.jpg)
Sebenarnya ada lagi argumen lain
yang diajukan oleh filosof paska Ibn Rusyd, yaitu Mulla Shadra (w. 1641), yang
disebut burhan al-shiddiqin; yang membuktikan wujud Tuhan, tidak
dari wujud yang nisbi menuju wujud yang niscaya, tetapi dimulai justru dari
wujud yang niscya terlebih dahulu. Mulla Shadra menyatakan bahwa Tuhan itu
adalah wujud murni, maka kita tahu bahwa ia adalah sumber dari mana semua wujud
lain berasal. Tetapi wujud murni ini tidak memerlukan bukti dari yang lain,
melainkan dari dirinya sendiri, yang dikatakan self-evident.
Dikatakan self-evident karena tidak ada kenyataan yang lebih
jelas daripada wujud itu sendiri. Kita bisa mengenal yang lain, karena terlebih
dahulu kita telah mengafirmasi wujud sebagi wujud. Jadi sebgai sumber dari
segala wujud, maka keberadaan Tuhan adalah self-evident, terbukti
dengan sendirinya. Nampaknya argumen terakhir yang disebut burhan
al-shiddiqin ini dipandang oleh Muthahhari dan juga gurunnya, Allamah
Tabataba’i, sebagai lebih kuat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah
Muthahhari sendiri memiliki argumen yang berbeda dengan yang lainnya?
Jawabannya ya, dn ia menyebutnya, bersama gurunya Allamah Tabataba’i, metode
realistik atau realisme instinktif,[9] karena didasarkan pada fitrah
manusia. Tabataba’i menyatakan, adanya fitrah pada diri manusia memunculkan
kesadaran bahwa ia dan alam yang melingkupinya adalah wujud yang nyata, bukan
khayalan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa keduanya merupakan wujud-wujud
yang tak dapat berubah atau hancur. Kenyataan demikian mengharuskan wujud
manusia dan alam bergantung pada sebuah wujud yang tetap. Keberadaan alam dan
manusia bisa dipertahankan apabila masih terdapat hubungan dengan wujud yang
tetap tersebut. Dengan demikian manusia harus mencari sebab dari setiap
peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Akhirnya, berdasarkan pada kesadaran
adanya wujud alam dan manusia yang nyata, bahwa mereka (alam dan manusia)
haruslah memiliki satu sandaran yang merupakan sumber wujud dan sumber
kekuasaan, serta pengetahuan yang tak terbatas. Dia-lah Tuhan, sumber dari
segala wujud dan sistem yang ada padanya.[10]
Muthahhari sendiri memberikan garis
argumen yang sama dengan gurunya Tabataba’i, tetapi dengan cara yang sedikit
berbeda. Dia mengatakan bahwa ketika kita melihat alam sekitar melalui
indera, maka kita akan dapati beberapa karakteristik dari alam tersebut, yaitu
(1) Keterbatasan (limitation); (2) Perubahan (change); (3)
Ketergantungan (dependency); (4) Membutuhkan yang lain (need)
dan ke (5) Relalivitas
Namun kekuatan nalar dan pemikiran
manusia, berbeda dengan indera, tidak merasa puas dengan penampakan dari indera
dan menyebabkan cahaya kalau dapat menembus di balik hijab wujud, dan
menyatakan bahwa “wujud tidak bisa hanya terbatas pada fenomena yang terbatas,
berubah-ubah, relatif dan kondisional begitu saja. Bangunan besar wujud yang
kita lihat di hadapan kita sebagai keseluruhan tidak bisa berdiri sendiri. Oleh
karena itu mesti ada di sana secara niscaya sebuah realitas yang tak terbatas,
abadi, absolut, tak bersyarat dan berdiri sendiri yang hadir setiap saat dan
waktu sebagai penopang bagi semua wujud. Kalau tidak maka semua bangunan wujud
tidak bisa bertahan, atau bahkan tidak akan ada yang kita sebut benda tersebut.
Yang ada hanyalah ketiadaan semata. Ini mengingatkan kita bahwa bangunan besar
wujud ini membutuhkan Realitas, yang dengan-Nya alam bisa bertahan hidup. Namun
ia sendiri adalah maha kaya (al_Ghani dalam pengertian suhrawardian), yakni
tidak membutuhkan yang lain, tetapi segala yang lain justru membutuhkannya.
Selain bukti adanya Tuhan,
Muthahhari juga, seperti filosof yang lain, berbicara tentang keesan (tauhid).
Tentang konsep tawhid ini, saya diingatkan oleh pernyataan Muthahhari bahwa
Syi’ah adalah penerus dari sekte teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu, seperti
yang akan kita lihat pandangan Muthahhari, sebagai filosof Syi’ah, memiliki kesamaan.
Berbicara tentang tauhid, Muthahhari membedakan pada tiga level : Esensi (zat), sifat dan
tindakan (af’al). Tauhid pada level esensi mengisyaratkan bahwa sang
Realitas ini tidak mengizinkan dualitas atau keanehan apapun. Ia tidak memiliki
padanan atau yang serupa dengan-Nya. Esensi wujud niscaya akan mengatasi semua
pembicaraan tentang spesis dan varitas, karena itu semua merupakan
karakteristik dari makhluk dan wujud-wujud yang mungkin. Jadi tauhid esensi ini
berarti mengetahui esensi (Zat) Tuhan dalam keesaan dan keunikan-Nya.
Adapun tauhid pada level sifat
berarti “mengetahui bahwa zat Tuhan dalam kesamaannya dengan sifat-sifat-Nya
dan sifat-sifat-Nya dalam kesamaan mereka satu sama lain. Kalau Tawhid dzati
berarti menolak adanya yang kedua atau yang setara, maka tawhid sifati berarti
menolak adanya jenis keragaman dan kemajemukan (compoundedness) apapun dalam
dzat Tuhan sendiri. Sekalipun esensi Tuhan disifati dengan sifat-sifat
kesempurnaan—seperti keindahan (jamal) dan keperkasaan (jalal)—tetapi tidak
berarti bahwa Tuhan memiliki berbagai aspek yang objektif. Ini bagi saya
mengingatkan doktrin teologis Mu’tazilah yang disebut nafi’ al-Sifat, di mana
sifat-sifat Tuhan, tidak dipandang sebagai realitas independen yang ditambahkan
kepada Dzat-Nya.
Yang terakhir adalah tawhid ilahi
dalam hal tindakan (af’al). Tauwhid af’al berarti melihat dan mengetahui bahwa
alam semesta dengan semua sistem, norma, sebab dan akibatnya, tidak lain
daripada tindakan-tindakan atau karya-karya Tuhan yang muncul dari
kehendak-Nya. Tentu ini bukan pendapat tipikal para filosof Muslim, seperti
al-Farabi dan Ibn Sina yang menolak ciptaan sebagai hasil dari kehendak Tuhan,
tetapi lebih mirip dengan kebanyakan para teolog, baik Sunni maupun Syii’ah.
Jadi, sebagaimana Ia tidak punya mitra dalam esensinya, demikian juga Ia tidak
punya mitra dalam agensi. Setiap agen (pelaku) dan sebab, memperoleh realitas,
wujud, pengaruhnya dan agensinya dari Tuhan. Karena itu semua kekuatan, semua
daya ada melalui diri-Nya.
0 comments:
Posting Komentar