Rabu, 21 Agustus 2019

Kota Membunuh Desa

Telah bertahun-tahun urbanisasi menjadi masalah serius di perkotaan. Terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota menyebabkan munculnya masalah-masalah baru di kota. Karenanya, berbagai program dan kebijakan pun dirumuskan untuk menahan laju urbanisasi. Salah satu tujuannya yaitu, untuk menciptakan pemerataan pembangunan antara Desa dan Kota, karena selama ini selalu dikatakan Desa cenderung lebih lambat berkembang daripada Kota.

Kenapa demikian?, mungkin karena sejak dulu istilah Kota dan Desa digunakan untuk menciptakan sebuah stigma kemajuan masyarakat dan lingkungan, dimana Kota menjadi simbol kemajuan dan Desa menjadi simbol ketertinggalan. Karenanya, masyarakatpun berlomba-lomba menuju kota untuk memperoleh hidup lebih baik dan tidak ketinggalan atau menjadi terbelakang.

Selain sebagai tujuan urbanisasi, kota juga menjadi tujuan investasi serta tempat tumbuh dan berkembangnya layanan jasa. Sebagai tujuan urbanisasi, kota dituntut mempersiapkan hunian lebih banyak untuk menampung besarnya jumlah penduduk yang datang. Sedangkan sebagai tujuan investasi, kota dituntut mempersiapkan lahan dalam jumlah besar untuk mendirikan bangunan-bangunan bertingkat, kawasan perumahan elit, atau bahkan gedung pencakar langit. Dan sebagai pusat berkembangnya layanan jasa, kota akan memiliki arus pergerakan orang dan barang yang akan semakin tinggi dari waktu kewaktu.

Dari sini dapat kita katakan, bahwa tumbuh dan berkembangnya sebuah kota kearah yang lebih modern, meniscayakan makin tingginya perubahan guna lahan yang akan terjadi. Banyak kota-kota besar di Indonesia yang saat ini tengah berkembang, tapi dalam prosesi itu mereka semakin kehilangan banyak lahan terbuka dan lahan persawahan. Maraknya pembangunan semakin mendesak arah pembangunan kota sampai kewilayah pinggiran, karena lahan yang tersedia didaerah pusat kota telah habis. Akibatnya daerah pinggiran juga terkena dampak perubahan tata guna lahan.

Saya ingin menggambarkan situasi ini dengan Teori Sistem Dunia (World System Theory). Ini merupakan teori yang membagi negara-negara didunia menjadi 3 bagian berdasarkan kekuatan ekonomi dan politik. Para perencana mengadopsi teori ini untuk menggambarkan kota beserta wilayah pengaruhnya. Mereka Kemudian mengelompokkannya menjadi 3 bagian yaitu ; Core atau daerah pusat kota, Semi Peripheri atau setengah pinggiran dan Peripheri atau daerah pinggiran. Daerah pinggiran awalnya merupakan basis utama pendukung kota, dia menyediakan hampir semua kebutuhan kota, dan ketika terjadi perluasan kawasan kota maka lahan-lahan didaerah pinggiranpun akan berubah menjadi kawasan kota. Gerak perkembangan akan mengarah keluar kota, menjangkau semua daerah-daerah sekitar yang sebelumnya masih minim pembangunan. Gerak ini dapat terbaca ketika munculnya area semi perpheri yang menjadi batasan atau area peralihan, sebelum daerah pinggiran kelak akan menjadi daerah kota.

Teori ini tidak menafikkan perubahan, tapi menjelaskan lebih lanjut bahwa gerak negara-negara didunia akan sangat tak terduga, bisa keatas juga bisa bergerak kebawah. Sebuah negara yang awalnya berada diatas atau merupakan negara inti, dapat bergerak kebawah dan berubah menjadi negara semi perheri atau bahkan peripheri. Begitupun sebaliknya dengan negara Peripheri, dapat bergerak keatas menjadi semi peripheri sampai pada tahap tertentu menjadi core, atau negara inti. Contohnya inggris dan spanyol, yang dimasa lalu merupakan 2 negara kuat, mereka memiliki armada laut yang besar, tapi setelah perang dunia kedua mereka turun kelas dan amerika naik kelas menjadi negara inti, sampai saat ini.

Dari teori ini kita dapat melihat 2 gerak kota yang akan sangat memberikan pengaruh pada daerah pinggiran sampai ke desa. Core sebagai daerah pusat pembangunan atau kita namakan kota, dalam perkembangannya akan menghasilkan gaya menekan dan gaya menarik. Gaya menekan Kota akan menekan sampai kedaerah pinggiran dan mempengaruhi penggunaan lahan. Daerah pinggiran yang bukan merupakan daerah pusat pemukiman, perkantoran, industri, perdagangan juga jasa, akan berubah karena intervensi kota. Akibatnya terjadi alih fungsi lahan-lahan pertanian dan perkebunan menjadi perumahan dan juga gudang-gudang industri. Semakin maju dan berkembang sebuah kota maka semakin kuat juga penetrasinya terhadap daerah sekitarnya.

Selain gaya menekan, kota memiliki gaya menarik sangat kuat. Gaya tarik ini bukan hanya mampu menarik penduduk untuk datang ke kota, lebih dari itu gaya tarik kota juga mampu menarik sikap dan perilaku masyarakat sekitar dan desa untuk mengikuti sikap dan perilaku masyarakat kota. Hal ini ditandai dengan kecenderungan masyarakat di sekitar kota dan masyarakat desa mempraktekan kebiasaan-kebiasaan masyarakat kota, seperti ; cara berpakaian, cara berbicara dan lain sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan ini awalnya dimulai oleh beberapa orang yang telah tinggal lama di kota, ketika mereka kembali ke desa, mereka tetap membawa kebiasaan di kota dan mempengaruhi masyarakat lain. Lama kelamaan hal itu semakin kuat dan diikuti lebih banyak masyarakat di desa, akibatnya lambat laun kebiasaan di desa menghilang, berganti dengan kebiasaan kota.

Hal itu juga turut berpengaruh pada corak bangunan dan berkurangnya lahan pertanian juga perkebunan. Bangunan-bangunan gaya pedesaan memiliki corak tersendiri, mereka sangat unik dengan desain khas yang mencerminkan karakter suku dan budaya, serta sangat kaya akan filosofi dalam tiap komponen bangunan, mulai dari jumlah komponen, jenis bahan, desain juga model atap. Semua telah diwarisi secara turun temurun dan dilakukan dengan tujuan menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya leluhur. Kini, di Desa mulai diisi dengan bangunan-bangunan permanen gaya perkotaan. Bentuk dan materialnyapun banyak mencontoh dari apa yang pernah diliat ada di kota. Dari penggunaan lahan, gaya tarik kota menyebabkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang banyak terdapat di desa, tidak mampu dipertahankan atau diteruskan. Salah satu alasannya yaitu adanya pergeseran pola hidup masyarakat desa. Para orang tua yang sebelumnya menggarap lahan di desa, apabila mempunyai anak mereka akan menyekolahkan di kota. Setelah lama bersekolah dan menetap di kota, kecenderungan untuk pulang dan melanjutkan menggarap lahan orang tuanya akan sangat kecil.

Suasana kota yang membuat hidupnya serba mudah, telah mempengaruhi hidupnya yang semula pekerja keras dengan tenaga lebih kuat, menjadi pribadi dengan tenaga yang tidak lagi kuat. Pola hidup di kota yang tidak seperti desa, akan mempengaruhi struktur ototnya dan membuatnya tidak mampu lagi melakukan pekerjaan keras seperti mencangkul dan menggarap sawah. Karena ketidak mampuan itu, sehingga tiada yang mengikuti hidup orang tuanya menggarap lahan di desa, akibatnya lahan itu menjadi tidak tergarap dan mati. Itu merupakan satu dari sekian banyak contoh. Contoh lain yang juga dapat mempengaruhi, seperti konflik internal, atau dijual karena sang anak membutuhkan dana untuk sekolah. Hal ini berbeda dengan sebagian orang cina, mereka tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi, begitu selesai SMA akan langsung menerima tanggung jawab menjaga toko atau melanjutkan usaha orang tuanya.

Apakah semua itu salah?, tentu saja tidak. Sejak awal kota telah disimbolkan sebagai sebuah kemajuan, karenanya berbagai hal baru yang mencerminkan perkembangan zaman harus ada di kota. Kota memang sengaja dijadikan sebagai pusat kegiatan, ada perumahan disana, ada gudang dan berbagai macam industri, ada banyak bangunan-bangunan permanen dan segala fasilitas yang memudahkan masyarakat ada didalamnya. Sedangkan Desa, hanya menyiapkan bahan mentah tuk kebutuhan kota, hanya menyiapkan tenaga kerja untuk kebutuhan kota dan selalu diposisikan sebagai mitra yang baik, yang selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkotaan.

Ada sebuah pertanyaan yang kemudian hadir dalam benak kita, "bagaimana kalau desa terkena pengaruh kota, apakah desa akan hilang dan berganti menjadi kota?". Bisa jadi demikian. Desa dan Kota memiliki identitasnya sendiri. Kota dengan masyarakat yang selalu sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga sesama tetangga sekalipun tidak saling mengenal. Sedangkan Desa sebaliknya, masih ada hubungan kekerabatan disana, jangankan tetangga rumah, tetangga lorong dan jalan saling kenal. Ada banyak permasalahan yang diwariskan kota ke desa ketika desa akan bergerak menjadi kota. Seperti yang saat ini terjadi pada beberapa kota berkembang di Indonesia, mereka mencontoh jakarta, akibatnya mereka juga mendapati masalah-masalah baru yang sampai saat ini tidak mampu diselesaikan Jakarta, Banjir salah satunya.

Daya tarik kota bukan hanya menarik orang, tapi menarik desa agar berubah menjadi seperti kota, akibatnya desa akan mati dan mungkin juga akan menghilang. Karenanya, tiada lagi tempat pulang, sebagaimana fitra manusia yang selalu rindu ingin kembali ke asal, dan desa merupakan asal mula peradaban sebelum tumbuh menjadi kota yang modern. Seperti yang digambarkan Jalaludin Rumi dalam Puisinya "Nyanyian Seruling Bambu", disana ada nyanyian sedih seruling bambu yang sangat rindu ingin kembali ke asalnya (rumpunnya).

Penulis : Laode Muh. Azis Syahban, H

0 comments: