Krisis ekologis, misalnya, menghentakkan kesadaran manusia
modern untuk menggugat pandangan kosmologi modernis –yang menjadi basis
pengembangan sains modern– yang bersifat parsial dan positivistik,
antrophosentrik, yang telah dianut selama hampir 3 abad.
Krisis ini telah menggugah, antara lain, seorang filosof
analitik dari Norwegia, Arne Naess, untuk melakukan “hijrah intelektual”, untuk
menjadi pelopor apa yang disebut “Gerakan Ekologi Dalam” (Deep Ecology
Movement), pada pertengahan dasawarsa 1970-an. Dengan Ekologi Dalam, ia
membahas persoalan ini dari sumber-sumber masalah yang berakar dalam kekeliruan
peradaban modern dalam melihat dan menempatkan posisi lingkungan alam semesta
kita dan bentuk hubungan manusia dengannya.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, juga mendorong
Thomas Khun, seorang saintis, mencoba memahami gerak laju ilmu pengetahuan
sebagai dibentuk oleh “paradigma” yang diterima luas pada setiap masa, yaitu
sebuah kumpulan keyakinan dan pemahaman tentang alam semesta yang berkolerasi
erat dengan metafisika dan nilai-nilai (The Stucture of Scientific
Revolution).
Maka dalam rangka mencari sains yang lebih sesuai dengan
kebutuhan manusia, Fritjof Capra –seorang ahli fisika yang lebih
belakangan—terpaksa menoleh ke khazanah hikmah/ filsafat Timur, khususnya
Taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sebelumnya
sudah terlanjur dirongrong oleh relatifisme dan skeptisime. Ia menulis
buku The Tao of Physic. Kedua contoh di atas tampaknya menunjukkan
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, tidak bisa dipisahkan dari induknya, yakni
filsafat.
Dengan kata lain, pemisahan keduanya secara paksa telah
terbukti menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan, krisis ekologi, krisis
keyakinan yang melahirkan alienasi, depresi dan sebagainya.Di dunia Islam,
kenyataan pelepasan sains dari filsafat ini bahkan beraklibat lebih buruk lagi.
Dalam sebuah kesempatan Konferensi Sains dan Agama di Jogyakarta tahun 2002,
para ahli sains di Dunia Islam ditanya tentang sebab-sebab kemunduran sains di
Dunia Islam. Berbagai jawaban masuk akal pun diberikan.
Akan tetapi jawaban Prof.Dr. Osman Bakar dari Malaysia
menarik perhatian kita, karena ia menyebutkan bahwa permusuhan terhadap
filsafat di negara-negara Muslim selama beberapa abad belakangan ini, sebagai
sebab penyebab utama persoalan ini. Bagaimana tidak? Sejarah peradaban Islam
hingga kira-kira abad ke-15 M, dengan jelas menunjukkan bahwa pendorong utama
berkembangnya sains di negara-negara Muslim –yang bahkan lebih dahulu dan
(sempat) jauh lebih maju dibandingkan dengan perkembangan yang sama di belahan
dunia lainnya—adalah berkembang-suburnya filsafat. Kenyataannya, sains pada
‘masa-masa keemasan’ peradaban Islam itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh filosof
Muslim: Ibn Hayyan, Al Biruni, Ibn Sina, Al-Razi, Al-Thusi, dan sebagainya.
Ibnu
Sina (Aviciena)
Apalagi pada masa-masa itu, Fisika (Thabi’iyah)
merupakan bagian integral dari filsafat, di samping metafisika (Ma ba’da
al-Tabi’iyah). Betapa pun spekulatifnya sifat filsafat Yunani, para filosof
Muslim tersebut telah mendapatkan dorongan untuk mementingkan penelitian
terhadap alam semesta secara empiris dari Al-Qur’an. Metode kritis dan analitis
serta kekayaan kosmologi Filsafat yang dikombinasikan dengan semangat –dalam
istilah Iqbal—anti klasik Al-Qur’an ini terbukti telah menjadi kekuatan luar
biasa bagi pengembangan sains di dunia Muslim pada masa itu.
Fenomena yang sama, yakni dilakukannya inisiatif
pengambangan sains awal oleh para filosof ini, terjadi pula di Barat. Meskipun
demikian, dalam perkembangannya kemudian, pelan-pelan sains di Barat dilepaskan
dari kesatuan organiknya dengan filsafat. Hal ini terjadi bersamaan dengan
ditemukannya dan diterimanya apa yang belakangan disebut merode ilmiah (Scientific
Methods) sejak masa Rene Descartes (1586-1650) dan Roger Bacon (1214-1292).
Di satu sisi, hal ini tampak sebagai telah mendorong sains
untuk berkembang lebih cepat oleh apa yang yang tampak sebagai penekanan
ekslusif atas rasionalitas dan eksperimentasi yang terbuka lebar untuk
verifikasi (eksperimental)—dibandingkan ketika ia masih menjadi bagian organik
dari Filsafat, yang betapa pun juga bersifat spekualtif. Namun,ada tiga hal
yang penting yang perlu kita perhatikan: pertama, pelepasan sains
dari filsafat –selain bagi beberapa orang berarti hilangnya kesempatan bagi
sains untuk mengambil manfaat dari kekayaan filsafat—telah pula melepaskannya
dari transendentalisme dan religiusitas yang terkandung dalam filsafat.
Setidak-tidaknya, sains telah terpisah dari etika, yang
selama ini selalu merupakan bagian dari filsafat. Maka seperti yang dinyatakan
oleh Houston Smith, pandangan dunia modern lebih bersifat saintistik (hanya
berpusat pada sains), ketimbang saintifik (ilmiah). Pada kenyataannya, pisahnya
sains dari filsafat ini juga telah merugikan filsafat itu sendiri. Pesatnya perkembangan
dan luasnya penerimaan sains modern di kalangan masyarakat telah pula
mendorong filsafat menjadi lebih sekuler, sebagaimana, dapat dilihat dalam
perkembangan filsafat modern, setidak-tidaknya seabad belakangnya ini.
Hal ini belakangan telah menimbulkan persoalan etika dalam
pengembangan dan penerapan sains modern, sehubungan dengan munculnya
kemungkinan pengembangan dan pengembangan sains yang menabrak
persoalan-persoalan kemanusiaan yang telah diterima secara luas selama ini.
Persoalan kloning dan eugenika, sehubuingan dengan
dikembangkannya proyek genom manusia, yang membuka kemungkinan manipulasi
genetik, hanyalah salah satu contohnya. Kedua, setelah
terlepas/berpisahnya dari filsafat, pada kenyataannya sains tak pernah bisa
benar-benar lepas daru filsafat, yakni metafisika.
Jadi, yang terjadi hanyalah pergeseran dari metafisika yang
bersifat transendental (ilahiyah/divine) kepada metafisika yang dalam
banyak hal, bersifat sekuler. Ketiga, kerugian yang
ditimbulkan dari pemisahan sains dari filsafat, tak hanya terbatas pada
hilangnya kesempatan bagi sains untuk mengambil manfaat dari kekayaan filsafat
di bidang metafisika (kosmologi dan ontologi), serta arah yang bisa diberikan
oleh filsafat dari perkembangan sains (etika dan aksiologi), tetapi juga dalam
bidang epistemologis. Seperti disebutkan juga oleh beberapa saintis terkemuka,
antara lain Schodinger, Capra dan Oppenheimer, Sains telah kehilangan
kesempatan bagi pengembangan fakultas atau daya intuitif –yang memang sangat
diandalkan dalam filsafat (klasik), sebagai salah satu alat mendapatkan ilmu
pengetahuan di samping alat indra.
Maka, jika peran filsafat terhadap sains kealaman (Natural
Sciences) –yang biasa disebut sebagai sains keras (Hard Science)
saja begitu besar peranannya, apatah pula dalam sains sosial-kemanusiaan
(humaniora) dan budaya?
Dan itu semua barulah separuh dari cerita. Karena
kenyataannya, krisis modernisme tidak berhenti pada krisis epistemologis dan
ekologis saja. Krisis yang lebih akut lagi adalah krisis-krisis eksitensial
yang menyakut hakikat dan makna kehidupan itu sendiri.
Manusia modern telah mengalami kehampaan spiritual, krisis
makna hidup dan krisis legitimasi hidup, serta kehilangan visi dan mengalami
keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri. Menurut Seyyed Hossein Nasr
dalam bukunya The Plight of Modern Man, krisis-krisis
eksistensial ini bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Mereka
telah kehilangan akan harapan kebahagiaan masa depan seperti yang telah
dijanjikan oleh gerakan Renaisance dan Abad Pencerahan (enlightment),
sekularisme, sains dan teknologi, sementara pandangan hidup tradisional telah
disingkirkan dari kehidupan mereka.
Di sinilah terletak peran kedua kajian Filsafat, yaitu untuk
mendekonstruksi paradigma modernisme yang telah “memberhalakan” materialisme,
atheisme, dan sekularisme. Fenomena ini, selain terkait dengan sifat
sekularistik pandangan dunia saintistik, juga diperparah dengan berkembangnya
posmodernisme, yang antara lain didukung pula oleh penerimaan teori mekanika
kuantum. Menurut paham ini, tak ada sesuatu yang bisa disebut sebagai pandangan
dunia (worldview atauwelthanschaung). Kalaupun ada,
pikiran manusia tak mampu menangkapnya. Maka pandangan dunia atomistik dan
parsial, yang sudah dirintis penerimaannya oleh sifat sekular dan
non-transendental sains modern, pun mencapai puncaknya. Di sinilah Filsafat
Islam atau Filsafat Timur –yakni filsafat pramodern—dapat kembali memainkan
peranannya. Filsafat Timur (di mana Filsafat Islam menjadi unsur utamanya) yang
berporoskan kosmologi tradisional – yang mengambil bentuk “Mata Rantai
Keberadaan” ( The Great Chain of Being atau Maratib
al-Wujud ), yang mengungkapkan hierarki dinamis yang saling
berjalin-kelindan, serba meaningfull dan purposefull –dalam
mempersatukan dan merumuskan pandangan dunia yang lebih komprehensif,
integratif dan holistik, dan mengembalikan kepada manusia, kehidupan yang lebih
bermakna dan bertujuan mulia. Murtadha Muthahhari, salah seorang filosof Muslim
kontemporer, telah membuktikan bagaimana filsafat Islam dapat menjadi pisau
bedah dan obat terapi efektif untuk segala permasalahan yang ditemui pada
masanya. Begitu pula rangkaian para filosof Islam lainnya, sejak Ibn Sina, Ibn
Rusdh, Al-Farabi, Nasiruddin Thusi, Shukrawardi dan berpuncak pada kesempurnaan
filsafat Islam (al-Hikmah al-Muta’aliyyah) pada Mulla Sadra dan generasi
filosof sesudahnya, seperti Alamah Thabathabai, Imam Khomeini, Muthahhari,
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, mehdi Hairi Yazdi, dll.
Sumber : Ahmad Yanuana Samantho (ICAS)
0 comments:
Posting Komentar