Rabu, 05 Desember 2012

FILSAFAT ISLAM Merakit Paradigma Peradaban Dunia Baru



Dr. Haidar Bagir, pemikir Islam dan tokoh pendidikan nasional, dalam  suatu kesempatan, mengatakan bahwa evolusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia selama seabad belakang ini, telah sampai ke zaman yang memaksa kita untuk berfikir holistik, sistemik dan reflektif untuk memahami realitas dalam memecahkan problema besar yang diakibatkannya.

Krisis ekologis, misalnya, menghentakkan kesadaran manusia modern untuk menggugat pandangan kosmologi modernis –yang menjadi basis pengembangan sains modern– yang bersifat parsial dan positivistik, antrophosentrik, yang telah dianut selama hampir 3 abad.

Krisis ini telah menggugah, antara lain, seorang filosof analitik dari Norwegia, Arne Naess, untuk melakukan “hijrah intelektual”, untuk menjadi pelopor apa yang disebut “Gerakan Ekologi Dalam” (Deep Ecology Movement), pada pertengahan dasawarsa 1970-an. Dengan Ekologi Dalam, ia membahas persoalan ini dari sumber-sumber masalah yang berakar dalam kekeliruan peradaban modern dalam melihat dan menempatkan posisi lingkungan alam semesta kita dan bentuk hubungan manusia dengannya.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, juga mendorong Thomas Khun, seorang saintis, mencoba memahami gerak laju ilmu pengetahuan sebagai dibentuk oleh “paradigma” yang diterima luas pada setiap masa, yaitu sebuah kumpulan keyakinan dan pemahaman tentang alam semesta yang berkolerasi erat dengan metafisika dan nilai-nilai (The Stucture of Scientific Revolution).

Maka dalam rangka mencari sains yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia, Fritjof Capra –seorang ahli fisika yang lebih belakangan—terpaksa  menoleh ke khazanah hikmah/ filsafat  Timur, khususnya Taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sebelumnya sudah terlanjur dirongrong oleh relatifisme dan skeptisime. Ia menulis buku The Tao of Physic. Kedua contoh di atas tampaknya menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, tidak bisa dipisahkan dari induknya, yakni filsafat.


Dengan kata lain, pemisahan keduanya secara paksa telah terbukti menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan, krisis ekologi, krisis keyakinan yang melahirkan alienasi, depresi dan sebagainya.Di dunia Islam, kenyataan pelepasan sains dari filsafat ini bahkan beraklibat lebih buruk lagi. Dalam sebuah kesempatan Konferensi Sains dan Agama di Jogyakarta tahun 2002, para ahli sains di Dunia Islam ditanya tentang sebab-sebab kemunduran sains di Dunia Islam. Berbagai jawaban masuk akal pun diberikan.
Akan tetapi jawaban Prof.Dr. Osman Bakar dari Malaysia menarik perhatian kita, karena ia menyebutkan bahwa permusuhan terhadap filsafat di negara-negara Muslim selama beberapa abad belakangan ini, sebagai sebab penyebab utama persoalan ini. Bagaimana tidak? Sejarah peradaban Islam hingga kira-kira abad ke-15 M, dengan jelas menunjukkan bahwa pendorong utama berkembangnya sains di negara-negara Muslim –yang bahkan lebih dahulu dan (sempat) jauh lebih maju dibandingkan dengan perkembangan yang sama di belahan dunia lainnya—adalah berkembang-suburnya filsafat. Kenyataannya, sains pada ‘masa-masa keemasan’ peradaban Islam itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh filosof Muslim: Ibn Hayyan, Al Biruni, Ibn Sina, Al-Razi, Al-Thusi, dan sebagainya.

Ibnu Sina (Aviciena)
Apalagi pada masa-masa itu, Fisika (Thabi’iyah) merupakan bagian integral dari filsafat, di samping metafisika (Ma ba’da al-Tabi’iyah). Betapa pun spekulatifnya sifat filsafat Yunani, para filosof Muslim tersebut telah mendapatkan dorongan untuk mementingkan penelitian terhadap alam semesta secara empiris dari Al-Qur’an. Metode kritis dan analitis serta kekayaan kosmologi Filsafat yang dikombinasikan dengan semangat –dalam istilah Iqbal—anti klasik Al-Qur’an ini terbukti telah menjadi kekuatan luar biasa bagi pengembangan sains di dunia Muslim pada masa itu.
Fenomena yang sama, yakni dilakukannya inisiatif pengambangan sains awal oleh para filosof ini, terjadi pula di Barat. Meskipun demikian, dalam perkembangannya kemudian, pelan-pelan sains di Barat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan filsafat. Hal ini terjadi bersamaan dengan ditemukannya dan diterimanya apa yang belakangan disebut merode ilmiah (Scientific Methods) sejak masa Rene Descartes (1586-1650) dan Roger Bacon (1214-1292).
Di satu sisi, hal ini tampak sebagai telah mendorong sains untuk berkembang lebih cepat oleh apa yang yang tampak sebagai penekanan ekslusif atas rasionalitas dan eksperimentasi yang terbuka lebar untuk verifikasi (eksperimental)—dibandingkan ketika ia masih menjadi bagian organik dari Filsafat, yang betapa pun juga bersifat spekualtif. Namun,ada tiga hal yang penting yang perlu kita perhatikan: pertama, pelepasan sains dari filsafat –selain bagi beberapa orang berarti hilangnya kesempatan bagi sains untuk mengambil manfaat dari kekayaan filsafat—telah pula melepaskannya dari transendentalisme dan religiusitas yang terkandung dalam filsafat.
Setidak-tidaknya, sains telah terpisah dari etika, yang selama ini selalu merupakan bagian dari filsafat. Maka seperti yang dinyatakan oleh Houston Smith, pandangan dunia modern lebih bersifat saintistik (hanya berpusat pada sains), ketimbang saintifik (ilmiah). Pada kenyataannya, pisahnya sains dari filsafat ini juga telah merugikan filsafat itu sendiri. Pesatnya perkembangan dan luasnya penerimaan sains modern di kalangan masyarakat telah  pula mendorong filsafat menjadi lebih sekuler, sebagaimana, dapat dilihat dalam perkembangan filsafat modern, setidak-tidaknya seabad belakangnya ini.
Hal ini belakangan telah menimbulkan persoalan etika dalam pengembangan dan penerapan sains modern, sehubungan dengan munculnya kemungkinan pengembangan dan pengembangan sains yang menabrak persoalan-persoalan kemanusiaan yang telah diterima secara luas selama ini.
Persoalan kloning dan eugenika, sehubuingan dengan dikembangkannya proyek genom manusia, yang membuka kemungkinan manipulasi genetik, hanyalah salah satu contohnya. Kedua, setelah terlepas/berpisahnya dari filsafat, pada kenyataannya sains tak pernah bisa benar-benar lepas daru filsafat, yakni metafisika.
Jadi, yang terjadi hanyalah pergeseran dari metafisika yang bersifat transendental (ilahiyah/divine) kepada metafisika yang dalam banyak hal, bersifat sekuler. Ketiga, kerugian yang ditimbulkan dari pemisahan sains dari filsafat, tak hanya terbatas pada hilangnya kesempatan bagi sains untuk mengambil manfaat dari kekayaan filsafat di bidang metafisika (kosmologi dan ontologi), serta arah yang bisa diberikan oleh filsafat dari perkembangan sains (etika dan aksiologi), tetapi juga dalam bidang epistemologis. Seperti disebutkan juga oleh beberapa saintis terkemuka, antara lain Schodinger, Capra dan Oppenheimer, Sains telah kehilangan kesempatan bagi pengembangan fakultas atau daya intuitif –yang memang sangat diandalkan dalam filsafat (klasik), sebagai salah satu alat mendapatkan ilmu pengetahuan di samping alat indra.
Maka, jika peran filsafat terhadap sains kealaman (Natural Sciences) –yang biasa disebut sebagai sains keras (Hard Science) saja begitu besar peranannya, apatah pula dalam sains sosial-kemanusiaan (humaniora) dan budaya?
Dan itu semua barulah separuh dari cerita. Karena kenyataannya, krisis modernisme tidak berhenti pada krisis epistemologis dan ekologis saja. Krisis yang lebih akut lagi adalah krisis-krisis eksitensial yang menyakut hakikat dan makna kehidupan itu sendiri.
Manusia modern telah mengalami kehampaan spiritual, krisis makna hidup dan krisis legitimasi hidup, serta kehilangan visi dan mengalami keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri. Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya The Plight of Modern Man, krisis-krisis eksistensial ini bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Mereka telah kehilangan akan harapan kebahagiaan masa depan seperti yang telah dijanjikan oleh gerakan Renaisance dan Abad Pencerahan (enlightment), sekularisme, sains dan teknologi, sementara pandangan hidup tradisional telah disingkirkan dari kehidupan mereka.
Di sinilah terletak peran kedua kajian Filsafat, yaitu untuk mendekonstruksi paradigma modernisme yang telah “memberhalakan” materialisme, atheisme, dan sekularisme. Fenomena ini, selain terkait dengan sifat sekularistik pandangan dunia saintistik, juga diperparah dengan berkembangnya posmodernisme, yang antara lain didukung pula oleh penerimaan teori mekanika kuantum. Menurut paham ini, tak ada sesuatu yang bisa disebut sebagai pandangan dunia (worldview atauwelthanschaung). Kalaupun ada, pikiran manusia tak mampu menangkapnya. Maka pandangan dunia atomistik dan parsial, yang sudah dirintis penerimaannya oleh sifat sekular dan non-transendental sains modern, pun mencapai puncaknya. Di sinilah Filsafat Islam atau Filsafat Timur –yakni filsafat pramodern—dapat kembali memainkan peranannya. Filsafat Timur (di mana Filsafat Islam menjadi unsur utamanya) yang berporoskan kosmologi tradisional – yang mengambil bentuk “Mata Rantai Keberadaan” ( The Great Chain of Being atau Maratib al-Wujud ), yang mengungkapkan hierarki dinamis yang saling berjalin-kelindan, serba meaningfull dan purposefull –dalam mempersatukan dan merumuskan pandangan dunia yang lebih komprehensif, integratif dan holistik, dan mengembalikan kepada manusia, kehidupan yang lebih bermakna dan bertujuan mulia. Murtadha Muthahhari, salah seorang filosof Muslim kontemporer, telah membuktikan bagaimana filsafat Islam dapat menjadi pisau bedah dan obat terapi efektif untuk segala permasalahan yang ditemui pada masanya. Begitu pula rangkaian para filosof Islam lainnya, sejak Ibn Sina, Ibn Rusdh, Al-Farabi, Nasiruddin Thusi, Shukrawardi dan berpuncak pada kesempurnaan filsafat Islam (al-Hikmah al-Muta’aliyyah) pada Mulla Sadra dan generasi filosof sesudahnya, seperti Alamah Thabathabai, Imam Khomeini, Muthahhari, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, mehdi Hairi Yazdi, dll.

Sumber : Ahmad Yanuana Samantho (ICAS)

0 comments: