Jumat, 19 Oktober 2012

Peradaban Kota


Ibn Khaldun, salah satu ilmuwan klasik Islam yang paling banyak dibicarakan di era modern. Muqaddimah-nya menjadi trademark baginya. Para ahli terpecah menjadi dua ketika menyematkan atribut pengasas atau peletak dasar sebuah bidang ilmu baru. Satu golongan menisbatkan pengasas ilmu sosiologi kepadanya, para penisbat ini sebagian besarnya adalah tokoh muslim dan atau arab. Sedang golongan lain menyebut Ibn Khaldun sebagai peletak dasar filsafat sejarah. 


Terlepas dari nuansa defensif penyebutan Ibn Khaldun sebagai penemu sosiologi atau menyebut dia sebagai peletak dasar filsafat sejarah, Ibn Khaldun sendiri menyebut ilmu penemuannya sebagai ‘ilm al umran (ilmu peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena peradaban (sosial budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun ‘ilm al umran ini berfungsi sebagai alat bantu bagi sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat sejarah (dalam terminologi modern).

Ibn Khaldun menyatakan bahwa sejarah pada hakikatnya adalah catatan mengenai umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada watak masyarakat (peradaban) itu. Manusia bersifat madaniyah (politis, sipil) menurut tabiatnya, karenanya ia membutuhkan organisasi sosial. Perbedaan organisasi sosial manusia adalah akibat perbedaan cara memperoleh penghidupan (ekonomi). Perbedaan cara memperoleh penghidupan berkembang seturut waktu (berubah). Sehingga organisasi sosial manusia (masyarakat) berbeda-beda dan mengalami perubahan. Masyarakat nomadik (badawah, badui, pengembara, rural, desa) adalah organisasi sosial awal. Mereka mencukupkan diri menurut kebutuhan primer mereka. Jika kebutuhan mendasar ini terpenuhi barulah mereka mencari kemewahan, hidup enak. Kemudian berlangsunglah urbanisasi (tamadun), peng-kotaan. Secara etis golongan pengembara lebih berani, lebih baik dibandingkan penduduk kota. Kondisi sosial perkotaan membentuk kecenderungan untuk bertindak korup. Dari sisi etis, proses urbanisasi adalah degradatif.

Konsep kunci yang diajukan Ibn Khaldun untuk memahami proses perubahan masyarakat adalah ashabiah (solidaritas sosial atau kohesi sosial). Solidaritas sosial (ashabiah) ini menyatukan orang untuk meraih tujuan yang sama, juga untuk mengendalikan masyarakat. Ashabiah terbentuk pada awalnya dari pertalian darah. Tetapi ia juga terbentuk dari perserikatan, persekutuan dan kesetian sosial. Tujuan ashabiah pada akhirnya adalah tercapainya kedaulatan (al mulk, otoritas politik). Sebuah kedaulatan dijaga tegaknya oleh ashabiah. Setelah kedaulatan dicapai, ashabiah bisa ditinggalkan, karena kedaulatan politik kemudian menjadi sesuatu yang given bagi masyarakat kemudian.

Kemenangan pada perbenturan antar golongan bergantung solidaritas sosial, ashabiah. Golongan yang ditaklukkan cenderung meniru budaya para penakluk. Masyarakat pengembara, badui dapat mencapai kedaulatan hanya melalui agama. Agama berfungsi untuk menundukkan karakter psikologi badawah (nafsu, irihati, kebrigasan, kekerasan, dsb). Tetapi dakwah keagamaan juga membutuhkan solidaritas sosial untuk berhasil.

Puncak kedaulatan, sebagai tujuan solidaritas sosial adalah negara. Negara akan memiliki wilayah luas dan kedaulatan yang kuat jika mendasarkan pada agama. Merupakan watak alami negara memusatkan kekuasaan pada tangan satu orang (golongan), juga merupakan watak alami negara menimbulkan kemewahan dan menumbuhkan sifat menurut dan malas. Pemusatan kekuasaan pada satu tangan dan meratanya kemewahan dan sifat malas merupakan indikasi kehancuran negara.

Negara memiliki umur, sebagaimana manusia. Siklus negara terdiri dari tiga generasi.
  1. Generasi pertama hidup dalam badawah yang keras dan jauh dari kemewahan, penuh dengan watak positif pengembara, ashabiah yang menyatukan masyarakat sangat kokoh dan memberi kekuatan dan kesanggupan untuk menguasai bangsa lain.
  2. Generasi kedua, generasi ini berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, terjadi peralihan dari badawah kepada hadharah (kota). Kemewahan mulai muncul, rasa puas dengan apa yang dimiliki melonggarkan ashabiah. Rasa rendah dan suka menyerah juga mulai tampak.
  3. Generasi ketiga, generasi ini telah lupa pada peringkat hidup nomadik dan hidup kasar. Kemewahan telah merusak, karena besar dalam hidup yang senang dan gampang. Pada generasi ketiga ini negara mulai meluncur turun. Hingga nantinya negara hancur.

Kehancuran sebuah negara menjadi titik anjak munculnya negara baru. Negara baru ini tidak dibangun dari nol. Tetapi berdasar pada pencapaian-pencapaian negara sebelumnya (yang telah hilang dari putaran sejarah). Kemudian siklus dimulai kembali. Pola siklus yang sama dengan tingkat peradaban negara yang berbeda-beda. Jadi pola siklus tidak melingkar, namun spiral.
Bagi Bennabi siklus hidup sebuah organisasi sosial manusia (masyarakat) adalah valid, namun Bennabi menilai Ibn Khaldun membatasi penerapannya pada konteks negara. Padahal menurut Bennabi siklus hidup ini juga valid untuk organisasi yang lebih luas, kompleks dibanding sekedar entitas negara, yaitu peradaban. Teori tiga generasi Ibn Khaldun, berlangsung umumnya 120 tahun, dinilai valid oleh para ahli hanya untuk negara-negara arab dan barbar pada satu periode sejarah (masa-masa Ibn Khaldun dan sebelumnya).
Dari keterangan di atas konsep yang menarik juga adalah dialektika yang dimainkan oleh sisi interior dan eksterior peradaban (menggunakan terminologinya Guizot). Etika menentukan perkembangan organisasi sosial mansyarat, kemudian organisasi sosial masyarakat yang berkembang juga memberikan pengaruh kepada etika individu. Etika tertentu, semisal keberanian, kejujuran, kebaikan mempengaruhi pembentukan negara pada tahap awalnya, kemudian pada tahap ketika negara sudah terbentuk dimana kondisi ekonomi-sosil mencapai kemakmuran, sisi etika individu umumnya terpengaruh menjadi mudah korup, menggampangkan, cenderung bermewah-mewah; yang bisa memicu krisis yang menstimulasi keruntuhan.
Catatan Rujukan
Beberapa buku pengatar tentang Ibnu Khaldun tersedia dalam bahasa Indonesia. Ibnu Khaldun, Riwayat dan Karyanya; karangan Ali Abdulwahid Wafi, terbitan Grafiti Press (1985) memberikan gambaran biografis yang detail dan deskripsi komparatif mengenai Ibnu Khaldun dan tokoh sosiologi modern (Comte terutama). Penulisnya menyimpulkan Ibnu Khaldun lebih layak disebut sebagai bapak sosiologi daripada Comte. Disisi lain, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun karangan Zaenab al-Khudhairi terbitan Pustaka (1987) menempatkan Ibnu Khaldun sebagai filsuf sejarah, bahkan dalam studinya Zaenab menekankan interpretasi ekonomis (untuk menggatikan interpretasi materialistik yang berkonotasi metafisis) terhadap sejarah.
Cuplikan teks-teks dari Mukaddimah yang diseleksi dan dikelompokan secara tematik (sangat membantu memahami Muqaddimah) bisa ditemukan di buku karangan Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terjemahan dari An Arab Philosophy of History, Selection from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis, diterjemahkan oleh Mukti Ali (pernah menjabat sebagai menteri agama RI 1971-1978), diterbitkan oleh Tintamas (1972). Terjemahan Muqaddimah dalam bahasa Indonesia (oleh Ahmadie Thaha, ia juga penerjemah bukunya Ali Wafi tersebut di atas) diterbitkan oleh Pustakan Firdaus (1986), sekarang sudah ada cetakan barunya. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal dan beberapa buku dalam format elektronik (termasuk karya asli dalam bahasa Arab) bisa didapatkan di www.muslimphilosophy.com

0 comments: