Telah kita singgung bahwa Muthahhari
telah memperlihatkan kecenderungan yang kuat pada filsafat sejak dini dalam
hidupnya. Tentu saja ketika kita bilang filsafat, yang dimaksud adalah filsafat
Islam. Dan ketertarikan Muthahhari terhadap filsafat ternyata bukan hanya
sekedar keranjingan pada pemikiran-pemikiran spekulatif, tetapi justru ia
melihat filsafat sebagai :senjata ideologi,” yang ampuh untuk menghadapi
ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran.
Selain bicara tentang filsafat
sebagai senjata ideologis yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular Barat,
Muthahhri juga menyatakan dengan tegas bahwa filsafat bukanlah hak istimewa
Barat. Dia mengatakan dan percaya bahwa “Yunani kuno (sebagai lambang filsafat
Barat) memperoleh asal keberhasilannya yang utama dari Timur. Sarjan-sarjana
besar dari belahan dunia tersebut berulangkali melancong ke Timur, belajar
banyak dari sarjana-sarjan Timur, dan ketika mereka kembali, mereka
menyebarkannya di negeri mereka.” Pendapat ini barangkali mendapat dukungan
dari sumber-sumber klasik Islam, seperti yang dinyatakan oleh al-Amiri dalam
kitabnya al-Amad ‘ala al-Abad.
Tentu dalam konteks kekinian, ia
ingin menyatakan bahwa bukan hanya orang-orang Barat yang memiliki filsafat,
tetapi juga umat Islam. Dalam kitabnyaUshul-e Falsafah, jelas terlihat
usaha Muthahhari untuk menunjukkan keunggulan filsafat Islam atas filsafat Barat,
yang disebutnya tidak realistik.
Dan sejauh ia menyangkut filsafat
Islam, maka Muthahhari menunjuk dua tradisi besar yang ada di sana, yaitu
Peripatetik, yang menurutnya lebih tepat disebut deduksionis, yang diwakili
oleh Ibn Sina (w. 1037) dan Iluminasionis (Isyraqi) yang diwakili oleh
Suhrawardi (w. 1191). Yang pertama lebih menekankan keutamaan wujud (ishalat
alwujud) sedangkan yang lain lebih menekankan keutamaan esensi (ishal
al-mahiyyah) atau yang mungkin lebih elegan kita sebut eksistensialisme dan
esensialisme. Yang menarik adalah pernyataan Muthahhari yang menyatakan bahwa
ketika kita membicarakan kedua aliran filsafat Islam ini, referensi yang harus
dibuat bukanlah pada Plato atau Aristoteles, tetapi pada Islam sendiri.
Nampaknya ia menaruh curiga bahwa
Plato dan Aristoteles yang disajikan dalm filsafat Islam jangan-jangan bukan
sebagimana Plato dan Aristoteles yang sesungguhnya. Misalnya ia mepertanyakan
istilah Peripatetik, yang merujuk pada filsafat Aristoteles, karena terakhir
dikatakan mempunyai mengajar filsafat sambil berjalan. Tapi, tanya Muthahhari,
apakah hal serupa juga tidak dilakukan Plato? Apakah, misalnya, metode yang
digunakan Suhrawardi adalah sama dengan metode yang digunakan Plato?
Berbicara tentang metode filosofis
atau ilmiah dalam Islam, Muthahhari membedakannya dengan begitu rapi tiga macam
metode, yaitu, metode deduktif dari filsafat peripatetik. Metode ini dipakai
oleh sebagian besar filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
Nashir al-Thusi, Mir Damed, Ibn Rusyd dan lain-lain. Ciri khas metode ini
adalah penyandarannya yang eksklusif pada deduksi dan demonstrasi rasional.
Metode yang kedua disebut iluminasionis, yang dikatakn memiliki pengikut yang
lebih sedikit. Metode ini dihidupkan kembali oleh Suhrawardi, Quthb al-Din
Shirazi, Sahrazuni dan lain-lain. Metode ini didasarkan pada deduksi dan
demonstrasi rasional dan juga pada upaya pensucian jiwa. Metode ketiga adalah
yang disebut ‘irfani, yang menurutnya memiliki banyak pengikut
seperti Bayazid al-Bisthami, al-Hallaj, Syibli, Junayd al-Baghdadi, Dzun Nun
al-Mishri, Khwaja ‘Abdullah Ansara, Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Tapi
wakil utamanya adalah Ibn Arabi. Yang menarik tentang metode pemikiran ini
adalah penjelasannya yang gamblang tentang persamaan dan perbedan di antara
ketiga metode tersebut, yang tidak saya dapatkan dari filosof yang lain. Dia
mengatakan metode ‘irfani yang agak liar mempunyai satu
persamaan dengan metode iluminasionis dan dua perbedaan dengannya. Yang sama
adalah penyandaran mereka pada perbaikan, penghalusan (refinement) dan
pensucian jiwa. Sedangkan perbedaan-perbedaannya adalah sebagai berikut : Kaum ‘arif sama
sekali menolak deduksi; sementara kaum iluminasionis, mendukungnya dan
menggunakan pemikiran dan pembersihan jiwa untuk saling membantu. Kaum
iluminasionis, sebagaimana halnya para filosof yang lain, berusaha menemukan
realitas (kebenaran) sedangkan kaum ‘arif mencoba mencapainya.
0 comments:
Posting Komentar