Sebagian besar penulis dan ulama Islam melihat persoalan
Ahlusunnah dan Ahlulbait (Syi’ah) dalam konteks ketegangan dan polemik
kemazhaban yang justru lebih banyak memberikan efek yang kontrapoduktif bagi
kedua belah pihak.
Hal itu karena polemik kemazhaban selalu mengemukakan
persoalan-persoalan yang erat kaitannnya dengan konflik-konflik politik yang
mendominasi lembar sejarah dengan segala warna merah dan hitamnya. Padahal
persoalan Syi’ah dan Sunni bisa dilihat dari perspektif yang relatif lebih
aman, yaitu perspektif pemikiran dan terutama lagi, filsafat.
Gagasan-gagasan ulama dan pemikir Syi’ah sejak beberapa
tahun terakhir telah menjadi objek penelitian dan studi di sentra-sentra
pendidikan Islam dalam dunia Sunni, dan mendapatkan apresiasi yang sangat
mencengangkan.
Salah satunya adalah pemikiran filsafat Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi. Sayangnya, filsafat dan wacana dalam masyarakat Muslim di luar
dinding perguruan tinggi diperlakukan sebagai sesuatu yang asing dan elitis.
Akibatnya, Syi’ah sebagai sebuah mazhab dalam pengertian kalam dan fikih
dianggap sebagai “ancaman” atas wilayah-wilayah Sunni. Ini sungguh patut
disesalkan.
Dalam History of Islamic Philosophy (London: Keagan Paul
International Limited, 1983, hal.209), Henry Corbin menyatakan bahwa pemikiran
filsafat di belahan barat Dunia Islam mengalami kemunduran setelah al-Ghazali
mengkritik filsafat melalui karyanya Tahâfut al-Falâsifah. Akibatnya, grafik
aktivitas intelektual, khususnya dalam disiplin filsafat, di dunia Sunni
cenderung terus menurun.
Tapi, di sebelah timur, filsafat terus berkembang. Pendapat
senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid yang menyebutkan bahwa filsafat tidak
pernah padam khususnya di negara yang ia sebut “behind the river”, yaitu
kawasan dunia Islam di pinggir laut merah, khususnya Iran (Islam Doktrin dan
Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 219).
Di dunia Syi`ah, hampir di setiap babak sejarah, ditemukan
sejumlah filosof yang mewakili zamannya. Mata rantai filosof tidak pernah
terputus, alias terus berlanjut dan bergairah dari waktu ke waktu. Masih banyak
filosof—dalam pengertian yang sesungguhnya—yang masih hidup sampai sekarang
(Hashem Razi, Hekmat e Khosrovâni, Tehran, Iran: Behjat publications, 2000,
hal. 20).
Mungkin karena mazhab Syi`ah memberi ruang yang relatif
bebas dan leluasa untuk menyingkap hakikat-hakikat ilmu dengan metode analisis,
kritik, dan kajian rasional, serta cukup kentalnya kandungan filsafat dalam
ucapan-ucapan para pemukanya, maka kelompok ini (Syi`ah) memiliki potensi yang
lebih besar dalam mempelajari dan menekuni filsafat ketimbang kelompok-kelompok
Islam lainnya.
Selain itu, demam filsafat juga diakibatkan penerjemahan
buku-buku filsafat Yunani dan lainnya ke dalam bahasa Arab. Penyebaran
karya-karya filosof kondang Yunani memberi efek dahsyat bagi masyarakat Muslim
yang kebanyakan belum mengenali tema-tema penting filsafat. Pengaruh mendalam
sangat dirasakan oleh kaum Syi`ah ketimbang yang lainnya, seraya pula membentuk
seraut wajah yang lebih terang.
Menurut Eskavari, Mulla Shadra adalah orang yang
mengirfankan filsafat sementara Ibn Arabi adalah yang memfilsafatkan irfan.
Masyarakat Barat relatif tidak familiar dengan filsafat Mulla Shadra karena
memang saat itu ajaran Shadra tidak begitu menyebar di Barat. Bahkan Henry
Corbin pun menyebut filsafat Shadra sebagai Filsafat Iran. Wajarlah bila
kemudian Barat melirik pada esoterisme Ibn Arabi.
0 comments:
Posting Komentar