Neuroplanologi - Bahagia Untuk Menjadi Kuat

Kota Bahagia adalah Kota yang mampu memberikan kebahagiaan bagi warganya. Saya ingin memulainya dari defenisi yang sederhana tentang Kota Bahagia, sesederhana yang saya pikirkan tentang jalan kebahagiaan.

Urbanisasi dan Masyarakat Kota

Urbanisasi muncul karena ada kebutuhan, begitupun dengan kota sebagai sebuah peradaban. Kota lahir karena kebutuhan, bukan secara alamiah, melainkan dibentuk dengan sengaja oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

Neuroplanologi - Jalan Menuju Kota Bahagia / Happy City

Mungkin sudah saatnya sebuah pendekatan baru lahir, dengan memadukan disiplin Planologi dan Neurosains untuk mewujudkan sebuah kota yang bahagia. Dengan kajian yang lebih fokus membahas sebuah perencanaan yang lebih memberikan pengaruh terhadap saraf otak dan membuat manusia lebih bahagia. Semoga tak terlalu dini, saya ingin menyebutnya sebagai NEURO PLANOLOGI.

Silverqueen - Berhenti Menangis

Selalu ada kisah haru pada malam-malam disaat musim hujan yang pernah kita lalui bersama. Kau disana, dan aku disini, hanya kita berdua. Belum cukup setahun kita kenalan, tapi rasanya sudah bertahun-tahun kita berteman. Sangat akrab, dan kau selalu saja buatku rindu.

Pak Udin, Penjaga Tradisi Suku Bajo Mola di Wakatobi

Pak Udin merupakan seorang Suku Bajo yang berasal dari Mola, pemukiman suku bajo terbesar didunia yang berada di Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi. Layaknya suku bajo yang selalu dikatakan dalam berbagai literatur, pak udin sangat menggantungkan hidupnya pada laut.

Selasa, 30 April 2019

Jompi - 6 Orang Penebang Kayu (Bagian 3)


Ada sebuah cerita bahwa air biru merupakan salah satu area yang dikeramatkan diwilayah jompi, tidak sembarang orang dapat mandi dan berenang disitu. Melihat air biru dari sini adalah melihat sebuah keindahan, air berwarna biru yang diatasnya terdapat batu besar menyerupai penutup.

Sekitar 1 meter dibelakangnya terdapat tebing batu yang cukup tinggi, tebing batu berwarna coklat keputih-putihan, seperti yang terdapat didalam gua. Tingginya kurang lebih 10 meter, menjulang keatas dan membuat kami takjub. Setiap kali datang di Jompi, tempat ini merupakan salah satu yang selalu membuat kami berhenti untuk melihat-lihat sambil menikmati keindahan alam.

Tak jauh didepannya ada mata air, mata air ini adalah penanda bahwa kami telah memasuki area pemandian mata 2. Kami melalui jalan tanah dengan membuka sendal, sebelum sampai di mata air, kami harus turun melewati pipa baja besar yang sedikit terendam air.

Ada 2 pipa besar peninggalan jaman belanda, yang memanjang dari bak besar diatas mata 3 sampai kerumah pompa diatas air terjun. Masih dengan membuka sendal, kami berjalan diatas pipa baja besar yang bersusun sampai ketempat tujuan kami di mata 2.

Sebagian dari kami telah membuka baju sedari tadi, saat sampai di mata 2 kami menaruh baju dan sendal di bebatuan, kemudian dari atas pipa baja ini kami melompat bersama-sama kedalam air.

Dari dalam air ada yang menyelam menuju batu besar ditengah sana, dan sebagian naik kepermukaan dan berenang kembali ke pipa. Kami terus melompat dan menyelam sampai kedasar sungai, ada pula yang berenang dengan gaya belakang dan ada juga yang mengapung dipermukaan dengan hanya kepala yang muncup diatas air.

Gaya mengapung adalah salah satu teknik yang juga kami kuasai, dimana leher sampai kaki berada didalam air dan hanya sebagian leher dan kepala yang berada dipermukaan air untuk bernapas. Kami dapat melakukan gaya mengapung seperti ini sampai beberapa menit di air tanpa capek atau kesemutan.

Ditengah sana ada sebuah batu besar, cukup besar hingga bagian atasnya sedikit terlihat keluar dari permukaan air, disitulah tempat kami beristrahat saat berenang. Aku sedang duduk diatas batu besar ini, melihat keatas sedang menikmati langit biru yang luas dan sedikit berawan. Dedaunan pohon besar yang tinggi menjulang jauh keatas, membingkai langit biru nan indah dalam pandanganku, sangat indah. Diatas pipa baja hitam 3 orang temanku duduk berbaris, sedang asik bercerita suatu hal yang tak kuketahui. Entah apa yang diceritakan, saya hanya menangkap wajah ceria mereka yang sedang tertawah terbahak-bahak.

Air didepanku berbunyi keras, karena hantaman tangan-tangan kuat yang sedang beradu cepat. 2 orang temanku sedang lomba berenang, La Angko dan La Firman, dengan gaya bebas mereka melaju berusaha saling mengalahkan. Tinggal sedikit lagi dan La Firman akan memenanginya, tapi La Angko dengan sigap menarik kakinya, menariknya kebelakang dan berusaha memenangi lomba.

Ini lomba yang telah berkali-kali mereka lakukan, dan hasilnya selalu saja sama, berakhir dengan tanpa ada yang menang dan kalah. Tarikan La Angko akan dibalas kuncian tangan oleh La Firman, dan merekapun akan melakukan gulat air, layaknya pegulat profesional yang sedang memperebutkan medali emas olimpiade.

"Ooii, apa kobikin menghayal disitu, kayak putri duyung saja" teriak La Endo kepadaku
Saya melompat kedalam air kemudian menyelam sampai ke pipa tempat mereka berkumpul.

"Koliat tadi dalam hutan, banyak orang tebang kayu to?" Tanya La Firman kepadaku
"Iya saliat"
"Bemana kalo kita tebang juga?", tiba-tiba dia mengulangi pertanyaannya
"Itumi dari tadi juga sapikir-pikir, kan banyak kita, 6 orang pasti bisa kita bawa keluar" sambung La Elang, "Baru lagi mahal sekarang harga kayu"
"Berapakah 1 batang?", tanyaku penasaran, yang kemudian dijawab oleh La Firman
"Yang panjang 2 meter saja bisa sampe 500 ribu"
"Wuih, 1 pohon saja bisa dapat 1 juta"
"Teusah pikir pembeli, sekarang banyak orang tampung kayu jati, mumpung belom habis jati"
"Iya di, daripada dorang kasi habis sendiri"
"Selama ini kita hanya ambil batang-batang yang kecil seukuran paha, laku juga dijual jadi pagar, to?"

"Apalagi kalo batang besarnya". Nada bicaranya semakin mendesak, tentu saja ini peluang bagus untuk lebih cepat dapat uang. Apalagi uang jajan kami kesekolah selalu pas-pasan, bahkan seringkali tanpa uang jajan, dan kami menahan lapar sampai waktu pulang sekolah.

Akhir-akhir ini memang penebangan kayu jati semakin ramai, banyak anak seumuran kami jadi penebang jati dan ikut dalam kelompok-kelompok kecil penebang jati. Penebangan jati biasanya dilakukan oleh kelompok kecil yang terdiri dari 2 sampai 3 orang, 2 orang secara bergantian menebang kayu dengan kampak, sedangkan 1 orang lagi memantau situasi dan memberikan kode ketika ada polisi atau ada gangguan lain yang mengancam. Ketika ingin mengangsur kayu, mereka akan memerlukan bantuan 2 orang lagi. 1 orang akan bertugas memantau situasi, sedangkan 4 orang lainnya akan mengangkat kayu keatas gerobak, setelah itu 1 orang dari mereka akan beralih tugas menjadi pengendali gerobak, dan 3 sisanya mendorong dari belakang.

Memotong dan mengangkut semua dilakukan pada malah hari, ketika malam telah larut sekitar jam 10, apabila kondisi tidak memungkinkan atau sedang ada patroli, pengangkutan akan dilakukan saat subuh sebelum shalat subuh. Begitupun ketika penebangan dilakukan, semua tak dilakukan hanya dalam semalam, melainkan beberapa malam, mulai dari memantau, memotong dan mengangsur.

“Kamorang sudah yakin mau tebang jati kah?" tanyaku pada yang lain
La Firman hanya menjawab singkat, "Kalo kosetuju jadi, kalau tidak, pikir-pikirmi dulu"

"Sebentarmi kita bicarakan kone itu, kita berenang dulu sekarang" kata La Endo. Kemudian saya ikut melompat kedalam air, menyelam jauh sampai kedasar sungai. Saya memegangi pasir halus yang ada didasar, juga melihat bebatuan berumur puluhan tahun yang sejak lama menghuni dasar sungai ini. Ketika mataku melihat kedepan, kusaksikan jernihnya air sampai batas akhir jarak pandang, seperti membentuk sebuah tembok biru.

Kami masih terus berenang, tapi pikiranku sedang gelisah memutuskan apakah setuju atau tidak untuk jadi penebang kayu. Banyak resiko yang tentu saja akan kami hadapi ketika jadi penebang jati, dari kecelakaan besar dalam hutan sampai resiko terburuk yaitu ditangkap polisi yang sedang patroli.

Saya masuk lagi kedalam air kemudian menyelam sampai kedasar, mencari batu yang cukup halus untuk meggosok belakang. Kami biasa melakukannya, bersih-bersih belakang dan seluruh badan dari kotoran hasil endapan keringat yang menempel di belakang, lengan dan juga paha sampai betis. Kami melakukannya berpasang-pasangan dan saya berpasangan dengan La Endo. Saya memulai dengan menggosok belakangnya, setelah selesai La Endo akan balas menggosok belakangku dengan batu yang tadi kami ambil dari dasar sungai. Sungainya tak begitu dalam, mungkin Cuma sekitar 3 meter dengan air yang sangat jernih, apabila dilihat dari atas maka dasar sungai yang berpasir dengan bebatuan kecil akan sangat keliatan.

Bersambung...

Senin, 29 April 2019

Jompi - Hutan dan Kesenangan Masa Kecil (Bagian 2)


“Tapi kau yang angkat kasi lewat itu kali yang disana”, tawanya kembali meledak, bahkan lebih keras dari yang sebelumnya. La Angko adalah orang yang selalu membuat kami tertawa, dalam kelompok kami, dia seorang pelawak yang tak pernah kehabisan bahan untuk membuat orang lain tertawa. Kalaupun bukan dengan cerita-cerita lucu, ekspresi wajah ataupun gaya bicaranya sudah cukup membuat kami tertawa untuk beberapa saat.

“Ayomi kita jalan pale, nanti bisa malam kalo trolama kita temani ini kayu jati”, kataku pada yang lain. Dan kamipun kembali melanjutkan perjalanan. Apabila melewati hutan, jarak menuju jompi tidak terlalu jauh, hanya saja jalanan yang berbukit dan berbatu membuat waktu tempuh kami sedikit bertambah.

Masih dalam formasi berbaris memanjang kebelakang, kami berjalan menyusuri hutan jati. Didepan sana terlihat sebuah bukit kecil, bukit dengan tanah hitam berbatu yang telah biasa kami lewati. Sesekali oleh kami terdengar bunyi mobil truk dari kejauhan. Kicauan burung yang bersahut-sahut serta bunyi daun jati yang saling beradu ketika ditiup angin, menemani perjalanan kami menyusuri hutan jati yang sangat luas.

Melihat hutan jati dari dalam sangat jauh berbeda dengan hanya melihatnya dari luar, atau dari kejauhan, atau bahkan hanya mendengar cerita orang maupun kisah-kisah dalam tulisan. Pohon-pohon jati ini sangat tinggi, melihatnya menjulang keatas, seperti daun pohon ini sedikit lagi akan menyentuh awan. Pada batang dan beberapa cabangnya, terdapat tumbuhan anggrek yang sangat indah, ada yang telah berbunga namun ada pula yang tidak berbunga, hanya berupa daun hijauh memanjang dan melengkung kearah bawah. Oleh orang-orang di Muna, tumbuhan itu disebut sebagai “Anggrek Hutan”.

"Tidak dirasa to?
"Iya, itu sudah kelihatanmi jompi",
"Kalo lewat jalan tadi, pasti panas",
"Tepapa juga kalo panas, kan mau mandi juga dijompi"
"Kalo begitu besok coba kolewat dijalanan sendiri, kita lewat disini saja, bemana?"
"Kalo kotemani samau" canda La Angko ketika menjawab pertanyaan La Firman

Dari sini jompi sudah terlihat, air terjun yang letaknya paling depan terlihat jelas dari atas sini, untuk sampai kesana kami punya 2 pilihan jalan, lewat lapangan tenis atau lewat pintu gerbang sebelum jembatan. Dan kami memilih lewat pintu gerbang masuk.

Sebelum itu kami harus menuruni bukit, hanya ada 1 jalan menurun yang tidak cukup lebar, bahkan untuk dilewati 1 orang pun harus berhati-hati. Permukaan jalan tanah yang berbatu, cukup miring dan kadang menjadi lebih licin ketika tiba musim hujan. Kami melewatinya dengan perlahan dan La Endo memulainya dengan jalan paling depan, kemudian secara berurutan kami mengikutinya dari belakang. Atas petunjuk dari La Endo kami harus jalan ataupun berhenti untuk sesaat, dijalan yang kecil dan licin seperti ini kami selalu butuh seorang yang pemberani seperti La Endo. Kami selalu mangandalkannya, karena sudah beberapa kali dia menunjukan sikap yang lebih berani dari kami semua.

"Berhenti dulu" la endo memberi aba-aba dengan mengangkat tangan kanannya.
"Kenapa Hen?"
"Ada batang kayu didepan, tapi tidak terlalu besar, bisa sakasi pindah dulu".

Dia memindahkan batang kayu itu seorang diri dan kami tak dapat membantunya. Jalan ini tidak cukup bagi 2 orang untuk bersisian, kalaupun cukup, jurang disamping kanan dan tebing tanah disamping kiri akan sangat berbahaya bagi kami semua. La Endo dan kami sangat paham akan hal itu, karenanya dengan sikap pahlawan dia tak pernah mengeluh sedikitpun apabila mendapat kondisi seperti itu.

"Oke, jalanmi", kata La Endo yang kemudian disambut teriakan kami semua "Siaappp".
Kami lalu menuruni bukit. Didepan sana ada sungai kecil mirip saluran air, diatasnya dipasangi papan kayu sebagai jembatan bagi orang-orang yang ingin lewat. Setelah melewatinya, jalan menjadi cukup lebar, meskipun masih jalan tanah tapi cukup datar bagi kami untuk mempercepat langkah. Tak butuh waktu lama, kami telah sampai dijembatan pintu gerbang Jompi.

Didepan sana air terjun, arusnya cukup deras, sedangkan dibawah seperti sebuah mangkok kaca hijau berisi air bening yang diletakan dibawah air terjun. Air terjun ini merupakan sebuah bendungan yang dibangun sejak zaman belanda, untuk mengatur kekuatan aliran arus sungai. Kami melihat-lihat dari atas dan kepikiran untuk ikut berenang, apalagi sore ini cukup banyak anak-anak seumuran kami dan yang sedikit lebih dewasa juga berenang disana.

"Bemana, kita mandi disini saja?, tanyaku pada La Endo
"Trobanya orang disini bela, coba koliat, semua batu besar dibawah sudah ada yg pake, tiada tempat istrahat"
"Iya, masa kita mau berenang terus dan tidak istrahat?"
"Kalo La Angko mungkin bisa"
"Bisa juga, tapi kokasi napas bantuan kalo sa pingsan Firman"

Ada seorang anak, kira-kira usianya sedikit lebih tua dari kami, dia sedang memanjat rumah pompa dibagian kanan atas air terjun, dengan cepat dia memanjati bangunan tua yang sudah tak beratap itu. Dan dia telah sampai diatas, dengan sedikit memperbaiki tempat pijakannya dia kelihatan sedang bersiap untuk melakukan sesuatu.

Tempat itu cukup tinggi bagi anak-anak bahkan orang dewasa, dari permukaan air dibawah sampai dipuncak sana tempat anak itu berdiri, kira-kira tingginya sekitar 10 hingga 12 meter. Melihatnya saja saya merasa cukup ngeri, apalagi ketika sedang berada disana.

Anak-anak yang sedang berada dibawah mulai menghindar secara perlahan, sepertinya mereka sedang mengosongkan area bagian tengah air terjun. Tak lama kemudian si anak yang berada diatas bangunan tadi mulai melompat, dia melayang diudara, dengan gaya terbang ala bintang film. Wuush, dan dia jatuh dengan sempurna, tak ada yang sakit sedikitpun, karena sebelum menghantam air, dia dengan cepat merubah gaya seperti udang untuk mengantisipasi rasa pedis didada akibat menghantam air dari tempat tinggi.

Itu adalah teknik yang hampir dimiliki semua anak seumuran kami, yang terbiasa berenang di air terjun jompi. Kami pun memilikinya, hanya saja untuk melompat dari tempat yang sangat tinggi membutuhkan keberanian yg besar.

"Kobisa lompat dari situ Hen?" tanya La Angko
"Sabelom pernah lompat begitu, kalo jatuh duluan kaki saberani"
"Sateberani saya e, kalo dari atas air terjun sini saberani, paling hanya 8 meter tingginya kalo disitu" sambil menunjuk bagian atas bendungan.
"Jadi kita mandi di mata 2 saja kalo begitu"
"Ayomi pale, daripada cuma nonton orang disini"

Sebelum mata 2, kami melewati mata 1, disini banyak orang sedang mencuci, ada yang muda dan ada juga yang tua. Kawasan mata 1 merupakan tempat mencuci dan bermain anak-anak kecil, airnya tidak dalam hanya sebatas pinggang orang dewasa yang sedang berdiri. Kami kembali berjalan, melewati jalan tanah kecil yang dipermukaannya muncul akar-akar dari pepohonan besar disamping kanan dan kiri. Jompi merupakan kawasan hutan lindung berbukit yang juga dipenuhi pohon jati, terdapat sungai bersih nan jernih yang memanjang dari dalam hutan sampai kelaut, dan terdapat cukup banyak pohon besar lainnya.

Lewat bawah kami menyusuri sisi sungai menuju mata 2, sungai dikiri dan tebing batu dikanan menemani perjalanan kami. Didepan sana ada air biru, begitu orang-orang menyebutnya, dikarenakan airnya yang biru sementara dasarnya berpasir dan sedikit berbeda dengan air dibagian lain. Langkah kami hentikan sejenak untuk melihat-lihat air biru, tak ada yang berani berenang disini termasuk kami.

Bersambung...

Minggu, 28 April 2019

Jompi - Cerita Dari Masa Lalu (Bagian 1)


Kasihan Jompi, tempat yang dulu selalu ramai, sekarang seperti hutan tak terjamah. Jalan tanah menyusuri hutan yang dulu selalui dilalui banyak orang, kini dipenuhi semak belukar, pertanda sangat jarang dilewati. Dahulu ketika ke mata 2, seringkali kami berpapasan dengan orang lain yang berlawanan arah, saat datang maupun pulang, permandian ini tak pernah sepi oleh pengunjung.

Tapi  kini semua itu seperti cerita dongeng, penebangan kayu secara liar merusak nilai wisata kawasan ini. Jompi seakan diisolasi dari pengunjung dan orang ramai, demi memudahkan penebangan dan pengangkutan kayu lewat sungai. Untuk kerusakan yang telah terjadi, banyak pihak yang harus bertanggung jawab.

***
Kebun coklat ini tidak cukup besar, tanahnya tak terlihat lagi karena tertutup banyaknya dedaunan coklat yang mengering. Saya harus melewatinya  untuk sampai dibagian samping rumah temanku, namanya Hendrawan, biasa dipanggil La Endo.

"Heen, Heen", dari samping rumah saya memanggil namanya, saya terus memanggil karena cukup lama tak mendapat jawaban. Tak puas memanggil dari samping, saya menuju kedepan, tepat didepan pintu masuk rumahnya kemudian saya berteriak, "Heeeen".

"Ssssssttt, jangan keras-keras, masih tidur orang didalam", saya cukup kaget ketika tiba-tiba dia menjawabku, suaranya berasal dari bagian samping kanan rumahnya.

"Maaf, bemana kotidak menjawab sapanggil dari tadi", sambil senyum-senyum karena malu saya datang menghampirinya.

Seperti biasa, disore hari temanku ini sangat sibuk dengan ayamnya, dimulai dari memberi makan, memandikan, mengurut sampai menjemur ayam jagonya. Rambutnya masih acak-acakan, dan bagian kulit telinganya masih agak basah oleh air cuci muka, "berarti dia habis tidur siang beberapa waktu lalu", kataku dalam hati.

Kedatanganku tidak mengagetkannya, karena siang tadi kami sudah bertemu sewaktu pulang sekolah, dan janjian akan pergi ke Jompi sore ini.
"Bemana, jadi kita pergi dijompi to?" saya bertanya untuk memastikan kesiapannya.
"Iya jadi, tapi tunggu sebentar, saganti dulu baju n celana", lewat pintu samping diapun masuk kedalam rumahnya. Tak lama berselang adiknya La Elang keluar, kemudian disusul kakaknya La Firman dan dia yang terakhir, dari penampilannya sepertinya mereka sudah siap untuk jalan.

Sambil melangkahkan kaki keluar untuk meraih sendalnya, La Elang bertanya padaku, "La Aman mana?", saya belum sempat menjawab ketika adikku muncul dari samping rumah dan menjawab, "hadir". "Sakira koteikut, samau singgahi sebetulnya, karena kau yang tadi bilang mau pergi", kata La Firman yang disambut tawa kami semua.

Kami bergegas melewati jalan setapak, disamping kirinya tumbuh subur bambu kecil yang tersusun rapi menjadi pagar.
"Kita singgahi juga La Angko e?" kataku pada yang lain.
"iya, karna tadi debilang mau ikut juga, tapi deminta disinggahi”.

Tak berapa lama kami telah sampai didepan rumahnya, nampak La Angko sedang duduk dikursi depan rumahnya. "Angko, sinimi kita jalan", kata La Firman. Dengan bergabungnya La Angko berarti semua telah berkumpul, perjalanan menuju jompi pun dimulai, saya menawarkan supaya lewat dihutan karena dijalan raya masih panas oleh sinar matahari. Dan merekapun setuju.

Untuk menuju hutan, kami melewati jalan raya dan beberapa rumah penduduk, lorong kecil yang tidak begitu besar membuat kami membentuk formasi berbaris layaknya semut. Didepan sana hutan telah terlihat, ada pohon bambu disebelah kanan, pohon jambut mete yang disebelah kiri jadi penanda batas kebun warga. Jalan tanah yang terbentuk secara alami karena seringkali dilewati, tersambung jauh sampai menembus hutan, memanjang kedalam lalu hilang diantara rimbunnya semak belukar.

Sebelum memasuki hutan kami melintasi sungai mati, cukup lebar dan dalam hingga melewati kepala, sampai harus turun dan kemudian memanjat kembali tanah disisi sebelah untuk melewatinya. "Maju terus" kata La Angko yang jalan kedua dari depan, dia berteriak lantang kemudian tertawa, "coba liat, kotor bajunya" sambil mengejek dia menunjuk kearahku dan tawanya disambut tawa yang lain. Memang tadi sewaktu turun kedalam sungai saya tergelincir tapi tak sampai jatuh "salah injak tadi saya, untung tidak jatuh", kataku yang ikut tertawa.

Kami terus berjalan, memasuki hutan jati yang luas dengan semak belukar yang rimbun, sesekali kami bernyanyi, kadang lagu yang serius kadang pula lagu yang menggembirakan, atau hanya sekedar nana nana untuk menghibur diri.

"Coba lihat ini pohon-pohon jati, banyak skali, mungkin hanya di Muna ada hutan jati banyak bgini"
"Iya juga, temungkin ditempat lain ada hutan jati yang luas kayak di Muna"
"Lama sekalimi ini hutan jati, sudah dari jaman belanda katanya orang tua"

Tak jauh dari tempat kami, ada pohon rebah yang masih basah, dari kondisinya sepertinya baru beberapa hari ditebang. Dengan penuh curiga kami mendekatinya.

"Coba liat isi dalamnya" sambil menunjuk kearah batang jati yang telah ditebang orang, "sudah coklat, tua sekali ini kayu, pasti keras, yang begini tidak mampan digigit rayap, bisa patah giginya".
"Jangankan rayap, kampak kecil saja patah kalau potong yang begini".

Kami mengerumuni pohon jati yang belum lama ditebang orang, melihat dan memeriksanya, berbekal pengetahuan seadanya tentang jati, yang hampir tiap hari didengarkan dari pembicaraan orang-orang.

"Siapalagi yang tebang ini pohon kasian, tamba banyak saja orang tebang jati sekarang ini”
“iya, Kemarin malam saliat juga orang mengangsur dijalan atas sana, besar skali kayunya”
"Liat disana, ada lagi jati yang ditebang, disana juga ada"

Kami pergi melihat jati lain yang ditebang, menuju kesana tak perlu tenaga atau parang tajam untuk memotong semak belukar yang menghalangi. Oleh para penebang kayu, semak belukar telah dibersihkan, itu dilakukan untuk memudahkan semua proses dari penebangan sampai pengangsuran. Pengangsuran merupakan aktifitas memindahkan batang jati yang telah ditebang, dari dalam hutan menuju tempat penyimpanan sebelum dijual.

Kami hanya saling bertatapan dengan wajah keheranan, sebelum La Firman membuat kaget dengan bertanya satu hal yang sama sekali belum kami pikirkan. "Bemana kalo kita ambil ini jati?". Mengambil jati orang adalah sesuatu yang sulit dan sangat berbahaya, untuk anak-anak seperti kami pemukulan atau hal buruk lainnya bisa menjadi resikonya.

“Apa? ambil kayu?” karena kaget yang bercampur lucu La Angko tertawa terbahak-bahak, menertawai maksud La Firman yang cukup mustahil buat anak-anak macam kami.

Kami masih anak-anak kala itu, jiwa humor kami tentu masih sangat kuat, kami akan otomatis ikut tertawa ketika ada teman lain yang tertawa, apalagi ketika La Angko yang mulai tertawa dan berkisah tentang cerita-cerita lucunya. “Bisa juga kita ambil, kalau mau”, sesaat La Angko menghentikan tawanya dan mulai berbicara, dari raut wajahnya kelihatannya dia akan serius, sedangkan kami masih belum bisa berhenti tertawa sepenuhnya.

Bersambung...