Kamis, 27 Desember 2012

Menyingkap Hakikat Wahabisme, Mengenal Sejarah Ibnu Taimiyyah


Menelaah sejarah agama akan membawa kita kepada kenyataan bahwa dengan berlalunya waktu agama mengalami pengelompokan ke dalam banyak aliran atau yang lazim disebut mazhab. Hal ini dialami oleh hampir semua agama tak terkecuali Islam dan agama-agama langit lainnya. Pengelompokan itu biasanya terjadi setelah sosok pembawa agama wafat dan dengan berjalannya waktu. Tak diragukan bahwa faktor yang melahirkan pengelompokan dalam agama samawi adalah faktor manusia yang biasanya dipicu oleh pemahamannya yang dangkal. Padahal, agama samawi dibawa oleh seorang manusia yang berkompeten dan menerima wahyu dari Allah yang Maha Mengetahui.
 
Agama samawi yang risalahnya dibawa oleh para nabi mengangkat prinsip tauhid atau keesaan Tuhan sebagai landasan bagi semua ajarannya. Para nabi juga menyeru umat manusia  untuk menghindari perpecahan dan perselisihan. Prinsip ajaran samawi berikutnya adalah keyakinan akan kebangkitan setelah kematian atau yang lazim dikenal dengan istilah ma'ad serta prinsip menegakkan keadilan dan memerangi kezaliman. Seluruh agama samawi meyakini bahwa Allah menyampaikan pesan-pesannya kepada para nabi dalam bentuk wahyu.

Akan tetapi, bergantinya masa dan berlalunya waktu memunculkan pemahaman-pemahaman yang keliru tentang agama Ilahi, yang berdampak pada lahirnya kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Ada sejumlah faktor lain yang melahirkan pengelompokan ini diantaranya kondisi sosial dan lingkungan juga kepentingan duniawi. Perbedaan pandangan ini lambat laun semakin membesar dan mengkristal dan akhirnya membagi pengikut agama ilahi ke dalam beberapa kelompok dan golongan.

Terlepas dari apakah faktor pengelompokan ini pemahaman yang keliru, kepentingan duniawi atau tendensi politik tertentu, yang pasti adanya banyak golongan dalam agama merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri.  Fakta inilah yang ibarat anak panah mengoyak persatuan dan kesatuan umat. Yang lebih menyakitkan adalah, terkadang keyakinan akan kebenaran sebuah aliran mendorong para pengikutnya untuk bersikap fanatik dan menafikan kelompok lain . Sikap tersebut tak ubahnya bagai racun yang semakin melemahkan keutuhan umat. Salah satu aliran yang bersikap ekstrim dalam memperlakukan kelompok mazhab lain dalam Islam adalah aliran Wahhabisme atau Wahhabiyah.

Sama seperti mazhab-mazhab lainnya dalam Islam, Wahhabisme terbentuk dengan landasan sebuah pemikiran yang berkiblat pada pemikiran Ibnu Taimiyyah. Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim yang dikenal dengan sebutan Ibnu Taimiyyah lahir pada tahun 661 hijriyah di kota Harran (Carrhae) yang saat itu menjadi pusat pengembangan mazhab Ahmad bin Hanbal. Saat ini kota Harran yang terletak di selatan Turki hanya menyisakan puing-puing peninggalan masa lalu. Padahal, dahulu Harran adalah kota yang maju dengan peradabannya yang tinggi. Ibnu Taimiyyah lahir dan tumbuh besar di lingkungan keluarga yang dikenal sebagai pemuka kaum Hanbaliyah. Ayahnya adalah seorang faqih terkenal yang mendapat gelar Syeikhul Balad, atau setingkat mufti kota itu. Dia dikenal sebagaio khatib dan guru agama. Kehidupan Ibnu Taimiyyah berbarengan dengan serangan membabi-buta pasukan Mongol ke negeri-negeri Muslim. Dalam setiap serangan mereka melakukan berbagai  kejahatan tanpa kendali dan memasukkan negeri-negeri taklukan ke dalam wilayah kekuasaan mereka. Banyak buku dan karya ilmiah umat Islam yang dibakar dan dilenyapkan oleh bangsa ytang tak berperadaban itu.

Sejarah besar, Ibnu Katsir menulis; "Pada tahun 667 hijriyah (1269 Masehi) yakni saat Ibnu Taimiyyah masih berusia enam tahun, bangsa Mongol semakin meningkatkan tekanannya terhadap Harran. Ketakutan dan kecemasan yang sangat akan serangan dan kekejaman Mongol memaksa warga meninggalkan kota itu. Ibnu Taimiyyah bersama  keluarga berhijrah ke kota Damaskus. Setibanya di kota itu ayah Ibnu Taimiyyah didaulat untuk memimpin Darul hadits Damskus dan mengajar di sana."

Ibnu Taimiyyah menghabiskan masa remajanya di Damaskus. Dia berguru berbagai ilmu agama seperti fiqih, hafdits, ushul, kalam dan tafsir kepada ayahnya dan para ulama Damaskus sampai berhasil mencapai tingkat keilmuan yang tinggi dan berhak untuk mengeluarkan fatwa. Sepeninggal ayahnya, ia menggantikan posisi sang ayah dan mengajar tafsir al-Quran. Dia banyak menelaah pemikiran dan mazhab-mazhab lain. fatwa-fatwanya banyak yang bertentangan dengan fatwa empat mazhab Ahlussunnah dan Syiah.  Ibnu Taimiyyah juga getol mengkritisi banyak pemikiran dan tradisi umat Islam. Tak jarang ia mengeluarkan fatwa syirik atas sejumlah tradisi kaum muslimin. Dengan kata lain, periode Ibnu Taimiyyah dimulai setelah ia menyampaikan banyak pemikiran dan fatwa yang berseberangan dengan mayoritas umat, tepatnya mulai tahun 698 H. sebelum itu, tak banyak orang yang mengenalnya. Di tahun itu, Ibnu Taimiyyah menerbitkan bukunya yang mengkritisi akidah Asy'ariyah. Buku itu telah memicu lahirnya polemik dan keributan di Damaskus.

Ibnu Taimiyyah menyebut dirinya Salafi yang secara bahasa berarti orang yang mengikuti mutlak jejak para pendahulu.  Kelompok ini mengaku sebagai pengikut setia Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan tabiin. Tabiin adalah sebutan untuk generasi Muslim yang sempat bertemu dengan sahabat Nabi. Salafiyyun atau Salafiyyah menyatakan bahwa semua aqidah islam harus dijalankan sesuai dengan apa yang dilakukan di zaman sahabat dan tabiin. Menurut mereka, ajaran Islam harus diambil langsung dari kitabullah dan sunnah, dan para ulama tidak berhak untuk memaparkan dalil apapun di luar al-Quran. Dalam pemikiran ini tak ada tempat bagi analisa akal dan logika. Akibatnya muncul kejumudan dalam berpikir yang dibarengi fanatisme buta. Mereka akrab dengan sikap kasar terhadap kelompok lain. Dengan alasan kembali kepada Islam yang murni, Ibnu Taimiyyah mengkritisi banyak keyakinan, ajaran dan tradisi umat Islam. Bahkan, tak jarang dia memvonis kafir para pengikut aliran lain.

Munculnya pemikiran-pemikiran aneh Ibnu Taimiyyah direkasi keras oleh para ulama di zama itu. Apalagi, dalam memaparkan sifat Allah, dia tak mengenal batas dan menyebut Allah sebagai wujud ber-jism atau berbentuk yang duduk di atas singgasana di langit. Dia pun menjadi muslim pertama yang menyebutkan sifat jism untuk Allah. Pendapatnya itu, ia sampaikan dalam sejumlah risalah yang ditulisnya. Ulama asal Harran ini juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw dan menghukuminya sebagai perbuatan syirik. Fatwa yang sama disampaikan berkenaan dengan tawassul kepada para wali dan orang-orang saleh. Alasannya adalah tawassul kepada manusia berarti mengharap pertolongan kepada selain Allah. Dia menentang pembangunan kubur para nabi dan salihin atau pendirian masjid di sisi makam serta menyebutnya sebagai perbuatan syirik.

Pemikiran Ibnu Taimiyyah itu ditentang keras oleh para ulama khususnya yang menyebut Allah berjism. Mereka membawakanayat-ayat Al-Quran yang menafikan pendapat Ibnu Taimiyyah dalam buku-buku tulisan mereka. Tak cukup dengan itu mereka mengadukan Ibnu Taimiyyah ke pengadilan agama karena pemikirannya yang sesat dan menyesatkan. Kecaman dan protes para ulama itu tak mampu menciutkan nyali Ibnu Taimiyyah yang tetap pada pendiriannya. Dia bahkan menyebut para ulama itu telah keluar dari agama Islam dan bahkan menyematkan kata-kata kasar terhadap mereka.

Sejarah menyebutkan bahwa pada tahun 703 H, setelah membaca kitab ‘Fushushul Hikam' karya Ibnu Arabi, dia menulis buku ‘Al-Nushushu ‘alal Fushush' untuk menjawab buku itu. Dalam buku tersebut dia mengkafirkan Ibnu Arabi dan para pengikutnya. Dengan demikian, benih-benih perpecahan dan perselisihanpun semakin tumbuh subur. Tahun 705 H, pengadilan negeri Syam menjatuhkan hukuman pengasingan ke Mesir atas dirinya. Tahun 707, dia keluar dari penjara dan kembali menyebarkan pemikirannya. Tahun 721 dia kembali dijatuhi hukuman penjara. Akhirnya pada tanggal 20 Dzul Qa'dah tahun 728 H Ibnu Taimiyyah meninggal dunia di penjara Damaskus.

Pemikiran dan ajaran Ibnu Taimiyyah telah melahirkan perselisihan tajam di tubuh umat Islam. Perjuangan para ulama yang menjawab pemikiran-pemikiran sesat itu lewat penulisan banyak kitab yang dilengkapi dengan argumentasi kuat dari al-Quran dan hadis akhirnya membuahkan hasil, dan pemikiran Ibnu Taimiyyah pun tak lagi diminati.(IRIB Indonesia)

0 comments: