Buku tentang hermeneutika belum
banyak ditulis di Indonesia. Dari yang tidak banyak itu pula sangat sedikit
yang memberikan perhatian khusus pada hermeneutika sastra atau seni, bidang
yang bertalian langsung dengan estetika yang justru sangat ditekankan serta
mendorong bangkitnya kembali hermeneutika modern. Ini dapat dimaklumi karena
para sarjana filsafat dan ilmu kemanusiaan atau humaniora sejak lama memang
kurang memberikan perhatian pada persoalan estetika, dan dengan sendirinya juga
terhadap seni berikut cabang
Merosotnya perhatian terhadap
estetika ini sudah pastio mempengaruhi hasil-hasil penelitian yang dilakukan
terhadap karya para seniman dan sastrawan bangsa kita, terutama karya-karya
yang digolongkan klasik dan tradisional yang sebagian besar lahir dan tumbuh di
luar tradisi estetika Barat. Karya-karya tersebut tidak dapat sepenuhnya
diteliti berdasarkan estetika Barat yang asas metafisik dan landasan
epistemologisnya berbeda. Misalnya saja bagaimana mungkin kita meneliti Arjunawiwaha karya
Mpu Kanwa atau syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri hanya dengan
mengandalkan pada pengetahuan kita tentang estetika dan teori Barat.
Karya-karya tersevbut sudah tentu sangat berbeda ciri dan wawasan estetiknya
dari karya penulis abad ke-20 M seperti Armijn Pane dan Chairil Anwar.
Pengaruh lain yang tidak sukar untuk
dilihat ialah terhadap pemahaman dan penafsiran karya, bidang yang menjadi
perhatian utama hermeneutika. Dalam tradisi neopositivisme, yang selama
dominan, karya sastra yang seharusnya juga dilihat berdasarkan aspek-aspek
estetiknya, telah berubah menjadi obyek kajian yang tidak ada
hubungkaitnya langsung dengan kodrat sastra itu sendiri. Kita tahu bahwa
bahwa karya sastra pertama-tama merupakan ungkapan kejiwaan atau pengalaman
estetik penulisnya. Tetapi di bawah cahaya teori sastra modern yang ditekankan
ialah kalau bukan segi formal instrinsiknya, pastilah segi ekstrinsiknya.
Begitulah dalam lingkait atau konteks teori-teori formalis dan neopositivisme,
termasuk sosilogisme dan historisme, yang dicari dari karya sastra lebih banyak
yang berkaitan dengan masalah sosial, ideologi,dan kecenderungan-kecenderungan
semasa yang berlaku dalam masyarakat pembacanya seperti selera dan fakor-faktor
lahir yang membuat karya sastra mendapat penerimaan luas. Hal ini jelas tidak
membantu pemahaman yang benar terhadap sastra, yang dalam kodratnya berupaya
menyajikan dunianya sendiri, yaitu pengalaman batin penulisnya. Karya sastra
juga bukan sekadar representasi atau tiruan dari realitas di luarnya, sehingga
menghubung-hubungkan karya sastra semata dengan realitas sosial tidak
seharusnya menjadi perhatian utama kritik sastra.
Harus dikemukakan bahwa perluny
estetika diberi perhatian bukanlah untuk kepentingan perkembangan sastra itu
sendiri dan juga bukan untuk kepentingan ilmu sastra dan sejarah seni
semata-mata. Keperluan yang lebih besar terbentang di dalamnya, yaitu bagi
perkembangnya ilmu kebudayaan atau humaiora secara umum. Kita tahu bahwa
yang memberi ciri utama pada suatu kebudayaan adalah dasar-dasar pandangan
hidup (way of life), gambaran dunia (Weltanschauung),dan sistem
nilai. Ciri ini terjelma terutama dalam dasar-dasar etika dan
estetika yang dijadikan suatu komunitas dalam mengembangkan kebudayaan dan jati
dirinya. Sebagai ungkapan estetik, sastra mencerminkan dinamika
kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu
penelitian sastra yang memperhatikan aspek-aspek estetik dan asas
metafisika atau falsafah hidup yang ikut melahirkan suatu karya, dapat
memperkaya dan memperkokoh perkembangan ilmu kebudayaan dan humaniora.
Bahwa estetika memainkan peranan
penting dalam kehidupan manusia dan sejarah peradaban, khususnya dalam
membentuk tradisi kebudayaan suatu umat atau kaum, dapat dilihat dalam sejarah
bangsa-bangsa yang memiliki peradaban agung seperti Yunani Kuna, Romawi, India,
Cina, Jepang, Arab Persia atau Islam, Eropa Renaissance dan Pencerahan.
Hal yang sama dapat kita saksikan pula dalam sejarah kebudayaan Jawa dan
Melayu. Peradaban-peradaban yang telah disebutkan itu terbentuk dalam
sejarahnya melalui interaksi yang dinamis dengan tradisi-tradisi besar dari
luar yang mereka jumpai, baik di bidang intelektual, keagamaan, dan
pemerintahan. Kebudayaan Jawa dan Melayu tumbuh sedemikian rupa dan
berkembang menjadi tradisi besar setelah perjumpaannya dengan kebudayaan India,
Arab, Persia, Cina dan Eropa, serta dengan agama-agama besar seperti Hindu,
Buddha, dan Islam. Dalam proses transformasinya yang berkelanjutan sepanjang
sejarahnya itu, tidaklah kecil peranan sastra dan seni. Kita tahu bahwa melalui
karya sastralah cita-cita budaya dan falsafah hidup suatu bangsa, begitu pula
sistem nilai dan pandangan dunia (Weltanschauung) nya disebar
luaskan dan meresap dalam kehidupan khalayak luas.
Marilah kita ambil contoh. Apabila
kita mempelajari kebudayaan Yunani, kita tidak akan bisa melepaskan diri dari
keharusan mempelajari epos dan mitologi mereka, termasuk juga arsitektur, seni
patung, dan filsafatnya. Dalam pemikiran filosof Yunani seperti Plato,
Aristoteles, Philo, dan Plotinus, persoalan estetika merupakan pembahasan yang
cukup sentral karena ia terkait dengan masalah etika dan metafisika. Peribahasa
Melayu dalam bentuk gurindam berikut ini mencerminkan kebenaran pernyataan
tersebut, “Yang kurik kundi, yang merah saga. Yang baik budi, yang indah
bahasa.”
Konfusianisme dan Taoisme merupakan
dua sistem filsafat yang mendasari kebudayaan Cina. Selama berad-abad pula
kedua sistem pemikiran dijadikan dasar filsafat pendidikan bangsa Cina. Dalam sistem
pendidikan yang didasarkan pada Konfusianisme dan Taoisme itu, pengajaran
estetika dan seni, khususnya lagi sastra, melainkan peranan penting. Bagi
bangsa Cina, estetika bukan suatu yang terpisah dari kehidupan keseharian. Hal
yang tidak berbeda, kecuali kaidah dan caranya, kita jumpai dalam sejarah
peradaban Hindu dan Islam. Oleh karena itu tidak mengherankan selama masa
kejayaan perkembangannya, baik peradaban Hindu maupun Islam, melahirkan banyak
sastrawan dan seniman besar sejajar dengan para ulama, filosof, dan
cendikiawan yang lahir dari peradaban yang sama.
Dalam peradaban Hindu persoalan
menyangkut seni dibicarakan dalam Upaveda dan Vedanga, kitab-kitab yang merupakan
turunan dari Veda. Dalam tradisi intelektual Islam, persoalan sastra dan
puitika dibahas bersama-sama dengan pembahasan linguistik, retorika (balaghah).Begitu
pula kaitan sastra dan filsafat, serta spiritualitas, sejak lama telah menjadi
bahasan menonjol di lingkungan cendikiawan Muslim. Tidak kalah penting untuk
dikemukakan ialah betapa hermenenutika sebenarnya tumbuh dan berkembang di
lingkungan tradisi intelektual yang sangat memperhatikan relevansi estetika dan
pengucapan puitik dalam kebudayaan. Inilah terutama yang ditekankan oleh kaum
cendikiawan dan filosof sejak lama, sebagaimana digaungkan kembali oleh
ahli-ahli hermeneutika modern seperti Schleiermacher, Dilthey, Gadamer, dan
Ricoeur.
oleh : Prof.Dr. Abdul Hadi WM
0 comments:
Posting Komentar