Sedari pagi, suasana mencekam sudah
terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa
ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima
kilometer.
Malam ini desas-desus itu terbukti.
Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya
sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus
memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak
dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan
berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang
tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.
Dua hari kemudian, Megawati, anak
sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya.
Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua
mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga
manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka.
Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil,
gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya.
Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri
sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya
kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air
matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda
itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara
terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia
coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi
kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan
Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil
dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak
terperi, Soekarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun
Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat
tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno
dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa
lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia
balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang
lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa
itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan.
Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol.
Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang
sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya
bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya.
Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru
yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara
dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak
merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini
kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sisa
waktu bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan
Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu
tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno
kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno
dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter
Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan
pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa
kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah
berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat
hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa
kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat
lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno
menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk
membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat
sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau
tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus
menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat
sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula
yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang
tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia
itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera memanggil
seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka
mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno dengan
cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya
bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang
baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi
dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator
kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam
penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.
Anwari Doel Arnowo, seorang saksi
sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam
salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari
Cak Doel Arnowo:
Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah
berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali
dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan
manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui
apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang
matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang
marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu
kentara terlihat oleh umum.
Kita semua di kota Malang mendengar
tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan
sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai
amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno
meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon
yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di
Batu Tulis di Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang
secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih
bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno
lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir
dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi
Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto
dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia
dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu
Nyoman Rai.
Setelah matahari tinggal sepenggalan
sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat
tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang
berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan
layak.
Tampak Komandan Upacara jenderal
Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di
samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan
suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang
sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang
rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?!
Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan
terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.
Pak Hoegeng yang sederhana itu
kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There
goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil
jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar
seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai
dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari
Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.
Saya menuju ke arah berlawanan
dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo
tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil
mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual
makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan.
Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun,
kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak
siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung
Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan
Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai
Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan
alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada
proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk
Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai
1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan
tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke
Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi
makam?
Saya bersama ibu saya dan beberapa
saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke
Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke
pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah
ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang
berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang
terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata
meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat.
Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya
terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat
sepucuk surat. Apa yang terjadi?
Sesampainya di makam kami turun dari
kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke
tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong
untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan
saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang,
bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat
secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi
saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding
kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya
sekitar tiga meter.
Para pengikut dadakan yang berada di
belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut
masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan
mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya,
tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami
kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan
malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.
Salah seorang dari mereka ini
mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka
menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata,
saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka
menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka
dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan
kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno
dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.
Dibunuh Perlahan
Keyakinan orang banyak bahwa Bung
Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan
proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh
Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah
nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini
membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas
mengunjunginya.
Banyak resep tim dokternya, yang
dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan
resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk
mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang
dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut
agar bisa mempercepat kematiannya.
Permintaan dari tim dokter Bung
Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh
Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang
sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita
Sumber : Alveroz Blog
Sumber : Alveroz Blog
0 comments:
Posting Komentar