Setauku dia tak pernah mau meminta fasilitas kelas pejabat tingkat atas dari kantornya. Saat banjir menyerang dan rumahnya terendam air dengan ketinggian lebih dari 1 meter. Dia tak juga meminta fasilitas negara untuk menyelamatkan diri dan keluarganya.
Padahal lebih mudah baginya untuk meminta, tinggal menelpon dan semua bantuan serta fasilitas akan datang ketempatnya. Namun dia tetap dirumah, bersama keluarga dan warga sekitar, bahu membahu melawan banjir bekasi bulan Februari lalu. Disaat kebanyakan pejabat tidur nyaman menggunakan fasilitas mewah milik negara.
###
Ada yang tak biasa pada hari itu. Rombongan mobil hitam beriringan masuk dikomplek perumahan Vila Mutiara. Biasanya yang begitu rombongan pejabat, entah pejabat tingkat I atau tingkat II. Mereka berhenti dipersimpangan jalan Giok Raya dan jalan Intan Raya. Beberapa lelaki berpakaian hitam dengan cepat keluar dari mobil depan dan belakang, menuju mobil bagian tengah.
Setelah membuka pintu, dengan perlahan seorang wanita muncul dari balik pintu mobil yang sengaja dibuka tadi. Wajahnya cukup familiar, kalau tak salah itu Bu Neneng, Bupati Bekasi. Hanya saja sedikit mengejutkan, semua warga Perumahan Vila Mutiara memang tau kalau itu rumah Pak Syarifuddin, salah satu Dirjen di Kementrian Dalam Negri.
Tapi tak biasanya Pak Udin kedatangan tamu pejabat dirumahnya, apalagi Bupati Bekasi. Daripada kami, sepertinya malah Bu Neneng yang lebih terkejut. Bisa-bisanya seorang Direktur Jenderal di Kementrian Dalam Negri, tinggal disebuah perumahan yang bukan perumahan elit. Yang hampir tiap tahun jadi langganan banjir Bekasi.
Itulah Pak Udin, seorang bersahaja yang hampir tiap malam selalu datang pada kami warga perumahan Vila Mutiara untuk bermain catur atau pimpong. Kami seringkali bertanya-tanya, Pak Udin kapan istrahatnya.
Saat kami baru keluar rumah jam enam lewat dikit, beliau sudah berangkat kekantor. Sepertinya dia bangun cukup subuh untuk shalat subuh kemudian sarapan dan melakukan persiapan ke kantor. Karena berkantor di Jakarta Pusat, dan lalu lintas yang selalu macet setiap pagi, cukup masuk akal pabila dia harus berangkat lebih awal.
Selain untuk menghindari macet, mungkin beliau sudah menghitung berapa lama waktu dijalan seandainya terjebak macet, dan sampai kantor tepat waktu. Atau malah lebih dulu dari anak buahnya. Seharian dikantor sampai pulang antara jam 09.00-10.00 malam, kemudian kumpul bersama warga pukul 10an malam. Harusnya beliau sangat lelah.
Ya, meskipun main catur atau pingpong mungkin adalah hobinya, seharusnya ada batasan dimana manusia lebih memilih istrahat daripada menyalurkan hobi. Bersama kami, Pak Udin biasanya pulang cukup larut, kadang bisa sampai jam 11an malam. Apa iya, bapak ini seorang pejabat tinggi di Kementrian sana?.
Masa sih dizaman sekarang masih ada pejabat yang seperti itu, sebelum kekantor sarapan masakan buatan istri. Saat pulang malam, makan makanan buatan istri setelah itu kumpul-kumpul bersama masyarakat biasa, ditempat ronda pula. Bukannya kehidupan pejabat sebaliknya, mewah, berwibawah, harus dihormati dan bergaul hanya dengan orang penting.
Seingatku Pak Udin juga tak memiliki pembantu dirumah. Artinya semua keperluannya sehari-hari disiapkan oleh sang istri. Ini juga hal yang cukup ganjil untuk seorang pejabat. Biasanya mereka memiliki pembantu, lain yang mengurus dapur, lain pula yang mengurus pakaian dan kebersihan rumah. Mana mau istri pejabat menyetrika baju atau memasak untuk suaminya. Apalagi sampai harus bersih-bersih rumah.
Pak Udin juga cukup ketat mendidik anak. Kami ingat pernah bercerita dengan anaknya. Setau kami dia anak pejabat, otomatis punya uang jajan yang lumayan gede. Ternyata tak seperti itu, untuk dapat uang jajan mereka harus bekerja. Tapi mereka masih sma, masih harus sekolah, bukannya bekerja akan mengganggu sekolah nantinya.
"Ya, kerja kan tak harus diluar rumah, didalam rumah juga harusnya bisa bekerja. Seperti cuci piring mengepel lantai, setrika baju, dan lain-lain", kata Pak Udin. Dari situ anak-anaknya kemudian mendapat uang jajan. Seperti cuci piring mendapat Rp.5000, mengepel lantai mendapat Rp.10.000, menyetrika baju tiap lembar Rp.1000, dan masih banyak lagi.
Tak gampang menjadi pejabat di Ibukota. Tantangan dan lingkungan akan membuat seseorang berada dalam keadaan terpaksa untuk meninggalkan kehidupan biasa, dan memasuki kehidupan luar biasa khas pejabat. Kami tau Pak Udin datang dari tempat yang jauh, sebuah daerah yang kami tak pernah menyangka tempat itu ada.
Biasanya orang kampung yang datang ke kota besar, akan berubah menjadi pribadi baru. Mungkin saja dikampung dia orang baik, jujur dan bersih. Setelah suasana kota merasukinya, banyak orang akan meninggalkan kebiasaannya itu. Uang, kehidupan malam dan kerasnya tekanan para mafia, akan menguras habis semua sisi kemanusiaannya. Dan hanya ada segelintir orang yang benar-benar berhasil menaklukannya.
Bagi kami, Pak Udin salah satunya.
Mungkin kami tak pernah pergi kekantornya, kami juga tak pernah sekalipun hadir dalam acara rapatnya. Pejabat-pejabat kenalannya kami tak tau, ketemu saja enggak apalagi sempat berfoto bareng. Kami tak tau pasti bagaimana sebetulnya kehidupan kantor dan rumah Pak Udin.
Tapi kami sangat mengenal Pak Udin yang selalu senyum, selalu ramah pada semua orang, dan hampir setiap malam menemai kami bermain catur dan pingpong (tenis meja). Pernah suatu ketika seorang teman menanyakan kenapa Pak Udin tak tinggal diperumahan elit. Yang lebih mewah seperti pejabat-pejabat lain, dan tentu saja terbebas dari banjir musiman Bekasi.
Pak Udin hanya tersenyum, kemudian memberikan jawaban, "kalau saya tinggal diperumahan elit, disana tak ada yang suka main catur jam segini, tak ada juga yang suka main tenis meja seperti ini. Supaya bisa main catur dan tenis meja, makanya saya harus tinggal diperumahan Vila Mutiara ini". Dan kami semua tertawa dibuatnya.
###
Kami mendengarnya, kalau Pak Udin akan maju sebagai Calon Bupati dikampungnya, di Muna. Semoga saja maksudnya tercapai, karena Pak Udin itu orang baik. Kata seorang bapak yang duduk bersila didepanku.
Saya cukup lama bercerita dengannya. Dapat kuduga sebelumnya kalau beliau pasti betah duduk lama denganku. Secara dialek, tentu saja kami nyambung. Pengalaman tiga tahun hidup dibandung membuat lidahku sedikit fasih. "Haaaah, Azis, kamu dah bisa bahasa Bandung??". Gampang, tinggal kujawab "ya litel-litel".
0 comments:
Posting Komentar