Yang buatku tak percaya pada kisah itu, karena Ghadeh yang tak menyukai pria botak. Sedangkan Mustafa Chamran seorang lelaki botak dibagian tengah kepalanya. Ghadeh sadar akan hal itu setelah beberapa lama mereka menikah dan teman ghadeh menanyakan.
"Bukankah ghadeh tak suka dengan pria botak".
Ghadeh menjawab "iya memang aku tak suka".
Temannya balik bertanya, "bukannya Mustafa Chamran lelaki yang botak?".
Ghadeh malah bingung tak percaya. Sampai dipanti, dia menemui Chamran dan memastikan hal itu. Dan ternyata Chamran memang botak. Aneh kan?. Kutanya Bara tapi dia juga bilang tak tau pasti tentang itu, masa sih dizaman seperti sekarang ini masih ada yang seperti itu. Kalau Ghadeh disantet mungkin saya percaya, tapi itu tak mungkin. Karena kata Bara, Chamran itu seorang yang agamais, hidupnya sangat pas-pasan dan sangat taat beragama. Tak mungkin baginya menggunakan cara kotor untuk memikat hati perempuan. Untuk mengecek kebenaran cerita itu, saya minta dipinjamkan bukunya, "sekalian saja dibawa besok sore", kataku sebelum percakapan kami berakhir.
Pagi ini cerah, saya menuju kampus cukup pagi karena ada janjian dengan dosen pembimbing tuk membahas judul skripsi yang kuajukan. "Kiri daeng", dan angkot berwarna biru langit berhenti sebelum pintu masuk kampus. Setelah menyerahkan 3 lembar uang seribu, saya memasuki area kampus dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Kuliat jam ditangan kiriku telah menunjukan pukul 8.29 pagi, semoga pak dosen mentolerir keterlambatanku yang hanya beberpa menit. Kumasuk lift dengan cepat, tanpa menunggu langsung kupencet nomor 6, Artinya menuju lantai 6. Setelah sampai di lantai 6, saya melangkah keluar secepat kilat menuju ruang jurusan.
Disana sudah ada ibu sekretaris jurusan sedang merapikan berkas-berkas yang tak begitu berantakan. Kutanya dosen pembimbingku padanya, dan dia belum datang, kesal jadinya. Malah dia yang terlambat, padahal saya cukup panik kalau sampai terlambat dari waktu yang ditentukan, yakni pukul 8.30. Kurebahkan diriku dikursi depan jurusan, lemas rasanya, setelah terburu-buru ternyata masih harus menunggu juga. Kembali kulihat tangan kiriku dan waktu telah menunjukan pukul 8.35. Sudah lewat 5 menit dari kesepakatan, dan pak dosen belum juga datang.
Kuambil smartphone dari dalam tas. Saya membuka Facebook sekedar ingin membunuh rasa bosan. Kubiarkan diriku keasyikan tenggelam dalam Facebook. Ada banyak status lucu juga tragis karena putus cinta, para Facebookers sepertinya tak malu mengungkap perasaannya didinding mereka. Lucu saja, saya jadi senyum-senyum sendiri saat membacanya. Tiba-tiba panggilan dari ibu sekjur terdengar, sangat jelas ketika kudengar namaku disebut, semoga saja pak dosen sudah sampai. Dan ternyata benar, pak dosen sudah duduk disitu selama beberapa menit, mungkin karena keasyikan bermain Facebook saya tak menyadari kehadirannya.
Awalnya saya sedikit gerogi, saat pertanyaan pertama dosen pembimbing diarahkan padaku. Ketika selesai menjawab, meski dengan sedikit terbata, sayapun menjadi rileks kembali. Huuf, beberapa menit yang sedikit melelahkan, tapi puas rasanya. Akhirnya judulku mendapat persetujuan dosen pembimbing, artinya hari ini saya harus fokus mencari referensi dan mulai menyusun skripsi. Kubawa perasaan bahagiaku sampai kekantin, dan mengisi perut yang sudah mulai keroncongan karena belum sarapan sejak pagi tadi.
Tau tidak, orang pertama yang tau berita bahagia ini langsung dariku adalah Bara. Sesaat setelah sarapan dikantin, saya mengabarinya lewat sms, dan dia mengucapkan selamat buatku. Senang rasanya. Tak berapa lama, teman-temanku berdatangan, mereka mulai memenuhi kantin dengan muka berseri-seri. Seperti saya, judul yang mereka ajukan akhirnya mendapat persetujuan dosen pembimbingnya masing-masing. Siang itu kami tertawa sepuasnya, kantin jadi ramai dan bunda pemilik kantin sesekali melihat kearah kami dengan senyum bahagia.
Hari mulai sore dan waktu shalat Ashar telah tiba. Saya meminta ijin pada teman-teman untuk pergi menunaikan shalat ashar di masjid samping kampus. Dari sini masjid sudah terlihat, letaknya tak begitu jauh hanya dipisahkan kanal besar dengan lebar hampir 20 meter. Diatasnya ada jembatan penyeberangan yang terbuat dari kayu keras dan terikat kokoh oleh kawat besi tebal. Sebenarnya cukup menyeramkan, kalau temanku yang suka usil ikut menyeberang sambil menggoyang-goyang jembatan. Untung saja kali ini dia tak ikut, hanya saya sendiri menyeberang dengan tenang diatas jembatan kayu.
Setelah mengambil air wudhu saya memakai mukenah yang selalu kubawa dalam tas, melapisnya dengan baju yang kupakai. Di masjid ini selalu ada shalat jamaah yang selalu ramai oleh para mahasiswa dan mahasiswi. Biasanya ada kelompok kajian kecil yang terbentuk secara spontan diteras masjid sehabis shalat. Saya pernah mengikutinya sekali, setelah itu belum pernah lagi.
Habis shalat saya duduk sendiri diteras masjid, sambil merapikan mukenah untuk dimasukan lagi kedalam tas. Tiba-tiba seorang teman wanita menghampiriku, mungkin dia sengaja datang karena melihatku sedang sendiri. Dia mengajakku cerita seadanya, kemudian menanyakan keadaanku. Saya jujur saja kalau sedang menunggu seseorang. Diapun maklum dan masih terus menemani, sepertinya dia mengerti keadaanku yang sudah hampir bete menunggu seseorang. "Huh, awas kalau tak datang lagi", gumamku dalam hati.
Bara muncul dari balik tempat wudhu, dia berjalan menuju kearahku dengan sebuah buku kecil ditangan kanannya. Saya menyambutnya dengan senyum terbaikku, kuyakin ini senyum paling manis yang bisa kuberikan padanya sore ini. Setelah membuatku menunggu dan hampir meledak.
"Sudah lama?"
"Iya, malah hampir kering, tanya saja dia" jawabku sambil melihat kearah temanku. Dan temankupun tertawa. Tak berapa lama temanku meminta ijin untuk pulang duluan, mungkin tak enak nanti menganggu.
"Maaf terlambat" kata Bara. Dan dia memberikanku buku kecil yang dipegangnya tadi.
"Iya, kumaafkan dan Terimakasih bukunya"
"Hehe, santai saja"
Haah, santai saja katanya. Memang yang salah siapa, yang terlambat siapa. Huh, dasar.
"Selamat karena judulnya di acc". Sambil memasukan tangannya kedalam tas kecil miliknya, kemudian mengeluarkan sebungkus besar Oreo dan diberikan kepadaku.
"Waduh, Terimakasih banyak"
Sebungkus besar Oreo rasa vanila. Saya tak sungkan menerimanya. Oreo', Sungguh diluar perkiraanku. Nyatanya saya sangat senang dengan hadiahnya. Kembali kulihat matanya dan kuhadiahkan senyum termanis yang kumiliki. Rasanya ingin kusimpan saja Oreo ini untuk kubawa pulang. Kuyakin akan selalu mengingat manisnya hari ini lewat manisnya krim vanila putih didalamnya.
"Oreonya tak dibuka dulu?" tanya Bara tiba-tiba.
"Enak saja, ini kan hadiahku", dan kamipun tertawa.
Sore itu sangat spesial, meski tak banyak yang kami ceritakan, dan Bara tak membacakanku satupun puisinya. Ternyata dia masih menyimpan sebungkus kecil Oreo dalam tasnya untuk kami makan berdua di masjid kampus sore itu. Saya sangat senang, rasanya hari itu hari keberuntunganku karena banyak hal menyenangkan yang kudapati dari pagi sampai malam. Kusimpan nama Bara pada sebuah tempat spesial dalam hatiku. Kuingin selalu mengingatnya dengan Oreo, dan mengenang manisnya hari itu dalam tiap manisnya krim vanila putih yang terasa oleh lidahku.
Dibuka, Dijilat, Dicelupin...
0 comments:
Posting Komentar