Pendahuluan
Plan
for People merupakan suatu slogan yang seharusnya
mendorong para perencana untuk bekerja lebih
terfokus kepada masyarakat. Rencana Tata Ruang yang disusun oleh perencana
adalah media perantara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut. Oleh
karena itu, para perencana harus lebih banyak
bekerja sama dengan masyarakat (plan by people)
dan turut serta mendorong kegiatan perencanaan tata ruang agar menjadi
proses yang partisipatif. Keterlibatan masyarakat menjadi komponen penting
dalam perencanaan. Begitu juga halnya dalam pembangunan karena anggota
masyarakat memiliki perspektif yang berbeda-beda, baik dalam haknya sebagai
orang memiliki pengetahuan maupun sebagai
actor strategis dalam
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi rencana tersebut (Chambers 1997;
Arnstein, 1969)
Keberhasilan
penataan ruang akan ditentukan oleh seberapa besar masyarakat dapat terlibat
dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang yang difasilitasi oleh Pemerintah. Sebagai tahapan pertama dari penataan
ruang, maka perencanaan memegang peran strategis dan vital untuk dapat
menentukan keberhasilan pemanfaatan dan serta pengendalian pemanfaatan ruang yang
efektif dan efisien. Tulisan ini baru mencoba menguraikan pengendalian
pemanfaatan ruang.
Perencanaan
yang partisipatif memberikan peluang yang lebih besar untuk terciptanya
pemanfaatan ruang yang terpadu dan sinergis, proses partisipatif dalam tahapan
perencanaan tata ruang saja, beserta apa peran dan kontribusi yang dapat
dilakukan oleh para perencana.
Perencanaan Partisipatif
Dalam
beberapa referensi tentang perencanaan partisipatif, terdapat beberapa kesamaan
tahapan dalam proses perencanaan. Secara umum, setidaknya ada 4 (empat) tahapan
yang harus diperhatikan oleh para perencana, yaitu:
1. Tahapan
Pengkondisian (prepatory action) Tahap awal ini sangat penting untuk menjamin
keberhasilan proses partisipatif. Situasi dan kondisi wilayah atau kota yang
akan direncanakan harus dapat mencerminkan terciptanya suasana yang
menceritakan tentang agenda-agenda kegiatan perencanaan tata ruang di
kota/wilayah mereka, seperti misalnya pembicaraan di warung kopi, pangkalan
ojek, tempat gaul anak muda, dan seterusnya. Contoh masa pengkondisian yang
ideal adalah seperti pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada), dimana hampir
semua pojok kota dihiasi oleh berbagai promosi para kandidat. Substansi yang
paling penting pada masa ini adalah bahwa urgensi proses perencanaan sangat penting
untuk menentukan masa depan kota/wilayah mereka pada 20 tahun mendatang. Oleh
karena itu, perencana harus dapat berperan aktif menciptakan kondisi tersebut,
terutama dalam berinteraksi dengan tokoh masyarakat, media massa, tokoh agama,
dan lain-lain. Perencana harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa proses
penataan ruang tersebut penting untuk perikehidupan kota/wilayah tersebut.
2. Tahapan
Pembentukan Forum Stakeholder (key penting untuk dapat menjamin suksesnya
pelaksanaan proses perencanaannya nanti. Menurut Friedmann (2001), setidaknya
ada 3 (tiga) aktor yang terlibat, yaitu:
Politisi
dan Pemerintah (politicians and bureaucrats) yang mewakili lembaga pemerintahan
pada setiap level wilayah,
Dunia
Usaha (corporate capital) baik yang bersifat trans-nasional maupun domestik,
dan
organisasi
kemasyarakatan (civil society), seperti
misalnya keluarga, organisasi keagamaan, klub hobi, NGO, dan lain-lain. Food Fest kemang yang selalui
ramai dikunjungi oleh anak muda. sumber : image.travebuddy.com Substansi yang
paling penting dalam tahapan ini adalah pemilihan perwakilan dari ketiga aktor
tersebut (representative system). Secara
umum, kriteria yang harus dipenuhi oleh wakil-wakil dari ketiga aktor tersebut,
antara lain adalah harus mampu menyampaikan aspirasi kelompoknya (people
voice), memiliki pengaruh di dalam kelompoknya
(influenced people), dan memiliki kepentigan dalam pembangunan
kota/wilayah di sana (interested people) Oleh karena itu, peran perencana di
sini sangat vital dalam menyeleksi partisipan yang memenuhi criteria tersebut
diatas, selain mendesain tata laksana dan sistem kerja forum penataan ruang
tersebut. Perencana juga harus mampu
menguraikan tugas dan fungsi dari masing-masing perwakilan stakeholder
tersebut.
3. Tahapan
Pemilihan Media Partisipasi (participatory tools) Menurut Amerasinghe, Farrell,
Jin, Shin, and Stelljes (2008), setidaknya ada 7 (tujuh) jenis instrument
partisipasi, yaitu pengumuman terbuka (notice and comment), dengar-pendapat
publik (public hearing), diskusi
kelompok terfokus (focus group discussion),
workshop partisipatif (Participatory
Workshops), konsultasi penasehat (Citizen Advisory Committees), perundingan
juri (Citizen Juries), dan pemilihan langsung (Referenda). Pemilihan instrumen didasarkan
pada kriteria-kriteria, seperti karakteristik dan pengetahuan masyarakat, waktu
yang tersedia, serta kemampuan dan kapasitas pemerintah dan perencana. Oleh
karena itu, perencana mempunyai peran untuk dapat menilai instrumen mana yang
paling tepat untuk digunakan dalam proses perencanaan tersebut. Tidak menutup
kemungkinan untuk dapat digunakan lebih dari satu instrumen dalam satu proses
perencanaan. Kemampuan perencana untuk memodifikasi instrument tersebut agar
lebih sesuai dengan kultur budaya kota/wilayah tersebut juga sangat diperlukan
agar menghasilkan produk yang partisipatif.
4. Tahapan
Pembentukan Forum Pakar (Expert’s
Choice) Tahapan ini diperlukan apabila dalam media partisipasi yang
dilaksanakan tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu yang direncanakan.
Untuk dapat memberikan pilihan-pilihan yang lebih bervariatif, obyektif, dan
tepat sasaran, maka dibutuhkan pendapat pakar yang memiki kompetensi dan
kapasitas dalam permasalahan atau kebijakan yang akan dipilih. Jadi, Forum
pakar ini dibentuk untuk menghasilkan lebih banyak pilihan dan lebih informatif
(wellinformed choice) kepada para partisipan (stakeholder) dalam proses pengambilan keputusan nantinya. Oleh
karena itu, peran perencana adalah harus mampu memfasilitasi terciptanya
variasi pilihan yang lebih informatif untuk mencegah kebuntuan dalam proses
pengambilan keputusan rencana tata ruang (Siregar, 2009). Perencana juga harus
mampu berperan sebagai koordinator yang akomodatif (inclusive) terhadap
pendapat
maupun pandangan dari berbagai disiplin kepakaran yang terlibat dalam proses
tersebut
Oleh : Hendricus Andy Simarmata
0 comments:
Posting Komentar