Senin, 29 April 2019

Jompi - Hutan dan Kesenangan Masa Kecil (Bagian 2)


“Tapi kau yang angkat kasi lewat itu kali yang disana”, tawanya kembali meledak, bahkan lebih keras dari yang sebelumnya. La Angko adalah orang yang selalu membuat kami tertawa, dalam kelompok kami, dia seorang pelawak yang tak pernah kehabisan bahan untuk membuat orang lain tertawa. Kalaupun bukan dengan cerita-cerita lucu, ekspresi wajah ataupun gaya bicaranya sudah cukup membuat kami tertawa untuk beberapa saat.

“Ayomi kita jalan pale, nanti bisa malam kalo trolama kita temani ini kayu jati”, kataku pada yang lain. Dan kamipun kembali melanjutkan perjalanan. Apabila melewati hutan, jarak menuju jompi tidak terlalu jauh, hanya saja jalanan yang berbukit dan berbatu membuat waktu tempuh kami sedikit bertambah.

Masih dalam formasi berbaris memanjang kebelakang, kami berjalan menyusuri hutan jati. Didepan sana terlihat sebuah bukit kecil, bukit dengan tanah hitam berbatu yang telah biasa kami lewati. Sesekali oleh kami terdengar bunyi mobil truk dari kejauhan. Kicauan burung yang bersahut-sahut serta bunyi daun jati yang saling beradu ketika ditiup angin, menemani perjalanan kami menyusuri hutan jati yang sangat luas.

Melihat hutan jati dari dalam sangat jauh berbeda dengan hanya melihatnya dari luar, atau dari kejauhan, atau bahkan hanya mendengar cerita orang maupun kisah-kisah dalam tulisan. Pohon-pohon jati ini sangat tinggi, melihatnya menjulang keatas, seperti daun pohon ini sedikit lagi akan menyentuh awan. Pada batang dan beberapa cabangnya, terdapat tumbuhan anggrek yang sangat indah, ada yang telah berbunga namun ada pula yang tidak berbunga, hanya berupa daun hijauh memanjang dan melengkung kearah bawah. Oleh orang-orang di Muna, tumbuhan itu disebut sebagai “Anggrek Hutan”.

"Tidak dirasa to?
"Iya, itu sudah kelihatanmi jompi",
"Kalo lewat jalan tadi, pasti panas",
"Tepapa juga kalo panas, kan mau mandi juga dijompi"
"Kalo begitu besok coba kolewat dijalanan sendiri, kita lewat disini saja, bemana?"
"Kalo kotemani samau" canda La Angko ketika menjawab pertanyaan La Firman

Dari sini jompi sudah terlihat, air terjun yang letaknya paling depan terlihat jelas dari atas sini, untuk sampai kesana kami punya 2 pilihan jalan, lewat lapangan tenis atau lewat pintu gerbang sebelum jembatan. Dan kami memilih lewat pintu gerbang masuk.

Sebelum itu kami harus menuruni bukit, hanya ada 1 jalan menurun yang tidak cukup lebar, bahkan untuk dilewati 1 orang pun harus berhati-hati. Permukaan jalan tanah yang berbatu, cukup miring dan kadang menjadi lebih licin ketika tiba musim hujan. Kami melewatinya dengan perlahan dan La Endo memulainya dengan jalan paling depan, kemudian secara berurutan kami mengikutinya dari belakang. Atas petunjuk dari La Endo kami harus jalan ataupun berhenti untuk sesaat, dijalan yang kecil dan licin seperti ini kami selalu butuh seorang yang pemberani seperti La Endo. Kami selalu mangandalkannya, karena sudah beberapa kali dia menunjukan sikap yang lebih berani dari kami semua.

"Berhenti dulu" la endo memberi aba-aba dengan mengangkat tangan kanannya.
"Kenapa Hen?"
"Ada batang kayu didepan, tapi tidak terlalu besar, bisa sakasi pindah dulu".

Dia memindahkan batang kayu itu seorang diri dan kami tak dapat membantunya. Jalan ini tidak cukup bagi 2 orang untuk bersisian, kalaupun cukup, jurang disamping kanan dan tebing tanah disamping kiri akan sangat berbahaya bagi kami semua. La Endo dan kami sangat paham akan hal itu, karenanya dengan sikap pahlawan dia tak pernah mengeluh sedikitpun apabila mendapat kondisi seperti itu.

"Oke, jalanmi", kata La Endo yang kemudian disambut teriakan kami semua "Siaappp".
Kami lalu menuruni bukit. Didepan sana ada sungai kecil mirip saluran air, diatasnya dipasangi papan kayu sebagai jembatan bagi orang-orang yang ingin lewat. Setelah melewatinya, jalan menjadi cukup lebar, meskipun masih jalan tanah tapi cukup datar bagi kami untuk mempercepat langkah. Tak butuh waktu lama, kami telah sampai dijembatan pintu gerbang Jompi.

Didepan sana air terjun, arusnya cukup deras, sedangkan dibawah seperti sebuah mangkok kaca hijau berisi air bening yang diletakan dibawah air terjun. Air terjun ini merupakan sebuah bendungan yang dibangun sejak zaman belanda, untuk mengatur kekuatan aliran arus sungai. Kami melihat-lihat dari atas dan kepikiran untuk ikut berenang, apalagi sore ini cukup banyak anak-anak seumuran kami dan yang sedikit lebih dewasa juga berenang disana.

"Bemana, kita mandi disini saja?, tanyaku pada La Endo
"Trobanya orang disini bela, coba koliat, semua batu besar dibawah sudah ada yg pake, tiada tempat istrahat"
"Iya, masa kita mau berenang terus dan tidak istrahat?"
"Kalo La Angko mungkin bisa"
"Bisa juga, tapi kokasi napas bantuan kalo sa pingsan Firman"

Ada seorang anak, kira-kira usianya sedikit lebih tua dari kami, dia sedang memanjat rumah pompa dibagian kanan atas air terjun, dengan cepat dia memanjati bangunan tua yang sudah tak beratap itu. Dan dia telah sampai diatas, dengan sedikit memperbaiki tempat pijakannya dia kelihatan sedang bersiap untuk melakukan sesuatu.

Tempat itu cukup tinggi bagi anak-anak bahkan orang dewasa, dari permukaan air dibawah sampai dipuncak sana tempat anak itu berdiri, kira-kira tingginya sekitar 10 hingga 12 meter. Melihatnya saja saya merasa cukup ngeri, apalagi ketika sedang berada disana.

Anak-anak yang sedang berada dibawah mulai menghindar secara perlahan, sepertinya mereka sedang mengosongkan area bagian tengah air terjun. Tak lama kemudian si anak yang berada diatas bangunan tadi mulai melompat, dia melayang diudara, dengan gaya terbang ala bintang film. Wuush, dan dia jatuh dengan sempurna, tak ada yang sakit sedikitpun, karena sebelum menghantam air, dia dengan cepat merubah gaya seperti udang untuk mengantisipasi rasa pedis didada akibat menghantam air dari tempat tinggi.

Itu adalah teknik yang hampir dimiliki semua anak seumuran kami, yang terbiasa berenang di air terjun jompi. Kami pun memilikinya, hanya saja untuk melompat dari tempat yang sangat tinggi membutuhkan keberanian yg besar.

"Kobisa lompat dari situ Hen?" tanya La Angko
"Sabelom pernah lompat begitu, kalo jatuh duluan kaki saberani"
"Sateberani saya e, kalo dari atas air terjun sini saberani, paling hanya 8 meter tingginya kalo disitu" sambil menunjuk bagian atas bendungan.
"Jadi kita mandi di mata 2 saja kalo begitu"
"Ayomi pale, daripada cuma nonton orang disini"

Sebelum mata 2, kami melewati mata 1, disini banyak orang sedang mencuci, ada yang muda dan ada juga yang tua. Kawasan mata 1 merupakan tempat mencuci dan bermain anak-anak kecil, airnya tidak dalam hanya sebatas pinggang orang dewasa yang sedang berdiri. Kami kembali berjalan, melewati jalan tanah kecil yang dipermukaannya muncul akar-akar dari pepohonan besar disamping kanan dan kiri. Jompi merupakan kawasan hutan lindung berbukit yang juga dipenuhi pohon jati, terdapat sungai bersih nan jernih yang memanjang dari dalam hutan sampai kelaut, dan terdapat cukup banyak pohon besar lainnya.

Lewat bawah kami menyusuri sisi sungai menuju mata 2, sungai dikiri dan tebing batu dikanan menemani perjalanan kami. Didepan sana ada air biru, begitu orang-orang menyebutnya, dikarenakan airnya yang biru sementara dasarnya berpasir dan sedikit berbeda dengan air dibagian lain. Langkah kami hentikan sejenak untuk melihat-lihat air biru, tak ada yang berani berenang disini termasuk kami.

Bersambung...

0 comments: