Neuroplanologi - Bahagia Untuk Menjadi Kuat

Kota Bahagia adalah Kota yang mampu memberikan kebahagiaan bagi warganya. Saya ingin memulainya dari defenisi yang sederhana tentang Kota Bahagia, sesederhana yang saya pikirkan tentang jalan kebahagiaan.

Urbanisasi dan Masyarakat Kota

Urbanisasi muncul karena ada kebutuhan, begitupun dengan kota sebagai sebuah peradaban. Kota lahir karena kebutuhan, bukan secara alamiah, melainkan dibentuk dengan sengaja oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

Neuroplanologi - Jalan Menuju Kota Bahagia / Happy City

Mungkin sudah saatnya sebuah pendekatan baru lahir, dengan memadukan disiplin Planologi dan Neurosains untuk mewujudkan sebuah kota yang bahagia. Dengan kajian yang lebih fokus membahas sebuah perencanaan yang lebih memberikan pengaruh terhadap saraf otak dan membuat manusia lebih bahagia. Semoga tak terlalu dini, saya ingin menyebutnya sebagai NEURO PLANOLOGI.

Silverqueen - Berhenti Menangis

Selalu ada kisah haru pada malam-malam disaat musim hujan yang pernah kita lalui bersama. Kau disana, dan aku disini, hanya kita berdua. Belum cukup setahun kita kenalan, tapi rasanya sudah bertahun-tahun kita berteman. Sangat akrab, dan kau selalu saja buatku rindu.

Pak Udin, Penjaga Tradisi Suku Bajo Mola di Wakatobi

Pak Udin merupakan seorang Suku Bajo yang berasal dari Mola, pemukiman suku bajo terbesar didunia yang berada di Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi. Layaknya suku bajo yang selalu dikatakan dalam berbagai literatur, pak udin sangat menggantungkan hidupnya pada laut.

Jumat, 11 September 2020

Pak Udin, Penjaga Tradisi Suku Bajo Mola di Wakatobi

Pak Udin (Baju Abuabu)
Kelopak mataku tak dapat membuka sempurna ketika matahari Kaledupa menyinari separoh bagian wajahku yang tak terlindungi. Sayup-sayup kudengar hpku berdering. Sebelum mengangkat, kulihat nama Pak Udin, seorang Bajo  yang berasal dari Mola, perkampungan Suku Bajo di Wakatobi dan terbesar didunia.

"Mas Azis sudah di Wangiwangi atau masih di Kaledupa?, istri saya lagi masak parende ikan Napoleon, nanti malam makan disini aja mas", kata Pak Udin sedikit memaksa. Ini kedua kalinya Pak Udin menelpon, untuk memastikan kesediaanku datang makan malam lagi dirumahnya.

Awalnya saya diajak seorang kawan, yang baru kukenal siangnya tapi dah berani mengajak makan malam. Saat itu ada pesan WA dari nomor tak dikenal masuk ke hpku, isinya kurang lebih begini "mas Azis, nanti malam makan malam dikeramba Pak Udin aja". Pesan itu lengkap dengan koordinat lokasi google maps.

Tentu saja saya menyambut baik ajakan itu, dengan harapan pemilik nomor yang belum terdaftar itu seorang wanita cantik. Untuk memastikannya saya membalas pesan WhataAppnya dengan pertanyaan singkat, "maaf ini dengan mba siapa ya?".

Saya mulai deg-degan menunggu balasannya. Mungkin dia orang Wakatobi yang sudah beberapa hari ini selalu melihatku bolak balik dijalan poros kota wangi-wangi. Atau, mungkin juga itu dari turis asing yang juga seorang traveller dan sedang berada di Wakatobi. Meskipun berbeda, ada sedikit kemiripan antara surveyor dan traveller.

Saya surveyor dan dia traveller, kayaknya cocok. Tiba-tiba hpku berdering, memutus rantai khayalanku sebelum mengarah pada hal yang, ah sudahlah. Sepertinya balasan dari mba nya sudah ada.

"saya Arief mas, yang tadi ketemu di Bappeda", dengan sedikit kecewa saya membalas "ok". Tapi tak apa, setidaknya saya dapat teman baru dari jalan-jalanku di Wakatobi. Namanya Arief, tahun lahirnya sama denganku 1987, orangnya sangat baik. Karena dia saya bisa berkenalan dengan Pak Udin.

Pak Udin merupakan seorang Suku Bajo yang berasal dari Mola, pemukiman suku bajo terbesar didunia yang berada di Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi. Layaknya suku bajo yang selalu dikatakan dalam berbagai literatur, pak udin sangat menggantungkan hidupnya pada laut.

Laut adalah Ibu, itulah salah satu filosofi hidup suku bajo. Dari laut mereka lahir dan pada laut juga tempat mereka menyerahkan hidup. Karenanya jangan heran pabila masyarakat suku bajo sangat mensakralkan laut dalam dimensi kehidupannya. Seperti mitos mengenai adanya kekuatan ghaib yang dapat menentukan keselamatan dan juga menentukan perolehan rejeki para pakkaja, atau nelayan di lautan.

Pemukiman Suku Bajo Mola Yang Masih Mempertahankan Jenis RUmah Gantung

Masyarakat bajo sangat percaya pada mitos-mitos lautan. Kepercayaan itu yang mempengaruhi sikap mereka untuk lebih menjaga lautan. Selain roh ghaib, orang bajo juga memiliki keyakinan bahwa bagian-bagian didalam laut selalu ada yang menjaganya. Seperti karang sebagai biota laut yang menjadi rumah bagi banyak binatang laut, juga memiliki penjaga.

Namanya Pengngorong Sappa yang diyakini sebagai penjaga karang. Pengngorong Sappa dipercaya menempati gugusan-gugusan karang disekitar lokasi penangkapan ikan. Untuk mendekatinya merupakan hal yang dianggap tabu oleh masyarakat suku bajo.

Meskipun suku bajo dikenal sebagai manusia perahu karena kehidupannya sebagai penangkap ikan dilautan. Tidak demikian dengan Pak udin, dia memilih cara lain yang juga masih berhubungan dengan laut dan ikan. Yaitu sebagai nelayan budidaya. Pak udin memiliki keramba tepat dibawah kolong rumahnya, yang ukurannya mengikuti ukuran luas lantai rumahnya.

Awal perkenalan kami, pak udin sedikit bercerita. "Betapa susahnya memiliki keramba, harus selalu dibersihkan secara teratur. Kalau tidak, bisa kotor karena banyak jamur menempel, akibatnya ikan-ikan menjadi stres dan pertumbuhannya terhambat. Membersihkannya pun tak mudah, butuh tenaga dan ketahanan untuk berada di air selama berjam-jam".

"Tapi bukan itu yang menyusahkan, karena kami suku bajo sudah terbiasa berada di air. Setelah membersihkan keramba itu yang paling menyusahkan, karena tangan akan terasa gatal dan panas akibat jamur yang menempel itu. Liat saja tanganku mulai memerah, sebentar malam mungkin saya akan susah tidur dan lenganku akan bengkak esok pagi".

Malam itu saya menyimak semua ceritanya, dan menangkap beberapa ekspresi kekesalan darinya. Dari sekian banyak masyarakat suku bajo di Mola, setauku hanya Pak Udin yang punya keramba.

Dia mengisi kerambanya dengan membeli ikan hasil tangkapan para nelayan yang ukurannya tak masuk syarat untuk dijual dipasar. Karenanya pak udin membuat para nelayan bisa mendapatkan harga untuk semua hasil tangkapannya, tiada yang dibuang.

Ada beberapa hal yang dikeluhkan Pak Udin. Dan saya bisa sedikit mengerti perasaannya, karena sore sebelumnya saya sempat berkeliling kawasan pemukiman nelayan suku bajo di Mola. Masalahnya adalah kebiasaan masyarakat suku bajo yang mulai membuang sampah dilaut. Pak Udin adalah orang yang paling terkena dampak, karena sampah-sampah plastik akan mengarah kelaut kemudian dibawa ombak menuju daratan dan menempel dijaring kerambanya.

Suku Bajo Mola mulai meninggalkan rumah panggung

Selain itu, beberapa masyarakat suku bajo di Mola mulai meninggalkan rumah kayu dan beralih kerumah batu. Sekilas hal ini bukan suatu masalah, dapat dimaklumi apabila masyarakat ingin merubah kualitas hidup dengan merubah kualitas bangunan rumahnya. Namun yang jadi masalah, apabila rumahnya terletak dipinggi sungai dan mereka mengambil cukup banyak lahan untuk membuat teras depan.

Akibatnya jalan yang semula difungsikan sebagai jalur inspeksi akan berkurang lebarnya. Hal ini terjadi di Mola dalam beberapa tahun belakangan, dan pelakunya bukan cuma satu orang. Karena badan jalan yang mengecil, akibatnya mobil tak dapat masuk sampai keujung jalan. Saya sendiri harus berjuang keras melewatinya dengan motor.

Saya menyampaikan kegelisahanku pada pak udin bahwa masyarakat suku bajo di Mola perlahan-lahan mulai meninggalkan nilai-nilai sakral suku bajo. Dari yang seharusnya menjaga laut seperti seorang ibu, berubah dengan mengotorinya. Pak udin hanya menghela napas.

Selama ini dia berjuang sendiri menghimbau masyarakat supaya jangan buang sampah dilaut, tapi tak selalu diindahkan. Selain akan mengotori laut, sampah-sampah itu akan membuat kerambanya menjadi kotor.

Pak Udin juga menjadi orang yang berperan mengurangi penggunaan bom dalam menangkap ikan.

Penggunaan bom akan merusak karang juga biota laut lainnya, dan ikan hasil tangkapan akan mati. Beberapa jenis ikan-ikan kualitas ekspor yang masih kecil kerap menjadi korban, dan akhirnya akan dibuang karena tak punya nilai jual. Dikeramba Pak Udin, ikan seperti akan memiliki nilai jual.

Pak Udin akan memberikan harga tertentu sesuai jenis ikan untuk dipelihara dikerambanya. Nantinya ikan-ikan itu akan dipelihara sampai besar sampai memiliki nilai jual lebih besar. Karena itu para nelayan tangkap harus menangkap ikan dalam keadaan hidup.
Pemandangan Saat Maghrib Dari Keramba Pak Udin

Diakhir perbincangan kami malam itu, Pak Udin menutupnya dengan keberhasilannya memelihara seekor ikan yang telah berumur hampir 7 tahun. Ikan tersebut telah tumbuh besar dengan ukuran lebih dari 2 meter. Tentu saja saya tak akan memberitau jenis ikannya, karena itu aset yang takkan Pak Udin jual dengan harga berapapun.

Tapi bagi yang ingin sekedar melihat-lihat, Pak Udin akan dengan senang hati memperlihatkannya. Datang saja di keramba Pak Udin di Pemukiman Suku Bajo Mola di Wangiwangi Kabupaten Wakatobi.