Minggu, 23 Desember 2012

Hermeneutika Sastra Barat dan Timur


Buku tentang hermeneutika belum banyak ditulis di Indonesia. Dari yang tidak banyak itu pula sangat sedikit yang memberikan perhatian khusus pada hermeneutika sastra atau seni, bidang yang bertalian langsung dengan estetika yang justru sangat ditekankan serta mendorong bangkitnya kembali hermeneutika modern. Ini dapat dimaklumi karena para sarjana filsafat dan ilmu kemanusiaan atau humaniora sejak lama memang kurang memberikan perhatian pada persoalan estetika, dan dengan sendirinya juga terhadap seni berikut cabang
Dalam kajian filsafat, estetika yang merupakan salah satu cabangnya yang penting, terkesan dianggap sebagai pelajaran sampingan atau kajian pelengkap. Bahkan di jurusan-jurusan seni dan sastra sekalipun, perhatian terhadap perlunya pengajaran estetika cenderung merosot belakangan ini. Apalagi perhatian yang diberikan estetika yang lahi di luar tradisi Barat seperti India, Cina, Jepang, Arab, Persia, Jawa, dan Melayu.  Jika tidak dapat dikatakan sangat menyedihkan, perhatian terhadap estetika dari tradisi Timur ini sangatlah kurang diberikan,
Merosotnya perhatian terhadap estetika ini sudah pastio mempengaruhi hasil-hasil penelitian yang dilakukan terhadap karya para seniman dan sastrawan bangsa kita, terutama karya-karya yang digolongkan klasik dan tradisional yang sebagian besar lahir dan tumbuh di luar tradisi estetika Barat. Karya-karya tersebut tidak dapat sepenuhnya diteliti berdasarkan estetika Barat yang asas metafisik dan landasan epistemologisnya berbeda. Misalnya saja bagaimana mungkin kita meneliti Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa atau  syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri hanya dengan mengandalkan pada pengetahuan kita tentang estetika dan teori Barat. Karya-karya tersevbut sudah tentu sangat berbeda ciri dan wawasan estetiknya dari karya penulis abad ke-20 M seperti Armijn Pane dan Chairil Anwar.

Pengaruh lain yang tidak sukar untuk dilihat ialah ter­hadap pe­mahaman dan pe­nafsiran karya, bidang yang menjadi per­hatian utama hermeneutika. Dalam tradisi neopositivisme, yang selama dominan, karya sastra yang se­harus­nya juga dilihat berdasarkan aspek-aspek estetiknya, telah  berubah men­jadi obyek kajian yang tidak ada hubungkaitnya langsung dengan kodrat  sastra itu sendiri. Kita tahu bahwa bahwa karya sastra pertama-tama merupakan ungkapan kejiwaan atau pengalaman estetik penulisnya. Tetapi di bawah cahaya teori sastra modern yang ditekankan ialah kalau bukan segi formal instrinsiknya, pastilah segi ekstrinsiknya.  Begitulah dalam lingkait atau konteks teori-teori formalis dan neopositivisme, termasuk sosilogisme dan historisme, yang dicari dari karya sastra lebih banyak yang berkaitan dengan masalah sosial, ideologi,dan kecenderungan-kecenderungan semasa yang berlaku dalam masyarakat pembacanya seperti selera dan fakor-faktor lahir yang membuat karya sastra mendapat penerimaan luas. Hal ini jelas tidak membantu pe­maham­an yang benar terhadap sastra, yang dalam kodratnya ber­upaya me­nyajikan dunianya sendiri, yaitu pengalaman batin penulisnya. Karya sastra juga bukan sekadar representasi atau tiruan dari realitas di luarnya, sehingga menghubung-hubungkan karya sastra semata dengan realitas sosial tidak seharusnya menjadi perhatian utama kritik sastra.
Harus dikemukakan bahwa perluny estetika diberi perhatian bukanlah untuk kepentingan perkembangan sastra itu sendiri dan juga bukan untuk kepentingan ilmu sastra dan sejarah seni semata-mata. Keperluan yang lebih besar terbentang di dalamnya, yaitu bagi perkembangnya ilmu kebudayaan atau humaiora secara umum.  Kita tahu bahwa yang memberi ciri utama pada suatu kebudayaan adalah dasar-dasar pandangan hidup (way of life), gambaran dunia (Weltanschauung),dan sistem nilai.  Ciri ini terjelma  terutama dalam dasar-dasar etika dan estetika yang dijadikan suatu komunitas dalam mengembangkan kebudayaan dan jati dirinya. Sebagai ungkapan estetik, sastra mencerminkan  dinamika kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu penelitian  sastra yang memperhatikan aspek-aspek estetik dan asas metafisika atau falsafah hidup yang ikut melahirkan suatu karya, dapat memperkaya dan memperkokoh perkembangan ilmu kebudayaan dan humaniora.

Bahwa estetika memainkan peranan penting dalam ke­hidup­­an manusia dan sejarah peradaban, khususnya dalam membentuk tradisi kebudayaan suatu umat atau kaum, dapat dilihat dalam sejarah bangsa-bangsa yang memiliki peradaban agung seperti Yunani Kuna, Romawi, India, Cina, Jepang, Arab Persia atau Islam, Eropa Renaissance dan Pencerahan.  Hal yang sama dapat kita saksikan pula dalam sejarah kebudayaan Jawa dan Melayu. Peradaban-peradaban yang telah disebutkan itu terbentuk dalam sejarahnya melalui interaksi yang dinamis dengan tradisi-tradisi besar dari luar yang mereka jumpai,  baik di bidang intelektual, keagamaan, dan pemerintahan.  Kebudayaan Jawa dan Melayu tumbuh sedemikian rupa dan berkembang menjadi tradisi besar setelah perjumpaannya dengan kebudayaan India, Arab, Persia, Cina dan Eropa, serta dengan agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam. Dalam proses transformasinya yang berkelanjutan sepanjang sejarahnya itu, tidaklah kecil peranan sastra dan seni. Kita tahu bahwa melalui karya sastralah cita-cita budaya dan falsafah hidup suatu bangsa, begitu pula sistem nilai dan pandangan dunia (Weltanschauung) nya disebar luaskan dan meresap dalam kehidupan khalayak luas.

Marilah kita ambil contoh. Apabila kita mempelajari kebudayaan Yunani, kita tidak akan bisa melepaskan diri dari keharusan mempelajari epos dan mitologi mereka, termasuk juga arsitektur, seni patung, dan filsafat­nya. Dalam pemikiran filosof Yunani seperti Plato, Aristoteles, Philo, dan Plotinus, persoalan estetika merupakan pembahasan yang cukup sentral karena ia terkait dengan masalah etika dan metafisika. Peribahasa Melayu dalam bentuk gurindam berikut ini mencerminkan kebenaran pernyataan tersebut, “Yang kurik kundi, yang merah saga. Yang baik budi, yang indah bahasa.”
Konfusianisme dan Taoisme merupakan dua sistem filsafat yang mendasari kebudayaan Cina. Selama berad-abad pula kedua sistem pemikiran dijadikan dasar filsafat pendidikan bangsa Cina. Dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada Konfusianisme dan Taoisme itu, pengajaran estetika dan seni, khususnya lagi sastra, melainkan peranan penting. Bagi bangsa Cina, estetika bukan suatu yang terpisah dari kehidupan keseharian. Hal yang tidak berbeda, kecuali kaidah dan caranya, kita jumpai dalam sejarah peradaban Hindu dan Islam. Oleh karena itu tidak mengherankan selama masa kejayaan perkembangannya, baik peradaban Hindu maupun Islam, melahirkan banyak sastrawan dan seniman besar sejajar dengan  para ulama, filosof, dan cendikiawan yang lahir dari peradaban yang sama.
Dalam peradaban Hindu persoalan menyangkut seni di­bicara­­kan dalam Upaveda dan Vedanga, kitab-kitab yang me­rupa­kan turunan dari Veda. Dalam tradisi intelektual Islam, persoalan sastra dan puitika dibahas bersama-sama dengan pembahasan linguistik, retorika (balaghah).Begitu pula kaitan sastra dan filsafat, serta spiritualitas, sejak lama telah menjadi bahasan menonjol di lingkungan cendikiawan Muslim. Tidak kalah penting untuk dikemukakan ialah betapa hermenenutika sebenarnya tumbuh dan berkembang di lingkungan tradisi intelektual yang sangat memperhatikan relevansi estetika dan pengucapan puitik dalam kebudayaan. Inilah terutama yang ditekankan oleh kaum cendikiawan dan filosof sejak lama, sebagaimana digaungkan kembali oleh  ahli-ahli hermeneutika modern seperti Schleiermacher, Dilthey, Gadamer, dan Ricoeur.

oleh : Prof.Dr. Abdul Hadi WM

0 comments: