Berbicara secara filosofis tentang
Tuhan, tentu saja tidak bisa menghindarkan pembicaraan tentang bukti-bukti
adanya Tuhan. Nah bukti macam apa yang dikemukakan Murtadha Muthahhari. Inilah
yang ingin saya coba bicarakan di awal bagian ini. Kita telah mengenal beberapa
argumen yang diajukan para filosof Muslim sebelum Muthahhari tentang adanya
Tuhan : seperti dalil al-hudust yang dikemukakan oleh
al-Kindi, dalil al-imkan, oleh Ibn Sina dan dalil
al-‘inayah seperti yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd. Dalil al-hudust,
seperti yang telah saya diskusikan dalam salah satu buku saya, Menembus
Batas Waktu,[8] mencoba mebuktikan adanya Tuhan
dengan menunjukkan keterbatasan alam, baik dari sudut materi, gerak dan waktu.
Dengan menunjukkan bahwa alam semesta itu terbatas, maka alam semesta mestilah
baru (hadist), dan karena baru maka mestilah dicipta (muhdast)
oleh seorang pencipta, dan itulah Tuhan. Adapun dalil al-imkan menyatakan
bahwa alam ternyata bukanlah wajib al-wujud (wujud yang
niscaya), karena ia pernah tidak ada, dan akan pada waktunya tiada, dan juga
bukanlah mumtani’ ‘al-wujud(wujud yang mustahi), karena nyatanya
alam semesta ada pada saat ini. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa alam ini
adalah mumkin al-wujud (wujud yang mungkin). Ketika Ibn Sina
menyimpulkan bahwa alam ini mungkin, maka pada dirinya alam itu hanyalah potensi.
Dan seperti halnya semua potensi, potensi alam untuk ada tidak bisa
teraktualkan dengan sendirinya. Agar potensi itu aktual maka kita membutuhkan
agen yang telah aktual untuk mengaktualkan potensi alam untuk ada, atau
mewujudi. Nah karena pada kenyataannya alam ini wujud, padahal sebagai potensi
ia tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri, maka mesti ada wujud lain yang telah
aktual yang bertanggung jawab atas aktualisasi alam seperti sekarang ini.
Inilah Tuhan, yang merupakan Wajib al-Wujud, atau Wujud yang senantiasa aktual.
Adapun dalil al-‘inayah, yang juga dapat disamakan dengan “argument
from design” menyatakan bahwa adanya keserasian, keteraturan dn rancangan yang
nampak jelas pada manusia di alam ini, menunjukkan adanya sang perancang, yang
bertanggung jawab atas keserasian dan keteraturan alam yang begitu mengagumkan.
Sebenarnya ada lagi argumen lain
yang diajukan oleh filosof paska Ibn Rusyd, yaitu Mulla Shadra (w. 1641), yang
disebut burhan al-shiddiqin; yang membuktikan wujud Tuhan, tidak
dari wujud yang nisbi menuju wujud yang niscaya, tetapi dimulai justru dari
wujud yang niscya terlebih dahulu. Mulla Shadra menyatakan bahwa Tuhan itu
adalah wujud murni, maka kita tahu bahwa ia adalah sumber dari mana semua wujud
lain berasal. Tetapi wujud murni ini tidak memerlukan bukti dari yang lain,
melainkan dari dirinya sendiri, yang dikatakan self-evident.
Dikatakan self-evident karena tidak ada kenyataan yang lebih
jelas daripada wujud itu sendiri. Kita bisa mengenal yang lain, karena terlebih
dahulu kita telah mengafirmasi wujud sebagi wujud. Jadi sebgai sumber dari
segala wujud, maka keberadaan Tuhan adalah self-evident, terbukti
dengan sendirinya. Nampaknya argumen terakhir yang disebut burhan
al-shiddiqin ini dipandang oleh Muthahhari dan juga gurunnya, Allamah
Tabataba’i, sebagai lebih kuat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah
Muthahhari sendiri memiliki argumen yang berbeda dengan yang lainnya?
Jawabannya ya, dn ia menyebutnya, bersama gurunya Allamah Tabataba’i, metode
realistik atau realisme instinktif,[9] karena didasarkan pada fitrah
manusia. Tabataba’i menyatakan, adanya fitrah pada diri manusia memunculkan
kesadaran bahwa ia dan alam yang melingkupinya adalah wujud yang nyata, bukan
khayalan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa keduanya merupakan wujud-wujud
yang tak dapat berubah atau hancur. Kenyataan demikian mengharuskan wujud
manusia dan alam bergantung pada sebuah wujud yang tetap. Keberadaan alam dan
manusia bisa dipertahankan apabila masih terdapat hubungan dengan wujud yang
tetap tersebut. Dengan demikian manusia harus mencari sebab dari setiap
peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Akhirnya, berdasarkan pada kesadaran
adanya wujud alam dan manusia yang nyata, bahwa mereka (alam dan manusia)
haruslah memiliki satu sandaran yang merupakan sumber wujud dan sumber
kekuasaan, serta pengetahuan yang tak terbatas. Dia-lah Tuhan, sumber dari
segala wujud dan sistem yang ada padanya.[10]
Muthahhari sendiri memberikan garis
argumen yang sama dengan gurunya Tabataba’i, tetapi dengan cara yang sedikit
berbeda. Dia mengatakan bahwa ketika kita melihat alam sekitar melalui
indera, maka kita akan dapati beberapa karakteristik dari alam tersebut, yaitu
(1) Keterbatasan (limitation); (2) Perubahan (change); (3)
Ketergantungan (dependency); (4) Membutuhkan yang lain (need)
dan ke (5) Relalivitas
Namun kekuatan nalar dan pemikiran
manusia, berbeda dengan indera, tidak merasa puas dengan penampakan dari indera
dan menyebabkan cahaya kalau dapat menembus di balik hijab wujud, dan
menyatakan bahwa “wujud tidak bisa hanya terbatas pada fenomena yang terbatas,
berubah-ubah, relatif dan kondisional begitu saja. Bangunan besar wujud yang
kita lihat di hadapan kita sebagai keseluruhan tidak bisa berdiri sendiri. Oleh
karena itu mesti ada di sana secara niscaya sebuah realitas yang tak terbatas,
abadi, absolut, tak bersyarat dan berdiri sendiri yang hadir setiap saat dan
waktu sebagai penopang bagi semua wujud. Kalau tidak maka semua bangunan wujud
tidak bisa bertahan, atau bahkan tidak akan ada yang kita sebut benda tersebut.
Yang ada hanyalah ketiadaan semata. Ini mengingatkan kita bahwa bangunan besar
wujud ini membutuhkan Realitas, yang dengan-Nya alam bisa bertahan hidup. Namun
ia sendiri adalah maha kaya (al_Ghani dalam pengertian suhrawardian), yakni
tidak membutuhkan yang lain, tetapi segala yang lain justru membutuhkannya.
Selain bukti adanya Tuhan,
Muthahhari juga, seperti filosof yang lain, berbicara tentang keesan (tauhid).
Tentang konsep tawhid ini, saya diingatkan oleh pernyataan Muthahhari bahwa
Syi’ah adalah penerus dari sekte teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu, seperti
yang akan kita lihat pandangan Muthahhari, sebagai filosof Syi’ah, memiliki kesamaan.
Berbicara tentang tauhid, Muthahhari membedakan pada tiga level : Esensi (zat), sifat dan
tindakan (af’al). Tauhid pada level esensi mengisyaratkan bahwa sang
Realitas ini tidak mengizinkan dualitas atau keanehan apapun. Ia tidak memiliki
padanan atau yang serupa dengan-Nya. Esensi wujud niscaya akan mengatasi semua
pembicaraan tentang spesis dan varitas, karena itu semua merupakan
karakteristik dari makhluk dan wujud-wujud yang mungkin. Jadi tauhid esensi ini
berarti mengetahui esensi (Zat) Tuhan dalam keesaan dan keunikan-Nya.
Adapun tauhid pada level sifat
berarti “mengetahui bahwa zat Tuhan dalam kesamaannya dengan sifat-sifat-Nya
dan sifat-sifat-Nya dalam kesamaan mereka satu sama lain. Kalau Tawhid dzati
berarti menolak adanya yang kedua atau yang setara, maka tawhid sifati berarti
menolak adanya jenis keragaman dan kemajemukan (compoundedness) apapun dalam
dzat Tuhan sendiri. Sekalipun esensi Tuhan disifati dengan sifat-sifat
kesempurnaan—seperti keindahan (jamal) dan keperkasaan (jalal)—tetapi tidak
berarti bahwa Tuhan memiliki berbagai aspek yang objektif. Ini bagi saya
mengingatkan doktrin teologis Mu’tazilah yang disebut nafi’ al-Sifat, di mana
sifat-sifat Tuhan, tidak dipandang sebagai realitas independen yang ditambahkan
kepada Dzat-Nya.
Yang terakhir adalah tawhid ilahi
dalam hal tindakan (af’al). Tauwhid af’al berarti melihat dan mengetahui bahwa
alam semesta dengan semua sistem, norma, sebab dan akibatnya, tidak lain
daripada tindakan-tindakan atau karya-karya Tuhan yang muncul dari
kehendak-Nya. Tentu ini bukan pendapat tipikal para filosof Muslim, seperti
al-Farabi dan Ibn Sina yang menolak ciptaan sebagai hasil dari kehendak Tuhan,
tetapi lebih mirip dengan kebanyakan para teolog, baik Sunni maupun Syii’ah.
Jadi, sebagaimana Ia tidak punya mitra dalam esensinya, demikian juga Ia tidak
punya mitra dalam agensi. Setiap agen (pelaku) dan sebab, memperoleh realitas,
wujud, pengaruhnya dan agensinya dari Tuhan. Karena itu semua kekuatan, semua
daya ada melalui diri-Nya.
0 comments:
Posting Komentar