"Ya, memang betul. Kita itu ada keturunan Arab dan India", kata Almarhum nenekku Waode Suruhani. Entah sudah berapa tahun berlalu sejak beliau dengan serius mengatakan itu. Sedang kami, hanya mendengar sambil tertawa tak percaya.
Memang lewat mana darah Arab-India bisa sampai ke kami. Muna saja tidak dilewati jalur sutra, apalagi Desa Mabuti dan Desa Dana. Akhirnya saya harus mempercayai itu sebagai dongeng yang dikisahkan turun temurun. Sampai kejadian kemarin, saya kembali berpikir, mungkin betul yang dulu dikatakan nenekku.
Akhirnya saya harus membuka lembaran sejarah yang telah berdebu, tentu saja ini sangat berat buatku. Karena harus menemukan jejak-jejak yang membenarkan orang Muna dan Arab-India terikat sebuah hubungan. Masih berat, bagaimana kalau pencarian dibagi dua, mencari hubungan Muna-Arab, kemudian hubungan Muna-India.
Apakah saya harus mempelajari sejarah sampai sejauh itu, membaca dan merenungkan awal mula orang India masuk ke Nusantara. Memikirkan faktor ketertarikan orang India yang semula hanya berniat berdagang, kemudian sampai menikah dengan orang Muna. Bagaimana bisa kisah cinta mereka bersemi dalam proses sedang terjadi tawar menawar harga.
Apakah ilmu ekonomi mempertimbangkan, kalau dalam tawar menawar untuk menaikan atau menurunkan nilai jual suatu barang, ada faktor perasaan terlibat didalamnya. Sebut saja seorang pedagang India turun di Buton, setelah beberapa malam mengarungi lautan. Kerasnya angin serta terjangan keras ombak yang menggulung diantara selat bone dan laut flores, mampu dilaluinya.
Di Buton dia mendapati seorang wanita pribumi yang ingin membeli dagangannya. Karena terpesona dengan paras dan suara wanita itu, dia pun menurunkan harga barangnya. Akhirnya rasa cinta bersemi diantara mereka, jadilah seorang India menikah dengan seorang Muna. Ah, ini kisah percintaan yang sangat-sangat singkat.
Mungkin butuh kisah lain yang lebih romantis dan bernilai historis tuk menggambarkan dari mana darah India ku berasal. Setidaknya, kalaupun bukan dari para pedagang India yang tak secara kebetulan datang ke Muna, mungkin saja dari eksodus bintang sinetron India yang sengaja mampir ke Indonesia. Seperti yang sering mangkal di tv bersama Rafi Ahmad.
Dibanding mereka, sepertinya nenek moyang Shahrukh Khan masih lebih mungkin. Orang india yang masuk ke Nusantara untuk berdagang mungkin saja dari keluarga bangsawan Khan. Yang saat itu menduduki tahta kerajaan Mughal, kerajaan Islam terbesar di India saat itu. Selain bermaksud berdagang, mereka juga membawa misi penyebaran agama Islam.
Bagaimana dengan darah Arab, yang juga saya miliki?. Mungkin ini ada kaitannya dengan suatu peristiwa ketika orang-orang Hadramaut bermigrasi ke Nusantara. Sekitar abad ke 8 atau 9 Masehi, menurut seorang dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Bandung.
Ketika itu tensi politik dan keamanan di arab sana sedang tak stabil. Dimana dua dinasti besar yaitu Umayah dan Abasiyah, menganggap keturunan Nabi Muhammad Saww dapat mengganggu kekuasaan mereka. Karenanya mereka, keluarga Nabi Saww yang berasal dari Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah dikejar-kejar dan dijadikan target pembunuhan.
Dan merekapun tiba di Nusantara, berbaur dengan masyarakat asli serta berperan dalam menyebarnya ajaran islam di Indonesia. Sampai masuk ke daratan Muna dan akhirnya mempengaruhi budaya masyarakat Muna. Seperti pengunaan bahasa arab dalam ritual baca-baca, atau peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari dan 100 hari bagi yang telah meninggal dunia.
Mungkin itu juga ada hubungannya dengan kakek buyutku La Huseini, yang makamnya pernah saya kunjungi di Mabuti, disekitar komplek pemakaman kakek ku. Namanya mirip dengan nama cucu nabi, Husein, anak dari Fatimah dan Ali bin Abi Thalib.
Sepertinya saya sudah membuat penelusuran cukup jauh, dan secercah cahaya sudah mulai nampak dalam pencarianku.
Saya teringat beberapa kejadian semasa kuliah dulu, ada seseorang yang menyadari ke Arabanku dan dia seorang wanita. Sayangnya temanku sudah Kegeeran duluan, dan menyangka kalau dirinyalah yang dimaksud. Ya, meskipun temanku itu sedikit tampan, tetap saja saya masih lebih tampan daripadanya.
Beberapa hari lalu saya menemani istriku mengunjungi pasien ODGJ, atau Orang Dengan Gangguan Jiwa. Kami mengunjungi beberapa pasien dibeberapa rumah. Bertemu mereka, dan berkomunikasi dengan keluarganya untuk memberikan konseling Home Visit bagaimana merawat pasien ODGJ dengan benar.
Saat itu langit sedang mendung, hujan turun sesekali, kadang keras kadang juga hanya gerimis mengundang. Selain sebagai driver, saya juga berperan sebagai kameramen yang mendokumentasi seluruh kegiatannya dari awal keluar rumah hingga akhirnya kembali lagi kerumah.
Selama dilapangan tentu saja selalu menggunakan masker kain berwarna hitam, yang terkait cukup erat dikedua telinga dan menutup bagian mulutku. Otomatis hampir semua pasien ODGJ beserta keluarganya tak melihat keseluruhan rupaku. Tapi kuyakin mereka selalu dapat menangkap setiap pesan senyum yang kusampaikan. Buktinya mereka pun ikut tersenyum.
Waktu telah menunjukan pukul 12.00 siang, dan masih tersisa satu rumah lagi yang belum kami kunjungi. Untungnya cuaca hari itu mendung, jadi saya tak perlu khawatir kulitku akan menjadi hitam, karena memang dasarnya sudah seperti itu.
Di rumah terakhir pasiennya seorang lelaki tua. Model rumahnya sedikit tua, rumah panggung dengan tujuh anak tangga dibagian depan berperan sebagai jalur masuk ke ruang tamu. Setelah mengucap salam, kami disambut dengan ramah oleh keluarga pasien. Umumnya mereka merasa bersyukur karena masih ada yang mau memperhatikan keluarganya.
Seperti biasa, setelah melakukan pemeriksaan tekanan darah dengan alat tensi dan memberikan konseling, kami berbincang sedikit dengan keluarga pasien. Dirumah terakhir kami cukup lama berbincang-bincang, sekalian menunggu hujan reda, yang turun dengan tiba-tiba beberapa saat lalu. Saat hampir pulang, kulihat wajah mereka yang sedikit malu menyembunyikan tawa.
Saya tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin mereka merasa ada yang aneh, karena saya menemani mereka dan membuka masker cukup lama saat sedang berbincang. Setelah sampai dirumah saya menanyakannya pada istriku, apa gerangan yang terjadi dengan mereka. Menurut penuturan istriku, mereka sebelumnya bertanya dengan penuh takjub.
"Itu suamimu ya?, Ganteng, hidungnya seperti orang Arab dan India".
Dan kamipun tertawa. Saya mungkin tak selalu membuat istriku bangga, tapi hari itu semoga dia bisa sedikit terhibur dengan sangkaan orang-orang terhadapku. Saya juga takkan menceritakan betapa banyak fansku diluar sana, biar saja itu menjadi kejutan lain dalam kehidupannya dimasa akan datang. ya, kalaupun betul terjadi.
Percaya atau tidak karena sangkaan mereka itulah saya menulis ini. Saya takkan mengatakan siapa yang bertanya tentangku, apakah mereka pasien ODGJ atau keluarganya. Itu takk penting, sama tak pentingnya dengan apakah betul saya Arab India atau bukan.
0 comments:
Posting Komentar