Minggu, 23 Desember 2012

Renungan ALAM SEMESTA MURTADHA MUTAHHARI


Alam semesta merupakan ciptaan Tuhan, yang diciptakan melalui kehendak Tuhan. Ia menolak pandangan dari apa yang disebut sebagai “Negative Theology” yang menurutnya tidak punya gambaran yang jelas tentang Tuhan, yang disebutnya “the Unknown Cause.” Menurutnya Islam merujuk dengan jelas Tuhannya yang berdiri sebagai Pencipta. Pendapat Mutahhari yang menarik adalah tentang kesatuan alam. Karena Tuhan adalah satu dalam esensi, sifat dan agensinya, maka alam semesta sebagai karyanya juga menikmati kesatuannya yang organik. Mutahhari mengatakan bahwa dalam anotasi pada Prinsip Filsafat jilid 5 ia telah menunjukkan bagaimana alam itu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan tanpa menimbulkan kegoncangan secara keseluruhan. Juga ditunjukkan di sana bagaimana hilangnya satu bagian dari alam akan sama dengan hilangnya keseluruhan.
Bahkan lebih dramatis lagi, ia mengatakan betapa hilangnya “kejahatan-kejahatan” dari alam ini akan berarti hilangnya semua yang ada di alam raya ini. Bahkan ia menyatakan bahwa filosof seperti Hegel juga mengakui prinsip kesatuan organik dari alam semesta ini. Hubungan organik ini sering diumpamakan oleh Mutahhari dengan hubungan antara anggota badan dengan badannya itu sendiri. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa ia menolak penjelasan kaum Materialis yang menurut hematnya hanya bisa menggambarkan hubungan tersebut secara mekanik, bukan organik. Tetapi para teosofer (‘urafa’) dan pemikir-pemikir kuno sering menggambarkan dunia sebagai “Manusia Besar” dan manusia sebagai “Dunia kecil.” Jadi para teosofer dan bukan para filosof (falasifa) yang lebih dekat pada pandangan dunia organik. Tentu saja kalau kita kaitkan dengan perkembangan fisika baru yang lebih melihat alam sebagai hubungan-hubungan yang saling terkait, maka pandangan Mutahhari tentang kesatuan organik ini lebih maju dibanding dengan para filosof yang berpandangan dunia mekanistik.
Pandangan lain yang menarik dari Mutahhari tentang alam semesta ini adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa dunia terdiri dari gabungan antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Kata gaib dapat diartikan sebagai yang tersembunyi. Yang tersembunyi pada gilirannya dibagi lagi ke dalam dua bagian ghaib yang relatif dan ghaib yang absolut. Ghaib yang relatif adalah benda-benda yang tersembunyi karena terhalang oleh jarak, baik ruang maupun waktu. Sedangkan ghaib yang absolutu merujuk kepada Tuhan, yakni esensi Tuhan. Yang menarik adalah ketika Mutahhari menggambarkan hubungan antara yang nampak dan yang ghaib. Ia mengatakan ketika kita bicara tentang dunia fisik yang nampak sebagai memiliki batas, maka tidak berarti bahwa dunia ghaib berada di luar batas tersebut. Karena kalau begitu dua ghaib berarti juga punya tatanan ruang sebagaimana dunia fisik. Oleh karena itu, menurutnya hubungan itu paling mungkin digambarkan sebagaimana hubungan antara figur dan bayangannya dalam cermin.[11] Tentu saja ini mengingatkan kita pada deskripsi Ibn ‘Arabi yang menggambarkan bahwa dunia ini adalah refleksi dari wajah Tuhan yang Esa.

Satu hal lagi yang menarik dari renungan Mutahhari tentang alam semesta ini adalah pandangannya bahwa alam semesta berkembang secara vertikal, jadi semacam gerak evolutif. Tentu saja telah ada pemikir Muslim yang mendukung teori evolusi, seperti Jalal al-Din Rumi (w. 1273) dan Mulla Shadra (w. 1641) dengan teori “trans-substantial Movement.” Bahkan Mutahhari menambahkan bahwa teori evolusi tidak mesti bertentangan dengan ajaran agama. Apa yang menyebabkan teori evolusi mengarah pada ateisme di Barat, itu, menurutnya, karena konsep mereka tentang “the Unknown cause,” yang dikenal dalam the negative theology dan akibat dari pemikiran Yahudi yang mensyaratkan adanya titik permulaan dalam penciptaan. Tetapi saya curiga jangan-jangan Mutahhari tidak mengerti betul apa yang dimaksud dengan negative theology, karena sepengetahuan saya, negative theology diterapkan kepada Tuhan dalam level Zat-nya, yang memang tidak mungkin kita pahami kecuali melalui jalan negatif, atau dalam bahasa Latinya via-negative.

MANUSIA
Manusia tentu saja merupakan hasil evolusi yang terakhir, dan karena itu sebagai makhluk ia memiliki karakter atau sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan dan makhluk-makhluk yang lebih rendah lagi. Sekalipun hewan dikatakan memiliki kesadaran dan nafsu, namun kesadaran hewan tentang dunia fisik, hanyalah merupakan kesadaran inderawi, dan tidak bisa menjangkau ke kedalaman dan antar-hubungan batin antara benda-benda. Juga kesadaran hewani hanyalah pada objek-objek yang bersifat individual dan partikular, dan tidak bisa menjangkau yang bersifat universal dan general. Tetapi kesadaran manusia bisa mencapai apa-apa yang tidak bisa dijangkau oleh kesadaran hewani tadi. Kesadaran manusia tidak tetap terpenjara dalam batas lokal dan ruang, tidak juga ia terbelenggu pada waktu tertentu; kesadaran manusia justru bisa melakukan pengembaraan menembus ruang dan waktu.[12]Tetapi selain itu, yang betul-betul menjadi ciri yang membedakan manusia dengan hewan adalah ilmu dan iman. Inilah perbedaan utama manusia dari hewan. Oleh karena itu sains dan iman merupakan dua hal yang harus diperoleh dan dikembangkan manusia untuk mengekspresikan kemanusiaannya.

Manusia menikmati kemuliaan dan keagungan yang khusus di antara makhluk-makhluk yang lain dan memiliki peran khusus, sebagai wakil Tuhan dan misi yang khusus, sebagai pengelola alam. Namun manusia, dengan kebebasan memilihnya, bertanggung jawab atas evolusi dan pertumbuhan dan pendidikannya dan atas perbaikan masyarakatnya. Alam semesta, merupakan sekolah bagi manusia, dan Tuhan akan memberi pahala setiap diri manusia sesuai dengan niat baiknya dan usahanya yang lurus. Manusia juga dikatakan mempunyai peran kausal dalam dan pengaruh terhadap tindakan-tindakannya. Ia bahkan lebih berpengaruh dalam membentuk nasibnyanya sendiri ketimbang yang lain.
Sebagai pemikir Syi’ah yang sering diidentikkan dengan Mu’tazilah, Mutahhari menolak bahwa manusia telah ditentukan nasibnya secara deterministik. Kepercayaan Syi’ah pada prinsip keadilan, dalam pandangan Mutahhari berarti bahwa Syi’ah mengakui prinsip kebebasan manusia, pertanggung-jawaban manusia dan kreativitasnya. Takdir Tuhan telah menciptakan sistem dan telah memunculkan serangkaian norma dan hukum. Karena itu, kapan saja manusia mencari sesuatu yang diinginkannya, ia harus mencarinya lewat sistem dan norma-norma tadi, jadi rizki, sekalipun berasal dari pusaka ilahi, tetapi harus dicarai melalui sistem dan norma tertentu, dan bukan dengan begitu saja diberikan secara pilih kasih.
* Disampaikan pada seminar Internasional “Pemikiran Murtadha Muthahhari”, 8 Mei 2004 di Jakarta.

0 comments: