Jumat, 16 Agustus 2019

Kota Yang Menjaga Ingatan Kolektif Masyarakat

Bagi seorang perencana, merencanakan Kota Menuju kemajuan adalah sebuah visi besar yang sangat ingin diwujudkan. Ketika arah perkembangan pembangunan kota sesuai dengan yang telah direncanakan, ada rasa bahagia karena cita-cita mewujudkan kota yang modern akan terlaksana. Sebelum terwujud, gambaran tentang kawasan perkotaan dimasa depan sudah terlebih dahulu hadir dalam fikiran perencana.

Dengan demikian, sudah seharusnya bagi para planner tidak merasa asing lagi dengan perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lingkungan sekitar. Karena gambaran-gambaran perubahan itu sebelumnya sudah hadir dalam alam imajinasi, tahap demi tahap sampai kebentuk final perubahan yang ingin diwujudkan. 

Sebagai seorang perencana, saya cukup sering memikirkan hal itu, dan pada beberapa kasus saya mendambakan terciptanya sebuah kota yang ideal dengan kondisi lingkungan dan masyarakat yang baik. Sampai pada suatu ketika, saat saya pulang kampung dan berjalan kaki dipagi hari. 

Saya menyusuri kembali lorong-lorong setapak yang dulu selalu kami lalui bersama. Pergi ketempat-tempat yang menyimpan banyak kenangan yang dulu jadi tempat kami bermain. Sambil mengenang kembali masa kecil yang selalu kami habiskam dibawah pohon mangga dan manggopa saat siang sehabis pulang sekolah sampai sore hari.

Sesaat saya termenung, setelah itu melihat kondisi sekeliling yang telah berubah dan berganti dengan banyak rumah baru. Sepertinya saya belum siap dengan perubahan. Ketika pulang kampung, saya berpikir ingin bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa kecil. Sepertinya tidak akan terjadi, banyak yang telah berubah, mungkin ketika datang kembali tahun depan, saya akan merasa asing dikampung sendiri.

***
"Sebentar siang kita pergi jemput tanta Ati di bandara", kata istriku. Beliau datang dari Mataram Nusa Tenggara Barat, untuk merayakan lebaran idul adha di Raha bersama keluarga. Kira-kira jam 04.00 sore beliau sudah sampai di Raha. Setelah acara penyambutan yang berlangsung secara alamiah, tanta At duduk di sofa untuk meluruskan badan dan kaki yang lelah sehabis perjalanan jauh.

Mereka sudah tinggal ditengah kota sebelum tahun 80. Dulu didepan edras, setelah itu pindah dibelakang gedung perkantoran milik Pemerintah Daerah saat ini. Lama kami bercerita, saya juga ingin mendengar pendapatnya tentang apa yang berubah sejak terakhir kali dia tinggalkan Raha dan menuju Mataram. Mungkinkah dia dan orang lain yang cukup lama meninggalkan Raha juga merasa asing ketika pulang, entahlah.

Saya cukup penasaran dengan muna jaman dulu, bagaimana lingkungannya, bagaimana gedung2nya, bagaimana jalan-jalannya dan bagaimana orang-orangnya. Menurut tanta At, dahulu sekitar tahun 80an, ketika 17 an orang-orang melaksanakan upacara bendera di makam pahlawan. Saat itu cukup ramai, karena dalam kawasan makam pahlawan ada pelataran cukup luas untuk melaksanakan upacara bendera.

Dulu Makam Pahlawan berada didalam Kota Raha, tepatnya di pengadilan dan kantor camat Katobu saat ini. Pabila orang-orang ingin mencari Makam Pahlawan hari ini atau besok, mereka tidak akan mendapatinya lagi didalam Kota. Karena sudah dipindahkan di Kecamatan Watopute yang letaknya berada cukup jauh keluar Kota Raha. Untuk kesana harus melewati Hutan Warangga.

Entah apa alasannya, semoga ada alasan historis kuat yang melatar belakangi. Padahal akan cukup bagus pabila dipindahkan pada lokasi lain yang masih dalam Kota, mungkin lebih baik lagi kalau dipertahankan. Seperti dibeberapa daerah yang pernah kukunjungi, Makam Pahlawan berada didalam Kota, ditetapkan sebagai RTH yang dijaga dan menjadi salah satu ikon kota.

Dengan demikian, tiap perayaan 17 Agustus orang-orang bisa mengikuti upacara atau berziarah ke Makam Pahlawan. Biar bagaimanapun, kondisi nyaman, kesenangan dan kebebasan yang hari ini kita rasakan, semua berkat jasa para pahlawan. Jangan pernah ada niat untuk menjauhkan pahlawan dari ingatan kolektif masyarakat.

Banyak yang berubah sejak tahun 80an, katanya. Tau masjid agung didepan RSUD lama?, dulu disitu stadion olahraga, stadion sepak bola tepatnya.

"Saya masih ingat pasar lama di alun-akun sekarang, dulu waktu terbakar saya masih SD", kataku. 

"Oh, itu pasar kedua, dulu itu pasar didekat pertokoan sana, digedung bulog yang sekarang", sanggah tanta Ati.

Sebelum dipindahkan, pasar itu dulu terbakar, mungkin itu kebakaran paling hebat yang terjadi didalam Kota Raha. Api menyala sangat besar, drum-drum bensin, solar dan minyak tanah beterbangan diudara seperti kembang api. Masyarakat di jalan Sangke Palangga sekarang, lari sampai ke Gunung Benyamin untuk menyelamatkan diri. Para orang cina lari sampai Warangga, mereka meninggalkan toko beserta isinya, hanya membawa karung uangnya.

"Kalau kantor bupati dulu dimana?, tanyaku lagi. 

Kantor Daerah dulu didepan sana, dikantor perhubungan sekarang. Sebelum jadi Kantor Daerah/ Kantor Bupati, dulunya itu adalah asrama tentara. Tapi dulu didepannya kantor, laut, belum ada baypass dan dikantor DPRD lama masih bukit-bukit. Baypass ada setelah Pemerintah Daerah saat itu melakukan penimbunan laut.

"Berarti Pak Ridwan bukan orang pertama yang lakukan reklamasi pantai", kataku dalam hati.

"Dulu masih banyak pohon jati disitu", tangannya menunjuk kearah jalan poros Raha-Tampo. Jompi juga dulunya masih bagus, saat malam orang bisa datang, karena penerangannya cukup bagus. Saat PORDA jompi digunakan untuk cabang olahraga tenis dan renang, waktu itu kolam renangnya bagus sekali. Airnya selalu bersih dan selalu jernih, bagaimana tidak, dekat situ ada air terjun yang airnya jernih dan bersih, jadi gampang sekali kolam renang dibersihkan dan ganti air.

Sebelum PORDA jompi juga dibersihkan untuk tempat wisata, jadi orang-orang se Sulawesi Tenggara dulu kenal jompi sebagai tempat wisata yang ada dalam Kota Raha. Saat dibersihkan, palang pintu air dibuka seluruhnya, dengan begitu semua kotoran berupa dedaunan dan lumpur yang mengendap didasar sungai, bersih karena terbawa arus sungai yang deras. Setelah bersih dan dasarnya menjadi jernih kembali, pintu air ditutup seperti semula.

"Kalau bioskop bagaimana?", makin lama mendengar ceritanya, saya jadi makin penasaran dengan keadaan Kota Raha jaman dulu.

Ada di toko sana, gedungnya masih ada sampai sekarang, hanya kurang tau juga kalau sudah jadi gudang atau yang lain. Dulu bioskop sangat ramai, jadi salah satu tempat berkumpul orang-orang dan anak muda kala itu. Mama tua biasa jualan didepan bioskop kalau sore, tanta Ati biasa ikut. Ada orang cina, saya lupa namanya, kalau lewat dan ketemu saya, biasa kasi tiket nonton. Waktu itu tanta Ati masih kecil, dia cuma bilang, "ini karcis panggil teman-temanmu nonton".

Karena anak-anak mungkin dia sengaja kasi karcis nonton ke kami. Film yang diputar untuk karcis itu, judulnya "Ratapan Anak Tiri" yang dulu lagi tenar. Tapi semua senang saat itu, tanta At awalnya kaget karena baru pertama kali nonton dilayar yang sangat besar. Dulu itu belum ada televisi, tapi saat televisi mulai masuk, orang-orang mulai sedikit yang nonton di bioskop. 

Sayang sekali, padahal saat ini bioskop kembali ngetren, dan banyak orang lebih suka nonton di bioskop daripada nonton dirumah. Film-film yang ditawarkan juga lebih bagus dengan kualitas gambar dan suara lebih baik daripada televisi ataupun laptop dan komputer.

Lama kami bercerita, mungkin tepatnya tanta Ati yang bercerita dan saya sebagai pendengar setia. Saya menarik beberapa kesimpulan, salah satunya adalah, hampir tidak adalagi bangunan sebelum tahun 80 yang ada dalam Kota Raha. Bangunan yang ada dalam Kota saat ini, mungkin hanya bangunan dibuat setelah tahun 80.

Bangunan lama dengan nilai sejarah tinggi atau bukti sejarah yang telah berumur, bagaimanapun kondisinya, telah menyimpan begitu banyak memori kolektif masyarakat. Ada banyak kisah dan kenangan didalamnya, yang sekali waktu ketika merasa kangen, generasi setelahnya dapat mengunjungi dan peroleh banyak manfaat serta pelajaran darinya.

Kota boleh saja menjadi berkembang dan berubah modern, tapi jangan sampai menghilangkan secara keseluruhan kenangan masa kecil. Kedepan, mungkin harus ada kebijakan pembangunan dari Pemerintah yang lebih bisa mempertahankan bangunan lama yang bernilai historis. Mungkin untuk bangunan pemerintah yang telah berumur 30 tahun lebih, tak boleh dirubah seluruhnya, hanya boleh direnovasi. Hehe.

***
Hari ini sudah hampir 2 tahun saya menetap di Raha dan belum lagi keluar daerah, sepertinya saya sudah tidak merasa asing lagi. Saya kepikiran ingin menjaga keadaan Kota Raha saat ini dalam bentuk dokumentasi gambar dan tulisan. Mungkin 50 tahun dari sekarang, ada orang seperti saya yang akan sangat penasaran dengan keadaan Kota ini dan membandingkan dengan kondisi saat itu. Semoga penasarannya akan sedikit terobati dengan melihat foto-foto dan tulisan dari saya, semoga saja.

Penulis : Laode Muh. Azis Syahban, H

0 comments: