Terminologi
Filsafat Islam, tak sedikit yang mengkritik dan meragukannya, benarkah ada yang
disebut filsafat Islam itu?. Ataukah yang disebut filsafat Islam itu tak lebih
sekedar sejarah pemikiran dari para filosof yang “kebetulan” beragama Islam
tentang tema-tema filsafat yang sebetulnya telah dibahas dalam filsafat
Yunani?. Beragam asumsi diajukan oleh para pemikir muslim untuk membuktikan
bahwa yang disebut dengan filsafat Islam itu benar-benar ada dan berbeda dengan
corak filsafat yang lain, khususnya filsafat Yunani. Dalam catatan singkat ini,
penulis mencoba membahas karakteristik filsafat Islam dengan melihat
karakteristik khas dari metodologi berpikirnya.
Dalam
pembelajaran filsafat Islam yang umumnya dilakukan di ranah akademik maupun non
akademik, filsafat Islam lebih sering dibahas dari sudut pandang sejarahnya dan
juga lebih sering berkutat pada aspek-aspek pembahasan seputar metafisika.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Amin Abdullah, kajian filsafat Islam
cenderung tidak mengalami kemajuan yang berarti, apalagi memberikan kontribusi
yang signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal apa yang ada dalam
cakupan filsafat tidak hanya sekedar aspek sejarah, melainkan tema-tema
pokok yang menjadi bagian penting dalam studi filsafat itu sendiri. Tema pokok
yang menurut penulis paling penting, namun jarang disentuh adalah aspek
karakteristik epistemologi dan metodologi berpikir yang ada dalam pembahasan
filsafat Islam.
Dalam
khasanah keilmuan Islam, filsafat sering tidak mendapatkan tempat yang layak,
bahkan sering diserang dan dipojokkan, baik filsafat sebagai pendekatan,
metodologi, maupun keilmuan. Bahkan stigma mengenai filsafat pun acapkali
dilontarkan. Filsafat sering dianggap sebagai momok pemikiran dan bahkan
sebagai virus akidah yang akan merusak keimanan umat Islam. Padahal,
sebagaimana dikatakan oleh Prof. Osman Bakar; “kemunduran umat Islam lebih
disebabkan karena umat Islam menjauhi filsafat”. Tanpa sentuhan filsafat, ajaran
dan kekuatan spiritual Islam akan sulit –bahkan mustahil- untuk menjelaskan
jati dirinya dalam era keilmuan global. Namun, yang perlu ditekankan di sini,
filsafat yang dimaksud bukan sekedar sejarah pemikiran saja tapi lebih pada
epistemologi dan metodologi.
Dalam
khasanah filsafat Islam, dikenal ada tiga model metodologi berpikir, yakni bayani,
burhani, dan irfani. Metode berpikir bayani adalah
model berpikir yang didasarkan pada teks. Teks sucilah yang memiliki otoritas
penuh untuk memberikan arah dan arti dari kebenaran yang dicari, sedangkan
rasio berfungsi sebagai “pengawal” untuk memahami kebenaran di balik otoritas
teks tersebut. Metode berpikir burhani adalah metode berpikir
yang tidak didasarkan pada teks ataupun pengalaman spiritual, melainkan atas
dasar keruntutan logika. Bahkan, pada tahap tertentu, keberadaan teks suci
bahkan pengalaman spiritual baru dapat diterima jika sesuai dengan aturan
berpikir logis. Sedangkan metode berpikir irfani adalah
metodologi berpikir yang berbasis pada pengalaman batin yang bersifat langsung
(direct experience) atas realitas spiritual keagamaan. Karena itu, nalar irfani menyasar
pada dimensi esoteris dari kebenaran, dan dalam hal ini rasio digunakan untuk
menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual tersebut secara logis dan
sistematis.
Idealnya
ketiga model berpikir tersebut bekerja secara sinergis dan berjalin-kelindan
dalam mengurai makna tiap-tiap kebenaran berdasarkan disiplin ilmu dan
perspektif yang berbeda. Nalar bayani digunakan untuk memahami
teks dalam pendekatan kebahasaan dan aspek normatifnya, sedangkan nalar burhani menuntun
untuk memaksimalisasi kerja rasio dalam memahami teks dan sumber ilmu lainnya
dengan berdasarkan hokum-hukum logika, dan nalar irfani yang
menyasar aspek batin dari teks dan pengetahuan berfungsi untuk memahami
kebenaran secara langsung dengan kehadiran (knowledge by presence).
Nalar bayani digunakan
dalam lapangan ilmu fiqh (yurispredensi Islam), nalar burhani digunakan
untuk mengembangkan lapangan keilmuan rasional, sperti filsafat, humaniora,
sains, dan lain-lain, sedangkan nalar irfani digunakan dalam
memahami bidang sufisme dan kajian esoterisme Islam. Ketiga model berpikir
tersebut masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya sendiri-sendiri,
yang jika digunakan secara parsial maka akan sangat rentan pada kelemapahan
pengembangan keilmuan dan sangat mustahil untuk bisa menghasilkan khasanah ilmu
Islam yang holistik. Ketiganya membentuk gugus epistemologi Islam yang
komprrehensif-integratif dalam bingkai keilmuan yang ilmiah-intuitif-normatif.
Dengan
mengambil filsafat Islam, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek
metodologi berpikirnya dan diaplikasikan secara maksimal sinergis. Maka kiranya
pencapaian Islam yang “shalih li kulli zaman wa makan” (senantiasa
actual pada tiap ruang dan waktu) akan bisa terwujud. Mengulang pernyataan
pemikir Islam kontemporer kelahiran Pakistan, Ziauddin Sardar; “umat Islam
sekarang sedang mengalami krisis epistemologi”, maka untuk mengatasi krisis
yang dimaksud oleh Sardar tersebut, telaah mendalam dan aplikasi maksimal yang
sinergis mengenai ketiga metodologi berpikir tersebut bias menjadi solusi.
I. Epistemologi Bayani
A. Mukaddimah
Nalar bayani merupakan
salah satu dari tiga metodologi berpikir yang diperkenalkan oleh para pemikir
muslim. Akar nalar bayani menurut alm Abed al-Jabiri adalah
tradisi berpikir Arab pra Islam. Sebagaimana dikatakan oleh al-Jabiri, yang
dimaksud berpikir dalam tradisi Arab adalah tindakan atau penjelasan tentang
bagaimana seseorang harus berbuat. Hal ini berbeda dengan model berpikir dalam
tradisi Yunani yang menjadikan pemikiran berkaitan erat dengan upaya mencari
sebab dari sesuatu. Model berpikir Yunani inilah yang kelak akan mempengaruhi
tradisi pemikiran Islam yang kemudian disebut dengan istilah nalar burhani(demonstratif)
B. Defenisi
Secara
etimologis, bayani berarti penjelasan atau eksplanation,
sedangkan secara terminologi, bayani mempunyai 2 arti
aturan-aturan penafsiran wacana dan syarat-syarat memproduksi wacana. Bayani
merupakan pemikiran khas Arab (menurut al-Jabiri) yang menekankan otoritas teks
(nash), baik secara langsung maupun tidak langsung dan dijustifikasi
oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Jadi nalar
bayani merupakan metode berpikir yang menjadikan teks sebagai rujukan primer.
Dalam perspektif keislaman, sasaran bidik dari nalar bayani adalah aspek
eksoteris dari Islam (syariat). Oleh karena itu, tradisi pemikiran Islam, epistemologi
bayani banyak dipakai oleh ulama dalam studi fiqh atau yurisprudensi Islam.
Tokoh-tokoh pertama yang memperkenalkan epistemologi bayani dalam sejarah
pemikiran Islam antara lain, Maqatil bin Sulaiman, Ziyad al-Fara, Imam Muhammad
bin Idris al-Syafii (Imam Syafii), dan ulama mutakallim danfuqaha
salaf lainnya.
C. Metodologi
Epistemologi bayani berpijak
pada teks, dan yang dimaksud di sini adalah Alquran dan hadis atau riwayat
keagamaan lainnya. Karena itu, epistemologi bayanimenaruh perhatian
besar dan sangat teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.
Hal ini menjadi sangat urgen, karena benar tidaknya transmisi teks sangat
menentukan benar tidaknya pengetahuan yang didapatkan. Jika proses transmisi
teks bisa dipertanggungjawabkan, maka teks tersebut benar dan bisa dijadikan
sumber kebenaran. Dan sebaliknya jika proses transmisi teks tidak bisa
dipertanggungjawabkan, maka dengan sendirinya kebenaran dari teks tersebut pun
diragukan.
Karena
epistemologi bayani sangat menekankan otoritas teks sebagai
sumber kebenaran, namun pada praksisnya ada yang memahami teks secara langsung
sebagai sumber pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah hingga perlu penafsiran dan penalaran. Meski menggunakan penalaran dan
penafsiran dalam memahami teks, posisi teks sebagai otoritas kebenaran tetaplah
tidak terganti, dalam artian rasio tidak bebas menentukan makna dan maksud dari
teks, tetapi tetap harus bersandar pada teks, rasio dianggap tidak mampu
memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.
Untuk
mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua
jalan, yaitu; berpegang teguh pada redaksi (lafaz) teks dengan
menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf sebagai
perangkat analisa. Serta menggunakan metode qiyas (analogi)
dan inilah prinsip utama dalam epistemologi bayani yang
kemudian diterapkan dalam ushul fiqh yaitu dengan memberikan
keputusan hukum atas suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada
kepastian hukumnya dalam teks karena ada kesamaan illat.
Menurut
Abed al-Jabiri, nalar bayani berkaitan erat dengan hubungan
antara teks dan realitas, maka persoalan pokok yang dihadapi adalah relasi teks
dan makna yang mencakuptentang makna suatu kata, apakah didasarkan pada konteks
ataukah makna katanya serta persoalan seoutar analogi bahasa yang sering
digunakan dalam istimbath hukum, misal antara kata nabidz (perasan
gandum) dan khamr (perasan anggur), apakah nabidz bisa
dianalogikan dengan khamr? Ataukahnabidz dan khamr bisa
dianalogikan dengan narkoba sehingga melahirkan kesimpulan hukum yang sama?
D. Khatimah
Epistemologi bayani telah
memberikan sumbangsih besar dalam disiplin ilmu fiqh atau yurisprudensi Islam,
namun penggunaan nalar bayani secara ketat dan an sichakan
melahirkan kejumudan dalam pola pikir. Pola pikir akan menjadi sangat tertutup
karena “dikerangkeng” oleh teks. Sehingga dari penggunaan nalar bayani akan
sangat sulit diharapkan munculnya dialog yang sehat demi tercapainya sikap
saling memahami seperti yang dituntut dalam kehidupan modern. Lokus nalar bayaniyang
sangat terbatas akan sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan
sejarah ilmu pengetahuan dan sosial manusia yang begitu cepat perubahannya. Hal
ini terlihat dengan masih dominannya nalar bayani-fiqhiyah sebagai mindset paradigmatik
umat Islam ternyata kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban
dunia. Namun, terlepas dari kekurangannya, epistemologi bayani telah
memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengembangan ilmu-ilmu
keislaman, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks keislaman.
II. Epistemologi Burhani
A. Mukaddimah
Nalar burhani (demonstratif)
merupakan pengaruh dari tradisi pikir Yunani, nalar burhani (demonstratif logic)
sebagaimana dikatakan oleh Abed al-Jabiri merupakan hasil dari tradisi berpikir
Yunani yang memposisikan pemikiran manusia pada upaya untuk mencari sebab-sebab
dari sesuatu. Masuknya pengaruh nalarburhani dalam pemikiran Islam
ditandai dengan penerjemahan besar-besaran karya-karya filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab di masa khalifah al-Makmun. Menurut al-Jabiri hal ini merupakan
tonggak pertemuan antara nalar rasional Yunani dengan nalar teks Arab.Berbeda
dengan epistemologi bayani yang mendasarkan kebenaran pada teks,
epistemologi burhani sangat menekankan pada kekuatan rasio
yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa
diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Epistemologi burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian epistemologi
burhani memberikan porsi yang sangat besar pada kekuatan rasio manusia dalam
mencapai kebenaran.
B. Defenisi
Nalar burhani (demonstratif)
secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk
menerapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj)
dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah
terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi). Prinsip-prinsipburhani pertama
kali dibangun oleh Aristoteles dengan didasarkan pada silogisme dan 10 kategori
substansi dan aksiden. Pemikir muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan
metode burhani dalam pemikiran Islam adalah al-Kindi. Dengan menggunakan
pendekatan nalar ini al-Kindi merumuskan konsep-konsep filsafatanya tentang
Tuhan, penciptaan alam, dan keabadian jiwa. Metode Burhani akhirnya
benar-benar mendapatkan tempat setelah al-Farabi, filosof paripatetik yang
dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles menggunakan totallitas nalar burhani dalam
pemikiran filsafatnya. Dengan demikian nalar burhani dalam
sejarah pemikiran Islam diterima dan dikembangkan oleh kalangan filosof dari
mazhab paripatetik.
C. Metodologi
Metode
berpikir burhani didasarkan pada pendekatan analitik-deduktif
dengan menggunakan silogisme. Namun sebelum sampai pada tahapan silogisme,
harus dimulai dengan 3 tahapan, yaitu; pengertian (ma’qulat), pernyataan
(ibarat), dan penalaran (tahlilat). Tahap pengertian adalah
proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran dengan
merujuk pada 10 kategori Aristoteles. Tahap pernyataan adalah tahap pembentukan
kalimat atau proposisi (qadliyah) atas pengertian-pengertian yang ada.
Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek dan predikat serta adanya relasi
di antara keduanya (kopula). Untuk mendapatkan suatu pengertian yang tidak
diragukan, proposisi harus mempertimbangkan lima kriteria (kulliyatul
khamsah), yakni species (nau’), genus (jins),differensia
(fashl), propium atau sifat khusus (khas) dan aksidentia (sifat
umum atau aradl). Tahap penalaran adalah tahap pengambilan
kesimpulan berdaarkan atas hubungan dari premis-premis yang ada.
Karena
premis-premis burhani haruslah premis-premis yang benar, dan premis yang benar
adalah premis yang memberikan keyakinan yang meyakinkan (tasdhiq al-yaqin).
Al-Farabi membagi materi-materi premis itu ke dalam empat bentuk sesuai dengan
tingkat keshahihannya. Yang tertinggi adalah pengetahuan primer yang bersifat
aksiomatik, pengetahuan indera, opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat),
dan opini-opini yang ditterima (ma’qhulat). Suatu premis bisa dianggap
meyakinkan bila memenuhi syarat-syarat prima principia Aristoteles.
Metode berpikir burhani menggunakan pengetahuan primer sebagai
premisnya. Namun jenis-jenis pengetahuan indera juga bisa dijadikan dalil
aksioma selama pengetahuan indera tersebut harus sama saat diamati d mana pun
dan kapan pun, dan tidak memungkinkan pernyataan yang sebaliknya. Sedangkan masyhurat dan ma’qhulat
lebih cenderung tidak diterima sebagai kebenaran yang bisa dijadikan dasar
dalam silogisme.
D. Khatimah
Dengan
menggunakan kekuatan rasio, epistemologi burhani telah berjasa
mengembangkan pemikiran filsafat Islam yang merambah pada pengembangan
ilmu-ilmu rasional lainnya dalam tradisi dan sejarah pemikiran Islam dan cukup
membantu upaya fleksibilitas epistemologi bayani yang telah
ada sebelumnya namun cenderung dipahami secara rigid. Namun
epistemologi burhani bukan berarti tidak menyisakan ruang bagi
catatan epistemologis. Oleh kaum arifin, epistemologi burhanidikritik
karena tidak mampu mengantarkan manusia untuk mengetahui hakekat dari
pengetahuan, karena epistemologi burhani lebih bersifat deskriptif-analitik hingga
tidak bakal mampu mengantarkan manusia dalam menyingkap kebenaran yang
sesungguhnya yang hanya bisa didekati dengan pendekatan intuitif melalui
pengetahuan kehadiran (hudhuri atau knowledge by presence).
Karena coraknya yang analitik, maka nalar burhani adalah epistemologi yang
meneropong realitas sebagai kenyataan yang berada “dalam” ruang (spasial) dan
waktu (temporal), sehingga epistemologi burhani akan gagal memahami kenyataan
sebagai suatu fakta yang utuh. Nalar burhani sebagaimana yang dikritik oleh
Suhrawardi bahwa nalar burhani sesungguhnya tidak memberikan apa-apa dan tidak
menghasilkan pengetahuan baru. Namun, terlepas dari segala catatan
epistemologisnya, nalar burhani telah berkontribusi besar bagi
pengembangan dua metode berpikir lainnya, yaitu bayani danirfani.
Dengan pendekatan burhani, makna teks bisa didekati dengan
pendekatan rasional serta pengalaman intuitif-irfani bisa dipahami
oleh rasio manusia
III. Epistemologi Irfani
A. Mukaddimah
Salah
satu corak berpikir sebagai warisan dari sejarah pemikiran Islam adalah nalar irfani.
Sebuah model epistemologi yang didasarkan pada kasyf setelah
melalui proses riyadhah kepada Allah. Kebalikan dari
epistemologi bayani, sasaran bidik dari epistemologi irfani adalah
aspek esoterik dari syariat. Dan berkebalikan dengan epistemologi burhani yang
menghadirkan pengetahuan melalui perantara konsepsi (knowledge by represence atau
ilmu hushuli), epistemologi irfanimenghadirkan
pengetahuan dengan kehadiran (knowledge by presence atau ilmu hudhuri).
Banyak pendapat mengenai tradisi apa yang memberikan sumbangsih bagi
terbentuknya sendi-sendi epistemologi irfani. Dhozy dan Tholk
menyebutkan epistemologi irfani dipengaruhi oleh tradisi
mistisisme Persia atau Majusi. Van Krener dan Ignaz Goldziher menyebutkan irfan dipengaruhi
oleh sumber-sumber Kristen didasarkan pada asumsi mengenai interaksi antara
orang Arab Islamdan kaum Nasrani serta adanya kesamaan praktek riyadhah dengan
tradisi para rahib (minus celibet). Horten dan Hartmann
menyebutkan irfani ditimba dari India salah satunya didasarkan
pada asumsi mengenai konsep keluasan hati dan penggunaan tasbih yang mirip
dengan ajaran India. Selain itu, Reynold Nicholson dan O’leary menyebut bahwa irfan dipengaruhi
oleh sumber-sumber Yunani, khususnya neo-platonisme dan Hermenisme. Namun,
terlepas dari mana ia digali dan berasal, epistemologi irfani adalah
salah satu varian nalar Islam yang menarik untuk dicermati sebagai salah satu
khasanah kekayaan pemikiran Islam.
B. Defenisi
Irfan berasal dari kata dasar bahasa
Arab ‘arafa yang semakna dengan ma’rifat atau
pengetahuan. Dalam literatur Barat, kata irfan sering
diartikan dengan katagnosis atau pengetahuan yang telah melampaui konwoledge dan science. Irfan adalah
kecenderungan menguak rahasia mengenai pengetahuan-pengetahuan batiniah yang
diperoleh secara langsung tanpa perantara (knowledge by presence).
Secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan
atas pengetahuan yang diperoleh melalui penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada
hambaNya (kasyf) setelah adanya latihan (riyadhah) yang dilakukan
atas cinta (mahabbah). Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan
dimensi spiritualisme Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan
spiritualitas, akal dengan hati, serta mensinergiskan antara pencapaian
pencerahan mistikal dengan pemahaman rasional-filosofis mengenai
pengalaman-pengalaman spiritualitas atau batiniah tersebut.
Oleh
para pakar, irfan dikatakan mulai muncul di dunia Islam
sekitar abad kedua Hijriyah ditandai dengan karya Ri’ayat Huquq Allah karya
Hasan al-Basri yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfan.
Menurut Murtadha Muthahhari, irfan sebagai sebuah
disiplin ilmu terbagi ke dalam dua cabang, yaitu irfan ilmi atauirfan teoritis
dan irfan amali atau irfan praktis.
Sebetulnya pembagian kedua jenis irfan diatas hanyalah untuk
sekedar memudahkan saja. Sebenarnya jika seseorang ingin menggeluti dunia irfan sebagai
jalan menuju pendekatan diri kepada Allah, mesti menggabungkan kedua jenis irfan tadi.
Antara irfan ilmi dan irfan amali keduanya
merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Irfan ilmi memfokuskan
perhatiannya pada masalah-masalah wujud (ontologi), mendiskusikan Tuhan,
manusia, serta alam semesta, dengan demikian irfan ilmi mirip
dengan pandangan teosofi. Berbeda dengan filsafat yang hanya mendasarkan
pemikirannya pada prinsip-prinsip argumenatsi rasional (dalil burhani),
sedangkan irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. Atau
lebih jelasnya, kaum arif (ahli irfan) ingin
menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata kalbu dan segenap
eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional. Sedangkan Aspek praktis Irfan adalah
bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap
dirinya, dunia, dan Tuhan. Irfan amali memiliki kemiripan
dengan konsep akhlak dalam Islam, namun, dalam irfan amali aturan-aturan
akhlak yang mesti ditaati sangat ketat. Dengan kata lain, itfan amali adalah
akhlak yang secara khusus bersifat keagamaan (spiritual) dan membuat serta
mengelola hubungan dengan prinsip keberadaan (Modus Existence atau Prime
Causa) dalam urutan teratas. Dengan demikian tingkatan akhlak yang ditempuh
oleh seorang yang menempuh jalan irfan (salik) jauh
berbeda dengan kategori akhlak bagi kalangan awwam. Bagi seorang salik kategorisasi
akhlak yang mesti dilaksanakan adalah kategori akhlak yang sangat khusus (akhlak
al-khas al-khas).
C. Metodologi
Pengetahuan irfani tidak
didasarkan pada teks seperti pada bayani atau rasio seperti burhani melainkan
pada kasyaf atau tersingkapnya realitas alam-alam suci oleh
Allah. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh melalui
analisis teks atau keruntutan logika, melainkan dengan ruhani di mana kesucian
hati, Allah akan melimpahkan pengetahuan kepdanya Dari sini kemudian dikonsep
atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Dengan demikian
secara metodologis, seperti dikatakan oleh Suhrawardi, pengetahuan ruhani
setidaknya melalui tiga tahapan, yaitu; persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan. Pada tahap persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf)
seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah
jenjang yang harus dilalui, tapi setidaknya ada tujuh jenjang yang harus
dilalui, yaitu; taubat, wara’, zuhud, faqir,
sabar, tawakkal, dan ridha. Tahap kedua adalah tahap penerimaan, jika telah
mencapai tingkat tertentu seseorang akan memperoleh limpahan pengetahuan secara
langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahapan ini seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf)
sehingga dengan kesadaran tersebut ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah)
sebagai realitas yang diketahui. Dalam hal ini realitas kesadaran dan realitas
yang disadari tersebut tidaklah terpisah, sehingga objek yang diketahui tidak
lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri. Dengan demikian secara
epistemologis pengetahuan irfanitidak didapatkan melalui
representasi pikiran atau data-data indra. Pengetahuan ini justru terbentuk
melalui univikasi eksistensial yang disebut Mehdi Hairi Yazdi sebagai ilmu hudhuri.
Meminjam istilah Wittgenstein dalam teori permainan bahasanya, pengetahuan irfani tidak
lain adalah “bahasa wujud itu sendiri”. Tahap terakhir adalah tahap
pengungkapan dari pencapaian pengetahuan irfani, di mana
pengetahuan mistik atau irfani direpresentasikan atau
diungkapkan kepada orang lain melalui ucapan atau tulisan. Untuk mampu
menjelaskan pengalaman intuitif tersebut ke dalam bahasa rasional, tentu saja
sangat dibutuhkan pahaman tentang logika dan filsafat sebagai acuan untuk
menjelaskan pengalaman intuitif tersebut. Hal ini meniscayakan seorang arif terlebih
dahulu mesti menguasai logika dan filsafat, sebelum menuangkan pengalaman
spiritualnya ke dalam kerangka teoritis yang bersifat rasional.
D. Khatimah
Epistemologi irfani adalah
proses penyibakan realitas kesadaran diri yang objeknya bersifat swa-objektif (self-objek
knowledge) melalui tahapan-tahapan laku spiritual yang dimulai dari taubat
sebagai fase awal penyucian diri (tazkiyatun nafs) dan pada fase
puncaknya adalah salik akan mencapai kesadaran tertinggi akan
realitas diri dan realitas alam-alam suci melalui illuminasi untuk mampu
memahami dan menjelaskan rahasia-rahasia alam-alam suci. Dengan demikian
pengetahuanirfani bukanlah pengetahuan yang diperoleh dari hasil
abstraksi atau kontemplasi belaka, melainkan lebih dari itu adalah penyingkapan
pengetahuan melalui pensucian diri guna menelisik pada relung terdalam dari
kesadaran diri. Epistemologi irfani adalah proses transendensi
melampaui alam fenomena menuju alam noumena, realiats noumena adalah
realiats yang lebih sejati dan merupakan dasar dari fenomena. Dengan demikian
jika dikembangkan lebih jauh epistemologi irfani akan sangat
berkontribusi tidak hanya pada pengetahuan tentang hal-hal metafisis saja, tapi
juga dapat digunakan untuk memahami kunci-kunci rahasia alam fenomena sehingga
bisa digunakan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Mengutip
pernyataan Inayat Khan, “Jika di Barat induk ilmu pengetahuan adalah filsafat,
maka di Timur induk ilmu pengetahuan adalah mistik (gnostik atau irfan).
(Catatan ini adalah sebuah catatan
pengantar untuk materi kajian “Metodologi Pemikiran Islam “di Akademia Filsafat
LDSI al-Muntazhar Makassar).
Oleh: Sabara, M. Fil
Sumber: Facebook
0 comments:
Posting Komentar