Bisa dikata
bahwa Ali Syariati adalah salah satu tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus
kewacanaan terkait dengan kompleksnya kehidupan. Tulisan ini hanya fokus
mengurai secara singkat nuansa keilmuan Syariati terkait dengan tiga hal, yaitu
:
1. Pandangan
Dunia
Hampir semua
peradaban umat manusia dipastikan mempunyai worldview. Bangsa Jerman
misalnya, mempunyai konsep worldview dengan istilah weltanschauung. Kata welt berarti
dunia, sedangkan kata anschauung berarti persepsi. Jadiweltanschauung adalah
persepsi tentang dunia. Sedangkan bangsa Rusia menggambarkan pandangan tentang
dunia dengan istilahmirovozzenie.
Worldview pada
umumnya diikat dengan predikat kultural, religius atau saintifik. Dari sini
kemudian muncul istilah Christian worldview, medieval worldview,
scientific worldview, modern worldview dan the worldview of Islam.
Yang
terpenting dariworldview adalah dari mana bermula?. Thomas Kuhn
(1922-1996) menggunakan worldview sebagai paradigma yang menjadikan
nilai sebagai tolok ukur (standard) dan metode tertentu yang mengikat
kerja-kerja saintifik. Dan menurut Syariati bahwa Alquran adalah sumber
inspirasi untuk membangun worldview yang darinya semestinya berbagai
disiplin ilmu lahir.[1]
Gagasan apapun yang
lahir dari seseorang pasti dipengaruhi oleh mazhab pemikiran yang ia anut. Jika
seseorang percaya pada mazhab pemikiran tertentu, maka kepercayaan, emosi,
jalan hidup, aliran politik, pandangan-pandangan sosial, konsep-konsep intelektual,
keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan pandangan dunianya, dan
karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya dapat menciptakan gerakan,
membangun dan melahirkan kekuatan sosial.[2]
Mazhab pemikiran pada
intinya harus memiliki sistem penopang dasar, dimana darinya semua gagasan
dapat berkembang, penopang dasar tersebutlah yang disebut dengan pandangan
tentang dunia (world view); entah itu berorientasi ketuhanan, bercorak
materialistik, naturalistis, idealistis, fasis, Marxis, dan sebagainya.
Seseorang yang tidak memiliki pandangan tentang dunia ibarat seseorang yang
mempunyai banyak perabot rumah tangga; ia terus-menerus memindahkannya dari
satu rumah ke rumah lain tanpa tertata dengan baik. Bagi Ali Syari’ati, lebih
baik seseorang tidak mempunyai bahan ketimbang tidak mempunyai rancangan.
Pandangan tentang
dunia kata Syariati adalah pemahaman yang dimiliki seseorang tentang wujud atau
eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa dunia ini mempunyai
Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak, dan bahwa dari
catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima ganjaran atas amal
perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal perbuatannya itu, maka ia
adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia religius. Berdasarkan
pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu mengatakan: ”Jalan hidupku mesti
begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini dan itu”, inilah makna memiliki
ideologi agama. Dengan demikian, idealism Hegel, materialisme dialektik Marx,
eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul wujud al-Hallaj,
semuanya adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan tentang dunia ataupun
mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep manusia sebagai konsep
sentral.[3]
Pandangan tentang
dunia seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan material yang khas
dari masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang dipandang oleh seorang
individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup merupakan suatu dunia yang
terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu yang hidup dalam
masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu yang tidak
terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan agama selalu
menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi
tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada
hakikatnya membahas tentang manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang
dunia mempengaruhi seseorang dalam mengambil pilihan tindakannya, maka
mempelajari pandangan hidup suatu komunitas sosial atau bangsa berarti
mempelajari tipe-tipe dari bentuk-bentuk dan pola kebudayaan serta berbagai
karakteristik yang dikembangkan oleh komunitas atau bangsa tersebut.[4]
Salah satu pandangan
tentang dunia yang berkembang adalah paham materialisme yang menyatakan bahwa
hanya ada satu realitas fundamental di alam semesta ini yaitu materi. Dalam
pandangan materialisme, semua elemen, fenomena, aksi serta reaksi di alam ini
dapat diterangkan sebagai manifestasi materi. Materialisme juga menyatakan
bahwa alam semesta ini tidak diciptakan oleh suatu kemauan atau kekuatan yang
cerdas, demikian juga tidak ada alasan yang mendasari penciptaan sejak awal
mulanya. Dengan demikian, pandangan materialisme telah melahirkan manusia dalam
posisi teraleniasi dari dunia yang melingkupinya.[5]
Gerakan Renaissance
di Barat pada hakikatnya telah melahirkan, bahkan memperkuat, pandangan
materialistik yang berujung pada pencarian kenikmatan hidup (hedonisme) yang
muara akhirnya adalah menciptakan absurdisme yang merasuki seluruh
bidang ilmu seperti seni, sastra dan filsafat. Kalau pandangan tentang dunia
religius ortodoks akan melahirkan cara pandang yang serba keakhiratan dan pengkerdilan
peran manusia, maka pandangan materialistik hanya mendasarkan semata-mata pada
ilmu. Pandangan tentang dunia materialistik menemukan alam semesta sebagaiabsurd,
tanpa pemilik dan tanpa makna, sedangkan pandangan hidup religius ekstrim
memerosotkan manusia menjadi makhluk yang sepele.[6]
Di tengah dominasi
pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang ini, Ali Syari’ati
menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis pandangan dunia
ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, sadar dan
responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi manusia. Hanya
saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang dimaksud
adalah cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang bersifat
saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali Syari’ati mengambil
pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub ekstrim di atas yaitu
pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi unsur manusia
sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan sangat
manusiawi.[7]
Kritik Ali Syari’ati
terhadap Barat adalah karena cara pandang mereka yang positivistik dimana
melalui proyek sekularisasi ilmu pengetahuan dipisahkan dari konteks
kemanusiaan.[8] Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika tingginya ilmu pengetahuan dan teknologi justru melahirkan alienasi
manusia dari nilai kemanusiaannya sendiri.
Peranan kesejarahan
manusia dalam menjalani hidup di dunia ini kata Syariati adalah bergerak pada
dua kutub yang saling berhadapan. Kutub pertama merupakan kutub
negatif yang diwakili oleh mereka yang menghambat kemajuan dengan melakukan
kejahatan-kejahatan, dekadensi, penindasan, memperbudak, menegakkan tirani atas
rakyat, dan sebagainya. Kutub kedua adalah kutub positif kemanusiaan
yang menentang tirani dan ketidakadilan demi tegaknya perdamaian, keadilan dan
persaudaraan. Kedua kutub tersebut selalu berebut ruang dominasi dalam mengisi
ruang sejarah umat manusia.[9]
Senjata dari kedua
kutub tersebut adalah agama, dengan demikian yang terjadi adalah perang agama melawan
agama[10]Ilustrasi yang menarik antara pertarungan
dua kutub itu dapat dilihat dari narasi historis pertarungan antara Qabil dan
Habil dalam al-Qur’an yang berakhir terbunuhnya Habil di tangan Qabil yang
mengandung arti Simbolik tentang sejarah awal umat manusia. Dalam kitab-kitab
suci dunia dijelaskan betapa kelas Qabil menjadi kelas dominan yang sifatnya
kejam dan selalu berusaha menentukan nasib sejarah manusia sesuai dengan
keinginannya yang disimbolisasikan dengan tiga wajah, yaitu emas, kekuasaan dan
agama. Di dalam al-Qur’an dan Taurat, tiga wajah tersebut masing-masing
diwakili oleh Firaun yang mensimbolisasikan kekuasaan, Qarun yang mensimbolisasikan
kekayaan dan kekuatan ekonomi, dan Bal’am Bauri yang mensimbolisasikan kelas
pendeta penguasa. Mereka merupakan manifestasi tiga segi dari satu Qabil.
Kelas Qabil
melestarikan kekuasaannya atas massa sepanjang zaman. Kelas ini memonopoli
kekayaan dengan memeras massa, memegang kekuasaan dalam bentuk pemerintahan dan
berbagai institusi untuk mendominasi massa, serta menyalahgunakan agama untuk
membenarkan legitimasinya sebagai penguasa. Dari narasi sejarah Qabil dan Habil
telah lahir dualisme kelas, yaitu kelas penguasa dan kelas yang dikuasai
meskipun mereka berawal dari unitas kemanusiaan Adam yang kemudian melahirkan
dualisme sistem sosial yang berbeda.
Dalam pertarungan
antara dualisme kosmik ini, agama menjadi faktor determinan dalam menanamkan
kekuatan yang suci, lestari untuk membangun sikap keberagamaan yang penuh
harmoni. Cerita Habil dan Qabil yang melahirkan dualisme kelas dijadikan oleh
Ali Syari’ati sebagai cara baca dalam melihat kecenderungan manusia modern yang
hakikatnya menjelma dalam pertarungan antara kelas feodal dengan kelas borjuis.
Pada Abad Pertengahan, feodalisme merupakan kelas dominan yang merupakan
infrastruktur masyarakat, sedangkan suprastrukturnya adalah agama yang
berfungsi sebagai legitimasi. Namun kekuasaan kelas feodalisme tergeser dengan
lahirnya kelas borjuis baru yang lahir sebagai akibat kontak hubungan
perdagangan antara Timur dan Barat.
Kontak ini telah
meruntuhkan tatanan nilai pedesaan, monastik, mistik dan kepausan dan
menggantinya dengan tradisi industrial, urban, sekuler, intelektual dan
nasional. Borjuasi baru sebagai kelas penguasa telah meletakkan prinsip-prinsip
dan keyakinan norma moral dan kultural di atas individualisme, materialisme dan
liberalisasi ekonomi serta politik. Sampai sekarang ini spirit yang mendominasi
kebudayaan dan peradaban adalah spirit borjuasi yang melahirkan semangat
dehumanisasi.[11]
Ali Syari’ati
menawarkan gagasan pandangan tentang duniareligius humanistik untuk
memerangi dualisme tersebut sehingga manusia akan menemukan keesaan yang
orisinil dalam rangka membangun kesadaran manusia pada misinya sebagai wakil
atau khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia adalah makhluk merdeka
dan memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan nasibnya sendiri dan
bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun semangat Tauhid.[12]
Ali Syari’ati
memahami agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual
saja. Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan
etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak bebas (free will)
yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan pembebas dari determinasi
ideologi-ideologi multitheism yang menindas.
2. Filsafat
Penciptaan Manusia
Masalah manusia
adalah hal yang paling penting dari segala masalah. Beberapa pertanyaan pokok
diajukan untuk menjelaskan betapa pentingnya masalah seputar kemanusiaan dalam
Islam. Apakah manusia makhluk yang lemah dan tidak mempunyai daya di hadapan
Penciptanya? Benarkah Islam menginginkan keluhuran martabat manusia? Benarkah
keyakinan terhadap Islam itu sendiri akan menyebabkan lemahnya manusia? Inilah
pertanyaan-pertanyaan yang berdimensi filosofis yang perlu diuraikan
jawabannya. Ali Syari’ati menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan
menguraikan filsafat penciptaan manusia.[13]
Sebelum Allah
menciptakan Adam sebagai wakil-Nya di muka bumi, Allah memberitahu kepada para
malaikat. Mendengar rencana Allah untuk menciptakan manusia tersebut para
malaikat menanggapinya dengan sikap pesimistis, terutama tentang bayang-bayang
kerusakan yang akan timbul di muka bumi. Namun pesimisme mereka dijawab
langsung oleh Allah dengan mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui apa saja yang
mereka tidak ketahui.
Menurut Ali Syari’ati
Allah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya (khalifah) dari bentuk yang paling
rendah, yaitu tanah, dan kemudian ditiupkan ruh kepadanya maka lahirlah
manusia. Dengan demikian manusia diciptakan oleh Allah dari dua hakikat yang
berbeda, yaitu tanah bumi dan ruh yang suci. Dalam bahasa manusia, tanah
(lumpur) adalah symbol dari kerendahan dan kenistaan, dan dalam bahasa manusia
juga, Tuhan adalah Dzat Maha sempurna dan Maha suci. Dalam setiap makhluk,
bagian yang paling suci adalah spirit atau ruhnya. Oleh karena itu, menurut Ali
Syari’ati, manusia adalah makhluk dua dimensional dengan dua arah
kecenderungan, yang satu membawanya ke bawah kepada stagnasi sedimenter, ke
dalam hakikatnya yang rendah, sementara dimensi lainnya (ruh) cenderung naik ke
puncak spiritualnya yaitu ke Dzat yang Maha suci.[14]
Dengan mendasarkan
pada asal kejadiannya, manusia merupakan makhluk yang mempunyai dua kutub yang
kontradiktif. Akan tetapi kebesaran dan kejayaannya yang unik justru berasal
dari kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang bersifat dua dimensional. Dua
kecenderungan yang dimiliki oleh menusia berebut ruang dominasi pada dirinya
karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua pilihan di antara dua kutub
yang kontradiktif tersebut. Setiap pilihan yang diambil manusia sebagai cermin
kebebasan yang dimilikinya akan menentukan nasibnya.
Setelah Allah
menyelesaikan penciptaan atas manusia, Allah kemudian memberikan pengajaran
tentang nama-nama, sebagai simbol gagasan tentang pengajaran dan pendidikan.
Pada posisi demikian, Tuhan adalah guru pertama manusia, dan pendidikan pertama
manusia bermula dengan menyebutkan nama-nama. Setelah itu Tuhan memerintahkan kepada
seluruh malaikat untuk bersujud kepadanya dan bersujudlah para malaikat itu.
Fakta inilah yang menurut Ali Syari’ati merupakan arti sebenarnya dari
humanisme.[15]
Menurut Ali Syari’ati
keutamaan paling menonjol dari manusia adalah kekuatan kemauannya. Ia adalah
satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya; sesuatu
yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lain. Kemauan bebas yang dimiliki
manusia itulah yang dapat menjadi penghubung kedekatannya dengan Tuhan.
Pertemuan kedekatan manusia dengan Tuhan adalah karena manusia lahir dari
bagian Ruh Tuhan. Dengan demikian apa yang sama dari manusia dengan Tuhan
adalah dimensi ruhnya yang melahirkan konsep kemauan bebas berkehendak dalam
keadaan demikian, manusia memerlukan kehadiran agama yang mampu menyeimbangkan
dan menyelaraskan dimensi-dimensi yang saling bertentangan yang ada dalam
dirinya dan masyarakatnya.[16]
Dengan memperhatikan
kerangka berfikir yang dikembangkannya nampak bahwa Ali Syari’ati adalah
seorang intelektual dengan jiwa pemberontak yang anti kemapanan (status quo)
yang cenderung tiran. Ia sendiri melakukan pemberontakan dengan memberikan
gagasan revolusioner untuk membangun kesadaran umat dalam mencapai kualitas
hidupnya.
3. Pergerakan
Sosial
Yang dimaksud dengan
program praksis adalah langkah-langkah penerapan (program aksi) dari ide,
gagasan, pemikiran-pemikiran yang telah dibangun oleh seseorang.[17] Setelah Ali Syari’ati merumuskan
gagasannya tentang pandangan tentang dunianya, ia lalu mengajukan pertanyaan
dari mana mesti kita mulai? Pertanyaan ini merupakan masalah strategi sosial
dan bukan masalah ideologi. Untuk memulai menjawab pertanyaan di atas Ali
Syari’ati melihat adanya kesenjangan dan tidak adanya komunikasi intensif
antara pemikir-cendekiawan dengan rakyat jelata. Selama ini para cendekiawan
menjadi komunitas eksklusif yang hidup di sangkar emas dan di menara gading
tanpa bisa memahami keadaan rakyat mereka. Ali Syari’ati mengkritik para
cendekiawan Muslim yang jauh dari komunitas rakyat.[18]
Kaum intelektual yang
dapat melakukan transformasi sosial adalah kaum intelektual yang tercerahkan (raushanfekr).
Profil kaum intelektual yang tercerahkan tidaklah harus memperoleh gelar
akademik. Kaum intelektual yang tercerahkan adalah individu-individu yang
mempunyai tanggungjawab sosial dan mempunyai misi sosial. Oleh karenanya tidak
semua intelektual tercerahkan. Banyak intelektual justru hanya menjadi
budak-budak kapitalisme yang hanya bekerja secara manual dan tidak mempunyai
tanggungjawab sosial.[19]
Konsepsi kaum intelektual
yang tercerahkan sebagaimana digagas Ali Syari’ati, menyiratkan obsesinya agar
para intelektual Muslim mempunyai basis intelektualitas yang memadai sekaligus
mempunyai kepekaan sosial, profil manusia yang mampu menyeimbangkan kekuatan
nalar kognitif dan nalar sosial, kesalehan individual dengan kesalehan sosial.
Salah satu cara mengenali potensi umat Islam, menurut Ali Syari’ati, adalah
memahami taxonomi budaya kita sendiri. Misalnya, Yunani mempunyai budaya
filosofis, Romawi mempunyai budaya militer dan artistik, India mempunyai budaya
spiritualistik dan masyarakat kita mempunyai budaya Islam dan religius. Adapun
yang dimaksud dengan taxonomi budaya adalah semangat umum yang menentukan badan
pengetahuan (body of knowledge), karakteristik-karakteristik, perasaan,
tradisi, pandangan dan cita-cita rakyat dari suatu masyarakat. Dengan mengenal
taxonomi budaya suatu masyarakat kita akan mengenal kebenaran terdalamnya,
kepekaan-kepekaan batinnya dan perasaan-perasaan yang tersembunyi.[20]
Semangat dominan
kebudayan Islam adalah keadilan dan kepemimpinan. Untuk menemukan kembali
semangat tersebut, menurut Ali Syari’ati, kita perlu membangkitkan semangat
”protestanisme Islam” Istilah ”Protestantisme” yang dilekatkan pada Islam
merupakan upaya Ali Shari’ati meminjam istilah Marx Weber yang menggambarkan
gerakan kelompok Kristen Protestan untuk keluar dari kungkungan dogma dan
mencari spirit agama yang sejati. Menurut tesis Max Weber, agama adalah
ideologi yang menimbulkan perubahan, ketika ia membicarakan etika Protestan dan
ruh kapitalisme.[21]
Agar seorang Muslim
yang tercerahkan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Menyaring dan
menyuling sumber-sumber daya masyarakat kita dan mengubah penyebab kebobrokan
menjadi kekuatan atau gerakan; 2. Mengubah konflik antar kelas dan kelompok
sosial menjadi suatu kesadaran akan tanggungjawab sosial melalui pemanfaatan
kesenian, menulis, dan berbicara; 3. Menjembatani kelompok yang tercerahkan
dengan kelompok yang tertindas; 4. Mencegah agar senjata agama tidak jatuh pada
mereka yang tidak patut memilikinya untuk tujuan-tujuan pribadi; 5.
Mengusahakan kebangkitan kembali agama untuk memerangi ketakhayulan; 6.
Menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan dalam beragama dengan
menggantinya dengan semangat ijtihadyang kritis dan revolusioner.[22]
Semua itu dilakukan
agar umat Islam keluar dari jeratan tiga musuh Islam yang disimbolkan dengan
Fir’aun (penguasa politik tiran), Qarun (penguasa ekonomi) dan Bal’am (kaum
cerdik gadungan), sementara satu golongan dikorbankan yaitu rakyat.[23]Kepada Islamlah kita harus kembali, bukan
hanya karena ia merupakan agama masyarakat kita, landasan moral dan spiritual
kita, tetapi juga karena ia merupakan “diri” manusiawi dari rakyat kita. Kita
harus keluar dari kolonialisme Barat dan melepaskan diri dari “memuja yang
lain” untuk menjadi diri kita sendiri dan membangun kesadaran manusiawi serta
membangun kesadaran sejarah dan keaslian kita dengan kembali pada Islam dengan
semangat tauhid sebagai sumbu pembebasan manusia.[24]
Dengan demikian konsep
tauhid adalah mabda (tempat bermula) sebuah kesadaran diri dan
gerakan pembebasan diri untuk menciptakan tatanan kehidupan yang adil dan
bermartabat.
[4] Ali
Syari’ati, Man In Islam. terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan
Muslim, (Cet.II; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h.
22-24.
[8] Robert
Heck and Dawud Reznik, ”The Islamic Thought of Ali Shari’ati and Sayyid Qutb,” Mod
ern Islamic Thought (May, 2007): 2.
[9] Ali
Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Op.cit., h. 37-44. Juga dapat
dilihat Kritik Ali Shari’ati terkait dengan kegagalan humanisme Barat dalam
memposisikan manusia dalam bukunya,Marxism and Other Western Fallacies ,
translated by. R. Campbell (Berkeley: Mizan Press, 1980), pp. 15-26.
[11] Ibid.,
37-44. Juga dapat dilihat dalam, Marxism and Other Western Fallacies, Op.cit., h.
15-26.
[12] Dalam
pandangan Ali Shari’ati, ”Tauhid as the unity of nature with metanature, of man
with nature, of man with man, of God with the world and with man.” Lihat Robert
Heck and Dawud Reznik, ”The Islamic Thought of Ali Shari’ati,” p. 9.
[14] Ibid.,
h. 6-7. Lihat juga NS Suwito, Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis
Ali Syari’ati Tentang Pemikiran Islam Modern (Yogyakarta: Unggun Religi,
2004), h. 140-142.
[17] Program
praksis Ali Syari’ati dituangkan dalam kurikulum lembaga pendidikan, tempat ia
banyak menuangkan gagasan-gagasan revolusionernya, yaitu Husainiyah Irsyad.
Program praksis Ali Shari’ati meliputi empat aspek pokok, yaitu bidang riset,
pendidikan, dakwah dan logistik. Uraian lebih rinci tentang program aksi Ali
Shari’ati, lihat NS Suwito, Tranformasi Sosial , h. 238-253.
[18] Ali
Syari’ati, ”What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic
Renaissance.” terj. Rahmani Astuti, Membangun Masa Depan Islam (Bandung:
Mizan, 1993), h. 25-26.
0 comments:
Posting Komentar