Manusia ideal adalah manusia
theomorphis
Menurut Ali Syari'ati, manusia sempurna atau manusia ideal adalah khalifah Tuhan yang menerima amanah Tuhan berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang mewujud dalam diri manusia sebagai makhluk dua dimensi. Dengan adanya pertarungan dua unsur dalam diri manusia (Ruh Allah dan lumpur busuk) memungkinkan manusia untuk berproses menjadi manusia ideal (insan kamil)
Ali Syari'ati memulai pembahasannya tentang manusia dimulai dari filsafat penciptaan Adam. Dalam pandangan Syari'ati, Adam adalah simbol representatif dari manusia secara keseluruhan. Dalam menafsirkan penciptaan Adam, Syari'ati membahas kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua term tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan, stagnasi, dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas.
Manusia adalah sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk dan Ruh Allah) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satunya.
Pada masa awal penciptaannya manusia berada pada titik netral, dan seiring dengan perjalanan hidupnya manusia melakukan gerak evolusi, baik evolusi progresif menuju Ruh Allah maupun evolusi regresif menuju lumpur busuk. Jika manusia melakukan evolusi progresif maka manusia akan tiba pada kemuliaan dan kesempurnaannya yang hakiki ("bersatu denganNya"). Sedangkan jika yang terjadi adalah evolusi regresif maka manusia jatuh derajatnya dan hanya setara dengan lumpur busuk, yang dalam bahasa Alquran disebut lebih jelek dari binatang ternak.
Setelah Tuhan menciptakan Adam, kemudian Tuhan mengajarkan kepada Adam pengetahuan tentang "nama-nama" segala sesuatu. Jadi dalam penciptaan manusia, Tuhan adalah pencipta sekaligus sebagai guru pertama bagi manusia. Dan selanjutnya, manusia kemudian tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya. Karena "perlakuan" Tuhan yang begitu istimewa kepada manusia, malaikat pun protes kepada tuhan, karena Tuhan telah mengistimewakan manusia. Menanggapi protes malaikat tersebut, Tuhan pun kemudian meminta Adam untuk mendemonstrasikan kemampuannya di hadapan para malaikat, lalu Tuhan menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Syari'ati menyatakan, sujudnya malaikat kepada Adam adalah perlambang dari humanisme. Derajat manusia diangkat sedemikian rupa setingkat lebih tinggi dari para malaikat suci. Ketinggian derajat manusia atas malaikat bukanlah karena rasialisme, melainkan karena manusia memiliki pengetahuan.
Satu hal yang menarik dalam falsafah penciptaan manusia menurut Syari'ati, yaitu hanya manusia sajalah yang diberikan amanah oleh Tuhan untuk mengemban tugas sebagai khalifahNya. Oleh karena manusia memiliki kemampuan dan keyakinan untuk mengemban tugas berat tersebut. Maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan keberanian, keutamaan, kearifan dan kebijakan di alam semesta. Manusia bukan hanya sekedar sebagai khalifahNya, melainkan juga pengemban amanahNya, dan penjaga karuniaNya yang paling berharga. Beliau mengutip pernyataan Jalal al-Din al-Rumi, bahwa amanat dan karunia Tuhan itu adalah kehendak bebas.5
Syari'ati membagi manusia ke dalam dua kategori, yaitu insan dan basyar. Basyar adalah keberadaan manusia dalam tahap makhluk yang biasa (being), yang tak memiliki kemampuan berubah sebagaimana makhluk Tuhan yang lain. Basyar dalam istilah Alquran memiliki kesamaan arti dengan istilah l'etre en soi atau being in self (ada dalam diri) dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Bering in self adalah modus keberadaan manusia yang statis, pasif, netral (tidak afirmatif dan tidak juga negatif), dan tanpa tujuan.
L'etre en soi sebagaimana basyar adalah keberadaan manusia sebagai "seonggok" benda yang tak memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Sedangkan insan adalah manusia dalam artian "menjadi" (becoming). Atau dengan kata lain insan adalah keberadaan manusia yang telah diberikan daya oleh kekuatan Ruh Ilahi, sehingga mampu bergerak dinamis.
Konsep insan dalam pemikiran Syari'ati identik dengan konsep l'etre pour soi atau being for self(ada untuk diri). L'etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang berbeda dengan l'etre en soi. L'etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang memiliki kesadaran akan diri dan realitas disekitarnya dan kehendak bebas dalam menentukan pilihannya, sehingga manusia dapat melakukan gerak aktif dan dinamis sebagai makhluk yang "menjadi". Pembagian Syari'ati terhadap dua kategori keberadaan manusia ini sangat mungkin diinspirasi oleh pemikiran eksistensialisme Jean paul Sartre. Namun, berbeda dengan Sartre, Ali Syari'ati gerak kemenjadian manusia memiliki tujuan yang jelas yaitu Allah sebagai sentrum dan modus eksistensi. Ali Syari'ati mengkritik Sartre dengan menyatakan moral eksistensialismenya dan konsekuensi-konsekuensinya yang menggelikan.7
Menurut Ali Syari'ati, manusia sempurna atau manusia ideal adalah khalifah Tuhan yang menerima amanah Tuhan berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang mewujud dalam diri manusia sebagai makhluk dua dimensi. Dengan adanya pertarungan dua unsur dalam diri manusia (Ruh Allah dan lumpur busuk) memungkinkan manusia untuk berproses menjadi manusia ideal (insan kamil). Karena dengan adanya potensi kesadaran, kehendak bebas, dan kreatifitas yang dimiliki manusia, memungkinkan bagi manusia untuk melakukan pertarungan "di dalam dirinya sendiri", dan berakhir dengan kemampuan manusia untuk memenangkan dimensi Ruh Allah atas unsur lumpur busuk, dengan berakhlak sebagaimana akhlak Allah.
Manusia ideal adalah
manusia theomorphis, yaitu manusia yang dalam pribadinya, ruh Allah telah
memenangkan pertarungan atas belahan dirinya yang berkaitan dengan lumpur
busuk, sebagai representasi Iblis. Manusia ideal, adalah manusia yang telah
terbebas dari kebimbangan dan kontradiksi dari "dua infinita".10
Menurut Syari'ati manusia ideal, memiliki tiga ciri utama, yaitu kebenaran,
kebaikan, dan keindahan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang
mampu memadukan secara integral pengetahuan, akhlak, dan seni dalam dirinya. Ia
adalah khalifah Allah yang komitmen terhadap tiga anugerah Allah kepadanya,
yaitu kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Manusia ideal adalah
khalifah Allah yang telah menempuh jalan penghambaan yang sukar sembari memikul
beban amanah, hingga ia sampai ke ujung batas dan menjadi khalifah dan
"pemegang amanahNya".11 Manusia theomorphis adalah manusia yang
berakhlak sebagaimana akhlak Allah.
Manusia menjadi ideal bukan karena menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan seraya mengesampingkan urusan kemanusiaan, dan bukan pula manusia yang menafikan Tuhan dalam gerak kehidupannya. Manusia menjadi sempurna, justru karena terlihat dalam perjuangan kesempurnaan umat manusia secara menyeluruh.12 Menurut Syari'ati, manusia menjadi ideal adalah dengan menemukan dan memperjuangkan umat manusia, dan dengannya ia akan "menemukan" Tuhan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang tidak meninggalkan alam dan sesama manusia,13 sembari di saat yang sama ia terus melakukan "hubungan mesra" dengan Tuhan sebagai kekasihnya.
Syari'ati dengan sangat puitis mendeskripsikan mausia ideal tersebut sebagai manusia yang akalnya senantiasa berpikir filosofis, tapi hal ini tidak lantas membuatnya terlena atas nasib umat manusia. Keterlibatan politik tidak membuatnya demagog dan riya. Ilmu tidak membuat keyakinan dan cita-citanya menjadi luntur. Sedangkan keyakinannya tidak menumpulkan akalnya dan menghalangi deduksi logisnya. Kesalehan tidak membuatnya menjadi pertapa yang tak berdaya (asketik). Aktivitas sosial tidak membuat tangannya ternoda oleh immortalitas. Manusia ideal adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen. Emosi dan genius, kekuasaan dan cinta kasih, keyakinan dan pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.14
Penggambaran Ali Syari'ati tersebut tentang sosok mansuia ideal nyaris mustahil ditemukan dalam realitas kemanusiaan saat ini yang penuh dengan kepalsuan. Tapi, jika kita kembali pada tujuan sejati penciptaan manusia maka kita akan meyakini secara pasti, disetiap masa pasti ada satu manusia yang dengan kesungguhannya berhasil meraih derajat mulia tersebut.
Khatimah
Ali Syari'ati adalah sosok yang berhasil melakukan transformasi Tauhid, hingga Tauhid menjadi pandangan yang dapat benar-benar hidup dan menyentuh realitas.
Ali Syari'ati memahami
agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja.
Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan etik (morality),
tanggungjawab (responsibility) dan kehendak bebas (free will) yang mampu
menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan pembebas dari determinasi
ideologi-ideologi multitheism yang menindas. Bagi Ali Syari'ati Tauhid tak
sekedar teologi yang diperbincangkan pada ranah keilmuan dan filsafat, tapi
Tauhid adalah ideologi paripurna tentang integralisme kehidupan dari yang Satu,
dalam kesatuan, menuju Yang Satu.
Bagi Syari'ati, Tauhid dimulai dari pemahaman yang ilmiah, filosofis, dan analitis tentang Tuhan menuju pada pembebasan kemanusiaan universal dari berhala diri dan berhala sosial. Tauhid adalah fondasi ideologi pembebasan yang menegasi segala bentuk diskriminasi menuju pada egalitarianisme (persamaan) manusia..Tauhid adalah spirit perlawanan atas kezaliman dan penindasan berdasar pada nilai-nilai keadilan. Dalam pandangan Ali Syari'ati, Tahid adalah pembebasan (liberasi), persamaan (egalitarianisne), dan keadilan (justice) universal.
Dalam pandangan Ali Syari'ati Tauhid adalah ephisentrum kehidupan dan modus eksistensi. Tauhid meniscayakan pandangan dunia yang teosentrik dengan orientasi menuntun manusia dalam gerak evolusi eksistensial menjadi manusia teomorphis, manusia yang mengatribusi sifat-sifat Ketuhanan. Manusia theomorphis, manusia yang kesadarannya menjulang tinggi ke langit, tapi baktinya menoreh aktivisme di bumi. Cita manusia ideal yang tampil sebagai pembebas.
Jadilah manusia agung
Bagai seorang syahid
Seorang imam
Bangkit
Berdiri
Di antara rubah, srigala,
Tikus
Domba
Di antara nol-nol
Bagai Yang Satu
(Ali Syari'ati dalam puisi "Satu yang Diikuti Nol-nol yang Tiada Habis-habisnya")
( sumber: forum.republika.co.id )
0 comments:
Posting Komentar