“Tapi kau yang angkat kasi lewat itu kali yang disana”, tawanya kembali
meledak, bahkan lebih keras dari yang sebelumnya. La Angko adalah orang yang
selalu membuat kami tertawa, dalam kelompok kami, dia seorang pelawak yang tak
pernah kehabisan bahan untuk membuat orang lain tertawa. Kalaupun bukan dengan
cerita-cerita lucu, ekspresi wajah ataupun gaya bicaranya sudah cukup membuat
kami tertawa untuk beberapa saat.
“Ayomi kita jalan pale, nanti bisa malam kalo trolama kita temani ini
kayu jati”, kataku pada yang lain. Dan kamipun kembali melanjutkan perjalanan.
Apabila melewati hutan, jarak menuju jompi tidak terlalu jauh, hanya saja
jalanan yang berbukit dan berbatu membuat waktu tempuh kami sedikit bertambah.
Masih dalam formasi berbaris memanjang kebelakang, kami berjalan
menyusuri hutan jati. Didepan sana terlihat sebuah bukit kecil, bukit dengan
tanah hitam berbatu yang telah biasa kami lewati. Sesekali oleh kami terdengar
bunyi mobil truk dari kejauhan. Kicauan burung yang bersahut-sahut serta bunyi
daun jati yang saling beradu ketika ditiup angin, menemani perjalanan kami menyusuri
hutan jati yang sangat luas.
Melihat hutan jati dari dalam sangat jauh berbeda dengan hanya melihatnya
dari luar, atau dari kejauhan, atau bahkan hanya mendengar cerita orang maupun
kisah-kisah dalam tulisan. Pohon-pohon jati ini sangat tinggi, melihatnya menjulang
keatas, seperti daun pohon ini sedikit lagi akan menyentuh awan. Pada batang
dan beberapa cabangnya, terdapat tumbuhan anggrek yang sangat indah, ada yang
telah berbunga namun ada pula yang tidak berbunga, hanya berupa daun hijauh
memanjang dan melengkung kearah bawah. Oleh orang-orang di Muna, tumbuhan itu disebut
sebagai “Anggrek Hutan”.
"Tidak dirasa to?
"Iya, itu sudah kelihatanmi jompi",
"Kalo lewat jalan tadi, pasti panas",
"Tepapa juga kalo panas, kan mau mandi juga dijompi"
"Kalo begitu besok coba kolewat dijalanan sendiri, kita lewat disini
saja, bemana?"
"Kalo kotemani samau" canda La Angko ketika menjawab pertanyaan
La Firman
Dari sini jompi sudah terlihat, air terjun yang letaknya paling depan
terlihat jelas dari atas sini, untuk sampai kesana kami punya 2 pilihan jalan,
lewat lapangan tenis atau lewat pintu gerbang sebelum jembatan. Dan kami
memilih lewat pintu gerbang masuk.
Sebelum itu kami harus menuruni bukit, hanya ada 1 jalan menurun yang
tidak cukup lebar, bahkan untuk dilewati 1 orang pun harus berhati-hati.
Permukaan jalan tanah yang berbatu, cukup miring dan kadang menjadi lebih licin
ketika tiba musim hujan. Kami melewatinya dengan perlahan dan La Endo
memulainya dengan jalan paling depan, kemudian secara berurutan kami
mengikutinya dari belakang. Atas petunjuk dari La Endo kami harus jalan ataupun
berhenti untuk sesaat, dijalan yang kecil dan licin seperti ini kami selalu
butuh seorang yang pemberani seperti La Endo. Kami selalu mangandalkannya,
karena sudah beberapa kali dia menunjukan sikap yang lebih berani dari kami
semua.
"Berhenti dulu" la endo memberi aba-aba dengan mengangkat
tangan kanannya.
"Kenapa Hen?"
"Ada batang kayu didepan, tapi tidak terlalu besar, bisa sakasi
pindah dulu".
Dia memindahkan batang kayu itu seorang diri dan kami tak dapat
membantunya. Jalan ini tidak cukup bagi 2 orang untuk bersisian, kalaupun
cukup, jurang disamping kanan dan tebing tanah disamping kiri akan sangat
berbahaya bagi kami semua. La Endo dan kami sangat paham akan hal itu,
karenanya dengan sikap pahlawan dia tak pernah mengeluh sedikitpun apabila
mendapat kondisi seperti itu.
"Oke, jalanmi", kata La Endo yang kemudian disambut teriakan
kami semua "Siaappp".
Kami lalu menuruni bukit. Didepan sana ada sungai kecil mirip saluran air,
diatasnya dipasangi papan kayu sebagai jembatan bagi orang-orang yang ingin
lewat. Setelah melewatinya, jalan menjadi cukup lebar, meskipun masih jalan
tanah tapi cukup datar bagi kami untuk mempercepat langkah. Tak butuh waktu
lama, kami telah sampai dijembatan pintu gerbang Jompi.
Didepan sana air terjun, arusnya cukup deras, sedangkan dibawah seperti
sebuah mangkok kaca hijau berisi air bening yang diletakan dibawah air terjun.
Air terjun ini merupakan sebuah bendungan yang dibangun sejak zaman belanda,
untuk mengatur kekuatan aliran arus sungai. Kami melihat-lihat dari atas dan
kepikiran untuk ikut berenang, apalagi sore ini cukup banyak anak-anak seumuran
kami dan yang sedikit lebih dewasa juga berenang disana.
"Bemana, kita mandi disini saja?, tanyaku pada La Endo
"Trobanya orang disini bela, coba koliat, semua batu besar dibawah
sudah ada yg pake, tiada tempat istrahat"
"Iya, masa kita mau berenang terus dan tidak istrahat?"
"Kalo La Angko mungkin bisa"
"Bisa juga, tapi kokasi napas bantuan kalo sa pingsan Firman"
Ada seorang anak, kira-kira usianya sedikit lebih tua dari kami, dia
sedang memanjat rumah pompa dibagian kanan atas air terjun, dengan cepat dia
memanjati bangunan tua yang sudah tak beratap itu. Dan dia telah sampai diatas,
dengan sedikit memperbaiki tempat pijakannya dia kelihatan sedang bersiap untuk
melakukan sesuatu.
Tempat itu cukup tinggi bagi anak-anak bahkan orang dewasa, dari
permukaan air dibawah sampai dipuncak sana tempat anak itu berdiri, kira-kira
tingginya sekitar 10 hingga 12 meter. Melihatnya saja saya merasa cukup ngeri,
apalagi ketika sedang berada disana.
Anak-anak yang sedang berada dibawah mulai menghindar secara perlahan,
sepertinya mereka sedang mengosongkan area bagian tengah air terjun. Tak lama
kemudian si anak yang berada diatas bangunan tadi mulai melompat, dia melayang
diudara, dengan gaya terbang ala bintang film. Wuush, dan dia jatuh dengan
sempurna, tak ada yang sakit sedikitpun, karena sebelum menghantam air, dia
dengan cepat merubah gaya seperti udang untuk mengantisipasi rasa pedis didada
akibat menghantam air dari tempat tinggi.
Itu adalah teknik yang hampir dimiliki semua anak seumuran kami, yang
terbiasa berenang di air terjun jompi. Kami pun memilikinya, hanya saja untuk
melompat dari tempat yang sangat tinggi membutuhkan keberanian yg besar.
"Kobisa lompat dari situ Hen?" tanya La Angko
"Sabelom pernah lompat begitu, kalo jatuh duluan kaki saberani"
"Sateberani saya e, kalo dari atas air terjun sini saberani, paling
hanya 8 meter tingginya kalo disitu" sambil menunjuk bagian atas
bendungan.
"Jadi kita mandi di mata 2 saja kalo begitu"
"Ayomi pale, daripada cuma nonton orang disini"
Sebelum mata 2, kami melewati mata 1, disini banyak orang sedang mencuci,
ada yang muda dan ada juga yang tua. Kawasan mata 1 merupakan tempat mencuci
dan bermain anak-anak kecil, airnya tidak dalam hanya sebatas pinggang orang
dewasa yang sedang berdiri. Kami kembali berjalan, melewati jalan tanah kecil
yang dipermukaannya muncul akar-akar dari pepohonan besar disamping kanan dan
kiri. Jompi merupakan kawasan hutan lindung berbukit yang juga dipenuhi pohon
jati, terdapat sungai bersih nan jernih yang memanjang dari dalam hutan sampai
kelaut, dan terdapat cukup banyak pohon besar lainnya.
Lewat bawah kami menyusuri sisi sungai menuju mata 2, sungai dikiri dan
tebing batu dikanan menemani perjalanan kami. Didepan sana ada air biru, begitu
orang-orang menyebutnya, dikarenakan airnya yang biru sementara dasarnya
berpasir dan sedikit berbeda dengan air dibagian lain. Langkah kami hentikan
sejenak untuk melihat-lihat air biru, tak ada yang berani berenang disini
termasuk kami.
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar