Sabtu, 19 Januari 2019

Kota Makassar Yang Mulai Tak Ramah

Tumbuh dan berkembangnya suatu kota merupakan hal yang tidak dapat dihindari, namun bukan berarti merupakan suatu hal yang dipasrahkan untuk terjadi tanpa perencanaan, pengendalian dan pengawasan yang baik. Perencanaan yang baik akan menuntun pembangunan kota kearah yang diharapkan, yang tujuannya unuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat kota.

Pengendalian yang baik akan mengarahkan stakeholder selaku subjek dalam pembangunan kota, agar supaya mengikuti norma-norma pembangunan yang berlaku sesuai dengan perencanaan. Sedangkan pengawasan dilakukan untuk menjamin penyelenggaraan penataan ruang sesuati dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Perkembangan kota-kota besar di Indonesia kurang lebih memiliki siklus yang hampir serupa, dimana dalam perkembangnya selalu berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang serupa. Sebut saja kemacetan, banjir, konflik kepemilikan lahan, kurangnya RTH (Ruang Terbuka Hijau) perkotaan dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini kita akan seringkali disodorkan pada salah satu atau lebih dari permasalahan tersebut untuk kemudian diselesaikan. Dari sekian banyak permasalahan yang sebelumnya telah disebutkan, kita dapat mengambil contoh Provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta merupakan Ibukota Negara, dan tentu saja merupakan kota paling besar dan paling berkembang di Indonesia. Karenanya DKI dalam perkembangannya, akan lebih dulu berhadapan dengan masalah-masalah tadi.

Pertanyaan pertama yang kemudian mengemuka adalah, “apakah sampai saat ini DKI Jakarta telah mampu menyelesaikan satu saja dari permasalahan tersebut?”. Mengenai hal ini tentu saja kita dapat menjawab “Tidak”. Sebagai Ibukota negara, tak jarang Provinsi DKI Jakarta akan selalu menjadi contoh bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia dalam menyusun perencanaan dan merumuskan kebijakannya.

Namun ketika hal itu terjadi, kemudian akan memunculkan pertanyan lainnya, “apakah semua kota-kota besar di Indonesia yang menjadikan DKI Jakarta sebagai contoh, harus mengalami masalah serupa sebagaimana yang dialami DKI Jakarta?”. “Seharusnya tidak demikian”, setidaknya itu adalah jawaban yang kira-kira mulai dari sekarang harus muncul dalam benak semua perencana di Indonesia.

Kota Makassar merupakan salah satu Kota Besar di Indonesia, sedangkan untuk wilayah timur, dapat dikatakan Kota Makassar merupakan kota terbesar dan paling berkembang daripada yang lain. Kemarin saya sampai di Makassar, setelah setahun lamanya tidak menginjakan kaki di Kota yang penuh dengan kenangan indah ini.

Tentu saja ada rasa kangen dan rindu pada suasana Kota ini, apalagi sebelumnya saya telah menghabiskan lebih dari 10 tahun hidup di Makassar. Bagiku, mengunjungi Makassar, berarti mengingat kembali kisah dan kenangan masa lalu. Mengingat kembali tempat-tempat yang pernah didatangi, mengingat kembali jalan-jalan yang pernah dilewati, dan tentu saja mengingat kembali Kampus Biru Universitas “45” Makassar, yang kini telah berganti nama menjadi Universitas Bosowa.

Dan pada hari jumat kemarin kenangan itu kembali terlintas, dalam perjalananku dari bandara menuju adipura kemudian berakhir di Antang. Sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan yang kulalui, sangat padat oleh kendaraan.

Mobil dengan berbagai ukuran dari yang kecil, sedang sampai bis besar, saling berlomba menembus padatnya jalan tuk mencari ruang kecil yang kira-kira cukup untuk lewat. Sepeda motorpun demikian, dengan gesit dan lincah para pengendaranya memanfaatkan celah sekecil apapun untuk menyalip kendaraan lain didepannya.

Semua bergegas memburu waktu agar dapat sampai ditempat tujuannya tepat waktu. Kalau dihitung-hitung, setidaknya hampir 12 kali kendaraan yang saya tumpangi berhenti sejenak untuk membiarkan kendaraan lain lewat atau karena kondisi lalu lintas yang sedang macet.

Yang pertama tidak begitu jauh dari Underpass, ketika memasuki jalan yang menyempit, yang kedua dipersimpangan empat didepan gedung telkomsel, yang ketiga didepan asrama haji, yang keempat disimpang empat pasar daya, untuk pasar daya karena memang disini ada lampu merah. Yang kelima didepan UKIP Paulus, yang keenam didepan telkomas, yang ketujuh didepan BTP yang juga ada lampur merah.

Yang kedelapan didepan pintu 2 Unhas, yang kesembilan didepan batalion rider, yang kesepuluh didepan pintu 1 Unhas, yang ke sebelas didepan MTos sebelum jembatan, dan yang terakhir dilampu merah Adipura. Dari 12 kali kejadian itu kemudian saya tau bahwa Makassar kini telah berkembang lebih jauh dari yang sebelumnya.

Kalau boleh saya hanya ingin memberi kesimpulan sementara, bahwa makassar kini telah mendekati Jakarta, Bandung dan beberapa kota besar di Indonesia yang tengah menghadapi masalah besar. Sebagaimana sebelumnya telah dituliskan diatas, mengenai siklus yang kerap dihadapi setiap kota besar di Indonesia yang mulai berkembang, bahwa Makassar kini telah menghadapi masalah serupa, yaitu Kemacetan.

Masalah ini akan kian membesar dari hari-kehari, dari bulan kebulan dan dari tahun ketahun, sampai pada titik dimana Kota Makassar tidak mampu lagi menampung arus lalu lintas yang sangat besar pada Jalan Perintis Kemerdekaan.

Apakah Makassar semakin mendekati Kota Bandung?, Apakah Makassar semakin mendekati DKI Jakarta?, dengan melihat Kemacetan yang terjadi pada 1 ruas jalan (Jl. Perintis Kemerdekaan) itu saja, mungkin banyak orang akan mengatakan “Iya”. Saya mengambil contoh 2 Kota diatas karena sebelumnya saya pernah disana, untuk kota lain seperti Surabaya maupun Jogja saya tidak berani mengatakan.

Saat sedang kuliah dulu, kami telah mendengar sebuah konsep kota satelit MAMMINASATA, setelah itu ada juga konsep One Day One Tiket, yang juga pada saat kuliah dulu telah sering dikatakan. Sekilas dapat dikatakan bahwa kedua konsep tersebut agaknya diadopsi dari konsep Jabodetabek dan juga Busway yang sebelumnya telah diterapkan di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Namun pertanyaan kemudian, apakah konsep tersebut telah mampu menyelesaikan problem perkotaan yang dihadapi Kota Makassar?, apakah konsep One Day One Tiket telah mampu mengatasi problem transporasi di Kota Makassar?. Untuk menjawabnya, tentu saja saat ini masih terlalu dini, namun apakah harus menunggu permasalahan terlanjur besar dan semakin komplek untuk dipecahkan. Semoga saja tidak demikian.

Kota Makassar tidak pernah miskin oleh para perencana-perencana hebat, dengan bekal ilmu perencanaan yang mumpuni, maka seharusnya permasalahan-permasalahan tersebut diatas akan dapat diprediksi. Sebagai bahan kajian awal, pada pembukaan tulisan ini telah dipaparkan mengenai siklus perkembangan kota yang hampir serupa dialami kota-kota besar di Indonesia.

Hal ini dapat menjadi dasar dalam merumuskan perencanaan, pengendalian dan model pengawasan yang cocok untuk diterapkan dalam upaya mengantisipasi permasalahan yang kemudian akan dihadapi dikemudian hari. Sehingga kelak Kota Makassar dapat berkembang namun dalam perkembangannya tidak berhadapan dengan parmasalahan-permasalahan besar sebagaimana yang dihadapi DKI Jakarta saat ini.

0 comments: