbujur kaku sebagai syahid itu dapat disebut
orang syiah? Syiah Ali? Para pengikut ahlulbait?
Satu-satunya umat yang mengerti jalan kebenaran? Atau, katakanlah, satu-satunya
umat yang mengenal Ali dan keluarganya dengan baik melalui sunnah dan sumber
hakikat? Apakah mereka orang-orangnya?
Dr.
Bintus Syathi; seorang penulis yang telah mendedikasikan semua umurnya untuk
menulis cerita tentang para wanita ahlulbait dan seorang yang mengatakan
dirinya hidup dalam keluarga itu, tetap kita anggap suni?
Dan Blachère, seorang juru dakwah Kristen, yang telah meluangkan
empat puluh tahun hidupnya untuk meneliti dan menerjemahkan Alquran dan pada
akhirnya kedua matanya buta karena mengkaji ayat-ayat Alquran. Atau Masignon,
lautan ilmu yang elah menghabiskan 27 tahun usianya untuk menulis biografi
Salman al-Farisi. Dan lebih separo dari seluruh hidupnya dia sempatkan untuk
mengumpulkan dokumen-dokumen, karya-karya, dan rujukan-rujukan baik yang
berbahasa Arab, Persia, Turki, Latin, atau bahkan yang berbahasan Mongolia
untuk menulis biografi yang membicarakan kepribadian dan pengaruh Fatimah dalam
sejarah bangsa-bangsa setelah wafat beliau. Apakah Masignon, seorang yang penuh
antusiasme ketika berbicara tentang mistisisme Islam, Fatimah, dan Salman ini
seorang ateis?
Tuhanku,
tunjukkan daku cara Engkau “melihat perkara”. Atau bagaimana Kau menghukumi…
Apakah Syiah itu cinta terhadap “nama-nama”? Ataukah mengenali teladan-teladan
dan pola-pola dasar? Apakah mungkin ia adalah sebentuk pengenalan biografis?
Tuhanku,
anugerahkan padaku hidup yang ketika mati tiba di saat yang tidak berbuah
apapun, aku tidak menyesalinya. Berikan aku hidup yang tidak kusesali
penyia-nyiaanya.
Tuhanku,
gariskan jalan hidupku. Agar ketika ajal tiba, aku dapat menggariskan jalan
matiku sendiri. Biarkan aku yang memilihnya, asalkan Kau meridhainya.
Tuhanku,
berikan aku keselamatan di tengah bencana besar penyakit kebodohan yang
terlupakan karena telah menyerang semua orang. Bahkan setiap orang yang belum
menderita pun, tampak sakit. Tuhanku, selamatkan aku dari penyakit “menyembelih
hakikat di pejagalan syariat”.
Tuhanku,
jangan jadikan imanku terhadap Islam dan cintaku kepada ahlulbait, seperti iman
para pedagang agama yang fanatik dan reaksioner. Supaya kebebasanku tidak
tertawan oleh kerelaan “orang awam”, agamaku terkubur di balik gengsi keagamaan
dan aku menjadi peniru para peniru. Dan pada gilirannya, aku tidak akan
berbicara tentang apa yang aku anggap benar, hanya karena orang lain
menganggapnya tidak baik.
Tuhanku,
aku tahu bahwa Islamnya nabi-Mu telah dimulai dengan “tidak”. Dan aku pun tahu
bahwa Syiah imam pilihan-Mu, Ali bin Abi Thalib, juga diawali dengan “Tidak”!
Tuhanku, jadikan aku “kafir” terhadap “Islam ya” dan “Syiah ya”!
Tuhanku,
ingatkan daku selalu akan tanggung jawab menjadi Syiah. Yaitu menjadi seperti
Ali. Hidup seperti Ali. Mati seperti Ali. Menyembah seperti Ali menyembah.
Berpikir serupa dengan pikiran Ali. Berjihad sepertinya. Beramal seperti
beliau. Berbicara seperti beliau. Berdiam diri seperti Ali.
Itu
semua yang sebatas kemampuanku saja. Ingatkan aku selalu untuk mencari “ego”
yang mirip Ali dalam jiwa yang multi dimensional; dewa bicara di mimbar, dewa
penyembah di mihrab, dewa pekerja di bumi, dewa kesaktian di medan laga, dewa
kelembutan di hadapan Muhammad, dewa penanggung jawab dalam masyarakat, dewa pena
dalam tulisan di Nahjul
Balaghah, dewa Mukmin dalam segenap kehidupan, dewa pengetahuan
dalam Islam, dewa revolusi sepanjang sejarah, dewa keadilan dalam pemerintahan,
dan dewa kebapakan dan pendidikan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, dia
tetap salah seorang hamba Allah!
Tuhanku,
jadikan hamba seorang syi’i yang bertanggung jawab dan setia terhadap
ideologi, persatuan dan keadilan yang merupakan tiga sila Imam Ali dalam
kehidupan, setia kepada kepemimpinan dan persamaan yang merupakan “agama”
beliau, dan setia kepada pengorbanan semua keuntungan demi jayanya kebenaran
yang telah menjadi sikap hidupnya.
0 comments:
Posting Komentar