Selamat datang di
Kota Raha, wilayah yang menjadi Ibukota Kabupaten Muna, dan merupakan salah
satu Kota paling awal dalam terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara. Kota raha
terbentuk dari 4 kecamatan yaitu Kecamatan Katobu, Batalaiworu, Lasalepa dan
Kecamatan Duruka.
Jadi, apabila
masyarakat Muna yang dari kecamatan lain ingin pergi ke Raha, maka sebetulnya
mereka ingin datang di 4 Kecamatan itu. Meskipun begitu, kenyataan dilapangan terkadang berkata lain.
Kecamatan Duruka dan Batalaiworu cukup luas. Jangankan orang yang berada pada
bagian ujung, yang berada di pusat Kecamatan Duruka sendiri, seringkali berkata
mau turun ke Raha pabila ada urusan yang hendak diselesaikan, atau bahkan
ketika ada perayaan atau acara-acara malam.
Dengan demikian,
maka raha hanya meliputi Kecamatan Katobu dan sebagian Kecamatan Batalaiworu
yang berbatasan dengan Kec. Katobu, itu anggapan sebagian besar masyarakt Muna.
Sama seperti sebagian besar Kota-Kota lain di Indonesia, Raha merupakan daerah
pesisir, yang mana pada salah satu sisinya (sisi bagian timur) berbatasan
langsung dengan wilayah laut yaitu selat buton. Karenanya raha memiliki garis
pantai dan wilayah perairan.
Di tahun 2002,
Pemerintah Kabupaten Muna memulai proyek ambisius, Ridwan Bae yang kala itu
menjabat sebagai Bupati adalah salah satu penggagasnya. Demi menyukseskan Porda
(Pekan Olahraga Daerah) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2007, Pemerintah
Daerah melakukan reklamasi atau penimbunan daerah pantai yang mengarah ke laut.
Itu dilakukan untuk
memperoleh daratan yang cukup, guna membangun Kawasan Pengembangan Sarana
Olahraga yang bertaraf Nasional, yang kelak akan digunakan pada gelaran Porda
tahun 2007. Cita-cita itu berangkat dari fakta bahwa, Kabupaten Muna kerapkali
menghasilkan atlet dayung berprestasi ditingkat nasional, asia bahkan dunia.
Maka dari itu,
pembangunan kawasan olahraga tersebut, difokuskan pada pengembangan fasilitas
untuk olahraga perairan. Olahraga perairan yang dimaksud mencakup ; dayung,
renang, loncat indah, polo air, selam dan ski air. Karenanya, kawasan yang di
reklamasi pun cukup luas, yang terdiri dari ; Kawasan Masjid Al Munajad (14,968
m2), Kawasan Olahraga/SOR (72,203 m2), Kawasan Perdagangan dan wisata (48,628
m2).
Apabila ditotal,
maka luas keseluruhan kawasan reklamasi adalah sekitar 135,80 m2, dan itu belum
termasuk pembangunan jalan baru. Jalan yang dimaksud diharapkan dapat mendukung
kawasan, yang mana pembangunannya berupa tanggul, dan melingkar disepanjang
wilayah perairan Kota Raha. Dengan adanya jalan tersebut, maka diharapkan
seluruh kegiatan pada wilayah pantai kota raha dapat terkoneksi. Antara
pelabuhan dengan kawasan olahraga dapat terhubung oleh jalan yang baru, selain
itu jalan tersebut juga dapat menghubungkan pasar dengan pelabuhan.
Berdasarkan Pedoman
Pengembangan Reklamasi Pantai dan Perencanaan Bangunan Pengamanannya (2004),
reklamasi pantai adalah meningkatkan sumberdaya lahan dari yang kurang
bermanfaat menjadi lebih bermanfaat ditinjau dari sudut lingkungan, kebutuhan
masyarakat dan nilai ekonomis.
Sedangkan pada
tahun berikutnya, yaitu tahun 2005, kembali disusun sebuah pedoman baru yang
lebih terperinci yang mendefenisikan reklamasi secara lebih teknis. Reklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang, dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (Pedoman Reklamasi di Wilayah
Pesisir).
Pada 2 defenisi
sebelumnya, tidak ada kata yang tegas mengaitkan reklamasi dengan kata
penimbunan wilayah perairan. Hal itu terjadi setelah dikeluarkannya Peraturan
Menteri Perhubungan 52 Tahun 2011, yang menyebutkan bahwa, reklamasi adalah
pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir, yang mengubah garis pantai dan atau
kontur kedalaman perairan.
Artinya, sebelum
tahun 2011 atau dikeluarkannya PermenHub No.52 2011, reklamasi baru akan
dilakukan apabila wilayah perairan atau wilayah pesisir dianggap kurang
bermanfaat. Tentu saja, kalimat Kurang bermanfaat yang dimaksud memiliki arti
yang luas. Karenanya, Pemerintah Kab. Muna dapat menggunakan hal itu, untuk
memberi arti kurang bermanfaat pada pesisir pantai sebelumnya dan kemudian
melakukan reklamasi.
Saat ini tahun 2019,
apabila dihitung sejak dilaksanakan Porda di Kab.Muna (2007), maka reklamasi
pantai Kota Raha telah berusia 12 tahun. Di usianya yang ke-12 ini, tidak
tampak sama sekali kegagalan konstruksi pada kawasan reklamasi. Masjid Al
Munajad yang merupakan peninggalan bupati 2 periode sebelumnya, telah
diselesaikan pengerjaannya dan sudah digunakan untuk kegiatan-kegiatan
keagamaan. Begitupun dengan Kawasan SOR (Sarana Olahraga) Laode Pandu yang
didalamnya terdapat Gedung Serbaguna dan kolam renang, telah dinikmati oleh
masyarakat.
Tak jarang, kawasan
olahraga/Sor ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain yang dapat menimbulkan
keramaian. Kami sendiri punya jadwal bermain futsal di sana, dan itu rutin kami
lakukan dalam tiap minggu, kecuali gedung dipakai untuk acara pernikahan atau
acara-acara lainnya.
Dalam beberapa
tahun terakhir, Kawasan ini telah tumbuh menjadi pusat aktifitas baru
masyarakat Kota Raha. Dipagi hari cukup ramai oleh orang-orang yang berenang,
kebanyakan dari mereka adalah orang tua atau yang telah lanjut usia. Sepertinya
mereka sedang melakukan terapi air laut, karena hampir setiap pagi dalam setiap
minggu mereka selalu terlihat berendam di air laut.
Banyak yang bilang,
kalau air laut dapat menyembuhkan beberapa masalah kesehatan, seperti ;
penyakit kulit, memperlancar peredaran darah, menyembuhkan gangguan pernapasan
dan menjaga kebugaran. Dari sebuah sumber, dikatakan bahwa terapi air laut
pertama kali dilakukan oleh Hippocrates pada abad ke-4 sebelum masehi. Oleh
bapak kedokteran modern ini kemudian disebut "Thalasso Theraphy",
yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai terapi yang menggunakan air laut.
Boleh dikata,
reklamasi turut membantu mereka memperoleh kesehatan. Jalan baru yang dibuat
dengan menimbun laut, kemudian merubah garis pantai Kota Raha. Akibatnya, titik
surut air yang sebelumnya cukup jauh, kini tak adalagi dan masyarakat dapat
menikmati laut dari jarak yang sangat dekat. Sedangkan disore hari, kawasan ini
bertambah ramai oleh pengunjung. Karenanya Pemerintah juga menyiapkan fasilitas
peristrahatan dipinggir laut, dari sini pengunjung dapat menikmati meminum
saraba dan makan gorengan dipinggir laut.
Deburan ombak kecil
yang kadang datang menghantam tanggul, diiringi angin yang berbisik dengan
lembut ditelinga, seolah menyampaikan pesan kalau besok lusa silakan datang
lagi. Semakin malam, suasana menjadi kian romantis. Dibawah lampu jalan yang
coba memberi cahaya pada gelapnya pantai, pohon kelapa tersipu, karena sedari
sore selalu dipeluk oleh pemburu selfie.
Harus diakui bahwa
reklamasi telah membawa perubahan pada masyarakat Kota Raha. Namun ada
konsekuensi yang harus diterima dalam setiap pembangunan, tak terkecuali
Reklamasi pantai Kota Raha. Berdasarkan sistem yang digunakan, Reklamasi Pantai
Kota Raha menggunakan sistem urugan tuk Kawasan Masjid dan Kawasan Sor,
sedangkan dalam pengelolaan air lautnya menggunakan sistem polder.
Sistem polder
digunakan untuk mengatur tinggi muka air didalam kawasan, agar supaya tidak
ikut kering saat air laut surut. Sistem
ini digunakan karena disepanjang pantai Kota Raha terdapat 7 muara sungai,
mengurug keseluruhan sama saja dengan menutup aliran air menuju laut.
Namun demikian,
bukan berarti sistem itu dapat menyelesaikan masalah lainnya. Dari 7 muara
sungai, semuanya membawa sampah dalam jumlah yang cukup besar dan dari berbagai
jenis. Pengelolaan sampah yang buruk di Kota Raha, membuat sungai menanggung
beban pencemaran yang sangat tinggi. Dan pada akhirnya, lautpun akan menanggung
beban serupa. Ketika laut tercemar oleh sampah, maka laut akan berubah menjadi
tempat yang tidak nyaman lagi buat ikan dan biota laut lainnya.
Ada hal yang
kontras apabila melihat kedua sisi kawasan reklamasi. Sisi timur merupakan sisi
yang berbatasan dengan laut, sisi ini memiliki pemandangan laut yang tenang,
menghadap ke seberang kearah pegunungan yang hijau menjulang. Pegunungan yang
bersusun rapi akan terlihat seperti tembok besar cina, yang kan selalu siap
menjadi tameng dari ganasnya ombak laut banda.
Sebaliknya, disisi
barat yang merupakan baypass, memperlihatkan kondisi yang sangat bertolak
belakang. Sampah berserakah diperairan, bukan mengapung tapi sedikit tenggelam,
karena mereka hampir kalah oleh lumpur hitam yang menumpuk didasar dan telah
membuat dangkal perairan.
Pada bagian lain,
sampah yang tercecer dan menumpuk sejak lama, ikut membuat warna air berubah
menjadi kehitaman, tentu saja disertai bau busuk yang sangat menyengat. Ini
terjadi dijalan masuk Sor laode pandu, kondisi itu telah berlangsung lama sejak
bulan 12 tahun 2018 lalu, dan sampai saat ini belum berubah. Meskipun beberapa
waktu lalu dilakukan pembersihan, berupa pengerukan lumpur dan sampah
menggunakan eskavator, bau busuk dan pencemaran yang terlanjur terjadi belum
dapat teratasi.
Yang paling
mengkhawatirkan dari itu semua adalah keberadaan Rumah Sakit Umum, yang belum
selesai pembangunannya tapi sudah mulai digunakan. RSU ini letaknya tidak
begitu jauh dari pantai, dan pada kedua sisinya terdapat sungai yang langsung
bermuara ke laut.
Pengolahan limbah
Rumah Sakit akan menjadi perhatian yang sangat besar, karena dapat merusak
lingkungan dan imbasnya akan sampai merusak lingkungan perairan. Kegiatan Rumah
Sakit akan menghasilkan limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun), yang berasal dari
; pembuangan bekas jarum suntik, bekas jarum infus, botol obat-obatan, perban
bekas, darah maupun bagian tubuh pasien, dan peralatan bekas alat2 kesehatan. Limbah
B3 apabila bertemu tanah maka akan mencemari tanah tersebut, hal itu juga berlaku
pada air dan juga udara.
Lalu apa hubungannya
dengan air laut?. Meskipun menggunakan sistem polder, namun air dari sungai dan
air laut yang masuk kedalam kawasan akan bercampur pada 1 wadah. Air dalam
kawasan akan bercampur dengan air laut disaat pasang, dan akan ikut keluar
kelaut melewati pintu air ketika air laut mulai surut. Terdapat 2 pintu air
didekat masjid Al Munajad dan 2 pintu air di arena dayung. Area didepan masjid
Al Munajad merupakan titik paling sering menjadi tempat orang-orang berenang
dan berendam, maka titik ini merupakan area paling rawan bagi masyarakat.
Kabupaten Muna kini
lebih maju, pembangunan fasilitas publik mulai kelihatan. Kapal-kapal besar
lebih sering keliatan di Pelabuhan, membawa kontainer dengan warna merah-putih
hampir setiap minggunya. Pelabuhan Feri yang baru sebentar lagi beroperasi.
Yang paling diharapkan, tentu saja supaya sektor Pariwisata lebih digenjot,
dengan target wisatawan Nasional dan Mancanegara.
0 comments:
Posting Komentar