langit dan mentari
siang berganti malam
kulit dan jauhari
citra buhulan terang
Hud-Hud Rahmaniyyah
(dimitri mahayana, 1993)
1. Syarah kalimat “langit
dan mentari”
Adapun
sumber segala kehidupan adalah langit. Langit artinya bukan bumi. Arti lebih
luasnya adalah bukan dunia atau bukan termasuk alam materi. Langit artinya
sesuatu yang lebih tinggi dari bumi. Lebih tinggi dalam artian konsepsional.
Sebagaimana sebab mendahului akibat. Dapat dikatakan sebab memiliki derajat
prioritas lebih tinggi dari akibat.
Adapun
sari kehidupan adalah gerak dan perubahan. Dan gerak memerlukan energi. Karena
energi-lah melakukan gerak. Perubahan tiada lain adalah efek-efek gerak, ia pun
memerlukan energi. Dari mana datangnya energi untuk seluruh kehidupan di bumi?
Dari matahari, sang surtya yang senantiasa perkasa menebarkan
milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat raya. Dan sepercik, -sebagian amat
kecil-, dari foton-foton itu sampai ke bumi, menghidupi berjuta tanaman,
tanaman menghidupi berjuta hewan, hewan dan tanaman menghidupi brjuta hewan
lain maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di bumi adalah energi
matahari.
Adapun
mentari dalam sya;ir di atas memiliki tafsiran kias yang lebih luas. Mentari
diartikan sebagai Cahaya Wujud Mutlaq, sumber iluminasi semua wujud lain.
Mengapa?
Perhatikan
sebuah benda. Ia tak akan tampak ada tanpa adanya cahaya. Baik dari segi
obyektif maupun subyektif. Dalam kegelapan mutlak, tiada akan tampak wujud
apapun, lebih dalam lagi. Perhatikan sebuah benda. Ia adalah materi. Telah diketahui
bahwa massa tiada lain adalah energi yang diam terkungkung dalam suatu struktur
tertentu. Dengan kondisi tertentu ia dapat berubah menjadi energi. Energi dalam
bentuk apa? Cahaya! Inilah yang terjadi pada bom maupun matahari. Jadi dalam
relung-relung atomik sati-sari benda tiada lain adalah cahaya.
Karena
itu dalam sya’ir ini cahaya digunakan untuk mengkiaskan sesuatu yang lebih umum
lagi, yiatu ‘kebendaan’ suatu benda. Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip
niscaya rasional dalam diri kita senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia
ini ada, mengapa ini ada, mengapa itu ada? Segala sesuati yang maujud
membutuhkan Sebab. Dan sebab itu-lah yang memberikan eksistensi padanya. maka
dapat kita buat rantai-rantai pertanyaan kenapa ini ada, misalnya jawabnya
karena x1 (sesuatu pertama) ada. Selanjutnya dapat kita tanya lagi, kenapa x1
ada (sesuatu kedua) ada, jawabnya karena x2, dan seterusnya. Maka tiada mungkin
rantai ini tidak berawal, seandainya ia tidak berawal dari-mana semua
mata-rantai lain memperoleh eksistensinya? Jadi pasti harus ada satu ujung
sebab yang memiliki eksistensi mandiri, tidak tergantung kepada lain. sebab ini
keberadaannya harus dan ketiadaannya mustahil.
Sebab
pertama adalah Keberadaan Mutlaq (Al-Wujud
Al-Muthlaq). Artinya jawaban dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah
sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Karena jika sebab pertama itu
sesuatu selain keberadaan maka ia harus memiliki sebab lain yang memberinya
keberadaan. Dan karena ternyata iru masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab
pertama. Namun kalau ia tidak memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin
memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Yakni keberadaan. Padahal, secara
aprior, kita yakini bahwa kita dan hal-hal lain itu ada secara real. Artinya
realitas membenarkan adanya keberadaan bukan subyektif atau imajinatif.
Sebab
pertama itu tunggal. Kenapa? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebab pertama
adalah keberadaan itu sendiri. Atau wujud qua
wujud. Misal ada dua ujung rantai sebab, dengan kata lain ada dua sebab
pertama. Dan sebab pertama satu adalah keberadaan itu sendiri. Misal sebab
pertama kedua adalah sesuatu selain sebab pertama satu. Maka ia adalah sesuat
yang bukan keberadaan itu sendiri dan artinya ia bukan sebab pertama. Jadi jika
ada dua ujung rantai sebab, kedua sebab pertama tersebut harus identik. Argumen
ini dapat dikembangkan untuk berapapun ujung rantai sebab. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa, jika ada banyak ujung rantai sebab, maka mereka semua harus
identik. Artinya hanya ada satu sebab pertama. Satu yang tidak mempunyai
kemungkinan sama sekali untuk dijumlahkan menjadi dua. Argumen ini berdasarkan
suatu premis bahwa keberadaan
mempunyai makna yang ekivalen pada semua yang maujud, pada Wujud Wajib maupun
Wujud Mumkin. (Lihat Carutan Wahdatul-Wujud,
Sayyidina Musa Husein Al-Bangili Al-Habsyi dan Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi
Sabzavary). Sebagai sebuah contoh argumen sederhana dari premis ini adalah
bahwa ketiadaan A, ketiadaan B dan ketiadaan segala sesuatu memiliki maksa yang
identik. Maka karena ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik,
keberadaan A, keberadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing
merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, keberadaan segala sesuatu yang
masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, ketiadaan segala
sesuatu memiliki makna yang identik. Dan sesuatu yang secara subyektif identik
(satu) pasti secara obyektif satu adanya, sebagaimana bahwa satu bayangan pada
cermin tidak mungkin dihasilkan oleh dua obyek
di depan cermin.
Sebab
pertama itu tidak terbagi. Tidak terbagi dalam arti logis. Artinya tidak
mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu lain yang lebih kecil. Kenapa? Kalau ia
terbuat dari sesuatu-sesuatu yang lain yang lebih kecil, maka sesuatu-sesuatu
yang lain lebih kecil itu apa? Jika salah satu dari sesuatu-sesuatu yang lebih
kecil itu adalah keberadaan mutlak maka yang lainnya adalah ketiadaan mutlak.
Dan karena yang lain adalah ketiadaan mutlak berarti sesuatu-sesuatu yang lain
itu tidak ada. Jadi hanya ada satu sesuatu yang tidak lain adalah keberadaan
mutlak itu sendiri. Jika tidak ada diantara sesuatu-sesuatu itu yang merupakan
keberadaan, maka darimana mereka memiliki keberadaannya? Tentu memerluka sebab.
Lebih lanjut, jika sebabnya adalah gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut
yang telah kita sepakati sebagai sebab pertama, ini akan membuat satu rantai
sebab tanpa ujung lagi, dan telah dibuktikan bahwa ini tidak mungkin.
Kemungkinan lain adalah bahwa memang ada sebab selain dirinya yang memberikan
keberadaan pada sesuatu-sesuatu ini, dan berarti sesuatu-sesuatu ini maupun
gabungannya bukanlah merupakan sebab pertama.
Sebab
pertam itu tidak bersifat material. Kenapa? Karena materi adalah sesuatu yag
terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sebab pertama itu materi, maka ia terbatas
oleh ruang dan waktu. Ada dua keadaan yang mungkin di sini. Kemungkinan pertama
adalah ruang dan waktu adalah sesuatu yang lebih luas dari sebab pertama. Maka
ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Maka ada bagian
dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Karena sebab pertama
adalah keberadaan itu sendiri maka sesuatu selain sebab pertama itu tidak ada.
Kemungkinan kedua adalah bahwa sebab pertama tersbeut adalah ruang dan waktu
itu sendiri. Kalau sebab pertama identik dengan ruang dan waktu, berarti ia
terbagi, karena ruang dan waktu dapat dibagi menjadi bagian-bagian ruang dan
bagian-bagian waktu yang lebih kecil. Dan ini kontradiksi, karena keberadaan
mutlak tidak terbagai.
Jadi
dapat dibayangkan bahwa sumber segala yang maujud adalah Matahai Wujud Mutlaq
yang memancarkan cahaya wujudnya, memberikan keberadaan dari segala sesuatu
yang ada. Mentari ini bukanlah merupakan sesuatu yang material, ia tidak
terikat ruang dan waktu, tapi meliputi itu semua, karena Ia lah yang memberikan
keberadaan pada wujud-wujud mungkin selain diriNya. Sang Maha Surya perkasa
yang ada di ufuk tertinggi langit dari segala sesuatu. Demikianlah maka terucap
baris pertama dari sya’ir di atas.
“Langit dan Mentari”
Jadi yang dimaksud dengan kalimat ini adalah,
bahwa saat kita melihat semua realitas maka di atas semua realitas tersebut,
terdapat Langitnya. Langit dalam
artian logis, artinya sesuatu yang memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari
realitas itu sendiri. Dan di atas langit ada langit, di atas Langit ada Langi,
di atasnya lagi ada langit, ……., dan di puncak langi dari segala langit
terdapat. Ia sebagai Mentari Wujud Mutlak, yang memberikan Cahaya Wujud kepada
segala yang maujud. Semuanya tiada tanpa Ia. Semuanya tiada tanpa Ada. Semuanya
tiada tanpa Ia. Sang Wujud Yang Mutlak. Jadi semuanyam baik segenap indera
kita, mata kita, perasaan kita maupun semua hal yang ada di lua diri kita tiada
tanpa Ia, Sang Wujud Mutlak. Oleh karena itu sebelum kita melihat berbagai
fenomena, maka secara subyektif maupu obyektif kita “melihat” dulu “Al-Wujud
Al-Muthlaq” yang memberikan keberadaan dan merupakan satu-satunya keberadaan
bagi semua yang maujud. Hal itu seolah disyaratkan oleh ucapan “Butalah mereka
yang tiada melihatNya di pelupuk matanya”, atau “Aku meliha Tuhanku dengan mata
hatiku”, atau “Tiada Ia kecuali Ia”. Ia mendahului seluruh kedipan mata yang
melihat, telinga yang mendengarm hidung yang bernafas, hati yang berdetak,
pembuluh darah yang berdegup malu, rasa yang mulai bergeletas. Ia menyertai
mereka semua setiap saat dan setiap waktu dan di setiap hal yang tiada dapat
dibatasi oleh waktu apapun dan ruang apapun.
2.
Syarah kalimat “siang berganti malam”
Adapun mengapa terjadi siang dan malam? Panas
(“yang”) dan dingin (“im”)? Kebaikan dan keburukan? Tinggi dan rendah?
Keindahan dan kejelekan? Nikmat dan sakit? Pahala dan dosa? Tua dan muda? Besar
dan kecil? Terang dan gelap?
Kenapa terjadi Dualisme-Dualisme? Mengapa ada
kutub-kutub? Dan lebih lanjut dari dualisme-dualisme ini muncul pula berbagai
hal yang plural? Apakah hal-hal yang berkutub ganda ataupun hal-hal yang plural
ini eksis secara objektif? Ataukah mereka hanya eksis secara subyektif?
Apakah benar terdapat kebaikan dan kejahatan?
Kebenaran dan kesesatan?
Prinsip kausalitas menyatakan bahwa suatu
Sebab tertentu akan menimbulkan akibat tertentu pula. Tidak mungkin suatu Sebab
yang sama menghasilkan berbagai macam akibat. Maka tidak mungkin Sesuatu yang
secara obyektif tidak terbagi menjadi Sebab bagi suatu akibat yang secara
obyektif terbagi. Karena jika akibat yang
ditimbulkannya secara obyektif terbagi pasti membutuhkan sebab lain yang
menimbulkan “keduaan” atau “kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab
Pertama, tidak mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara
obyektif, karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua adalah akibat dari
rantai sebab yang berujung pada Sebab Pertama, maka tidak mungkin dua hal yang
secara logis kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif. Jika yang satu
eksis secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis secara obyektif.
Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan tiada.
Konsepsi subyektif kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu itulah yang
disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara subyektif dalam artian
negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi dan rendah, Besar dan kecil,
Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif, Terang dan gelap.
Dengan adanya dualisme-dualisme dalam
konsepsi subyektif kita, terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung
pengertian “dua-dua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini bisa
menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah)
itu ada secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata lain ia
hanya ada dalam alam imajinasi.
Ada sebuah perumpamaan yang amat mengesankan
dalam Kuliah YM Ytc. ‘Allamah Sayyid Musa bin Husein Al-Habsyi Al-Bangili,
-seorang Ahli Hikmah Besar dari Bangil-, dalam kuliah beliau tentang Wahdatul
Wujud di kelompok studi Topika, Bandung yang beranggotakan para aktifis Tarekat
‘Ubudiyyah. Beliau mengumpamakan fikiran manusia sebagai prisma, dan Wujud
sebagai cahaya putih. Ketika cahaya putih mengenai prisma, prisma akan
menguraikannya menjadi cahaya multi-warna (polikhromatis). Prisma-lah yang memberikan
nuansa merah, ungu, hijaui, biru, kuning, dan berjuta warna-warna antara yang
tak terhitung jumlahnya pada cahaya putih tersebut. Demikian pula Wujud Fikiran
dan pemahaman manusia-lah yang “memberikan” berbagai nuansa pada Wujud Tunggal
Maha Mutlak. Tiap pemahaman manusia tentang Wujud adalah selarik cahaya hasil
uraian prisma “fikirannya”, sehingga dikatakan bahwa “Maha Suci Ia dari semua
apa yang mereka sifatkan”.
Siang berganti malam, menunjukkan adanya
gerak dan perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan ke
keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu Ruang yang
memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak. Karena berarti tidak akan terjadi
perubahan apapun. Karena itu minimal harus terdapat dua titik agar terjadi
gerak dan itulah makna Siang berganti malam. Siang berganti malam menunjukkan
bahwa minimal harus ada satu dualisme agar terjadi gerak. Dari ini menunjukkan
bahwa gerak sebagai gerak, -motion as
motion-, hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah gerak,
alam tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna. Dalam pengertian yang
sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan sebagai Sang Maha Sebab dan ada alam,
yaitu segala sesuatu yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita telah ada
minimal dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi gerak, dan
itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu digaris-bawahi bahwa
ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun pluralisme (kejamakan) di mana dapat
terjadi gerak tersebut, hanya memiliki eksistensi subyektif. Sehingga keduaan
dan kejamakan yang “ada” dalam berbagai perubahan hanya ada dalam imajinasi.
Dengan kata lain seluruh alam ini hanya “ada dan jamak” dalam imajinasi. Dan
sesungguhnya Semua ini “Ada dan Tunggal” secara obyektif.
Maha Suci Ia yang menciptakan Siang dan malam
sebagai tanda, Yang menciptakan semua selain Ia dalam imajinasi, Yang
membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma pemahaman hamba-Nya. Maha
Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa tiada selain Ia, tiadalah semua yang
tiada. Cahaya Wujud Yang Maha Tunggal memancar dan “dalam” imajinasi seolah
tampak keberadaan “ketiadaan”. Pancaran inilah sumber alam dan semua yang ada.
Tapi, sekali lagi, Tiada selain Wujud Tunggal ini, Tiada apapun selain Dia. Dia
dan tiada apapun selain Dia! Dia!
3.
Syarah kalimat “kulit dan jauhari”
Adapun “kulit” adala sesuatu yang langsung
terlihat. Dan jauhari adalah sesuatu yang ada di balik “kulit”. Dilihat dengan
mata, sebuah jambu memiliki kulit jambu. Jika di balik kulit jambu ini tidak
terdapat zat jambu maka tidaklah dikatakan bahwa sesuatu itu jambu. Tapi jika
terdapat sebuah jambu yang telah mengelupas kulitnya maka ia tetap disebut
jambu. Itulah jauhar jambu.
Sesuatu di kenali tidak dengan kulitnya tapi
dengan jauharnya. Penampakan luar yang terlihat tidaklah menunjikkan sesuatu
tersebut. Dengan kata lain “ada” sesuatu yang menunjukkan “kesesuatuan” dari
sesuatu. Inilah yang kita sebut jauhari dari sesuatu.
Jika kita memandang sesuatu sebagai sesuatu
tersebut, maka jauharnyalah yang penting bukan kulitnya. Sebagaimana jika kita
memakan buah pisang, buanglah kulitnya dan makanlah zat pisang yang ada di
dalamnya. Karena itu hal-hal yang bersifat “luar” ataupun lebih tegas lagi
bersifat “inderawai” tidaklah penting selama hal itu tidak mempunyai relasi
dengan “kesesuatuaan” dari sesuatu yang sedang kita perhatikan. Jika anda
melihat sesuatu rudal janganlah melihat dari segi “bentuknya secara estetis
indah atau tidak”, “catnya berwana apa”, tapi pandanglah dari segi “keefektifan
penembakan, pengejaran sasaran dan peledakan” yang berhubungan langsung dari
“kesesuatuaan” suatu rudal.
Dan adalah suatu pertanyaan maha penting
sebagai berikut. Pandanglah Segala Sesuatu sebagai Sesuatu. “Apakah Jauhari
dari Segala Sesuatu ini?”. Atau dengan kata lain. “Apakah hakikat dari Segala
Sesuatu ini?”.
4.
Syarah kalimat “citra buhulan Terang”
Citra artinya bayangan atau imajinasi
sesungguhnya imajinasi tiada lain adalah satu jenis bayangan yang dihasilkan
oleh cermin fikiran. Segala sesuatu yang tampak selain Ia adalah citra. Adalah
bayangan. Hanya eksis secara subyektif. Semua kulit-kulit yang kita lihat
selain Ia adalah citra, adalah khayalan. Dimitri sebagai “dimitri” dengan
keapaan atau batasan-batasannya sebagai “dimitri” yang Anda lihat saat ini
adalah khayalan. Artinya dilihat dari Obyektifitas yang Maha Obyektif “dimitri”
adalah suatu khayalan atau citra yang subyektif. Dan bukan berarti bahwa secara
“obyektif praktis”, “dimitri” tidak ada. Karena sebenarnya alam
“obyektif-praktis’ yang kita rasakan sehari-hari ini suatu alam subyektif yang
memiliki “derajat obyektifitas” tertentu.
Pandang Segala Sesuatu sebagai Sesuatu, maka
hakikatnya bukan lain adalah Wujud Maha Gemilang Yang Maha Mutlak. Kenapa?
Telah dibuktikan bahwa Hanya Ia yang Ada secara Obyektif, dan selain Ia tiada
secara Obyektif. Jika hakikat, dari segala sesuatu bukanlah Keberadaan itu
sendiri (wujud qua wujud atau wujudun bima huwa wujudun), maka dari mana Segala
Sesuatu tersebut memiliki keberadaan? Dan jika Segala Sesuatu tersebut tidak
memiliki keberadaan maka ia tidak ada dan ini tidak mungkin.
Jadi segala sesuatu yang tampak di mata
ataupun tersirat di hati ataupun terdengar di telinga ataupun terasa di
pembuluh dara, ataupun segala sesuatu yang ada di alam obyektif-praktis ini
tiada lain hanyalah Citra buhulan Terang. Citra buhulan pancaran Cahaya Wujud
Mutlak yang terpancara dari Wujud Tunggal ke alam ketiadaan mutlak (Al-;adam
Al-muthlaw, -atau nothingness).
Cahaya tersebut terpancar dalam imajinasi, memunculkan berbagai “keberadaan”
wujud-wujud yang mungkin, dan berbagai wujud-wujud yang mungkin tersebut lebih
lanjut menjadi cermin dan prisma yang membiaskan –Cahaya tersebut menjadi
Lautan Gemilang Cahaya. Di antara Cahaya-Cahaya tersebut jika terbuhul
(terikat) dengan suatu struktur-struktur tertentu muncullah citra-citra.
Citra-Citra muncul seperti buih yang muncul di lautan. Citra-Citra adalah
buih-buih dalam lautan Wujud Cerlang Gemilang.
Jadi jauhar dari Segala Sesuatu adalah Dzat
Tuhan Yang Maha Agung, -Sang Wujud Mutlak Yang Maha Tunggal Yang Tiada Terbagi
oleh berbagai penyifatan-, Tapi tidak ada satu bagian apapun yang tampak oleh
indera maupun fikiran kita dari alam ini yang dapat diidentikkan dengan Tuhan.
Segala Sesuatu adalah Tuhan, tapi tidak ada sesuatu apapun yang masih mungkin
dicerap oleh indera maupun fikiran kita yang identik dengan Tuhan. Inilah yang
mungkin sering disebutkan dengan istilah “Huwa/Laa Huwa,- Dia dan tidak Dia-“.
Segala Sesuatu adalah Ia, tapi tidak ada sesuatu apapun yang ada dalam kejamakan
ataupun keduaan ini yang identik dengan Ia. Tidak suatu konsepsi subyektif
siapapun yang mampu mencerap pengertian yang sempurna tentang Ia, Wujud Yang
Maha Sempurna dalam KeTunggalan dan KeTakterbagiannya. Mungkin inilah yang
dimaksudkan dengan kalimat “Ma arrafnaka bihaqqi ma’rifatik, -Tidak-lah kami
kenali diriMu dengan pengenalan yang sebenarnya-“ atau dengan kalimat “Duhai
Yang senantiasa kurindukan tanpa pernah kubayangkan”.
Jadi kesimpulannya? Seluruh apapun yang
dituliskan dalam makalah ini tentang Ia pasti tidak bisa menggambarkanNya
sebagaimana adaNya! dan apa artinya, anggap saja seluruh isi makalah ini adalah hiburan lepasa senja
yang tidak mengandung Kebenaran sama sekali! Sebagaimana yang telah dikatakan
oleh Guruku tct, Maulana Rumi, “Sesungguhnya para filosof itu berdiri di atas
kaki kayu”. Bagaimana mungkin “melihatnya” dengan cara apapun kecuali dengan
“PenglihatanNya” ? “Yaa man laa ya’lamu ma huwa wa laa KAIFA huwa wa laa aina
huwa wa laa HAITSU huwa illa huwa”.
Dan kepadaNyalah aku berlindung dari
keburukan segenap kebodohan kami, dan Semoga keberkahan Sholawat kepada Nabi
dan Ahlul Baitnya yang suci senantiasa bagi kita semua.
Sumber : Kumpulan Renungan Dimitri Mahayana
0 comments:
Posting Komentar