Avicenna
( Ibn Sina )
Jika orang ditanya, apa perbedaan agama dan filsafat, maka
jawaban-standarnya adalah sebagai berikut. Filsafat mulai dari keragu-raguan,
sementara agama mulai dari keimanan. Jawaban ini, meski sepintas tampak
memuaskan, tak terlalu tepat jika dirujukkan kepada filsafat pramodern,
khususnya Islam. Pertama, tak benar bahwa agama Islam menyatakan
bahwa penganutannya bermula dari iman. Dalam Islam, dalam hal ini paham
rasionalistik Islam (ta‘aqqulî), keimanan datang belakangan setelah
atau, paling cepat, bersamaan dengan akal.
Menurut paham ini, agama harus dipahami secara rasional. Bahkan, bagi sebagian orang, adalah menjadi tugas setiap individu Muslim untuk berupaya sampai kepada kepercayaan (‘aqîdah) yang benar tentang Islam lewat pemikirannya sendiri. Dengan demikian, sampai batas tertentu keragu-raguan—skeptisisme sehat—memang dipromosikan di sini. “Agama,” kata sang Nabi, “adalah akal. Tak ada agama bagi orang yang tidak berakal.”
Menurut paham ini, agama harus dipahami secara rasional. Bahkan, bagi sebagian orang, adalah menjadi tugas setiap individu Muslim untuk berupaya sampai kepada kepercayaan (‘aqîdah) yang benar tentang Islam lewat pemikirannya sendiri. Dengan demikian, sampai batas tertentu keragu-raguan—skeptisisme sehat—memang dipromosikan di sini. “Agama,” kata sang Nabi, “adalah akal. Tak ada agama bagi orang yang tidak berakal.”
Ibn
Rusdh (Averoes), Filosof Islam Peripatetik (Masya’iyyah)
Kedua,
tak pula benar bahwa filsafat Islam sepenuhnya mulai dari keragu-raguan.
Seperti segera akan kita lihat, ciri filsafat Islam bukanlah terutama terletak
pada skeptisisme. Ciri yang membedakan filsafat Islam dari pendekatan
tradisional (ta‘abbudî) dan teologis adalah pada metode yang
digunakannya. Kalau dalam yang disebut belakangan metode yang digunakannya
bersifat dialektik (jadalî), maka dalam filsafat Islam—meski sama-sama
rasional-logis—metode yang diterapkan adalah demonstrasional (burhânî).
Teologi berangkat dari keimanan terhadap sifat kebenaran-mutlak bahan-bahan
tekstual kewahyuan—Al-Quran dan Hadis. Para teolog membangun argumentasinya
secara dialektis berdasarkan keyakinan baik-buruk tekstual, dan dari situ
berupaya mencapai kebenaran-kebenaran baru. Sementara, kaum filosof membangun
argumentasinya melalui pijakan apa yang dipercayai dan disepakati secara umum
sebagai premis-premis kebenaran primer (primary truth). Meski demikian,
pada praktiknya—sesungguhnya tak beda dengan peran pandangan-dunia dalam aliran
filsafat apa pun—ia tak pernah benar-benar lepas dari bayang-bayang
pandangan-Dunia Islam. Sejak awal sejarahnya—termasuk pada pemikiran-pemikiran
yang lebih murni bersifat Aristotelian—nuansa religius memang tak pernah absen
dalam filsafat Islam. Nuansa tersebut datang lewat Stoisisme dan Neoplatonisme
Yunani, ajaran Kristen Helenistik—setidak-tidaknya lewat Philo, orang Mesir
pemikir Kristen Helenistik pertama—dan, tentu saja, ajaran agama Islam sendiri.
Mulai dari keyakinan yang sudah taken for granted mengenai
keberadaan Tuhan dengan sifat-sifatnya; fenomena nabi sebagai pesuruh Tuhan;
hingga kepercayaan mengenai adanya sifat ruhaniah, teleologis-rasional, dan
holistik segenap unsur alam semesta dan, pada saat yang sama, pandangan ihwal
sifat hierarkis wujud (hierarchy of being atau marâtib
al-wujûd) yang berada di dalamnya. Hierarki wujud ini bermula dari
Tuhan yang murni bersifat imaterial hingga kemaujudan yang paling rendah dan
bersifat material murni, melewati malaikat, dan manusia yang merupakan campuran
kedua unsur ini. Nuansa religius ini muncul dengan lebih kuat setelah periode
Ibn Rusyd bersama lahirnya filsafat isyrâqiyyah (iluminisme), ‘irfân(teosofi
atau tasawuf filosofis), dan hikmah (teosofi transenden).
Dalam aliran-aliran ini, tradisi—Al-Quran dan Hadis—teologi, serta mistisisme
sudah merupakan ramuan tak terpisahkan bersama metode peripatetik (masysyâ’î)
Aristotelian. (Meski demikian, orang tak bisa gagal melihat perbedaannya dengan
mistisisme, karena secara metodologis mistisisme tak meyakini metode rasional
dalam mencapai kebenaran).
Jadi, memang filsafat Islam pada akhirnya bisa dilihat
sebagai gabungan antara pemikiran liberal dan agama. Ia bisa disebut sebagai
liberal dalam hal pengandalannya pada kebenaran-kebenaran primer dan metode
demonstrasional untuk membangun argumentasi-argumentasinya. Pada saat yang
sama, pengaruh keyakinan religius atau quasi religius amat
dominan, baik dalam penerimaan kesepakatan mengenai apa yang dianggap sebagai
kebenaran-kebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis
lanjut dalam silogisme mereka.
Demikian pula halnya dengan epistemologi filsafat Islam.
Akal, bahkan dalam alirannya yang lebih peripatetik, tak pernah dipahami
sebagai semata-mata rasio (ratio atau reason) yang
bersifat cerebral (terkait dengan otak) belaka. Masih
sebagaipengaruh Neoplatonisme, akal sejak awal sejarah filsafat Islam selalu
terkait dengan Nous. Dan Nous pasti bukan sekadar
rasio. Bahkan Tuhan, dalam Neoplatonisme identik dengan Nous.
Barangkali memang, seperti dilakukan banyak orang, menerjemahkan ‘aql dengan
intelek (intellect) jauh lebih tepat. Tercakup di dalam konsep intelek
ini, bahkan lebih utama dari rasio, adalah apa yang disebut dengan intuisi atau
“ilham” (pencerahan, iluminasi, atau isyrâq), atau terkadang
disebut sebagai “kesadaran poetik”. Sebagaimana Nous bersifat
imaterial atau ruhani, maka Nous yang merupakan daya (quwwah)
untuk mempersepsinya juga mencakup yang ruhaniah.
Sejak awal sejarah filsafat Islam ketika pengaruh
Aristotelianisme masih amat kuat—apalagi dalam bentuk mistisisme, iluminisme,
teosofi, dan hikmah—akal (‘aql) selalu dipahami secara
bertingkat-tingkat, dari akal material hingga apa yang mereka sebut sebagai
“akal suci” (al-‘aql al-qudsî), bahkan akal kenabian. Akal dalam
aktualisasi-puncaknya ini dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan kontak (ittishâl)
dengan Akal Aktif (Al-‘Aql Al-Fa‘ ‘âl)—sejenis Intelek yang, oleh
sementara pemikir Muslim, diidentikkan dengan Malaikat Jibril sebagai pembawa
wahyu atau ilham.
Alhasil, orang boleh saja mempersoalkan kemurnian sifat
“filosofis” Filsafat Islam. Kenyataannya, dalam segenap keliberalan metodenya,
pengaruh religiusitas masih bekerja dengan kuat dalam pemikiran para tokohnya.
Nah, apakah dengan demikian pemikiran yang berada di bawah pengaruh
ajaran-ajaran (“dogma-dogma”) masih bisa disebut sebagai filsafat—yang mestinya
liberal dalam proses berpikirnya?
Buat yang berpikiran demikian, Anda mungkin bisa belajar
dari Oliver Leaman, seorang profesor ahli sejarah filsafat Islam di Amerika
Serikat. Menggemakan kembali pandangan Fazlur Rahman dan Toshihiko Izutsu
sebelumnya, dia mengakui: “Pada masa yang lampau, saya sempat menganggap
(tasawuf dan mistisisme yang banyak mewarnai filsafat Islam, khususnya
pasca-Ibn Rusyd—HB) sebagai bukan filsafat sama sekali, dan lebih erat terkait
dengan teologi dan pengalaman religius yang subjektif. Saya menganggap
bentuk-bentuk pemikiran ini sebagai indikasi-indikasi suatu bentuk schwarmerei atau
keliaran, yang saya pandang sebelah mata dengan gaya pelecehan Kantian. Saya
sekarang berpikiran bahwa pada masa lampau pendekatan saya terhadap cara-cara
berfilsafat ini terlalu terbatas. (Sesungguhnya, bahkan teologi dan tasawuf)
memiliki kaitan yang jauh lebih banyak dengan tradisi peripatetik (yang
bersifat rasional-analitik—HB).” (Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, UK, 2002, hh.
xi-xii.)
Lagi pula, persoalan pengaruh ajaran agama pada filsafat
Islam hanya terkait dengan apa—yang dalam filsafat sains disebut sebagai context
of discovery(konteks penemuan). Padahal rasional atau ilmiah tidaknya suatu
karya pemikiran seharusnya dinilai dari context of justification (konteks
justifikasi atau pembenaran). Karena, bahkan dalam hard science sekalipun,
boleh jadi suatu penemuan (discovery) terjadi secara sama sekali tak
“ilmiah” atau rasional. Bahkan, bukan tak ada suatu teori ilmiah yang ditemukan
lewat mimpi, misalnya. Contohnya adalah penemuan rumus benzena oleh
Kekule. Kenyataan itu tak lantas berarti bahwa rumus yang ditemukan Kekule itu
harus dianggap tidak ilmiah. Tolok ukurnya pada apakah penemuan tersebut bisa
dijustifikasi secara ilmiah atau tidak. Kenyataannya, teori-teori atau
pandangan-pandangan dalam filsafat Islam—meski mungkin penemuannya terjadi di
bawah pengaruh agama—justifikasinya bersifat sepenuhnya rasional.
Dari uraian di atas, beberapa kesimpulan kiranya bisa
ditarik. Pertama, filsafat Islam bisa disebut demikian—bukan
“sekadar” filsafat Muslim atau filsafat Arab—karena sifat-menentukannya ajaran
Islam di dalamnya. (Bahkan, bukan hanya filsafat Islam pasca-Ibn Rusyd yang
memang menjadikan teks-teks tradisi sebagai bahan ramuan filsafatnya, filosof
Muslim peripatetik sejak Al-Kindi hingga Ibn Rusyd dikenal dengan upaya
inkorporasi atau sedikitnya penyejajaran ajaran-ajaran Islam dengan prosedur
rasional. Ibn Sina malah dikenal dengan karya tafsir Al-Quran, sementara Ibn
Rusyd adalah juga seorang ahli fiqh yang terkenal dengan empat jilid
karya fiqh-nya yang berjudul Bidâyah Al-Mujtahid).
Meski demikian, ia tak kehilangan sifat filosofisnya dan “hak”-nya untuk
diapresiasi sebagai sejenis filsafat karena kesetiaannya kepada kegiatan
rasiosinasi (ratiocination) dalam segenap prosedur berpikirnya. Inilah
kesimpulan kedua yang dapat kita tarik.
Akhirnya, sedikit tanggapan kiranya perlu diberikan kepada
pernyataan sebagian orang yang mereduksi apa yang selama ini disebut sebagai
filsafat Islam sebagai sekadar “contekan” filsafat Yunani. Pernyataan seperti
ini kiranya hanya bisa muncul dari orang yang tak cukup akrab dengan filsafat
Islam. Bukan saja, seperti telah disinggung di atas, warna ajaran Islam
tersebar di mana-mana dalam segenap tema “tradisional” filsafat Yunani,
kenyataannya filsafat Islam telah menyumbangkan banyak tema baru ke dalam
khazanah filsafat, termasuk dalam epistemologi dan ontologi filsafat. Karena
tulisan seringkas ini bukanlah tempat bagi pembahasan yang terperinci, maka
saya hanya ingin mengajak Anda untuk membaca judul “Kontribusi Filosof Muslim
kepada Filsafat” yang ditulis Muthahhari mengenai soal ini. Dalam tulisan
tersebut, Muthahhari menyatakan bahwa filsafat Islam telah menyumbangkan banyak
problem baru yang sama sekali tak pernah dibahas filsafat sebelumnya, di
samping lebih banyak lagi pengembangan lebih lanjut problem-problem yang sudah
pernah dibahas sebelumnya.6
__________
- Menurut versi lain tamsil ini, ketika sang ulama tersadar, dia mendapati lilin yang dipakainya untuk membaca telah lama mati. Namun, dilihatnya pula ruangannya masih terang. Baru kemudian dia sadari, persis di belakangnya berdiri istrinya—yang rupanya telah lama ikut membaca dengan pelita di tangannya.
- Edisi Indonesia kedua buku ini telah diterbitkan oleh Penerbit Teraju masing-masing dengan judul The Consolations of Philosophy: Filsafat sebagai Pelipur Lara dan Plato not Prozac!: Berfilsafat sebagai Terapi Praktis Persoalan Sehari-hari.
- Edisi bahasa Indonesianya berjudul Sang CEO Bernama Aristoteles, Mizan, Bandung, 2003.
- Edisi bahasa Indonesianya berjudul The Corporate Mystic, Penerbit Kaifa, Bandung, 2002.
- Mengenai makna alam khayal ini, lihat Bab 10, “Tingkatan-Tingkatan Wujud Menurut para Hukamâ’.”
- Edisi bahasa Indonesia berjudul Filsafat Hikmah, Mizan, 2002. Di antara problem-problem baru tersebut adalah problem-problem utama yang berkaitan dengan eksistensi, seperti realitas fundamental eksistensi (ashâlah al-wujûd), kesatuan eksistensi (wahdah al-wujûd), eksistensi mental (al-wujûd al-dzihnî), hukum-hukum noneksistensi, kemustahilan apa-apa yang sudah tak wujud untuk kembali (wujud), problem “menjadikan” (ja‘l), kriteria kebutuhan sesuatu akan sebab, sifat konseptual (i‘tibârât) kuiditas, hal-hal terpahamkan yang bersifat sekunder (al-ma‘qûlât al-tsanawiyyah), sebagian dari jenis-jenis prioritas (taqaddum), berbagai jenis hudûts, berbagai jenis kemestian, kemustahilan, dan kemungkinan, sebagian dari jenis-jenis unitas multiplisitas, gerak substansial (al-harakah al-jauhariyyah), immaterialitas jiwa hewani (al-nafs al-hayawâniyyah), dan immaterialitas intelektualnya (tajarrud ‘aqlî). Karakter fisik (hal-hal) yang baru (tercipta dalam waktu) dan karakter ruhani (hal-hal) yang baka (jismâniyyah al-hudûts wa rûhâniyyah al-baqâ’), penggerakan melalui penundukan (fâ‘iliyyah bi al-taskhîr), kesatuan tubuh dan jiwa, karakter kombinasi materi dan forma, kesatuan dalam keserbaragaman daya-daya jiwa, pandangan bahwa relasi akibat dengan sebabnya adalah tatanan relasi iluminasionis, kebangkitan fisik di alam barzakh (barzakh), diketahuinya waktu sebagai dimensi keempat, prinsip realitas sederhana (qâ‘idah bâsith al-haqîqah), dan sifat sederhana pengetahuan Ilahi meski karakternya terperinci. Itu semua belum termasuk sejumlah topik problem-problem yang mengalami perkembangan. Termasuk di dalamnya adalah problem-problem kemustahilan, ihwal regresi tanpa ujung, nonmaterialitas jiwa, bukti-bukti bagi eksistensi Wujud Mutlak Ada, Kesatuan Wujud Mutlak Ada, kemustahilan munculnya “yang banyak” dari “yang satu”, kesatuan subjek dan objek (ittihâd al-‘âqil wa al-ma‘qûl), serta hakikat subtansial bentuk-bentuk spesifik (al-shuwar al-nau‘iyyah).
0 comments:
Posting Komentar