Kamis, 27 Desember 2012

Metodologi dalam Pemikiran Islam (Sebuah Pengantar)


Terminologi Filsafat Islam, tak sedikit yang mengkritik dan meragukannya, benarkah ada yang disebut filsafat Islam itu?. Ataukah yang disebut filsafat Islam itu tak lebih sekedar sejarah pemikiran dari para filosof yang “kebetulan” beragama Islam tentang tema-tema filsafat yang sebetulnya telah dibahas dalam filsafat Yunani?. Beragam asumsi diajukan oleh para pemikir muslim untuk membuktikan bahwa yang disebut dengan filsafat Islam itu benar-benar ada dan berbeda dengan corak filsafat yang lain, khususnya filsafat Yunani. Dalam catatan singkat ini, penulis mencoba membahas karakteristik filsafat Islam dengan melihat karakteristik khas dari metodologi berpikirnya.
Filsafat bukanlah sekedar kumpulan produk pemikiran yang pernah tersaji dalam sejarah pemikiran para tokoh. Dan filsafat juga bukan sekedar isme-isme atau aliran pemikiran yang digagas oleh para pemikir. Tapi filsafat adalah metodologi berpikir, yaitu berpikir kritis-analitis, radikal, universal, sistematis. Dan reflektif. Filsafat lebih mencerminkan sebagai “proses berpikir” dan bukan sekedar “produk pemikiran”, oleh karena itu berbeda antara filsafat dan sejarah filsafat.
Dalam pembelajaran filsafat Islam yang umumnya dilakukan di ranah akademik maupun non akademik, filsafat Islam lebih sering dibahas dari sudut pandang sejarahnya dan juga lebih sering berkutat pada aspek-aspek pembahasan seputar metafisika. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Amin Abdullah, kajian filsafat Islam cenderung tidak mengalami kemajuan yang berarti, apalagi memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal apa yang ada dalam cakupan filsafat  tidak hanya sekedar aspek sejarah, melainkan tema-tema pokok yang menjadi bagian penting dalam studi filsafat itu sendiri. Tema pokok yang menurut penulis paling penting, namun jarang disentuh adalah aspek karakteristik epistemologi dan metodologi berpikir yang ada dalam pembahasan filsafat Islam.
Dalam khasanah keilmuan Islam, filsafat sering tidak mendapatkan tempat yang layak, bahkan sering diserang dan dipojokkan, baik filsafat sebagai pendekatan, metodologi, maupun keilmuan. Bahkan stigma mengenai filsafat pun acapkali dilontarkan. Filsafat sering dianggap sebagai momok pemikiran dan bahkan sebagai virus akidah yang akan merusak keimanan umat Islam. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Osman Bakar; “kemunduran umat Islam lebih disebabkan karena umat Islam menjauhi filsafat”. Tanpa sentuhan filsafat, ajaran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit –bahkan mustahil- untuk menjelaskan jati dirinya dalam era keilmuan global. Namun, yang perlu ditekankan di sini, filsafat yang dimaksud bukan sekedar sejarah pemikiran saja tapi lebih pada epistemologi dan metodologi.
Dalam khasanah filsafat Islam, dikenal ada tiga model metodologi berpikir, yakni bayani, burhani, dan irfani. Metode berpikir bayani adalah model berpikir yang didasarkan pada teks. Teks sucilah yang memiliki otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti dari kebenaran yang dicari, sedangkan rasio berfungsi sebagai “pengawal” untuk memahami kebenaran di balik otoritas teks tersebut. Metode berpikir burhani adalah metode berpikir yang tidak didasarkan pada teks ataupun pengalaman spiritual, melainkan atas dasar keruntutan logika. Bahkan, pada tahap tertentu, keberadaan teks suci bahkan pengalaman spiritual baru dapat diterima jika sesuai dengan aturan berpikir logis. Sedangkan metode berpikir irfani adalah metodologi berpikir yang berbasis pada pengalaman batin yang bersifat langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan. Karena itu, nalar irfani menyasar pada dimensi esoteris dari kebenaran, dan dalam hal ini rasio digunakan untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual tersebut secara logis dan sistematis.
Idealnya ketiga model berpikir tersebut bekerja secara sinergis dan berjalin-kelindan dalam mengurai makna tiap-tiap kebenaran berdasarkan disiplin ilmu dan perspektif yang berbeda. Nalar bayani digunakan untuk memahami teks dalam pendekatan kebahasaan dan aspek normatifnya, sedangkan nalar burhani menuntun untuk memaksimalisasi kerja rasio dalam memahami teks dan sumber ilmu lainnya dengan berdasarkan hokum-hukum logika, dan nalar irfani yang menyasar aspek batin dari teks dan pengetahuan berfungsi untuk memahami kebenaran secara langsung dengan kehadiran (knowledge by presence).
Nalar bayani digunakan dalam lapangan ilmu fiqh (yurispredensi Islam), nalar burhani digunakan untuk mengembangkan lapangan keilmuan rasional, sperti filsafat, humaniora, sains, dan lain-lain, sedangkan nalar irfani digunakan dalam memahami bidang sufisme dan kajian esoterisme Islam. Ketiga model berpikir tersebut masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya sendiri-sendiri, yang jika digunakan secara parsial maka akan sangat rentan pada kelemapahan pengembangan keilmuan dan sangat mustahil untuk bisa menghasilkan khasanah ilmu Islam yang holistik. Ketiganya membentuk gugus epistemologi Islam yang komprrehensif-integratif dalam bingkai keilmuan yang ilmiah-intuitif-normatif.
Dengan mengambil filsafat Islam, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologi berpikirnya dan diaplikasikan secara maksimal sinergis. Maka kiranya pencapaian Islam yang “shalih li kulli zaman wa makan” (senantiasa actual pada tiap ruang dan waktu) akan bisa terwujud. Mengulang pernyataan pemikir Islam kontemporer kelahiran Pakistan, Ziauddin Sardar; “umat Islam sekarang sedang mengalami krisis epistemologi”, maka untuk mengatasi krisis yang dimaksud oleh Sardar tersebut, telaah mendalam dan aplikasi maksimal yang sinergis mengenai ketiga metodologi berpikir tersebut bias menjadi solusi.

I.      Epistemologi Bayani
A.   Mukaddimah
Nalar bayani merupakan salah satu dari tiga metodologi berpikir yang diperkenalkan oleh para pemikir muslim. Akar nalar bayani menurut alm Abed al-Jabiri adalah tradisi berpikir Arab pra Islam. Sebagaimana dikatakan oleh al-Jabiri, yang dimaksud berpikir dalam tradisi Arab adalah tindakan atau penjelasan tentang bagaimana seseorang harus berbuat. Hal ini berbeda dengan model berpikir dalam tradisi Yunani yang menjadikan pemikiran berkaitan erat dengan upaya mencari sebab dari sesuatu. Model berpikir Yunani inilah yang kelak akan mempengaruhi tradisi pemikiran Islam yang kemudian disebut dengan istilah nalar burhani(demonstratif)

B.   Defenisi
Secara etimologis, bayani berarti penjelasan atau eksplanation, sedangkan secara terminologi, bayani mempunyai 2 arti aturan-aturan penafsiran wacana dan syarat-syarat memproduksi wacana. Bayani merupakan pemikiran khas Arab (menurut al-Jabiri) yang menekankan otoritas teks (nash), baik secara langsung maupun tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Jadi nalar bayani merupakan metode berpikir yang menjadikan teks sebagai rujukan primer. Dalam perspektif keislaman, sasaran bidik dari nalar bayani adalah aspek eksoteris dari Islam (syariat). Oleh karena itu, tradisi pemikiran Islam, epistemologi bayani banyak dipakai oleh ulama dalam studi fiqh atau yurisprudensi Islam. Tokoh-tokoh pertama yang memperkenalkan epistemologi bayani dalam sejarah pemikiran Islam antara lain, Maqatil bin Sulaiman, Ziyad al-Fara, Imam Muhammad bin Idris al-Syafii (Imam Syafii), dan ulama mutakallim danfuqaha salaf lainnya.

C.   Metodologi
Epistemologi bayani berpijak pada teks, dan yang dimaksud di sini adalah Alquran dan hadis atau riwayat keagamaan lainnya. Karena itu, epistemologi bayanimenaruh perhatian besar dan sangat teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Hal ini menjadi sangat urgen, karena benar tidaknya transmisi teks sangat menentukan benar tidaknya pengetahuan yang didapatkan. Jika proses transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, maka teks tersebut benar dan bisa dijadikan sumber kebenaran. Dan sebaliknya jika proses transmisi teks tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka dengan sendirinya kebenaran dari teks tersebut pun diragukan.
Karena epistemologi bayani sangat menekankan otoritas teks sebagai sumber kebenaran, namun pada praksisnya ada yang memahami teks secara langsung sebagai sumber pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah hingga perlu penafsiran dan penalaran. Meski menggunakan penalaran dan penafsiran dalam memahami teks, posisi teks sebagai otoritas kebenaran tetaplah tidak terganti, dalam artian rasio tidak bebas menentukan makna dan maksud dari teks, tetapi tetap harus bersandar pada teks, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, yaitu; berpegang teguh pada redaksi (lafaz) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf sebagai perangkat analisa. Serta menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama dalam epistemologi bayani yang kemudian diterapkan dalam ushul fiqh yaitu dengan memberikan keputusan hukum atas suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks karena ada kesamaan illat.
Menurut Abed al-Jabiri, nalar bayani berkaitan erat dengan hubungan antara teks dan realitas, maka persoalan pokok yang dihadapi adalah relasi teks dan makna yang mencakuptentang makna suatu kata, apakah didasarkan pada konteks ataukah makna katanya serta persoalan seoutar analogi bahasa yang sering digunakan dalam istimbath hukum, misal antara kata nabidz (perasan gandum) dan khamr (perasan anggur), apakah nabidz bisa dianalogikan dengan khamr? Ataukahnabidz dan khamr bisa dianalogikan dengan narkoba sehingga melahirkan kesimpulan hukum yang sama?

D.   Khatimah
Epistemologi bayani telah memberikan sumbangsih besar dalam disiplin ilmu fiqh atau yurisprudensi Islam, namun penggunaan nalar bayani secara ketat dan an sichakan melahirkan kejumudan dalam pola pikir. Pola pikir akan menjadi sangat tertutup karena “dikerangkeng” oleh teks. Sehingga dari penggunaan nalar bayani akan sangat sulit diharapkan munculnya dialog yang sehat demi tercapainya sikap saling memahami seperti yang dituntut dalam kehidupan modern. Lokus nalar bayaniyang sangat terbatas akan sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah ilmu pengetahuan dan sosial manusia yang begitu cepat perubahannya. Hal ini terlihat dengan masih dominannya nalar bayani-fiqhiyah sebagai mindset paradigmatik umat Islam ternyata kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Namun, terlepas dari kekurangannya, epistemologi bayani telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks keislaman.

II.    Epistemologi Burhani
 A.   Mukaddimah
Nalar burhani (demonstratif) merupakan pengaruh dari tradisi pikir Yunani, nalar burhani (demonstratif logic) sebagaimana dikatakan oleh Abed al-Jabiri merupakan hasil dari tradisi berpikir Yunani yang memposisikan pemikiran manusia pada upaya untuk mencari sebab-sebab dari sesuatu. Masuknya pengaruh nalarburhani dalam pemikiran Islam ditandai dengan penerjemahan besar-besaran karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab di masa khalifah al-Makmun. Menurut al-Jabiri hal ini merupakan tonggak pertemuan antara nalar rasional Yunani dengan nalar teks Arab.Berbeda dengan epistemologi bayani yang mendasarkan kebenaran pada teks, epistemologi burhani sangat menekankan pada kekuatan rasio yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Epistemologi burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian epistemologi burhani memberikan porsi yang sangat besar pada kekuatan rasio manusia dalam mencapai kebenaran.  

B.   Defenisi
Nalar burhani (demonstratif) secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menerapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi). Prinsip-prinsipburhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles dengan didasarkan pada silogisme dan 10 kategori substansi dan aksiden. Pemikir muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani dalam pemikiran Islam adalah al-Kindi. Dengan menggunakan pendekatan nalar ini al-Kindi merumuskan konsep-konsep filsafatanya tentang Tuhan, penciptaan alam, dan keabadian jiwa. Metode Burhani akhirnya benar-benar mendapatkan tempat setelah al-Farabi, filosof paripatetik yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles menggunakan totallitas nalar burhani dalam pemikiran filsafatnya. Dengan demikian nalar burhani dalam sejarah pemikiran Islam diterima dan dikembangkan oleh kalangan filosof dari mazhab paripatetik.

C.   Metodologi
Metode berpikir burhani didasarkan pada pendekatan analitik-deduktif dengan menggunakan silogisme. Namun sebelum sampai pada tahapan silogisme, harus dimulai dengan 3 tahapan, yaitu; pengertian (ma’qulat), pernyataan (ibarat), dan penalaran (tahlilat). Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran dengan merujuk pada 10 kategori Aristoteles. Tahap pernyataan adalah tahap pembentukan kalimat atau proposisi (qadliyah) atas pengertian-pengertian yang ada. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek dan predikat serta adanya relasi di antara keduanya (kopula). Untuk mendapatkan suatu pengertian yang tidak diragukan, proposisi harus mempertimbangkan lima kriteria (kulliyatul khamsah), yakni species (nau’), genus (jins),differensia (fashl), propium atau sifat khusus (khas) dan aksidentia (sifat umum atau aradl). Tahap penalaran adalah tahap pengambilan kesimpulan berdaarkan atas hubungan dari premis-premis yang ada.
Karena premis-premis burhani haruslah premis-premis yang benar, dan premis yang benar adalah premis yang memberikan keyakinan yang meyakinkan (tasdhiq al-yaqin). Al-Farabi membagi materi-materi premis itu ke dalam empat bentuk sesuai dengan tingkat keshahihannya. Yang tertinggi adalah pengetahuan primer yang bersifat aksiomatik, pengetahuan indera, opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat), dan opini-opini yang ditterima (ma’qhulat). Suatu premis bisa dianggap meyakinkan bila memenuhi syarat-syarat prima principia Aristoteles. Metode berpikir burhani menggunakan pengetahuan primer sebagai premisnya. Namun jenis-jenis pengetahuan indera juga bisa dijadikan dalil aksioma selama pengetahuan indera tersebut harus sama saat diamati d mana pun dan kapan pun, dan tidak memungkinkan pernyataan yang sebaliknya. Sedangkan masyhurat dan ma’qhulat lebih cenderung tidak diterima sebagai kebenaran yang bisa dijadikan dasar dalam silogisme.

D.   Khatimah
Dengan menggunakan kekuatan rasio, epistemologi burhani telah berjasa mengembangkan pemikiran filsafat Islam yang merambah pada pengembangan ilmu-ilmu rasional lainnya dalam tradisi dan sejarah pemikiran Islam dan cukup membantu upaya fleksibilitas epistemologi bayani yang telah ada sebelumnya namun cenderung dipahami secara rigid. Namun epistemologi burhani bukan berarti tidak menyisakan ruang bagi catatan epistemologis. Oleh kaum arifin, epistemologi burhanidikritik karena tidak mampu mengantarkan manusia untuk mengetahui hakekat dari pengetahuan, karena epistemologi burhani lebih bersifat deskriptif-analitik hingga tidak bakal mampu mengantarkan manusia dalam menyingkap kebenaran yang sesungguhnya yang hanya bisa didekati dengan pendekatan intuitif melalui pengetahuan kehadiran (hudhuri atau knowledge by presence). Karena coraknya yang analitik, maka nalar burhani adalah epistemologi yang meneropong realitas sebagai kenyataan yang berada “dalam” ruang (spasial) dan waktu (temporal), sehingga epistemologi burhani akan gagal memahami kenyataan sebagai suatu fakta yang utuh. Nalar burhani sebagaimana yang dikritik oleh Suhrawardi bahwa nalar burhani sesungguhnya tidak memberikan apa-apa dan tidak menghasilkan pengetahuan baru. Namun, terlepas dari segala catatan epistemologisnya, nalar burhani telah berkontribusi besar bagi pengembangan dua metode berpikir lainnya, yaitu bayani danirfani. Dengan pendekatan burhani, makna teks bisa didekati dengan pendekatan rasional serta pengalaman intuitif-irfani bisa dipahami oleh rasio manusia

III.   Epistemologi Irfani
 A.   Mukaddimah
Salah satu corak berpikir sebagai warisan dari sejarah pemikiran Islam adalah nalar irfani. Sebuah model epistemologi yang didasarkan pada kasyf setelah melalui proses riyadhah kepada Allah. Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik dari epistemologi irfani adalah aspek esoterik dari syariat. Dan berkebalikan dengan epistemologi burhani yang menghadirkan pengetahuan melalui perantara konsepsi (knowledge by represence atau ilmu hushuli), epistemologi irfanimenghadirkan pengetahuan dengan kehadiran (knowledge by presence atau ilmu hudhuri). Banyak pendapat mengenai tradisi apa yang memberikan sumbangsih bagi terbentuknya sendi-sendi epistemologi irfani. Dhozy dan Tholk menyebutkan epistemologi irfani dipengaruhi oleh tradisi mistisisme Persia atau Majusi. Van Krener dan Ignaz Goldziher menyebutkan irfan dipengaruhi oleh sumber-sumber Kristen didasarkan pada asumsi mengenai interaksi antara orang Arab Islamdan kaum Nasrani serta adanya kesamaan praktek riyadhah dengan tradisi para rahib (minus celibet).  Horten dan Hartmann menyebutkan irfani ditimba dari India salah satunya didasarkan pada asumsi mengenai konsep keluasan hati dan penggunaan tasbih yang mirip dengan ajaran India. Selain itu, Reynold Nicholson dan O’leary menyebut bahwa irfan dipengaruhi oleh sumber-sumber Yunani, khususnya neo-platonisme dan Hermenisme. Namun, terlepas dari mana ia digali dan berasal, epistemologi irfani adalah salah satu varian nalar Islam yang menarik untuk dicermati sebagai salah satu khasanah kekayaan pemikiran Islam.

B.   Defenisi
Irfan berasal dari kata dasar bahasa Arab arafa yang semakna dengan ma’rifat atau pengetahuan. Dalam literatur Barat, kata irfan sering diartikan dengan katagnosis atau pengetahuan yang telah melampaui konwoledge dan science. Irfan adalah kecenderungan menguak rahasia mengenai pengetahuan-pengetahuan batiniah yang diperoleh secara langsung tanpa perantara (knowledge by presence). Secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh melalui penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambaNya (kasyf) setelah adanya latihan (riyadhah) yang dilakukan atas cinta (mahabbah). Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan dimensi spiritualisme Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan spiritualitas, akal dengan hati, serta mensinergiskan antara pencapaian pencerahan mistikal dengan pemahaman rasional-filosofis mengenai pengalaman-pengalaman spiritualitas atau batiniah tersebut.
Oleh para pakar, irfan dikatakan mulai muncul di dunia Islam sekitar abad kedua Hijriyah ditandai dengan karya Ri’ayat Huquq Allah karya Hasan al-Basri yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfan. Menurut Murtadha Muthahhari, irfan sebagai sebuah disiplin ilmu terbagi ke dalam dua cabang, yaitu irfan ilmi atauirfan teoritis dan irfan amali atau irfan praktis. Sebetulnya pembagian kedua jenis irfan diatas hanyalah untuk sekedar memudahkan saja. Sebenarnya jika seseorang ingin menggeluti dunia irfan sebagai jalan menuju pendekatan diri kepada Allah, mesti menggabungkan kedua jenis irfan tadi. Antara irfan ilmi dan irfan amali keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Irfan ilmi memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah wujud (ontologi), mendiskusikan Tuhan, manusia, serta alam semesta, dengan demikian irfan ilmi mirip dengan pandangan teosofi. Berbeda dengan filsafat yang hanya mendasarkan pemikirannya pada prinsip-prinsip argumenatsi rasional (dalil burhani), sedangkan irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. Atau lebih jelasnya, kaum arif (ahli irfan) ingin menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata kalbu dan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional. Sedangkan Aspek praktis Irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Irfan amali memiliki kemiripan dengan konsep akhlak dalam Islam, namun, dalam irfan amali aturan-aturan akhlak yang mesti ditaati sangat ketat. Dengan kata lain, itfan amali adalah akhlak yang secara khusus bersifat keagamaan (spiritual) dan membuat serta mengelola hubungan dengan prinsip keberadaan (Modus Existence atau Prime Causa) dalam urutan teratas. Dengan demikian tingkatan akhlak yang ditempuh oleh seorang yang menempuh jalan irfan (salik) jauh berbeda dengan kategori akhlak bagi kalangan awwam. Bagi seorang salik kategorisasi akhlak yang mesti dilaksanakan adalah kategori akhlak yang sangat khusus (akhlak al-khas al-khas).

C.   Metodologi
Pengetahuan irfani tidak didasarkan pada teks seperti pada bayani atau rasio seperti burhani melainkan pada kasyaf atau tersingkapnya realitas alam-alam suci oleh Allah. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh melalui analisis teks atau keruntutan logika, melainkan dengan ruhani di mana kesucian hati, Allah akan melimpahkan pengetahuan kepdanya Dari sini kemudian dikonsep atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Dengan demikian secara metodologis, seperti dikatakan oleh Suhrawardi, pengetahuan ruhani setidaknya melalui tiga tahapan, yaitu; persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf) seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah jenjang yang harus dilalui, tapi setidaknya ada tujuh jenjang yang harus dilalui, yaitu; taubat, wara’zuhudfaqir, sabar, tawakkal, dan ridha. Tahap kedua adalah tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu seseorang akan memperoleh limpahan pengetahuan secara langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahapan ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf) sehingga dengan kesadaran tersebut ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai realitas yang diketahui. Dalam hal ini realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut tidaklah terpisah, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri. Dengan demikian secara epistemologis pengetahuan irfanitidak didapatkan melalui representasi pikiran atau data-data indra. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui univikasi eksistensial yang disebut Mehdi Hairi Yazdi sebagai ilmu hudhuri. Meminjam istilah Wittgenstein dalam teori permainan bahasanya, pengetahuan irfani tidak lain adalah “bahasa wujud itu sendiri”. Tahap terakhir adalah tahap pengungkapan dari pencapaian pengetahuan irfani, di mana pengetahuan mistik atau irfani direpresentasikan atau diungkapkan kepada orang lain melalui ucapan atau tulisan. Untuk mampu menjelaskan pengalaman intuitif tersebut ke dalam bahasa rasional, tentu saja sangat dibutuhkan pahaman tentang logika dan filsafat sebagai acuan untuk menjelaskan pengalaman intuitif tersebut. Hal ini meniscayakan seorang arif terlebih dahulu mesti menguasai logika dan filsafat, sebelum menuangkan pengalaman spiritualnya ke dalam kerangka teoritis yang bersifat rasional. 

D.   Khatimah
Epistemologi irfani adalah proses penyibakan realitas kesadaran diri yang objeknya bersifat swa-objektif (self-objek knowledge) melalui tahapan-tahapan laku spiritual yang dimulai dari taubat sebagai fase awal penyucian diri (tazkiyatun nafs) dan pada fase puncaknya adalah salik akan mencapai kesadaran tertinggi akan realitas diri dan realitas alam-alam suci melalui illuminasi untuk mampu memahami dan menjelaskan rahasia-rahasia alam-alam suci. Dengan demikian pengetahuanirfani bukanlah pengetahuan yang diperoleh dari hasil abstraksi atau kontemplasi belaka, melainkan lebih dari itu adalah penyingkapan pengetahuan melalui pensucian diri guna menelisik pada relung terdalam dari kesadaran diri. Epistemologi irfani adalah proses transendensi melampaui alam fenomena menuju alam noumena, realiats noumena adalah realiats yang lebih sejati dan merupakan dasar dari fenomena. Dengan demikian jika dikembangkan lebih jauh epistemologi irfani akan sangat berkontribusi tidak hanya pada pengetahuan tentang hal-hal metafisis saja, tapi juga dapat digunakan untuk memahami kunci-kunci rahasia alam fenomena sehingga bisa digunakan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Mengutip pernyataan Inayat Khan, “Jika di Barat induk ilmu pengetahuan adalah filsafat, maka di Timur induk ilmu pengetahuan adalah mistik (gnostik atau irfan).

(Catatan ini adalah sebuah catatan pengantar untuk materi kajian “Metodologi Pemikiran Islam “di Akademia Filsafat LDSI al-Muntazhar Makassar).
Oleh: Sabara, M. Fil
Sumber: Facebook

0 comments: