Rabu, 05 Desember 2012

Sekilas Tentang Filsafat Islam


Avicenna ( Ibn Sina )
Jika orang ditanya, apa perbedaan agama dan fil­safat, maka jawaban-standarnya adalah sebagai berikut. Filsafat mulai dari keragu-raguan, sementara agama mulai dari keimanan. Jawaban ini, meski sepintas tampak memuaskan, tak terlalu tepat jika dirujukkan kepada filsafat pramodern, khususnya Islam. Pertama, tak benar bahwa agama Islam menyatakan bahwa penganutannya bermula dari iman. Dalam Islam, dalam hal ini paham rasionalistik Islam (ta‘aqqulî), keimanan datang belakangan setelah atau, paling cepat, bersamaan dengan akal. 


Menurut paham ini, agama harus dipahami secara rasional. Bahkan, bagi sebagian orang, adalah menjadi tugas setiap individu Muslim untuk berupaya sampai kepada kepercayaan (‘aqîdah) yang benar tentang Islam lewat pemikirannya sendiri. Dengan demikian, sampai batas tertentu keragu-raguan—skeptisisme sehat—memang dipromosikan di sini. “Agama,” kata sang Nabi, “adalah akal. Tak ada agama bagi orang yang tidak berakal.”

Ibn Rusdh (Averoes), Filosof Islam Peripatetik (Masya’iyyah)
Kedua, tak pula benar bahwa filsafat Islam sepenuhnya mulai dari keragu-raguan. Seperti segera akan kita lihat, ciri filsafat Islam bukanlah terutama terletak pada skeptisisme. Ciri yang membedakan filsafat Islam dari pendekatan tradisional (ta‘abbudî) dan teologis adalah pada metode yang digunakannya. Kalau dalam yang disebut belakangan metode yang digunakannya bersifat dialektik (jadalî), maka dalam filsafat Islam—meski sama-sama rasional-logis—metode yang diterapkan adalah demonstrasional (burhânî). Teologi berangkat dari keimanan terhadap sifat kebenaran-mutlak bahan-bahan tekstual kewahyuan—Al-Quran dan Hadis. Para teolog membangun argumentasinya secara dia­lektis berdasarkan keyakinan baik-buruk teks­tual, dan dari situ berupaya mencapai kebenaran-kebenaran baru. Sementara, kaum filosof membangun argumentasinya melalui pijakan apa yang dipercayai dan disepakati secara umum sebagai premis-premis kebenaran primer (primary truth). Meski demikian, pada praktiknya—sesungguhnya tak beda dengan peran pandangan-dunia dalam aliran filsafat apa pun—ia tak pernah benar-benar lepas dari bayang-bayang pandangan-Dunia Islam. Sejak awal sejarahnya—termasuk pada pemikiran-pemikiran yang lebih murni bersifat Aristotelian—nuansa religius memang tak pernah absen dalam filsafat Islam. Nuansa tersebut datang lewat Stoisisme dan Neoplatonisme Yunani, ajaran Kristen Helenistik—setidak-tidaknya lewat Philo, orang Mesir pemikir Kristen Helenistik pertama—dan, tentu saja, ajaran agama Islam sendiri. Mulai dari keyakinan yang sudah taken for granted mengenai keberadaan Tuhan dengan sifat-sifatnya; fenomena nabi sebagai pesuruh Tuhan; hingga kepercayaan mengenai adanya sifat ruhaniah, teleologis-rasional, dan holistik segenap unsur alam semesta dan, pada saat yang sama, pandangan ihwal sifat hierarkis wujud (hierarchy of being atau marâtib al-wujûd) yang berada di dalamnya. Hierarki wujud ini bermula dari Tuhan yang murni bersifat imaterial hingga kemaujudan yang paling rendah dan bersifat material murni, melewati malaikat, dan manusia yang merupakan campuran kedua unsur ini. Nuansa religius ini muncul dengan lebih kuat setelah periode Ibn Rusyd bersama lahirnya filsafat isyrâqiyyah (iluminisme), ‘irfân(teosofi atau tasawuf filosofis), dan hikmah (teosofi transenden). Dalam aliran-aliran ini, tradisi—Al-Quran dan Hadis—teologi, serta mistisisme sudah merupakan ramuan tak terpisahkan bersama metode peripatetik (masysyâ’î) Aristotelian. (Meski demikian, orang tak bisa gagal melihat perbedaannya dengan mistisisme, karena secara metodologis mistisisme tak meyakini metode rasional dalam mencapai kebenaran).

Jadi, memang filsafat Islam pada akhirnya bisa dilihat sebagai gabungan antara pemikiran liberal dan agama. Ia bisa disebut sebagai liberal dalam hal pengandalannya pada kebenaran-kebenaran primer dan metode demonstrasional untuk mem­bangun argumentasi-argumentasinya. Pada saat yang sama, pengaruh keyakinan religius atau quasi religius amat dominan, baik dalam penerimaan kesepakatan mengenai apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis lanjut dalam silogisme mereka.
Demikian pula halnya dengan epistemologi filsafat Islam. Akal, bahkan dalam alirannya yang lebih peripatetik, tak pernah dipahami sebagai semata-mata rasio (ratio atau reason) yang bersifat cerebral (terkait dengan otak) belaka. Masih sebagaipengaruh Neoplatonisme, akal sejak awal sejarah filsafat Islam selalu terkait dengan Nous. Dan Nous pasti bukan sekadar rasio. Bahkan Tuhan, dalam Neoplatonisme identik dengan Nous. Barangkali memang, seperti dilakukan banyak orang, menerjemahkan ‘aql dengan intelek (intellect) jauh lebih tepat. Tercakup di dalam konsep intelek ini, bahkan lebih utama dari rasio, adalah apa yang disebut dengan intuisi atau “ilham” (pencerahan, iluminasi, atau isyrâq), atau terkadang disebut se­bagai “kesadaran poetik”. Sebagaimana Nous bersifat imaterial atau ruhani, maka Nous yang merupakan daya (quwwah) untuk mempersepsinya juga mencakup yang ruhaniah.
Sejak awal sejarah filsafat Islam ketika pengaruh Aristotelianisme masih amat kuat—apalagi dalam bentuk mistisisme, iluminisme, teosofi, dan hikmah—akal (‘aql) selalu dipahami secara bertingkat-tingkat, dari akal material hingga apa yang mereka sebut sebagai “akal suci” (al-‘aql al-qudsî), bahkan akal kenabian. Akal dalam aktualisasi-puncaknya ini dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan kontak (ittishâl) dengan Akal Aktif (Al-‘Aql Al-Fa‘ ‘âl)—sejenis Intelek yang, oleh sementara pemikir Muslim, diidentikkan dengan Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu atau ilham.
Alhasil, orang boleh saja mempersoalkan kemurnian sifat “filosofis” Filsafat Islam. Kenyataannya, dalam segenap keliberalan metodenya, pengaruh religiusitas masih bekerja dengan kuat dalam pemikiran para tokohnya. Nah, apakah dengan demikian pemikiran yang berada di bawah pengaruh ajaran-ajaran (“dogma-dogma”) masih bisa disebut sebagai filsafat—yang mestinya liberal dalam proses berpikirnya?
Buat yang berpikiran demikian, Anda mung­kin bisa belajar dari Oliver Leaman, seorang profesor ahli sejarah filsafat Islam di Amerika Serikat. Menggemakan kembali pandangan Fazlur Rahman dan Toshihiko Izutsu sebelumnya, dia mengakui: “Pada masa yang lampau, saya sempat menganggap (tasawuf dan mistisisme yang banyak mewarnai filsafat Islam, khususnya pasca-Ibn Rusyd—HB) sebagai bukan filsafat sama sekali, dan lebih erat terkait dengan teologi dan pengalaman religius yang subjektif. Saya menganggap bentuk-bentuk pemikiran ini sebagai indikasi-indikasi suatu bentuk schwarmerei atau keliaran, yang saya pandang sebelah mata dengan gaya pelecehan Kantian. Saya sekarang berpikiran bahwa pada masa lampau pendekatan saya terhadap cara-cara berfilsafat ini terlalu terbatas. (Sesungguhnya, bahkan teologi dan tasawuf) memiliki kaitan yang jauh lebih banyak dengan tradisi peripatetik (yang bersifat rasional-analitik—HB).” (Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, UK, 2002, hh. xi-xii.)
Lagi pula, persoalan pengaruh ajaran agama pada filsafat Islam hanya terkait dengan apa—yang dalam filsafat sains disebut sebagai context of discovery(konteks penemuan). Padahal rasional atau ilmiah tidaknya suatu karya pemikiran seharusnya  dinilai dari context of justification (konteks justifikasi atau pembenaran). Karena, bahkan dalam hard science sekalipun, boleh jadi suatu penemuan (discovery) terjadi secara sama sekali tak “ilmiah” atau rasional. Bahkan, bukan tak ada suatu teori ilmiah yang ditemukan lewat mimpi, misalnya. Contohnya adalah penemuan rumus benzena oleh Kekule. Kenyataan itu tak lantas berarti bahwa rumus yang ditemukan Kekule itu harus dianggap tidak ilmiah. Tolok ukurnya pada apakah penemuan tersebut bisa dijustifikasi secara ilmiah atau tidak. Kenyataannya, teori-teori atau pandangan-pandangan dalam filsafat Islam—meski mungkin penemuannya terjadi di bawah pengaruh agama—justifikasinya bersifat sepenuhnya rasional.
Dari uraian di atas, beberapa kesimpulan kiranya bisa ditarik. Pertama, filsafat Islam bisa disebut demikian—bukan “sekadar” filsafat Muslim atau filsafat Arab—karena sifat-menentukannya ajaran Islam di dalamnya. (Bahkan, bukan hanya filsafat Islam pasca-Ibn Rusyd yang memang menjadikan teks-teks tradisi sebagai bahan ramuan filsafatnya, filosof Muslim peripatetik sejak Al-Kindi hingga Ibn Rusyd dikenal dengan upaya inkorporasi atau sedikitnya penyejajaran ajaran-ajaran Islam dengan prosedur rasional. Ibn Sina malah dikenal dengan karya tafsir Al-Quran, sementara Ibn Rusyd adalah juga seorang ahli fiqh yang terkenal dengan empat jilid karya fiqh-nya yang berjudul Bidâyah Al-Mujtahid). Meski demikian, ia tak kehilangan sifat filosofisnya dan “hak”-nya untuk diapresiasi sebagai se­jenis filsafat karena kesetiaannya kepada kegiatan rasiosinasi (ratiocination) dalam segenap prosedur berpikirnya. Inilah kesimpulan kedua yang dapat kita tarik.
Akhirnya, sedikit tanggapan kiranya perlu diberikan kepada pernyataan sebagian orang yang mereduksi apa yang selama ini disebut sebagai filsafat Islam sebagai sekadar “contekan” filsafat Yunani. Pernyataan seperti ini kiranya hanya bisa muncul dari orang yang tak cukup akrab dengan filsafat Islam. Bukan saja, seperti telah disinggung di atas, warna ajaran Islam tersebar di mana-mana dalam segenap tema “tradisional” filsafat Yunani, kenyataannya filsafat Islam telah menyumbangkan banyak tema baru ke dalam khazanah filsafat, termasuk dalam epistemologi dan ontologi filsafat. Karena tulisan seringkas ini bukanlah tempat bagi pembahasan yang terperinci, maka saya hanya ingin mengajak Anda untuk membaca judul “Kontribusi Filosof Muslim kepada Filsafat” yang ditulis Muthahhari mengenai soal ini.  Dalam tulisan tersebut, Muthahhari menyatakan bahwa filsafat Islam telah menyumbangkan banyak problem baru yang sama sekali tak pernah dibahas filsafat sebelumnya, di samping lebih banyak lagi pengembangan lebih lanjut problem-problem yang sudah pernah dibahas sebelumnya.6
__________

  1. Menurut versi lain tamsil ini, ketika sang ulama tersadar, dia mendapati lilin yang dipakainya untuk membaca telah lama mati. Namun, dilihatnya pula ruangannya masih terang. Baru kemudian dia sadari, persis di belakangnya berdiri istrinya—yang rupanya telah lama ikut membaca dengan pelita di tangannya.
  2. Edisi Indonesia kedua buku ini telah diterbitkan oleh Penerbit Teraju masing-masing dengan judul The Consolations of Philosophy: Filsafat sebagai Pelipur Lara dan Plato not Prozac!: Berfilsafat sebagai Terapi Praktis Persoalan Sehari-hari.
  3. Edisi bahasa Indonesianya berjudul Sang CEO Bernama Aristoteles, Mizan, Bandung, 2003.
  4. Edisi bahasa Indonesianya berjudul The Corporate Mystic, Penerbit Kaifa, Bandung, 2002.
  5. Mengenai makna alam khayal ini, lihat Bab 10, “Tingkatan-Tingkatan Wujud Menurut para Hukamâ’.”
  6. Edisi bahasa Indonesia berjudul Filsafat Hikmah, Mizan, 2002. Di antara problem-problem baru tersebut adalah problem-problem utama yang berkaitan dengan eksistensi, seperti realitas fundamental eksistensi (ashâlah al-wujûd), kesatuan eksistensi (wahdah al-wujûd), eksistensi mental (al-wujûd al-dzihnî), hukum-hukum noneksistensi, kemustahilan apa-apa yang sudah tak wujud untuk kembali (wujud), problem “menjadikan” (ja‘l), kriteria kebutuhan sesuatu akan sebab, sifat konseptual (i‘tibârât) kuiditas, hal-hal terpahamkan yang bersifat sekunder (al-ma‘qûlât al-tsanawiyyah), sebagian dari jenis-jenis prioritas (taqaddum), berbagai jenis hudûts, berbagai jenis kemestian, kemustahilan, dan kemungkinan, sebagian dari jenis-jenis unitas multiplisitas, gerak substansial (al-harakah al-jauhariyyah), immaterialitas jiwa hewani (al-nafs al-hayawâniyyah), dan immaterialitas intelektualnya (tajarrud ‘aqlî). Karakter fisik (hal-hal) yang baru (tercipta dalam waktu) dan karakter ruhani (hal-hal) yang baka (jismâniyyah al-hudûts wa rûhâniyyah al-baqâ’), penggerakan melalui penundukan (fâ‘iliyyah bi al-taskhîr), kesatuan tubuh dan jiwa, karakter kombinasi materi dan forma, kesatuan dalam keserbaragaman daya-daya jiwa, pandangan bahwa relasi akibat dengan sebabnya adalah tatanan relasi iluminasionis, kebangkitan fisik di alam barzakh (barzakh), diketahuinya waktu sebagai dimensi keempat, prinsip realitas sederhana (qâ‘idah bâsith al-haqîqah), dan sifat sederhana pengetahuan Ilahi meski karakternya terperinci. Itu semua belum termasuk sejumlah topik problem-problem yang mengalami perkembangan. Termasuk di dalamnya adalah problem-problem kemustahilan, ihwal regresi tanpa ujung, nonmaterialitas jiwa, bukti-bukti bagi eksistensi Wujud Mutlak Ada, Kesatuan Wujud Mutlak Ada, kemustahilan munculnya “yang banyak” dari “yang satu”, kesatuan subjek dan objek (ittihâd al-‘âqil wa al-ma‘qûl), serta hakikat subtansial bentuk-bentuk spesifik (al-shuwar al-nau‘iyyah).

0 comments: