Sabtu, 08 Desember 2012

Kearifan Rumi: Kisah Penanam Duri


Dunia Islam pernah melahirkan Jalaludin Ar-Rumi, atau orang-orang barat sering menyebutnya Jalaludin Rumi. Beliau adalah seorang pujangga sufi yang hidup di kota Konya, yaitu daerah Turki sekarang ini. Ajaran-ajaran beliau tentang cinta kasih dan keluhuran budi sampai kini terus dipelajari. Kaum muslim banyak berhutang budi atas kontribusinya memperkenalkan tasawuf dan spiritualisme Islam kepada barat. 

Orang-orang di Eropa dan Amerika banyak belajar nilai-nilai Islam dari karya-karya Rumi.


Sebagai seorang pujangga sufi beliau banyak menulis puisi-puisi dan kisah-kisah yang bermuatan spiritual. Salah satu karyanya adalah Matsnawi-i-Ma’nawi, yang berisi ribuan bait syair yang sangat indah dalam bahasa Persia. Matsnawi, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai “Al Quran dalam bahasa Persia” karena keindahan bahasa dan kedalaman dimensi spiritual yang termuat di dalamnya, menjadi sebuah karya yang paling banyak diterjemahkan sepanjang masa. Di dalamnya banyak termuat kisah-kisah penuh mutiara hikmah. Saya kutip salah satunya.


Jalaludin Rumi berkisah tentang seorang penduduk Konya yang punya kebiasaan aneh. Ia suka menanam duri di pinggir jalan. Setiap hari kerjanya menanam duri. Lama kelamaan, pohon duri yang ia tanam menjadi besar. Awalnya orang-orang yang lewat jalan itu tidak merasa terganggu oleh duri-duri. Mereka baru mulai protes setelah duri itu mulai bercabangdan mempersempit jalan yang dilalui mereka. Hamper setiap orang pernah tertusuk duri itu. Yang menarik lagi, bukan orang lain saja yang terkena tusukan duri. Si penanamnya pun berulang kali tertusuk duri tanaman yang ia pelihara.

Petugas kota Konya lalu datang menegur orang itu dan memintanya agar menyingkirkan tanaman berduri dari jalan. Si penanam enggan untuk menebang tanamannya. Tapi setelah banyak orang yang protes, akhirnya ia berjanji untuk menebang tanaman itu keesokan harinya. Tapi ternyata pada hari berikutnya, ia menunda pekerjaannya. Demikian pula hari berikutnya. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga akhirnya orang itu sudah menjadi sangat tua dan tanaman berduri itu sudah menjadi pohon yang sangat kokoh. Orang tua itu sudah tak sanggup lagi untuk mencabut pohon berduri yang ia tanam.

Dalam bahasa sederhana, Rumi menasehati kita, “kalian, wahai orang-orang yang malang, adalah penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan dan sifat buruk kalian, perilaku tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, banyak sudah yang menjadi korban. Dan korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan menunda untuk menebang duri itu. Ambillah kapak dan tebang duri-duri itu sekarang, agar orang bisa melanjutkan perjalanan tanpa terganggu olehmu.”

Ingatlah rumpun berduri itu setiap kebiasaan burukmu
Berulang kali tusukannya menyobekkan kakimu

Berulangkali kamu terluka oleh akhlakmu yang keji
Kamu tak punya perasaan, bebal dan keras hati

Jika terhadap luka yang kamu torehkan pada orang
Yang semua dari watakmu yang garang

Kamu tak peduli, paling tidak pedulikan lukamu sendiri
Kamu menjadi bencana bagi semua orang dan diri sendiri

Ambillah kapak dan tebas layaknya lelaki
Runtuhkan benteng Khaibar, laksana Ali
(Matsnawi, hal 1240-1246).

Related Posts:

  • Blom Ada Judul Part-25 Layang-Layang... Terbang Bukan karena kehendak pribadi.. Ditangan Sang Pemegang Benang... Diutus untuk naik Kelangit dengan mengendarai angin Oh… Read More
  • Rumi : Cahaya dan Bayangan Tak mungkin suatu semesta terpisah dari semesta-semesta lainnya. Tidak mungkin basah terpisah dari air, suatu langkah dari gerakan lainnya.Takka… Read More
  • Rumi: Gemericik Suara Air Amal Sejati itu milik Lelaki yang mengidamkan Dia, dan demi kepentingan amal dari sisi-Nya, telah diceraikannya semua amal yang lain.Mereka yang tid… Read More
  • Rumi : Pantulan Cahaya yang Mempesonamu Sang hamba kecintaan makhluk,yang dulu disanjung-puji dunia,kini malah ditalaknya,gerangan apa salahnya?Itu karena dia memakai baju pinjaman,dan la… Read More
  • Rumi : Mereka yang Telah Mati Para pecinta, yang dengan ikhlas mati dari diri mereka sendiri: mereka bagaikan gula, di hadapan Sang Kekasih. Pada Hari Perjanjian, [1] mereka… Read More

0 comments: