Selasa, 12 Mei 2020

Urbanisasi dan Masyarakat Kota

Sumber gambar : www. amp.beritasatu.com
Seorang teman yang sedang kuliah Magister menyodorkan sebuah buku padaku, judulnya
Peri Urban. Darinya saya jadi sedikit tau kalau pembahasan mengenai itu sedang tren dikalangan mahasiswa Pascasarjana Perencanaan Wilayah dan Kota. Istilah Peri Urban atau daerah pinggiran menjadi topik hangat yang kembali diperbincangkan para planner dalam ruang akademik.

Peri Urban diadopsi dari teori Sistem Dunia atau World System Theory. Yang membagi negara dunia menjadi 3 (tiga) bagian berdasarkan kekuatan Ekonomi dan Politik. Pembagian tersebut terdiri dari Core atau inti yang kemudian dikatakan pusat kota, Semi Peripheri atau setengah pinggiran, dan Peripheri atau daerah pinggiran, saya mengatakannya daerah peralihan.

Yang menarik dari itu bukan bagaimana atau kapan daerah pinggiran akan beralih fungsi atau naik kelas menjadi core. Karena itu merupakan konsekuensi dari sebuah Kota yang akan mengalami perkembangan dan terus memberikan tekanan pada wilayah pengaruhnya. Yang lebih menarik adalah bagaimana masyarakat kemudian merespon perkembangan kota dengan berlomba-lomba bergerak menuju daerah inti atau core.

Keadaan ini dapat digambarkan seperti semut yang secara otomatis bergerak kearah gula. Dan pergerakan itulah yang kemudian disebut Urbanisasi. Cara berpikir seperti itu sudah tertanam dalam pikiran masyarakat pinggiran juga masyarakat Desa sedari kecil. Kisah-kisah tentang kehidupan kota yang begitu mudah dan glamour terus dihembuskan ketelinga mereka. Sampai akhirnya pindah kekota dan jadi masyarakat kota menjadi cita-cita anak pinggiran dan desa.

# Lahirnya Teori Urbanisasi
Mengenal Ibn Khaldun merupakan keharusan bagi Para Perencana, yang menggeluti bidang perencanaan wilayah dan kota. Kalau kita bertanya-tanya, siapakah orang pertama yang memikirkan kota, bagaimana itu terbentuk, bagaimana merencanakan dan bagaimana masyarakatnya bertransformasi. Maka Ibn Khaldun lah orangnya.

Sependek pengetahuan saya, Ibn Khaldun merupakan orang pertama yang membahas mengenai perpindahan masyarakat ke kota, yang belakangan disebut Urbanisasi. Dia juga orang pertama yang membahas kota dan wilayah pengaruhnya, yaitu daerah pinggiran. Yang belakangan kembali menjadi populer dikalangan perencana dengan istilah peripheri.

Teori Urbanisasi atau Tamaddun versi Ibn Khaldun, didasarkan pada realitas masyarakat yang memiliki kebutuhan lain selain kebutuhan dasarnya. Syaratnya yaitu kebutuhan dasar telah terpenuhi, maka masyarakat memiliki kesadaran akan adanya kebutuhan lain yang lebih tinggi. Kesadaran ini yang akan menggerakan kelompok masyarakat membangun peradaban baru, yang kemudian disebut kota.

Dari sini akan dipahami bahwa Urbanisasi bukan hanya sekedar berbicara mengenai perpindahan orang dari desa ke kota. Lebih dari itu, urbanisasi juga dapat bermakna transformasi sebuah masyarakat dari kehidupan pedesaan menuju kehidupan perkotaan. Motifnya adalah pemenuhan kebutuhan, cita-cita bersama dan kesiapan mental untuk menerima perubahan.

Tak ada yang salah dengan urbanisasi yang berarti perpindahan penduduk. Selama kita memahami perpindahan itu merupakan sebuah gerak. Dengan demikian kita tetap dapat menerima defenisi urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari titik A menuju titik B. Karena hal itu juga merupakan bagian dari gerak, yaitu gerak spasi.

Ibn Khaldun menggambarkan situasi tersebut dengan memberikan 2 (dua) contoh peradaban yang jadi objek penelitiaan dalam menyusun teorinya. Peradaban Baduwi yaitu kelompok masyarakat padang pasir dengan ciri kehidupannya yang berpindah-pindah. Dan masyarakat kota dengan kehidupan yang telah mengenal kepemilikan tanah dan hidup menetap.

# Urbanisasi dan Lahirnya Kota
Urbanisasi merupakam tahap awal dari lahirnya sebuah kota. Ketika sebuah kelompok masayarakat padang pasir memiliki cita-cita bersama untuk membentuk organisasi sosial yang lebih modern. Dikatakan lebih modern, karena pada peradaban baduwi mereka juga telah mengenal organisasi sosial, tapi dalam bentuk yang sederhana. Yaitu untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar, tidak lebih dari itu.

Urbanisasi muncul karena ada kebutuhan, begitupun dengan kota sebagai sebuah peradaban. Kota lahir karena kebutuhan, bukan secara alamiah, melainkan dibentuk dengan sengaja oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengenal kepemilikan, manusiapun merasa punya kuasa atas sesuatu. Setelah mengenal kemewahan mereka juga jadi takut akan gangguan. Karenanya mereka butuh sebuah organisasi sosial yang dapat memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan.

Organisasi sosial itu kemudian mencerminkan peradaban, yang oleh Ibn Khaldun disebut Kota, disana ada upaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, seperti keamanan, kenyamanan dan kemewahan. Organisasi sosial itu dibentuk untuk memberikan jaminan keamanan atas kekayaan yang dimiliki masyarakatnya. Juga membentuk sebuah sistem pemerintahan yang kebijakannya diakui dan diikuti oleh semua kelompok masyarakat.

Selain karena kebutuhan, kota juga dapat lahir karena kebijakan. Ketika seorang penguasa berkeinginan mendirikan sebuah kota dengan memindahkan penduduk pada komunitas-komunitas kecil, untuk membentuk sebuah organisasi sosial baru yang lebih besar. Perpindahan ini juga dikatakan urbanisasi, karena disana ada perubahan perilaku masyarakat untuk mengikuti segala aturan dalam organisasi sosial yang baru.

Bagaimana jika terjadi perpindahan kelompok masyarakat dalam jumlah besar dari tempat asal ketempat baru. Selama mereka tidak merubah kebiasaan dan tetap bertahan dengan kebiasaan lama, itu tidak bida dikatakan urbanisasi. Seperti yang dilakukan kelompok pengembara sebelum mengenal kehidupan menetap. Mereka selalu berpindah-pindah, dan terus hidup dengan kebiasaan mereka tanpa merasa memiliki tanah atau alam.

# Masyarakat Kota
Siapa sesungguhnya masyarakat kota dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti kebutuhannya. Apakah dia telah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya kemudian mengejar kebutuhan yang lebih tinggi, ataukah tidak. Secara sederhana kita akan mengambil kesimpulan seperti itu, tentu saja dengan berdasar pada ulasan sebelumnya. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang telah lama tinggal di kota, dan berjuang keras melawan kejamnya kehidupan kota.

Dengan segala hormat harus dikatakan mereka sebetulnya bukanlah masyarakat kota. Saya dan juga anda ketika hidup di kota dengan bersusah payah hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka dapat dikatakan kita bukanlah orang kota. Tapi setidaknya secara administratif kita bisa menjadi masyarakat kota, dengan cara mengurus surat domisili untuk mendapatkan KTP dan terdaftar sebagai warga kota setempat.

Meskipun telah melakukan urbanisasi dan mengikuti aturan setempat, seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, tidak langsung menjadi masyarakat kota. Untuk sejenak kita harusnya lebih sering memasuki cara berpikir seperti itu, bukan cara berpikir proyek yang terlalu administratif. Planologi juga memiliki dimensi akademik yang harus didekati dengan teori-teori untuk perkembangannya.

Masyarakat kota juga merupakan masyarakat yang telah memperoleh kebutuhan yang lebih daripada yang dibutuhkan atau kebutuhan dasarnya. Mereka hidup nyaman karena telah memperoleh kekayaan dan kemewahan, dan tak lagi ambil pusing dengan kehidupannya. Karenanya merekapun akan membangun bangunan-bangunan besar serta segala sarana dan prasarana untuk menjamin keamanan dirinya.

Untuk menggambarkan perbedaannya, Ibn Khaldun memberikan perbandingan dengan masyarakan baduwi. Masyarakat kota telah mengenal hidup menetap, dari mereka ada juga yang hidup dengan keahliannya dan ada juga dengan berniaga. Meskipun peradaban baduwi atau atau di desa-desa kecil juga ada yang hidup dengan keahlian dan berniaga. Yang dapat diperoleh masyarakat kota jauh melebihi apa yang didapatkan mereka. 

Masyarakat kota mungkin dikatakan sebagai simbol peradaban umat manusia, namun mereka bukan produk sempurna sebuah zaman. Dengan melihat apa yang terjadi dewasa ini, masyarakat kota ternyata lebih rentan terserang penyakit daripada masyarakat desa. Selain serangan covid 19, banyak kasus bunuh diri juga terjadi di kota, dan semua itu dilakukan oleh masyarakat kota yang telah memperoleh kemewahan dan kenyamanan.

Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Ibn Khaldun dalam maha karyanya Muqaddimah, bahwa karena pola hidupnya masyarakat kota tidak lebih kuat dari masyarakat desa/baduwi dalam menghadapi serangan penyakit. 

###
Mungkin banyak yang tak sepakat dengan tulisan ini, dan tentu saja mempunyai pandangan serta teori lain tentang urbanisasi dan masyarakat kota. Itu wajar saja, karena tulisan ini hasil kesimpulan saya atas pemikiran Ibn Khaldun bukan tokoh lain. Setelah 643 tahun Ibn Khaldun mulai menulis Muqaddimah (tahun 1377), pokok-pokok pikirannya masih relevan dengan fenomena perkotaan yang terjadi abad ini.

###
Saya punya pengalaman tak enak tentang Ibn Khaldun. Saat masih dikampus tahun 2009 lalu, Himpunan Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota Univ 45 Makassar, membuat baliho dengan menampilkan ilustrasi gambar Ibn Khaldun serta teorinya tentang Urbanisasi. 

Saya salah satu yang dimintai pendapat, dan saya mengapresiasi saja karena itu baik. Setelah itu mereka mendapat hujatan dari sekelompok mahasiswa lain. Meskipun tak diturunkan gambar tersebut hilang dalam semalam karena digunting orang tak dikenal.

Entahlah, mungkin mereka utusan Ibn Khaldun yang tak terima kalau gambarnya dipasang di baliho himpunan. Atau takut kalau nantinya bisa menyesatkan mahasiswa lain yang kurang beriman.

Penulis : Laode Muh. Azis Syahban, H

Related Posts:

0 comments: