Minggu, 28 April 2019

Jompi - Cerita Dari Masa Lalu (Bagian 1)


Kasihan Jompi, tempat yang dulu selalu ramai, sekarang seperti hutan tak terjamah. Jalan tanah menyusuri hutan yang dulu selalui dilalui banyak orang, kini dipenuhi semak belukar, pertanda sangat jarang dilewati. Dahulu ketika ke mata 2, seringkali kami berpapasan dengan orang lain yang berlawanan arah, saat datang maupun pulang, permandian ini tak pernah sepi oleh pengunjung.

Tapi  kini semua itu seperti cerita dongeng, penebangan kayu secara liar merusak nilai wisata kawasan ini. Jompi seakan diisolasi dari pengunjung dan orang ramai, demi memudahkan penebangan dan pengangkutan kayu lewat sungai. Untuk kerusakan yang telah terjadi, banyak pihak yang harus bertanggung jawab.

***
Kebun coklat ini tidak cukup besar, tanahnya tak terlihat lagi karena tertutup banyaknya dedaunan coklat yang mengering. Saya harus melewatinya  untuk sampai dibagian samping rumah temanku, namanya Hendrawan, biasa dipanggil La Endo.

"Heen, Heen", dari samping rumah saya memanggil namanya, saya terus memanggil karena cukup lama tak mendapat jawaban. Tak puas memanggil dari samping, saya menuju kedepan, tepat didepan pintu masuk rumahnya kemudian saya berteriak, "Heeeen".

"Ssssssttt, jangan keras-keras, masih tidur orang didalam", saya cukup kaget ketika tiba-tiba dia menjawabku, suaranya berasal dari bagian samping kanan rumahnya.

"Maaf, bemana kotidak menjawab sapanggil dari tadi", sambil senyum-senyum karena malu saya datang menghampirinya.

Seperti biasa, disore hari temanku ini sangat sibuk dengan ayamnya, dimulai dari memberi makan, memandikan, mengurut sampai menjemur ayam jagonya. Rambutnya masih acak-acakan, dan bagian kulit telinganya masih agak basah oleh air cuci muka, "berarti dia habis tidur siang beberapa waktu lalu", kataku dalam hati.

Kedatanganku tidak mengagetkannya, karena siang tadi kami sudah bertemu sewaktu pulang sekolah, dan janjian akan pergi ke Jompi sore ini.
"Bemana, jadi kita pergi dijompi to?" saya bertanya untuk memastikan kesiapannya.
"Iya jadi, tapi tunggu sebentar, saganti dulu baju n celana", lewat pintu samping diapun masuk kedalam rumahnya. Tak lama berselang adiknya La Elang keluar, kemudian disusul kakaknya La Firman dan dia yang terakhir, dari penampilannya sepertinya mereka sudah siap untuk jalan.

Sambil melangkahkan kaki keluar untuk meraih sendalnya, La Elang bertanya padaku, "La Aman mana?", saya belum sempat menjawab ketika adikku muncul dari samping rumah dan menjawab, "hadir". "Sakira koteikut, samau singgahi sebetulnya, karena kau yang tadi bilang mau pergi", kata La Firman yang disambut tawa kami semua.

Kami bergegas melewati jalan setapak, disamping kirinya tumbuh subur bambu kecil yang tersusun rapi menjadi pagar.
"Kita singgahi juga La Angko e?" kataku pada yang lain.
"iya, karna tadi debilang mau ikut juga, tapi deminta disinggahi”.

Tak berapa lama kami telah sampai didepan rumahnya, nampak La Angko sedang duduk dikursi depan rumahnya. "Angko, sinimi kita jalan", kata La Firman. Dengan bergabungnya La Angko berarti semua telah berkumpul, perjalanan menuju jompi pun dimulai, saya menawarkan supaya lewat dihutan karena dijalan raya masih panas oleh sinar matahari. Dan merekapun setuju.

Untuk menuju hutan, kami melewati jalan raya dan beberapa rumah penduduk, lorong kecil yang tidak begitu besar membuat kami membentuk formasi berbaris layaknya semut. Didepan sana hutan telah terlihat, ada pohon bambu disebelah kanan, pohon jambut mete yang disebelah kiri jadi penanda batas kebun warga. Jalan tanah yang terbentuk secara alami karena seringkali dilewati, tersambung jauh sampai menembus hutan, memanjang kedalam lalu hilang diantara rimbunnya semak belukar.

Sebelum memasuki hutan kami melintasi sungai mati, cukup lebar dan dalam hingga melewati kepala, sampai harus turun dan kemudian memanjat kembali tanah disisi sebelah untuk melewatinya. "Maju terus" kata La Angko yang jalan kedua dari depan, dia berteriak lantang kemudian tertawa, "coba liat, kotor bajunya" sambil mengejek dia menunjuk kearahku dan tawanya disambut tawa yang lain. Memang tadi sewaktu turun kedalam sungai saya tergelincir tapi tak sampai jatuh "salah injak tadi saya, untung tidak jatuh", kataku yang ikut tertawa.

Kami terus berjalan, memasuki hutan jati yang luas dengan semak belukar yang rimbun, sesekali kami bernyanyi, kadang lagu yang serius kadang pula lagu yang menggembirakan, atau hanya sekedar nana nana untuk menghibur diri.

"Coba lihat ini pohon-pohon jati, banyak skali, mungkin hanya di Muna ada hutan jati banyak bgini"
"Iya juga, temungkin ditempat lain ada hutan jati yang luas kayak di Muna"
"Lama sekalimi ini hutan jati, sudah dari jaman belanda katanya orang tua"

Tak jauh dari tempat kami, ada pohon rebah yang masih basah, dari kondisinya sepertinya baru beberapa hari ditebang. Dengan penuh curiga kami mendekatinya.

"Coba liat isi dalamnya" sambil menunjuk kearah batang jati yang telah ditebang orang, "sudah coklat, tua sekali ini kayu, pasti keras, yang begini tidak mampan digigit rayap, bisa patah giginya".
"Jangankan rayap, kampak kecil saja patah kalau potong yang begini".

Kami mengerumuni pohon jati yang belum lama ditebang orang, melihat dan memeriksanya, berbekal pengetahuan seadanya tentang jati, yang hampir tiap hari didengarkan dari pembicaraan orang-orang.

"Siapalagi yang tebang ini pohon kasian, tamba banyak saja orang tebang jati sekarang ini”
“iya, Kemarin malam saliat juga orang mengangsur dijalan atas sana, besar skali kayunya”
"Liat disana, ada lagi jati yang ditebang, disana juga ada"

Kami pergi melihat jati lain yang ditebang, menuju kesana tak perlu tenaga atau parang tajam untuk memotong semak belukar yang menghalangi. Oleh para penebang kayu, semak belukar telah dibersihkan, itu dilakukan untuk memudahkan semua proses dari penebangan sampai pengangsuran. Pengangsuran merupakan aktifitas memindahkan batang jati yang telah ditebang, dari dalam hutan menuju tempat penyimpanan sebelum dijual.

Kami hanya saling bertatapan dengan wajah keheranan, sebelum La Firman membuat kaget dengan bertanya satu hal yang sama sekali belum kami pikirkan. "Bemana kalo kita ambil ini jati?". Mengambil jati orang adalah sesuatu yang sulit dan sangat berbahaya, untuk anak-anak seperti kami pemukulan atau hal buruk lainnya bisa menjadi resikonya.

“Apa? ambil kayu?” karena kaget yang bercampur lucu La Angko tertawa terbahak-bahak, menertawai maksud La Firman yang cukup mustahil buat anak-anak macam kami.

Kami masih anak-anak kala itu, jiwa humor kami tentu masih sangat kuat, kami akan otomatis ikut tertawa ketika ada teman lain yang tertawa, apalagi ketika La Angko yang mulai tertawa dan berkisah tentang cerita-cerita lucunya. “Bisa juga kita ambil, kalau mau”, sesaat La Angko menghentikan tawanya dan mulai berbicara, dari raut wajahnya kelihatannya dia akan serius, sedangkan kami masih belum bisa berhenti tertawa sepenuhnya.

Bersambung...

0 comments: