![]() |
(Gambar mungkin miliki hak cipta) |
Rintik hujan dimalam sabtu. Tak cukup deras hingga mampu membuat kepala basah kemudian terserang flu dan hidung jadi merah berhari-hari. Disamping rumah, bunga-bunga yang tersusun rapi terlihat berkilap karena tetes-tetes hujan membasahinya. Aku ingin keluar sekedar untuk menenangkan diri.
Kulihat ayunan dibawah pohon mangga yang rindang, tak sedikitpun basah karena tetes hujan. Ingin kutelpon kamu Bara, tapi aku sedikit malu. Kutak ingin kau tau tentang kesedihanku malam ini. Kau tau Bara?, aku barusaja menangis, sedih rasanya. Setelah apa yang telah kulakukan sekuat tenaga, ternyata tak mendapat apresiasi dari ibu. Aku sedikit bingung, malam ini kuhanya ingin bicara denganmu.
Selalu ada kisah haru pada malam-malam disaat musim hujan yang pernah kita lalui bersama. Kau disana, dan aku disini, hanya kita berdua. Belum cukup setahun kita kenalan, tapi rasanya sudah bertahun-tahun kita berteman. Sangat akrab, dan kau selalu saja buatku rindu.
Kuusap mataku yang masih berkaca-kaca. Dan Kuperbaiki napasku yang sedikit sesak sambil meneguk air putih dari gelas kaca. Setelah itu kutelpon Bara.
Tak seperti biasa, malam ini ceritanya tak begitu menarik. Mungkin juga hatiku yang terlalu kelabu, karena ini adalah bulan november. Aku melanjutkan percakapan dengan pertanyaan ketus.
"Kau pasti tau kalau saya habis nangis"
"Oh ya, bukannya lagi batuk?"
"Kau tak bertanya, kenapa saya menangis?"
"Tidak, maafkan saya"
"Berarti kau tak perhatian"
"Bukan begitu"
"Trus?, kenapa tak bertanya?"
"Tak bertanya bukan berarti tak perhatian kan?"
"Tapi saya mau ditanya"
"Iya, maaf kalau begitu. Seandainya tadi saya bertanya, setelah itu apa yang akan kamu lakukan?"
"Tentu saja saya akan ceritakan keadaanku, supaya kamu mengerti"
"Setelah itu kamu akan menangis tersedu-sedu?"
"Tapi plong rasanya kalau sudah dikeluarkan"
"Kalau besok malam diingat lagi, berarti menangis lagi?"
"Ah, susah bicara sama kamu"
"Tapi kamu sudah lumayan kan?, itu artinya saya sudah menyerap sedikit kesedihanmu"
"Tau ah", dan senyum kecil mulai terbit dari wajahnya yang kelabu beberapa saat lalu.
Bara bukan Dilan. Dia bukan peramal atau pahlawan yang muncul didepan banyak orang untuk memegang tanganku. Katanya dia tak mau membuat cemburu lelaki sekampus. Dia punya pendirian, dan selalu tegas pada hal prinsipil. Misalnya tidak berbohong dan tidak menipu. Kadang Bara terlihat kumal, menurutnya penampilan bukan ukuran seseorang itu baik. Huh, dia cuma berlagak seniman.
Pernah suatu ketika kami sedang duduk berdua, kuharap dia akan menceritakanku hal romantis. Atau paling tidak membacakanku salah satu puisi romantis yang dibuatnya. Dan tidak satupun dari keduanya dilakukan. Malah dia menceritakan hal lain yang tak ada hubungannya dengan skripsi ataupun kisah romantis.
Bara berkisah dengan raut serius, "Disuatu kota besar yang sangat padat dan kumuh, hiduplah sepasang suami istri. Hidup mereka pas-pasan, tak kekurangan tapi tak juga berlebihan. Si suami bernama Alam", "hey, itukan nama temanmu Bara", aku memotong. "O begitu, kamu tau darimana?, mungkin saja ini Alam lain yang orang Majene". "Tapi Alam temanmu itu kan memang orang Majene". "Iya juga". Kenapa harus Alam pikirku sambil menahan tawa yang sekali waktu bisa meledak. Kukenal Alam, mengingatnya saja sudah membuatku tertawa. Memang Alam orang yang lucu, hanya melihatnya bercerita bisa membuatku tertawa.
Bara melanjutkan, "sedangkan istrinya bernama Cawang". Dan tawaku meledak seketika, tak mampu kutahan lagi.
Dalam keadaan tertawa geli, aku masih berusaha bicara padanya. "Itu juga kan nama temanmu, dan mereka sama-sama lelaki, kenapa jadi sepasang suami istri". Tak mampu lagi kutahan, kubiarkan tawaku meledak kesegala penjuru dunia.
Cukup lama aku tertawa, sampai kurasakan sesak didadaku dan Bara mengingatkan sambil memberikan botol air mineral. "Minum dulu", katanya. Setelah beberapa saat napasku mulai normal, kurasakan rasa hangat disekujur tubuhku, rasanya segar, seperti aliran darah mengalir lancar tanpa terhambat sedikitpun. "Trus gimana, sudah selesai atau masih berlanjut?, tanyaku kembali. "Ceritanya kan baru mulai, hanya karena lagi ada iklan saja", jawabnya masih dengan ekspresi serius.
Suatu hari si istri sangat capek membersihkan rumah, sedang si suami juga asik menonton bola. Saya sedang membayangkan cawang capek dan alam sedang asik menonton bola. Karena kesal dengan ulah suaminya yang terus-terusan menonton bola, si istri pun bertanya dengan sedikit memprotes.
Istri : “Mas...waktu pacaran kok gak pernah bilang sih kalau Mas itu orang miskin?”
Suami : “Kan aku bilang berkali-kali...Kamulah hartaku satu-satunya...Kamu malah bilang so sweet!”
Tawaku pecah kembali...
Itulah Bara, aku sendiri tak tau jalan pikirannya. Kuingin dia bisa selalu bersikap romantis padaku, tapi tak selalu dilakukannya. Kuingin dia bisa selalu menjadi orang dewasa terhadapku, tapi tak selalu dilakukannya. Akupun tak tau, kapan dia akan jadi romantis, atau menjadi pelawak, atau bahkan menjadi lelaki dewasa dengan gaya bicara yang buatku kagum. Menurutku dia cukup aneh juga misterius, dia dapat membantu mengerjakan skripsiku padahal kita beda jurusan juga beda fakultas.
Saya ingat pernah sangat marah padanya. Hari itu cukup panas, jadi lebih panas karena skripsiku belum di acc dosen pembimbing. Kutemui Bara disebuah warkop di Jalan Abdullah Daeng Sirua yang saat itu tak terlalu ramai, karena tak ada jadwal nonton bareng pertandingan sepak bola eropa. Saya katakan padanya kalau dia unik, karena bisa tau banyak hal. Cerita apapun dengannya selalu nyambung, seperti semua yang kuketahui juga diketahuinya dengan lebih baik. Dia hanya membalas, "begitulah Lelaki Penghibur, harus tau banyak hal supaya selalu bisa menghibur perempuan cengeng seperti kamu". Dan saya sangat marah dengan kata-katanya.
Bukan karena mengatakan saya cengeng, karena memang saya seperti itu. Saya sebenarnya lebih suka dikatakan cengeng olehnya. Didepannya, saya tak ingin menjadi wanita mandiri, saya ingin terus begini adanya, supaya Bara bisa terus memperhatikanku. Saya sangat marah karena dia mengatakan dirinya "Lelaki Penghibur". Buat apa coba, itu kan maknanya negatif dan aku tak ingin dia terlalu merendahkan dirinya padaku. Aku menyanjungnya, aku memujinya karena sikapnya yang sopan, dan kutau tak semua lelaki yang kutemui bisa seperti dia padaku. Tapi dia hanya tertawa, seolah itu biasa saja dan tak mempengaruhinya.
Setelah itu dia kembali menceritakanku sebuah kisah. Entahlah, kali ini kisah apalagi yang ada dalam kepalanya. Kubiarkan dia meniupkan gelembung penasaran ditelingaku, kemudian bercerita dengan ekspresi serius. Kuperhatikan dia, kulihat rambutnya yang kriting yang katanya karena terlalu banyak berpikir. Kulihat wajahnya yang oval, kutatap matanya yang tajam, dan hidung mancungnya yang mirip orang arab kata temanku. Ah, aku membayangkannya mirip sherlock holmes yang sedang serius berpikir untuk memecahkan kasus dan memaparkan analisanya. Bara ku tak peduli dengan itu semua, dengan tatapan wanita atau penilaian orang terhadapnya. Kutau dia sangat fokus pada cerita-ceritanya untukku.
"Disuatu kota besar yang padat dan kumuh". "Kata pembukanya kok itu terus, memangnya nda ada yang lain ya?", potongku. "Masa?, tapi prasaan kemarin bukan seperti ini?", tanyanya padaku. "Kemarin memang tidak, tapi kemarin dulu dan beberapa hari yang lalu masih itu juga", dan sayapun tertawa. "Iya juga, semoga tahun depan ada perubahan", katanya singkat dan cuek. Huh, dia cuma berlagak cuek saja.
"Hidup sepasang suami istri". "Tunggu-tunggu, jangan alam lagi", saya hampir tertawa lagi karenanya. "Bukan, ini memang kisah suami istri". "Oke lanjut". Mereka hidup berdua karena belum punya anak. Karena tak kunjung diberi anak, akhirnya si istri pusing dan minta diantat ke dokter. Tak lama mengantri setelah mendaftar, si istri pun mendapat panggilan dan dia masuk keruang pemeriksaan dokter praktek. Pendek kata, diapun keluar dengan wajah yang berseri-seri. Karena merasa penasaran si suami mendekati si istri yang sedang berjalan keluar dari ruang tunggu.
Suami : "Kata Dokter kamu sakit apa Mah?"
Istri : "Kata dokter gak apa-apa kok pah, cuma sedikit stress aja. Dia menyarankan supaya kita rileks dengan mengambil liburan ke London, Paris, Hongkong, Turki atau Singapura. Enaknya kita pergi kemana ya Pah? Suami : "Enaknya kita pergi ke Dokter lain aja Mah..."
Bara selalu bisa buatku tertawa dan kagum padanya. Saya jadi lupa caranya bersedih dan menangis, semua itu karenanya. Mungkin betul apa yang dikatakannya, kalau dia Lelaki Penghibur yang dikirim tuhan untukku, untuk menghapus segala sedih pada diriku. Adikku bahkan sampai tertawa cekikikkan ketika kuceritakan cerita-ceritanya dan beberapa hal aneh tentangnya. Dia sangat penasaran ingin ketemu, dan itu tak pernah terjadi.
Setelah ujian meja, Bara menghilang begitu saja. Menghilang dari malam-malamku dan menghilang dari tiap sudut pandanganku. Kucari dia ditempat biasa dan dia tak ada. Handphone nya mati, dan segala jejaknya seakan ingin menghilang dari kehidupanku. Aku rindu bara, tapi bukan dengan kesedihan. Aku mengingatnya tapi bukan dalam tangisan dari atas ayunan ditaman sana. Aku hanya ingin bilang Terimakasih karena telah buatku berhenti menangis.
Sebulan telah berlalu sejak saat itu, dan aku baru saja selesai wisuda. Ingin kuabadikan momen ini bersama keluarga, bapak, mama, saudara saudariku dan juga teman-teman. Kami berfoto diluar ruang auditorium yang digunakan untuk wisuda, sangat ramai dan semua tersenyum bahagia serasa telah berhasil melewati ujian berat. Masih dengan pakaian wisuda lengkap kami berfoto sekeluarga dan saya memeluk mama. Saat akan mencium tangan mama, saya melihat Bara. Dia lewat tak jauh didepanku tanpa menoleh kearahku, aku tau itu dia tak mungkin salah. Rambutnya, hidungnya, wajahnya dan warna khas pakaiannya, itu Bara.
Aku memanggilnya beberapa kali, tapi dia tak menoleh kearahku. Aku hanya ingin berfoto dengannya, berfoto berdua dihadapan keluargaku. Tapi dia hanya berlalu begitu saja. Dia seperti kembali menjadi Bara sebelum kami berkenalan, cuek tapi sedikit rapi dari biasanya. Aku kesal padanya dan tak bisa kusembunyikan lagi. Kutau seorang teman sedang memotret saat aku sedang kesal melihat kearahnya. "Baiklah tuan, Terimakasih untuk malam-malam bahagia yang sudah kau berikan", kataku dalam hati. Huh dia masih saja berlagak cuek, tapi aku rindu. Terimakasih sudah datang dihari wisudaku, Mr. Happiness.
.
0 comments:
Posting Komentar