Minggu, 02 Desember 2012

PERAN PERENCANAAN DALAM PROSES PERENCANAAN TATA RUANG YANG PARTISIPATIF


Pendahuluan
Plan for People  merupakan suatu slogan yang seharusnya mendorong para perencana untuk bekerja lebih  terfokus kepada masyarakat. Rencana Tata Ruang yang disusun oleh perencana adalah media perantara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, para perencana  harus lebih banyak bekerja sama dengan masyarakat (plan by people)  dan turut serta mendorong kegiatan perencanaan tata ruang agar menjadi proses yang partisipatif. Keterlibatan masyarakat menjadi komponen penting dalam perencanaan. Begitu juga halnya dalam pembangunan karena anggota masyarakat memiliki perspektif yang berbeda-beda, baik dalam haknya sebagai orang memiliki pengetahuan maupun sebagai  actor  strategis dalam pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi rencana tersebut (Chambers 1997; Arnstein, 1969)


Keberhasilan penataan ruang akan ditentukan oleh seberapa besar masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang difasilitasi oleh Pemerintah. Sebagai tahapan pertama dari penataan ruang, maka perencanaan memegang peran strategis dan vital untuk dapat menentukan keberhasilan pemanfaatan dan serta pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien. Tulisan ini baru mencoba menguraikan pengendalian pemanfaatan ruang.

Perencanaan yang partisipatif memberikan peluang yang lebih besar untuk terciptanya pemanfaatan ruang yang terpadu dan sinergis, proses partisipatif dalam tahapan perencanaan tata ruang saja, beserta apa peran dan kontribusi yang dapat dilakukan oleh para perencana.

Perencanaan Partisipatif
Dalam beberapa referensi tentang perencanaan partisipatif, terdapat beberapa kesamaan tahapan dalam proses perencanaan. Secara umum, setidaknya ada 4 (empat) tahapan yang harus diperhatikan oleh para perencana, yaitu:

1.    Tahapan Pengkondisian (prepatory action) Tahap awal ini sangat penting untuk menjamin keberhasilan proses partisipatif. Situasi dan kondisi wilayah atau kota yang akan direncanakan harus dapat mencerminkan terciptanya suasana yang menceritakan tentang agenda-agenda kegiatan perencanaan tata ruang di kota/wilayah mereka, seperti misalnya pembicaraan di warung kopi, pangkalan ojek, tempat gaul anak muda, dan seterusnya. Contoh masa pengkondisian yang ideal adalah seperti pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada), dimana hampir semua pojok kota dihiasi oleh berbagai promosi para kandidat. Substansi yang paling penting pada masa ini adalah bahwa urgensi proses perencanaan sangat penting untuk menentukan masa depan kota/wilayah mereka pada 20 tahun mendatang. Oleh karena itu, perencana harus dapat berperan aktif menciptakan kondisi tersebut, terutama dalam berinteraksi dengan tokoh masyarakat, media massa, tokoh agama, dan lain-lain. Perencana harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa proses penataan ruang tersebut penting untuk perikehidupan kota/wilayah tersebut.

2.    Tahapan Pembentukan Forum Stakeholder (key penting untuk dapat menjamin suksesnya pelaksanaan proses perencanaannya nanti. Menurut Friedmann (2001), setidaknya ada 3 (tiga) aktor yang terlibat, yaitu:
Politisi dan Pemerintah (politicians and bureaucrats) yang mewakili lembaga pemerintahan pada setiap level wilayah,
Dunia Usaha (corporate capital) baik yang bersifat trans-nasional maupun domestik, dan
organisasi kemasyarakatan (civil society), seperti misalnya keluarga, organisasi keagamaan, klub hobi, NGO,  dan lain-lain. Food Fest kemang yang selalui ramai dikunjungi oleh anak muda. sumber : image.travebuddy.com Substansi yang paling penting dalam tahapan ini adalah pemilihan perwakilan dari ketiga aktor tersebut (representative system). Secara umum, kriteria yang harus dipenuhi oleh wakil-wakil dari ketiga aktor tersebut, antara lain adalah harus mampu menyampaikan aspirasi kelompoknya (people voice), memiliki pengaruh di dalam kelompoknya  (influenced people), dan memiliki kepentigan dalam pembangunan kota/wilayah di sana (interested people) Oleh karena itu, peran perencana di sini sangat vital dalam menyeleksi partisipan yang memenuhi criteria tersebut diatas, selain mendesain tata laksana dan sistem kerja forum penataan ruang tersebut. Perencana juga harus  mampu menguraikan tugas dan fungsi dari masing-masing perwakilan stakeholder tersebut.

3.    Tahapan Pemilihan Media Partisipasi (participatory tools) Menurut Amerasinghe, Farrell, Jin, Shin, and Stelljes (2008), setidaknya ada 7 (tujuh) jenis instrument partisipasi, yaitu pengumuman terbuka (notice and comment), dengar-pendapat publik  (public hearing), diskusi kelompok terfokus  (focus group discussion), workshop partisipatif  (Participatory Workshops), konsultasi penasehat (Citizen Advisory Committees), perundingan juri (Citizen Juries), dan pemilihan langsung (Referenda). Pemilihan instrumen didasarkan pada kriteria-kriteria, seperti karakteristik dan pengetahuan masyarakat, waktu yang tersedia, serta kemampuan dan kapasitas pemerintah dan perencana. Oleh karena itu, perencana mempunyai peran untuk dapat menilai instrumen mana yang paling tepat untuk digunakan dalam proses perencanaan tersebut. Tidak menutup kemungkinan untuk dapat digunakan lebih dari satu instrumen dalam satu proses perencanaan. Kemampuan perencana untuk memodifikasi instrument tersebut agar lebih sesuai dengan kultur budaya kota/wilayah tersebut juga sangat diperlukan agar menghasilkan produk yang partisipatif.

4.    Tahapan Pembentukan Forum Pakar  (Expert’s Choice) Tahapan ini diperlukan apabila dalam media partisipasi yang dilaksanakan tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu yang direncanakan. Untuk dapat memberikan pilihan-pilihan yang lebih bervariatif, obyektif, dan tepat sasaran, maka dibutuhkan pendapat pakar yang memiki kompetensi dan kapasitas dalam permasalahan atau kebijakan yang akan dipilih. Jadi, Forum pakar ini dibentuk untuk menghasilkan lebih banyak pilihan dan lebih informatif (wellinformed choice) kepada para partisipan (stakeholder)  dalam proses pengambilan keputusan nantinya. Oleh karena itu, peran perencana adalah harus mampu memfasilitasi terciptanya variasi pilihan yang lebih informatif untuk mencegah kebuntuan dalam proses pengambilan keputusan rencana tata ruang (Siregar, 2009). Perencana juga harus mampu berperan sebagai koordinator yang akomodatif (inclusive) terhadap

pendapat maupun pandangan dari berbagai disiplin kepakaran yang terlibat dalam proses tersebut

Oleh : Hendricus Andy Simarmata

0 comments: