Kasihan Jompi, tempat yang dulu selalu ramai, sekarang seperti hutan tak
terjamah. Jalan tanah menyusuri hutan yang dulu selalui dilalui banyak orang,
kini dipenuhi semak belukar, pertanda sangat jarang dilewati. Dahulu ketika ke
mata 2, seringkali kami berpapasan dengan orang lain yang berlawanan arah, saat
datang maupun pulang, permandian ini tak pernah sepi oleh pengunjung.
Tapi kini semua itu seperti cerita
dongeng, penebangan kayu secara liar merusak nilai wisata kawasan ini. Jompi
seakan diisolasi dari pengunjung dan orang ramai, demi memudahkan penebangan
dan pengangkutan kayu lewat sungai. Untuk kerusakan yang telah terjadi, banyak
pihak yang harus bertanggung jawab.
***
Kebun coklat ini tidak cukup besar, tanahnya tak terlihat lagi karena
tertutup banyaknya dedaunan coklat yang mengering. Saya harus melewatinya untuk sampai dibagian samping rumah temanku,
namanya Hendrawan, biasa dipanggil La Endo.
"Heen, Heen", dari samping rumah saya memanggil namanya, saya
terus memanggil karena cukup lama tak mendapat jawaban. Tak puas memanggil dari
samping, saya menuju kedepan, tepat didepan pintu masuk rumahnya kemudian saya
berteriak, "Heeeen".
"Ssssssttt, jangan keras-keras, masih tidur orang didalam",
saya cukup kaget ketika tiba-tiba dia menjawabku, suaranya berasal dari bagian
samping kanan rumahnya.
"Maaf, bemana kotidak menjawab sapanggil dari tadi", sambil
senyum-senyum karena malu saya datang menghampirinya.
Seperti biasa, disore hari temanku ini sangat sibuk dengan ayamnya,
dimulai dari memberi makan, memandikan, mengurut sampai menjemur ayam jagonya.
Rambutnya masih acak-acakan, dan bagian kulit telinganya masih agak basah oleh
air cuci muka, "berarti dia habis tidur siang beberapa waktu lalu",
kataku dalam hati.
Kedatanganku tidak mengagetkannya, karena siang tadi kami sudah bertemu
sewaktu pulang sekolah, dan janjian akan pergi ke Jompi sore ini.
"Bemana, jadi kita pergi dijompi to?" saya bertanya untuk
memastikan kesiapannya.
"Iya jadi, tapi tunggu sebentar, saganti dulu baju n celana", lewat
pintu samping diapun masuk kedalam rumahnya. Tak lama berselang adiknya La
Elang keluar, kemudian disusul kakaknya La Firman dan dia yang terakhir, dari
penampilannya sepertinya mereka sudah siap untuk jalan.
Sambil melangkahkan kaki keluar untuk meraih sendalnya, La Elang bertanya
padaku, "La Aman mana?", saya belum sempat menjawab ketika adikku
muncul dari samping rumah dan menjawab, "hadir". "Sakira
koteikut, samau singgahi sebetulnya, karena kau yang tadi bilang mau
pergi", kata La Firman yang disambut tawa kami semua.
Kami bergegas melewati jalan setapak, disamping kirinya tumbuh subur
bambu kecil yang tersusun rapi menjadi pagar.
"Kita singgahi juga La Angko e?" kataku pada yang lain.
"iya, karna tadi debilang mau ikut juga, tapi deminta disinggahi”.
Tak berapa lama kami telah sampai didepan rumahnya, nampak La Angko
sedang duduk dikursi depan rumahnya. "Angko, sinimi kita jalan", kata
La Firman. Dengan bergabungnya La Angko berarti semua telah berkumpul, perjalanan
menuju jompi pun dimulai, saya menawarkan supaya lewat dihutan karena dijalan
raya masih panas oleh sinar matahari. Dan merekapun setuju.
Untuk menuju hutan, kami melewati jalan raya dan beberapa rumah penduduk,
lorong kecil yang tidak begitu besar membuat kami membentuk formasi berbaris
layaknya semut. Didepan sana hutan telah terlihat, ada pohon bambu disebelah
kanan, pohon jambut mete yang disebelah kiri jadi penanda batas kebun warga.
Jalan tanah yang terbentuk secara alami karena seringkali dilewati, tersambung
jauh sampai menembus hutan, memanjang kedalam lalu hilang diantara rimbunnya
semak belukar.
Sebelum memasuki hutan kami melintasi sungai mati, cukup lebar dan dalam
hingga melewati kepala, sampai harus turun dan kemudian memanjat kembali tanah
disisi sebelah untuk melewatinya. "Maju terus" kata La Angko yang
jalan kedua dari depan, dia berteriak lantang kemudian tertawa, "coba
liat, kotor bajunya" sambil mengejek dia menunjuk kearahku dan tawanya
disambut tawa yang lain. Memang tadi sewaktu turun kedalam sungai saya
tergelincir tapi tak sampai jatuh "salah injak tadi saya, untung tidak
jatuh", kataku yang ikut tertawa.
Kami terus berjalan, memasuki hutan jati yang luas dengan semak belukar
yang rimbun, sesekali kami bernyanyi, kadang lagu yang serius kadang pula lagu
yang menggembirakan, atau hanya sekedar nana nana untuk menghibur diri.
"Coba lihat ini pohon-pohon jati, banyak skali, mungkin hanya di Muna
ada hutan jati banyak bgini"
"Iya juga, temungkin ditempat lain ada hutan jati yang luas kayak di
Muna"
"Lama sekalimi ini hutan jati, sudah dari jaman belanda katanya
orang tua"
Tak jauh dari tempat kami, ada pohon rebah yang masih basah, dari
kondisinya sepertinya baru beberapa hari ditebang. Dengan penuh curiga kami
mendekatinya.
"Coba liat isi dalamnya" sambil menunjuk kearah batang jati
yang telah ditebang orang, "sudah coklat, tua sekali ini kayu, pasti
keras, yang begini tidak mampan digigit rayap, bisa patah giginya".
"Jangankan rayap, kampak kecil saja patah kalau potong yang
begini".
Kami mengerumuni pohon jati yang belum lama ditebang orang, melihat dan
memeriksanya, berbekal pengetahuan seadanya tentang jati, yang hampir tiap hari
didengarkan dari pembicaraan orang-orang.
"Siapalagi yang tebang ini pohon kasian, tamba banyak saja orang
tebang jati sekarang ini”
“iya, Kemarin malam saliat juga orang mengangsur dijalan atas sana, besar
skali kayunya”
"Liat disana, ada lagi jati yang ditebang, disana juga ada"
Kami pergi melihat jati lain yang ditebang, menuju kesana tak perlu
tenaga atau parang tajam untuk memotong semak belukar yang menghalangi. Oleh
para penebang kayu, semak belukar telah dibersihkan, itu dilakukan untuk
memudahkan semua proses dari penebangan sampai pengangsuran. Pengangsuran
merupakan aktifitas memindahkan batang jati yang telah ditebang, dari dalam
hutan menuju tempat penyimpanan sebelum dijual.
Kami hanya saling bertatapan dengan wajah keheranan, sebelum La Firman membuat
kaget dengan bertanya satu hal yang sama sekali belum kami pikirkan. "Bemana
kalo kita ambil ini jati?". Mengambil jati orang adalah sesuatu yang sulit
dan sangat berbahaya, untuk anak-anak seperti kami pemukulan atau hal buruk
lainnya bisa menjadi resikonya.
“Apa? ambil kayu?” karena kaget yang bercampur lucu La Angko tertawa terbahak-bahak,
menertawai maksud La Firman yang cukup mustahil buat anak-anak macam kami.
Kami masih anak-anak kala itu, jiwa humor kami tentu masih sangat kuat,
kami akan otomatis ikut tertawa ketika ada teman lain yang tertawa, apalagi
ketika La Angko yang mulai tertawa dan berkisah tentang cerita-cerita lucunya.
“Bisa juga kita ambil, kalau mau”, sesaat La Angko menghentikan tawanya dan
mulai berbicara, dari raut wajahnya kelihatannya dia akan serius, sedangkan
kami masih belum bisa berhenti tertawa sepenuhnya.
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar