Tumbuh dan
berkembangnya suatu kota merupakan hal yang tidak dapat dihindari, namun bukan
berarti merupakan suatu hal yang dipasrahkan untuk terjadi tanpa perencanaan, pengendalian
dan pengawasan yang baik. Perencanaan yang baik akan menuntun pembangunan kota
kearah yang diharapkan, yang tujuannya unuk kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat kota.
Pengendalian yang
baik akan mengarahkan stakeholder selaku subjek dalam pembangunan kota, agar
supaya mengikuti norma-norma pembangunan yang berlaku sesuai dengan perencanaan.
Sedangkan pengawasan dilakukan untuk menjamin penyelenggaraan penataan ruang
sesuati dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Perkembangan kota-kota
besar di Indonesia kurang lebih memiliki siklus yang hampir serupa, dimana
dalam perkembangnya selalu berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang
serupa. Sebut saja kemacetan, banjir, konflik kepemilikan lahan, kurangnya RTH
(Ruang Terbuka Hijau) perkotaan dan lain sebagainya.
Akhir-akhir ini kita
akan seringkali disodorkan pada salah satu atau lebih dari permasalahan
tersebut untuk kemudian diselesaikan. Dari sekian banyak permasalahan yang
sebelumnya telah disebutkan, kita dapat mengambil contoh Provinsi DKI Jakarta.
DKI Jakarta merupakan Ibukota Negara, dan tentu saja merupakan kota paling
besar dan paling berkembang di Indonesia. Karenanya DKI dalam perkembangannya,
akan lebih dulu berhadapan dengan masalah-masalah tadi.
Pertanyaan pertama
yang kemudian mengemuka adalah, “apakah sampai saat ini DKI Jakarta telah mampu
menyelesaikan satu saja dari permasalahan tersebut?”. Mengenai hal ini tentu
saja kita dapat menjawab “Tidak”. Sebagai Ibukota negara, tak jarang Provinsi
DKI Jakarta akan selalu menjadi contoh bagi kota-kota besar lainnya di
Indonesia dalam menyusun perencanaan dan merumuskan kebijakannya.
Namun ketika hal itu
terjadi, kemudian akan memunculkan pertanyan lainnya, “apakah semua kota-kota
besar di Indonesia yang menjadikan DKI Jakarta sebagai contoh, harus mengalami
masalah serupa sebagaimana yang dialami DKI Jakarta?”. “Seharusnya tidak
demikian”, setidaknya itu adalah jawaban yang kira-kira mulai dari sekarang
harus muncul dalam benak semua perencana di Indonesia.
Kota Makassar
merupakan salah satu Kota Besar di Indonesia, sedangkan untuk wilayah timur,
dapat dikatakan Kota Makassar merupakan kota terbesar dan paling berkembang
daripada yang lain. Kemarin saya sampai di Makassar, setelah setahun lamanya
tidak menginjakan kaki di Kota yang penuh dengan kenangan indah ini.
Tentu saja ada rasa
kangen dan rindu pada suasana Kota ini, apalagi sebelumnya saya telah
menghabiskan lebih dari 10 tahun hidup di Makassar. Bagiku, mengunjungi
Makassar, berarti mengingat kembali kisah dan kenangan masa lalu. Mengingat
kembali tempat-tempat yang pernah didatangi, mengingat kembali jalan-jalan yang
pernah dilewati, dan tentu saja mengingat kembali Kampus Biru Universitas “45”
Makassar, yang kini telah berganti nama menjadi Universitas Bosowa.
Dan pada hari jumat
kemarin kenangan itu kembali terlintas, dalam perjalananku dari bandara menuju
adipura kemudian berakhir di Antang. Sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan yang
kulalui, sangat padat oleh kendaraan.
Mobil dengan berbagai
ukuran dari yang kecil, sedang sampai bis besar, saling berlomba menembus
padatnya jalan tuk mencari ruang kecil yang kira-kira cukup untuk lewat. Sepeda
motorpun demikian, dengan gesit dan lincah para pengendaranya memanfaatkan
celah sekecil apapun untuk menyalip kendaraan lain didepannya.
Semua bergegas
memburu waktu agar dapat sampai ditempat tujuannya tepat waktu. Kalau
dihitung-hitung, setidaknya hampir 12 kali kendaraan yang saya tumpangi
berhenti sejenak untuk membiarkan kendaraan lain lewat atau karena kondisi lalu
lintas yang sedang macet.
Yang pertama tidak
begitu jauh dari Underpass, ketika memasuki jalan yang menyempit, yang kedua
dipersimpangan empat didepan gedung telkomsel, yang ketiga didepan asrama haji,
yang keempat disimpang empat pasar daya, untuk pasar daya karena memang disini
ada lampu merah. Yang kelima didepan UKIP Paulus, yang keenam didepan telkomas,
yang ketujuh didepan BTP yang juga ada lampur merah.
Yang kedelapan
didepan pintu 2 Unhas, yang kesembilan didepan batalion rider, yang kesepuluh
didepan pintu 1 Unhas, yang ke sebelas didepan MTos sebelum jembatan, dan yang
terakhir dilampu merah Adipura. Dari 12 kali kejadian itu kemudian saya tau
bahwa Makassar kini telah berkembang lebih jauh dari yang sebelumnya.
Kalau boleh saya
hanya ingin memberi kesimpulan sementara, bahwa makassar kini telah mendekati
Jakarta, Bandung dan beberapa kota besar di Indonesia yang tengah menghadapi
masalah besar. Sebagaimana sebelumnya telah dituliskan diatas, mengenai siklus
yang kerap dihadapi setiap kota besar di Indonesia yang mulai berkembang, bahwa
Makassar kini telah menghadapi masalah serupa, yaitu Kemacetan.
Masalah ini akan kian
membesar dari hari-kehari, dari bulan kebulan dan dari tahun ketahun, sampai
pada titik dimana Kota Makassar tidak mampu lagi menampung arus lalu lintas
yang sangat besar pada Jalan Perintis Kemerdekaan.
Apakah Makassar
semakin mendekati Kota Bandung?, Apakah Makassar semakin mendekati DKI
Jakarta?, dengan melihat Kemacetan yang terjadi pada 1 ruas jalan (Jl. Perintis
Kemerdekaan) itu saja, mungkin banyak orang akan mengatakan “Iya”. Saya
mengambil contoh 2 Kota diatas karena sebelumnya saya pernah disana, untuk kota
lain seperti Surabaya maupun Jogja saya tidak berani mengatakan.
Saat sedang kuliah
dulu, kami telah mendengar sebuah konsep kota satelit MAMMINASATA, setelah itu
ada juga konsep One Day One Tiket, yang juga pada saat kuliah dulu telah sering
dikatakan. Sekilas dapat dikatakan bahwa kedua konsep tersebut agaknya diadopsi
dari konsep Jabodetabek dan juga Busway yang sebelumnya telah diterapkan di DKI
Jakarta dan sekitarnya.
Namun pertanyaan
kemudian, apakah konsep tersebut telah mampu menyelesaikan problem perkotaan
yang dihadapi Kota Makassar?, apakah konsep One Day One Tiket telah mampu
mengatasi problem transporasi di Kota Makassar?. Untuk menjawabnya, tentu saja
saat ini masih terlalu dini, namun apakah harus menunggu permasalahan terlanjur
besar dan semakin komplek untuk dipecahkan. Semoga saja tidak demikian.
Kota Makassar tidak
pernah miskin oleh para perencana-perencana hebat, dengan bekal ilmu
perencanaan yang mumpuni, maka seharusnya permasalahan-permasalahan tersebut
diatas akan dapat diprediksi. Sebagai bahan kajian awal, pada pembukaan tulisan
ini telah dipaparkan mengenai siklus perkembangan kota yang hampir serupa
dialami kota-kota besar di Indonesia.
Hal ini dapat menjadi dasar
dalam merumuskan perencanaan, pengendalian dan model pengawasan yang cocok
untuk diterapkan dalam upaya mengantisipasi permasalahan yang kemudian akan
dihadapi dikemudian hari. Sehingga kelak Kota Makassar dapat berkembang namun
dalam perkembangannya tidak berhadapan dengan parmasalahan-permasalahan besar
sebagaimana yang dihadapi DKI Jakarta saat ini.
0 comments:
Posting Komentar