
Pandangan lain yang menarik dari
Mutahhari tentang alam semesta ini adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa
dunia terdiri dari gabungan antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Kata
gaib dapat diartikan sebagai yang tersembunyi. Yang tersembunyi pada gilirannya
dibagi lagi ke dalam dua bagian ghaib yang relatif dan ghaib yang absolut.
Ghaib yang relatif adalah benda-benda yang tersembunyi karena terhalang oleh
jarak, baik ruang maupun waktu. Sedangkan ghaib yang absolutu merujuk kepada
Tuhan, yakni esensi Tuhan. Yang menarik adalah ketika Mutahhari menggambarkan
hubungan antara yang nampak dan yang ghaib. Ia mengatakan ketika kita bicara
tentang dunia fisik yang nampak sebagai memiliki batas, maka tidak berarti
bahwa dunia ghaib berada di luar batas tersebut. Karena kalau begitu dua ghaib
berarti juga punya tatanan ruang sebagaimana dunia fisik. Oleh karena itu,
menurutnya hubungan itu paling mungkin digambarkan sebagaimana hubungan antara
figur dan bayangannya dalam cermin.[11] Tentu saja ini mengingatkan kita
pada deskripsi Ibn ‘Arabi yang menggambarkan bahwa dunia ini adalah refleksi
dari wajah Tuhan yang Esa.
Satu hal lagi yang menarik dari
renungan Mutahhari tentang alam semesta ini adalah pandangannya bahwa alam
semesta berkembang secara vertikal, jadi semacam gerak evolutif. Tentu saja
telah ada pemikir Muslim yang mendukung teori evolusi, seperti Jalal al-Din
Rumi (w. 1273) dan Mulla Shadra (w. 1641) dengan teori “trans-substantial
Movement.” Bahkan Mutahhari menambahkan bahwa teori evolusi tidak mesti
bertentangan dengan ajaran agama. Apa yang menyebabkan teori evolusi mengarah
pada ateisme di Barat, itu, menurutnya, karena konsep mereka tentang “the
Unknown cause,” yang dikenal dalam the negative theology dan
akibat dari pemikiran Yahudi yang mensyaratkan adanya titik permulaan dalam
penciptaan. Tetapi saya curiga jangan-jangan Mutahhari tidak mengerti betul apa
yang dimaksud dengan negative theology, karena sepengetahuan saya, negative
theology diterapkan kepada Tuhan dalam level Zat-nya, yang memang
tidak mungkin kita pahami kecuali melalui jalan negatif, atau dalam bahasa
Latinya via-negative.
MANUSIA
Manusia tentu saja merupakan hasil
evolusi yang terakhir, dan karena itu sebagai makhluk ia memiliki karakter atau
sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan dan makhluk-makhluk
yang lebih rendah lagi. Sekalipun hewan dikatakan memiliki kesadaran dan nafsu,
namun kesadaran hewan tentang dunia fisik, hanyalah merupakan kesadaran
inderawi, dan tidak bisa menjangkau ke kedalaman dan antar-hubungan batin
antara benda-benda. Juga kesadaran hewani hanyalah pada objek-objek yang
bersifat individual dan partikular, dan tidak bisa menjangkau yang bersifat
universal dan general. Tetapi kesadaran manusia bisa mencapai apa-apa yang
tidak bisa dijangkau oleh kesadaran hewani tadi. Kesadaran manusia tidak tetap
terpenjara dalam batas lokal dan ruang, tidak juga ia terbelenggu pada waktu
tertentu; kesadaran manusia justru bisa melakukan pengembaraan menembus ruang
dan waktu.[12]Tetapi selain itu, yang betul-betul
menjadi ciri yang membedakan manusia dengan hewan adalah ilmu dan iman. Inilah
perbedaan utama manusia dari hewan. Oleh karena itu sains dan iman merupakan
dua hal yang harus diperoleh dan dikembangkan manusia untuk mengekspresikan kemanusiaannya.
Manusia menikmati kemuliaan dan
keagungan yang khusus di antara makhluk-makhluk yang lain dan memiliki peran
khusus, sebagai wakil Tuhan dan misi yang khusus, sebagai pengelola alam. Namun
manusia, dengan kebebasan memilihnya, bertanggung jawab atas evolusi dan
pertumbuhan dan pendidikannya dan atas perbaikan masyarakatnya. Alam semesta,
merupakan sekolah bagi manusia, dan Tuhan akan memberi pahala setiap diri
manusia sesuai dengan niat baiknya dan usahanya yang lurus. Manusia juga
dikatakan mempunyai peran kausal dalam dan pengaruh terhadap
tindakan-tindakannya. Ia bahkan lebih berpengaruh dalam membentuk nasibnyanya
sendiri ketimbang yang lain.
Sebagai pemikir Syi’ah yang sering
diidentikkan dengan Mu’tazilah, Mutahhari menolak bahwa manusia telah
ditentukan nasibnya secara deterministik. Kepercayaan Syi’ah pada prinsip
keadilan, dalam pandangan Mutahhari berarti bahwa Syi’ah mengakui prinsip
kebebasan manusia, pertanggung-jawaban manusia dan kreativitasnya. Takdir Tuhan
telah menciptakan sistem dan telah memunculkan serangkaian norma dan hukum.
Karena itu, kapan saja manusia mencari sesuatu yang diinginkannya, ia harus
mencarinya lewat sistem dan norma-norma tadi, jadi rizki, sekalipun berasal
dari pusaka ilahi, tetapi harus dicarai melalui sistem dan norma tertentu, dan
bukan dengan begitu saja diberikan secara pilih kasih.
0 comments:
Posting Komentar