Hakikat Jiwa
Jiwa tidak bersifat abadi, dalam
arti bermula, maka jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi.
Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai entelechy badan. Al-Farabi secara
eksplisit mengidentifikasi jiwa manusia sebagai fakultas atau daya yang inheren
dalam tubuh dan bukan sebagai substansi spiritual yang dapat mengada secara
mandiri dari badan. Bagi Ibnu Sina, jiwa manusia, meskipun hanya merupakan
intelek potensial pada awal karirnya, namun ia adalah substansi spiritual
immaterial yang dapat mengada secara mandiri dari badan.
Menurut Mulla Shadra, jiwa adalah
entelechy badan jasmaniah yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut
organ. Yang dimaksud organ menurut Mulla Shadra bukanlah organ fisik seperti
tangan, perut, dan sebagainya, melainkan fakultas-fakultas atau daya-daya yang
dengan perantaranya jiwa dapat bekerja, seperti selera makan, nutrisi dan
pencernaan. Mulla Shadra menolak pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa
jiwa adalah sebuah konsep relasional dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat
subtantif. Bila jiwa sejak dilahirkan berada di dalam materi, kejiwaannya tidak
dapat diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki
eksistensi bebas kemudian berhubungan dengan materi. Lagi pula, apabila jiwa
manusia merupakan sebuah substansi bebas, maka tidak mungkin untuk menyatukan
jiwa dengan badan. Hubungan antara jiwa dengan badan tidaklah seperti
hubungan antara daya fisik biasa dengan materinya. Jiwa bekerja di dalam materi
melalui penghubung yang berupa daya-daya yang berada di bawahnya.
Menurut Mulla Shadra jiwa
itu bersandar kepada prinsip dasar yang disebut perubahan subtantif (istihala
jauhariya). Pada umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah, tetapi akhirnya bersifat
spriritual selamanya (jimaniyat al-huduts ruhaniyat al-baqa’). Artinya,
manakala jiwa muncul di atas landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu
bersifat materi secara absolut. Dengan prinsip perubahan substantive ini,
dituntut adanya tingkatan yang lebih tinggi dari landasan di mana jiwa berada. Oleh
sebab itu, dalam kehidupan yang paling rendah sekalipun, seperti
tumbuh-tumbuhan meskipun ia bergantung kepada materi, tetapi tidak dapat
dikatakan sepenuhnya bersifat materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrument
dan merupakan langkah pertama untuk berpindah dari alam materi menuju alam
spiritual.
Empat perjalanan jiwa menurut Mulla
Shadra dalam kitabnya Al-Asfar Al-Arba’ah, adalah sebagai berikut :
1. perjalanan
dari makhluk (khalaq) menuju Tuhan (Haqq).
2. perjalanan
menuju Tuhan melalui (bimbingan) Tuhan.
3. perjalanan
dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
4. perjalanan
di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
Jiwa manusia maupun jiwa hewan
sama-sama memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari badannya. Jiwa hewan
melepaskan dirinya dengan imaginasi actual (khayal bi al-fil)nya, sedangkan
jiwa manusia dengan akal actual (‘aql bi al-fil). Kedua konsep ini didasarkan
doktrin ini, struktur ontologis realitas dibagi menjadi tiga macam alam, yaitu
idea atau akal murni di peringkat atas, khayal murni di bagian tengah, dan
benda-benda materi di bagian paling bawah.
Kehakikatan Eksistensi (Ashalah al-Wujud)
Masalah kesejatian (hakikat) wujud
(Ashalah al-Wujud) merupakan induk filsafat Mulla Shadra dan akar yang darinya
tumbuh berbagai cabang dan ranting. Para pendukung eksistensialisme
beranggapan bahwa wujud manusia lebih unggul daripada esensinya. Artinya,
segala sesuatu selain manusia, air misalnya, mempunyai ciri dan esensi yang
menjadi wadah penjelmaan wujudnya. Satu-satunya yang dimiliki
manusia adalah wujudnya, yang dengan itu dia merealisasikan suatu esensi untuk
dirinya sendiri. Demikian itu karena segala sesuatu selain manusia bersifat
terciptakan, sementara manusia adalah Sesuatu yang dapat menjadi apapun yang
sesuai dengan keinginannya.
Gagasan di atas—menurut Murtadha
Muthahhari—sebenarnya bertalian erat dengan persoalan ‘kebebasan’
manusia. Kebebasan yang dimiliki manusia, merupakan ciri yang
membedakan manusia dari semua benda lain. Manusia dengan kebebasannya dapat
menentukan esensinya, hal ini akan terus berjalan, dan lain halnya dengan benda
mati lainnya yang tidak bisa merubah esensinya sendiri.
Gagasan Tentang Tuhan
Berdasarkan alur pemikiran di atas,
gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang
dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada
persepsi tentang "keniscayaan wujud" dan menurut mereka juga,
memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an
dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan
mereka, perbedaan antara Wujud Wajib dan wujud kontingen adalah bahwa wujud
kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wujud Wajib
merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri
berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya,
maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti
butuh pada wujud tersebut. Di dalam hal ini Harun Nasution berpendapat, bahwa
menurut Ibnu Sina, esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud
adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud,
sebagaimana halnya dengan esensi (mumkinul wujud), tetapi esensi mesti dan
wajib mempunyai wujud selama-lamanya, hal ini disebut dengan (wajibul wujud)
yaitu ‘Tuhan’.
Mulla Sadra berpendapat bahwa
ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan tak cukup dengan
menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam
pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan
dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain
menegaskan bahwa maujud yang terasumsi merupakan maujud hakiki dan bukan maujud
majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan
kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut
sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut. Dalam sistem metafisika hikmah
muta'aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud),
wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan
makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan
mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia
harus bergantug kepada Wujud Mutlak.
Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan.
Wujud-Nya tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian
Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung
kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun
selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya,
Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat
mutlak bagi terwujudnya realitas lain.
Dengan demikian, simplisitas
(al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana
mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla
Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga
dzat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya. Perbedaan Tuhan dan makhluk
tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi
perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk,
kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan
perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat
"mencakupi" dan "meliputi". Dengan ungkapan lain, segala
wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi
cahaya dzat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan
berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara
menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra,
pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang
dimiliki oleh para monoteis sejati dari 'urafa dan hukama muta'aliyah.
Kesatuan Wujud
Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang
bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari
filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori
cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin
ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam. Mulla
Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai
azas yang paling mendasar dalam hikmah muta'aliyah dan juga dasar pijakan
pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.
Gagasan tersebut kita tidak temukan
dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu
Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas
menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf
(irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini
berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.
Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat
bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua
setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan
kuantitas terpisah (kam al-munfashil) dari aksiden, dan aksiden termasuk dalam
kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak
termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori
kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (non materi) tak
termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud mereka bersifat
substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya
sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu
tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada
yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.
Tuhan dalam konteks di atas mustahil
dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata
tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan
dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi
oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu
yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari
sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah
sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan
hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata,
"Para filosof muta'allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya
tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan
cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian
hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari
yang menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung
wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi
oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu
tentang-Nya tapi bukan bermakna "meliputi" dan "mencakupi"
realitas wujud-Nya.
Sumber :
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam; Sebuah Peta Kronologis., (Bandung: Mizan, 2001).
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).
Fazlur Rahmah, Filsafat Shadra,
(Bandung: Pustaka, 2000).
Tim penerjemah Mizan “Filsafat
Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra” diterjemahkan dari beberapa sumber karya
Murtadha Muthahari (Bandung: Penerbit Mizan, 2002).
Harun Nasution, Falsafah dan
Mistitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999).
www. Wisdoms4all.com.
Karen Armstong “Islam Sejarah
Singkat” Judul Asli “Islam: A Short History” (Phoenix Press, London, 2001)
Penerjemah: Fungky Kusnaedy Timur (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2002) Cetakan
ke-1, h. 233.
0 comments:
Posting Komentar