Minggu, 09 Desember 2012

Doa dan Surat Terakhir Ali Syariati


Tuhanku, bereskan akidahku dari cengkraman kerumitanku. Tuhanku, kukuhkan aku dalam menghadapi akidah sesat. Tuhanku, jangan Engkau cegah perkembangan akal dan ilmuku, hanya karena terlalu fanatik, sentimental, dan “tercerahkan”. Tuhanku, cerdaskan pikiranku dan terangkan penglihatanku selalu, supaya aku tidak bertindak sebelum tahu benarnya sesuatu,

Tuhanku, siapakah orang kafir? Siapakah orang muslim? Siapakah orang Syiah? Dan siapakah orang suni itu? Apakah kiranya batas-batas yang membedakan mereka satu sama lainnya? Sungguh aku menanti datangnya hari penyucian pemahaman dan pengetahuan tentang agama di satu-satunya negeri Islam ini (Iran). Sehingga seorang “juru bicara resmi agama” kita dapat memotret Fatimah seperti bidikan Sulaiman Katani, 
seorang dokter beragama Kristen; memotret Imam Ali seperti seorang beragama Kristen, Dr. George Jordac, memotretnya. Menangkap ahlulbait seperti riset si Katolik, Massignon



Mengerti Abu Dzar seperti dalam tulisan Abdul Hamid Judah as-Sahhar. Mengurai Alquran seperti dalam terjemahan Blachère, seorang pendeta resmi gereja. Atau dapat berbicara tentang nabi kita, Muhammad, seperti Maxim Rodinson, seorang peneliti beragama Yahudi.

Seperti juga saya berharap, suatu saat nanti, Islam dan para pendukungnya serta para penegak wilayah yang resmi dapat bersama-sama menerjemahkan karya orang-orang kafir yang resmi itu.
Namun bilamana yang memandang Imam Husain—sosok imam pembawa bendera sejarah yang berwarna merah dan contoh mukjizat manusia—adalah orang-orang licik yang ketika bau kematian tercium, seketika itu pula memelas kepada para algojo dan meminta seteguk air; bila orang dengan kepribadian seperti itu yang memandangnya, maka rusaklah semuanya.

Bilamana orang-orang seperti mereka yang memandang Imam Ali—simbol kemuliaan, keramat, dan keluhuran, dan yang ketajaman lidahnya menyamai pedangnya—(mereka akan memandangnya) sebagai orang yang lemah, penakut, dan maju mundur, sehingga sedikit saja rasa takut menyentuh beliau, maka beliau pun akan membaiat orang-orang zalim dan mendekati para perampas hak khilafah.
Imam Ali adalah orang yang tak kenal takut. Dia tidak pernah ingin mendekati orang-orang yang merampok hak khilafahnya, mengikuti mereka, menjadi anggota parlemen Saqifah, dan memberikan haknya kepada orang lain yang tidak akan selayak dan sepatut dia dalam memegang tampuk kepemimpinan. Ketika rasa takut mencekamnya, tidak lantas Imam Ali mau mengawinkan putrinya kepada si perampas hak yang telah menyakiti istrinya sendiri, Fatimah.

Fatimah, kata Rasul, adalah salah satu dari empat manusia dalam sejarah yang paling istimewa. Dia adalah kiblat wanita sedunia. Dialah yang kedua tangannya pernah dicium Rasul dengan penuh rasa hormat. Dia adalah istri sekaligus sahabat tercinta Ali. Fatimah juga putri semata wayang Rasulullah. Dia juga wanita yang telah mendidik Husain dan Zainab. Merekalah, orang-orang yang memandang Faimah sekadar sebagai perempuan yang sering mengutuk, putus asa, tersedu-sedu selalu oleh tangis akan apa yang menimpa tulang punggungnya atau akan tanah yang dicuri pemerintah; merekakah syiah itu?

Apakah mereka, yang memandang Zainab hanya sekadar sebagai orang yang tangannya patah dan lesungnya hilang akibat kematian kakaknya, Husain bin Ali, itukah orang-orang Syiah? Adalah Zainab perempuan yang, ketika melihat kakaknya terbujur kaku, malah bersegera pergi untuk mengumumkan revolusi penuh berkahnya. Dia bukan wanita yang diceraikan suaminya supaya lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya sebagai peniti jalan jihad, seperti kata sebagian orang Syiah.

Zainab, wanita yang manakala melihat seorang syahid tak dikenal, segera dia menangis, memukul dadanya, dan berduka cita untuknya. Tetapi, ketika si syahid itu adalah anaknya sendiri, dia tidak menangis, mengerang, ataupun memukul dadanya. Seolah dia mengharapkan pertikaian ini hanya menumpahkan darah keluarganya dan tidak selain mereka. Dialah perempuan suci yang dalam perjalanan pulangnya dari Karbala, dalam keadaan tubuhnya terikat erat oleh tali panjang, dia tetap mengumandangkan seruan-seruan ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Gema seruan itu pun mengguncangkan istana para pengkhianat dan bumi tempat para tiran berjalan-jalan. Dialah macan betina yang mengungkapkan epos dan meneteskan semangat juang kepada para pahlawan wanita lainnya dalam iring-iringan para wanita masa depan. Dia bukan wanita sebarang wanita yang mengeluh, menangis dan meraung-raung karena kematian kakaknya, Husain bin Ali.

Apakah orang-orang yang memandang Zainab sekadar seperti wanita yang kehilangan arah tujuan ketika melihat kakaknya terbujur kaku sebagai syahid itu dapat disebut orang syiah? Syiah Ali? Para pengikut ahlulbait? Satu-satunya umat yang mengerti jalan kebenaran? Atau, katakanlah, satu-satunya umat yang mengenal Ali dan keluarganya dengan baik melalui sunnah dan sumber hakikat? Apakah mereka orang-orangnya?
Dr. Bintus Syathi; seorang penulis yang telah mendedikasikan semua umurnya untuk menulis cerita tentang para wanita ahlulbait dan seorang yang mengatakan dirinya hidup dalam keluarga itu, tetap kita anggap suni? Dan Blachère, seorang juru dakwah Kristen, yang telah meluangkan empat puluh tahun hidupnya untuk meneliti dan menerjemahkan Alquran dan pada akhirnya kedua matanya buta karena mengkaji ayat-ayat Alquran. Atau Masignon, lautan ilmu yang elah menghabiskan 27 tahun usianya untuk menulis biografi Salman al-Farisi. Dan lebih separo dari seluruh hidupnya dia sempatkan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen, karya-karya, dan rujukan-rujukan baik yang berbahasa Arab, Persia, Turki, Latin, atau bahkan yang berbahasan Mongolia untuk menulis biografi yang membicarakan kepribadian dan pengaruh Fatimah dalam sejarah bangsa-bangsa setelah wafat beliau. Apakah Masignon, seorang yang penuh antusiasme ketika berbicara tentang mistisisme Islam, Fatimah, dan Salman ini seorang ateis?

Tuhanku, tunjukkan daku cara Engkau “melihat perkara”. Atau bagaimana Kau menghukumi… Apakah Syiah itu cinta terhadap “nama-nama”? Ataukah mengenali teladan-teladan dan pola-pola dasar? Apakah mungkin ia adalah sebentuk pengenalan biografis?
Tuhanku, anugerahkan padaku hidup yang ketika mati tiba di saat yang tidak berbuah apapun, aku tidak menyesalinya. Berikan aku hidup yang tidak kusesali penyia-nyiaanya.
Tuhanku, gariskan jalan hidupku. Agar ketika ajal tiba, aku dapat menggariskan jalan matiku sendiri. Biarkan aku yang memilihnya, asalkan Kau meridhainya.
Tuhanku, berikan aku keselamatan di tengah bencana besar penyakit kebodohan yang terlupakan karena telah menyerang semua orang. Bahkan setiap orang yang belum menderita pun, tampak sakit. Tuhanku, selamatkan aku dari penyakit “menyembelih hakikat di pejagalan syariat”.
Tuhanku, jangan jadikan imanku terhadap Islam dan cintaku kepada ahlulbait, seperti iman para pedagang agama yang fanatik dan reaksioner. Supaya kebebasanku tidak tertawan oleh kerelaan “orang awam”, agamaku terkubur di balik gengsi keagamaan dan aku menjadi peniru para peniru. Dan pada gilirannya, aku tidak akan berbicara tentang apa yang aku anggap benar, hanya karena orang lain menganggapnya tidak baik.

Tuhanku, aku tahu bahwa Islamnya nabi-Mu telah dimulai dengan “tidak”. Dan aku pun tahu bahwa Syiah imam pilihan-Mu, Ali bin Abi Thalib, juga diawali dengan “Tidak”! Tuhanku, jadikan aku “kafir” terhadap “Islam ya” dan “Syiah ya”!
Tuhanku, ingatkan daku selalu akan tanggung jawab menjadi Syiah. Yaitu menjadi seperti Ali. Hidup seperti Ali. Mati seperti Ali. Menyembah seperti Ali menyembah. Berpikir serupa dengan pikiran Ali. Berjihad sepertinya. Beramal seperti beliau. Berbicara seperti beliau. Berdiam diri seperti Ali.

Itu semua yang sebatas kemampuanku saja. Ingatkan aku selalu untuk mencari “ego” yang mirip Ali dalam jiwa yang multi dimensional; dewa bicara di mimbar, dewa penyembah di mihrab, dewa pekerja di bumi, dewa kesaktian di medan laga, dewa kelembutan di hadapan Muhammad, dewa penanggung jawab dalam masyarakat, dewa pena dalam tulisan di Nahjul Balaghah, dewa Mukmin dalam segenap kehidupan, dewa pengetahuan dalam Islam, dewa revolusi sepanjang sejarah, dewa keadilan dalam pemerintahan, dan dewa kebapakan dan pendidikan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, dia tetap salah seorang hamba Allah!

Tuhanku, jadikan hamba seorang syi’i yang bertanggung jawab dan setia terhadap ideologi, persatuan dan keadilan yang merupakan tiga sila Imam Ali dalam kehidupan, setia kepada kepemimpinan dan persamaan yang merupakan “agama” beliau, dan setia kepada pengorbanan semua keuntungan demi jayanya kebenaran yang telah menjadi sikap hidupnya.

0 comments: