Seperti halnya konsep wujud, konsep Tuhan para sufi
khususnya yang hidup paska Ibn ‘Arabi (w. 1240)–juga akan terasa asing bagi
telinga kita. Meskipun begitu, konsep Tuhan mereka mungkin bermanfaat untuk
meluaskan cakrawala pemahaman kita, dan bahkan bisa menjadi pemersatu bagi
konsep Tuhan para teolog (Mutakallimun) dan filosof Muslim (falasifah), yang
kelihatan begitu bertolak belakang, seperti yang tercermin dalam kitab
al-Ghazali (w. 1111), Tahafut al-Falasifah.
Para sufi falsafi melihat Tuhan dalam dua wajah. Tuhan
sebagai zat atau esensi yang transenden dan Tuhan yang diekspresikan dalam
sifat-sifat atau nama-nama-Nya. Tuhan sebagai zat amatlah tingginya. Ia tidak
bisa dilukiskan bagaimana dan tidak ada pengetahuan positif apapun tentangnya,
kecuali keberadaan-Nya. Apa yang dapat kita ketahui tenang-Nya adalah bahwa Ia
tidak sama dengan apapun selain-Nya (laysa kamitslihi syai’) dan bahkan tiada
yang setara dengan-Nya suatu apapun (walam yakun lahu kufuwwan ahad). Inilah
yang oleh para filosof disebut teologi negatif, di mana manusia hanya mengetahui
Tuhan secara negatif bahwa Ia berbeda dengan apapun yang dapat kita bayangkan.
Ini terjadi seperti itu, menurut para sufi–khususnya Ibn
‘Arabai dan para pengikutnya–karena dalam level ini Tuhan belum lagi menjadi
entitas (ghayr muta’ayyan). Pada tingkat ini Tuhan bahkan belum lagi bersifat
personal dan belum pula memiliki nama termasuk Allah sekalipun. Tuhan pada
level ini belum mempunyai kaitan apapun dengan alam. Inilah yang dimaksud
dengan ayat al-Qur’an yang mengatakan “inna Allaha ghaniyy ‘an al-’alamin” yang
artinya, “sesungguhnya Allah independen dari segala alam.” Pada tahap ini, maka
Allah tidak memikirkan yang lain kecuali dirin-Nya sendiri.
Inilah wajah Tuhan pada tingkat esensi atau zat. Dalam hal
ini, para sufi berbagi konsep dengan para filosof, tetapi para sufi juga
meiliki konsep Tuhan pada level berikutnya, yaitu kevel sifat atau tahap
“ta’ayyun” (proses menjadi entitas). Pada tahap ini, Tuhan tidak lagi sebagi
zat yang tidak dapat didekati, tetapi sudah bersifat personal dan bisa dikenal
secara lebih positif. Dia telah menyebut diri-Nya Allah dan nama-nama lainnya
yang dikenal dengan sebutan al-asma’ al-husna atau “nama-nama yang indah.”
Dengan kata lain, Ia telah memiliki identitas. Konsep Tuhan pada tahap inilah
yang pada umumnya kita kenal, yaitu Tuhan yang memiliki sifat-sifat tertentu.
Konsep Tuhan seperti inilah yang biasanya dipahami dalam wacana teologis,
tetapi bukan Tuhannya pada filosof.
Sumber :
Sumber :
KULIAH RAMADHAN XIX
Prof. Mulyadhi Kartanegara
Prof. Mulyadhi Kartanegara
Bab II: Fasal 9: TUHANNYA PARA SUFI
(Bagian Pertama)
(Bagian Pertama)
0 comments:
Posting Komentar