Minggu, 23 Desember 2012

RENUNGAN FILOSOFIS MURTADHA MUTAHHARI


Telah kita singgung bahwa Muthahhari telah memperlihatkan kecenderungan yang kuat pada filsafat sejak dini dalam hidupnya. Tentu saja ketika kita bilang filsafat, yang dimaksud adalah filsafat Islam. Dan ketertarikan Muthahhari terhadap filsafat ternyata bukan hanya sekedar keranjingan pada pemikiran-pemikiran spekulatif, tetapi justru ia melihat filsafat sebagai :senjata ideologi,” yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran.


Ini tentu mengingatkan kita pada situasi sama yang dihadapi al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, ketika ia menemukan filsafat sebagai senjata ampuh ideologi (dalam hal ini agama Islam) untuk menangkal ide-ide filosofis. Bedanya sementara yang dihadapi oleh al-Ghazali adalah ide-ide filosofis para filosof Muslim (falasifah) yang dianggap tidak ortodoks, yang dihadapi Muthahhari adalah ide-ide sekular Barat, khususnya Marxisme. Tapi semangatnya sama. Demikian penting peran filsafat sebagai senjata ideologi, sehingga Muthahhari berusaha menghidupkan kembali tradisi filosofis yang secara aman telah jinak, dan ia percaya filsafat merupakan “prioritas utama dalam skala makna (signifikansi) diantara semua cabang ilmu pengetahuan.

Selain bicara tentang filsafat sebagai senjata ideologis yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular Barat, Muthahhri juga menyatakan dengan tegas bahwa filsafat bukanlah hak istimewa Barat. Dia mengatakan dan percaya bahwa “Yunani kuno (sebagai lambang filsafat Barat) memperoleh asal keberhasilannya yang utama dari Timur. Sarjan-sarjana besar dari belahan dunia tersebut berulangkali melancong ke Timur, belajar banyak dari sarjana-sarjan Timur, dan ketika mereka kembali, mereka menyebarkannya di negeri mereka.” Pendapat ini barangkali mendapat dukungan dari sumber-sumber klasik Islam, seperti yang dinyatakan oleh al-Amiri dalam kitabnya al-Amad ‘ala al-Abad.

Tentu dalam konteks kekinian, ia ingin menyatakan bahwa bukan hanya orang-orang Barat yang memiliki filsafat, tetapi juga umat Islam. Dalam kitabnyaUshul-e Falsafah, jelas terlihat usaha Muthahhari untuk menunjukkan keunggulan filsafat Islam atas filsafat Barat, yang disebutnya tidak realistik.

Dan sejauh ia menyangkut filsafat Islam, maka Muthahhari menunjuk dua tradisi besar yang ada di sana, yaitu Peripatetik, yang menurutnya lebih tepat disebut deduksionis, yang diwakili oleh Ibn Sina (w. 1037) dan Iluminasionis (Isyraqi) yang diwakili oleh Suhrawardi (w. 1191). Yang pertama lebih menekankan keutamaan wujud (ishalat alwujud) sedangkan yang lain lebih menekankan keutamaan esensi (ishal al-mahiyyah) atau yang mungkin lebih elegan kita sebut eksistensialisme dan esensialisme. Yang menarik adalah pernyataan Muthahhari yang menyatakan bahwa ketika kita membicarakan kedua aliran filsafat Islam ini, referensi yang harus dibuat bukanlah pada Plato atau Aristoteles, tetapi pada Islam sendiri.

Nampaknya ia menaruh curiga bahwa Plato dan Aristoteles yang disajikan dalm filsafat Islam jangan-jangan bukan sebagimana Plato dan Aristoteles yang sesungguhnya. Misalnya ia mepertanyakan istilah Peripatetik, yang merujuk pada filsafat Aristoteles, karena terakhir dikatakan mempunyai mengajar filsafat sambil berjalan. Tapi, tanya Muthahhari, apakah hal serupa juga tidak dilakukan Plato? Apakah, misalnya, metode yang digunakan Suhrawardi adalah sama dengan metode yang digunakan Plato?
Berbicara tentang metode filosofis atau ilmiah dalam Islam, Muthahhari membedakannya dengan begitu rapi tiga macam metode, yaitu, metode deduktif dari filsafat peripatetik. Metode ini dipakai oleh sebagian besar filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Nashir al-Thusi, Mir Damed, Ibn Rusyd dan lain-lain. Ciri khas metode ini adalah penyandarannya yang eksklusif pada deduksi dan demonstrasi rasional. Metode yang kedua disebut iluminasionis, yang dikatakn memiliki pengikut yang lebih sedikit. Metode ini dihidupkan kembali oleh Suhrawardi, Quthb al-Din Shirazi, Sahrazuni dan lain-lain. Metode ini didasarkan pada deduksi dan demonstrasi rasional dan juga pada upaya pensucian jiwa. Metode ketiga adalah yang disebut ‘irfani, yang menurutnya memiliki banyak pengikut seperti Bayazid al-Bisthami, al-Hallaj, Syibli, Junayd al-Baghdadi, Dzun Nun al-Mishri, Khwaja ‘Abdullah Ansara, Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Tapi wakil utamanya adalah Ibn Arabi. Yang menarik tentang metode pemikiran ini adalah penjelasannya yang gamblang tentang persamaan dan perbedan di antara ketiga metode tersebut, yang tidak saya dapatkan dari filosof yang lain. Dia mengatakan metode ‘irfani yang agak liar mempunyai satu persamaan dengan metode iluminasionis dan dua perbedaan dengannya. Yang sama adalah penyandaran mereka pada perbaikan, penghalusan (refinement) dan pensucian jiwa. Sedangkan perbedaan-perbedaannya adalah sebagai berikut : Kaum ‘arif sama sekali menolak deduksi; sementara kaum iluminasionis, mendukungnya dan menggunakan pemikiran dan pembersihan jiwa untuk saling membantu. Kaum iluminasionis, sebagaimana halnya para filosof yang lain, berusaha menemukan realitas (kebenaran) sedangkan kaum ‘arif mencoba mencapainya.

* Disampaikan pada seminar Internasional “Pemikiran Murtadha Muthahhari”, 8 Mei 2004 di Jakarta.

0 comments: