![]() |
Ilustrasi, buku Charles Montgomery |
Kota merupakan puncak peradaban manusia, yang memperlihatkan semua capaian-capaian manusia modern lewat bangunan-bangunan juga fasilitasnya. Penyedia layanan jasa juga, mencapai puncaknya dalam merespon kebutuhan masyarakat kota yang kian modern, dengan berbagai layanan kemudahan dan kenyamanan. Dan akhirnya kota menjadi tujuan utama perpindahan manusia.
Dengan kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan, kota seharusnya dapat membuat penduduknya lebih bahagia. Sebagaimana tujuan sebuah kota yang dimaksud Al-Farabi dalam Al-Siyasah Al-Madaniyyah, (dikutip dari Moh. Muttaqin Azikin dalam Menjadi Seorang Planolog). "Kota utama (al-Madinah al Fadhilah) adalah kota yang - melalui komunitas yang ada didalamnya-bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya".
Hal ini sejalan dengan yang dianjurkan 2 agama terbesar didunia, Islam dan Nasrani. Kedua agama ini sepakat dalam mengajarkan bagaimana supaya manusia mendapat kebahagiaan didunia. Seperti pada Agama Nasrani, terdapat beberapa ayat dalam perjanjian lama berkenaan dengan kebahagiaan, antara lain ;
Mazmur 128 : 1-2, "Berbahaigalah setiap yang takut akan tuhan, yang hidup menurut jalan yang ditunjukan-Nya! Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu".
Amsal 14 : 21, Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang yang menruh belas kasihan kepada orang yang menderita.
Pengkhotbah 7 : 14, Pada hari mujur, berbahagialah, tetapi pada hari malang ingatlah, bahwa hari malang ini pun dijadikan Allah seperti juga hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa depannya.
Pada Agama Islam pun demikian, terdapat banyak ayat-ayat Al Quran yang menyeru manusia untuk hidup bahagia, diantaranya sebagai berikut :
(Surah 2 : 189) Bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu berbahagia.
(Surah 3 : 200) Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah, saling menyabarkan, dan perkuat persatuanmu supaya kamu berbahagia.
(Surah 7 : 69) Kenanglah anugerah-anugerah Allah supaya kamu berbahagia.
(Surah 62 : 10) Apabila selesai shalat, menyebarlah di muka bumi. Cari anugerah Allah dan ingatlah Allah yang banyak supaya kamu berbahagia.
Selama puluhan bahkan ratusan tahun, konsep pembangunan kota ditujukan untuk menjawab tantangan zaman. Seperti kota hijau dan kota tahan bencana, yang berbasis mitigasi. Smartcity yang berbasis teknologi, juga agropolitan dan minapolitan yang berbasis potensi wilayah.
Apabila melihat kondisi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, agaknya konsep perencanaan lebih dititik beratkan pada upaya mitigasi bencana. Baik itu bencana alam seperti banjir, longsor dan gempa bumi, maupun bencana global yang saat ini tengah mengancam bumi dan seluruh mahluk hidup didalamnya. Yaitu Pemanasan Global. Untuk merespon kondisi itu dan melakukan mitigasi, maka lahirlah konsep Kota Hijau atau Green City dan Kota Tanggap Bencana.
Bagaimana dengan Kota Bahagia atau Happy City?. Sepertinya topik itu masih jarang dibicarakan para perencana di Indonesia. Para calon perencana dikampus-kampus lebih sibuk membicarakan proyek. Sebagian para pengajar juga lebih sering memasukan unsur proyek dalam dunia akademik, sehingga sangat wajar para perencana hari ini hanya membicarakan dunia perencanaan kaitannya dengan proyek.
Disiplin ilmu perencanaan yang seharusnya memfokuskan kajian secara berimbang pada aspek sosial dan spasial, sepertinya tak diminati lagi. Pengembangan metode penelitian dan alat-alat analisa untuk meneliti kondisi masyarakat dan memperoleh informasi statistik mengenai kebutuhan utama masyarakat kota, seperti tak begitu diminati.
Akhirnya mempelajari GIS serta aplikasi pemetaan lainnya menjadi sebuah tren perkembangan mahasiswa perencana yang melek teknologi. Anak plano harus bisa GIS, stigma itu yang terus terbangun dan anak Plano hanya akan berakhir menjadi pembuat atau penggambar peta.
Ditengah kondisi yang makin mencemaskan itu Charles Montgomery hadir dengan konsep Happy City, yang seakan meneruskan cita-cita Al Farabi yang ingin menciptakan Kota Bahagia. Dengan mengutip pandangan Aristoteles, Montgomery mendefinisikan kebahagiaan bukan hanya mendapatkan kesenangan, tetapi tentang menjadi anggota masyarakat yang aktif. "Efek psikologis paling penting dari kota adalah cara di mana itu memoderasi hubungan kita dengan orang lain".
Montgomery secara aktif melakukan penelitian terhadap masyarakat kota, untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan masyarakat. Selain itu komunikasi dengan para stakeholder pembangunan kota pun dibuka lebar, dan montgomery mendapat banyak masukan mengenai kota bahagia dari berbagai ahli. Beberapa arsitek menjawab bahwa itu semua tentang estetika. Beberapa insinyur lalu lintas mengatakan itu tentang tingkat layanan - yaitu, seberapa efisien mereka dapat menggerakkan mobil.
Dan begitu seterusnya, para ahli saling berdebat panjang untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Montgomery menengahi, langkah pertama dalam merencanakan kota yang lebih bahagia tidak ada hubungannya dengan desain. Itu tidak ada hubungannya dengan bangunan atau jalan atau pohon atau sepeda. Langkah pertama adalah menyepakati apa yang penting untuk kesejahteraan.
Montgomery dan tim nya memberikan defenisi tentang kebahagiaan kota mencakup 3 aspek yang saling tumpang tindih. Pertama Kesejahteraan subyektif, adalah jumlah penilaian orang tentang keadaan kebahagiaan mereka sendiri, baik pada saat tertentu, atau dengan kehidupan mereka. Kedua Kesejahteraan psikologis, menggambarkan sejauh mana orang menjalani potensi penuh mereka, menggunakan keterampilan dan perasaan mereka seolah-olah mereka berhasil. Ketiga Tahun hidup sehat, menggambarkan kebanyakan orang mengatakan mereka ingin menikmati umur panjang.
Montgomery memandang kebahagiaan saling berhubungan dengan kesejahteraan. Dengan melakukan penelitian mendalam dan memeriksa bukti dari kesehatan masyarakat, ilmu saraf, sosiologi, ekonomi perilaku dan psikologi lingkungan, mereka kemudian menghasilkan resep yang cukup kuat untuk kebahagiaan perkotaan. Mereka menyebut resep ini sebagai roda kesejahteraan dengan sembilan prinsip utama kesejahteraan kota.
Sembilam prinsip yang dimaksud adalah : Kebutuhan Inti, Hubungan Sosial, Kesehatan, Ekuitas dan Status Relatif, Kemudahan, Sukacita, Arti dan Milik serta Ketahanan.
Tentu saja ada banyak cara yang bisa digunakan untuk membuat orang bahagia dan mengukur tingkat kebahagiaan seseorang. Banyak variabel yang bisa dikembangkan untuk mengetahui faktor dominan kebahagiaan. Tapi ada sebuah kepastian dalam ilmu neurologi yang dapat membuat manusia bahagia, yaitu ketika tubuh manusia memproduksi hormon kebahagiaan.
Kita dapat memulai kajian atau penelitian mengenai Kota Bahagia/ Happy City, dari mengenal 4 Hormon kebahagiaan tersebut, yaitu Hormon Dopamin, Endorfin, Serotonin dan Hormon Oksitosin. Mengenal 4 Hormon ini akan membawa para perencana (planner) masuk kedalam dimensi baru Neurosains, yang memperlihatkan bagaimana sel-sel saraf otak dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Bagaimana melihat Kesedihan, kebahagiaan, keyakinan, rasa cinta dan juga amarah, sebagai sebuah peristiwa yang terjadi di otak.
Mungkin sudah saatnya sebuah pendekatan baru lahir, dengan memadukan disiplin Planologi dan Neurosains untuk mewujudkan sebuah kota yang bahagia. Dengan kajian yang lebih fokus membahas sebuah perencanaan yang lebih memberikan pengaruh terhadap saraf otak dan membuat manusia lebih bahagia. Semoga tak terlalu dini, saya ingin menyebutnya sebagai NEURO PLANOLOGI.
Penulis : Laode Muh. Azis Syahban, H
***
Referensi :
Meraih Kebahagiaan - Jalaluddin Rakhmat
Menjadi Seorang Planolog - Mohammad Mutaqin Azikin
Esai Sembilan bahan penting untuk kota yang lebih bahagia dan lebih sehat - Charles Montgomery
Jurnal Otak dan kota ; ilmu saraf dan budaya pengambilan keputusan - Steven Johnson
www.thehappycity.com
0 comments:
Posting Komentar