Saya memulai
membangun usaha pada tahun 2002. Waktu itu saya merasa sudah cukup menjalani
karir di bidang perbankan dan kemudian teknologi informasi. Dengan penuh rasa
percaya diri, penuh keyakinan, dengan restu orang tua, dukungan istri, dukungan
keluarga, teman dan segenap handai taulan, berdirilah perusahaan saya. Yang
kemudian ternyata “failure to launch”.
Ya, ibarat mencoba meluncurkan Apollo ke Bulan, boro-boro sampai bulan. Mesin nya saja gak langsung nyala. Masih untung gak sampai meledak.
Tapi itu dulu … Alhamdulillah sekarang usaha IT yang saya tekuni relatif berjalan dengan baik. Ini yang membuat saya sering ditodong berbagi pengalaman. Tentu banyak sekali pengalaman yang bisa dibagikan. Baik pengalaman yang indah maupun tidak indah untuk dikenang. Kalau mau diceritakan satu persatu, mungkin bisa jadi novel. Hari ini, saya ingin share 8 hal yang menurut saya harus diperhatikan oleh siapapun yang sedang memulai usaha nya sendiri. Ini bukan dari teori, bukan dari buku, tapi saya ambil dari pengalaman saya sendiri.
1. Ide Harus Besar, Tapi Tetap Membumi
Sewaktu memulai usaha, terus terang saya dan rekan-rekan saya memiliki segudang ide besar. Yang mungkin saking besar nya, tidak cukup realistis dengan kenyataan di pasar. Produk yang kami bawa memang bagus secara teknologi, tapi hampir-hampir tidak bisa dijual. Memiliki ide besar boleh, tapi jangan sampai melupakan realitas pasar, karena ujung-ujung nya kita harus menjual sesuatu.
Untuk tidak mengulang kesalahan semacam itu, paling tidak kita harus memperhatikan:
Pertama: Apa sebenarnya produknya? Menjawab ini saja bagi saya dulu, kadang sulit. Mungkin saking ingin menerapkan prinsip “apa lu mau gua ada”, sampai-sampai sosok “binatang” nya apa tidak jelas. Dari A – Z ingin di cover semua, sampai bingung sendiri kalau harus diceritakan ke calon pelanggan. Kalau kita saja bingung, gimana yang mau beli?
Kedua: Produk ini mau dijual kesiapa? Siapa yang memerlukan? Kadang-kadang kami di bidang IT saking asik nya menciptakan produk dengan teknologi terkini, sampai lupa siapa sebenarnya yang memerlukan produk ini. Kami mencipta karena kami bisa, bukan karena ada pihak yang memerlukan.
Ketiga: Kira-kira berapa nilai pasarnya? Wah, musti riset pasar? Iya, tapi bisa riset pasar kecil-kecilan, tanpa bayar konsultan. Artinya, secara sederhana kita bisa mengukur sendiri, pihak yang memerlukan produk yang kita jual, sebenarnya bersedia membayar berapa. Jangan-jangan butuh sih butuh, tapi kalau disuruh beli tidak mau. Dan selanjutnya kita juga perlu tahu ada berapa banyak potensi pelanggan di area yang jadi sasaran kita.
Keempat: Bagaimana persaingannya? Siapa saja pemain lama yang lebih dulu ada. Seberapa banyak mereka menguasai pasar yang jadi sasaran tadi. Apakah pasarnya tetap, berkembang, atau malah sedang menyusut.
Kelima: Mengapa produk kita lebih baik dibanding produk pesaing? Apa keunikan-nya? Apa kelebihannya? Apa USP nya? dsb. Bagaimana strategi kita untuk membawa produk kita ke pasar tadi. Apa irresistible sensational offer yang ingin kita sampaikan ke pelanggan potensial kita?
Kelima hal tadi kalau Anda tulis, sudah sama isinya dengan rencana pemasaran. Memang tidak canggih, tapi cukup untuk membumikan ide besar kita.
2. “Isi” Lebih Penting dari “Bungkusan”
Lho bukannya sudah jelas? Kalau makan Duren, mending isinya apa kulitnya? Ya tentu isi nya. Untuk kasus Duren sepertinya jelas. Nah, tapi bagi para pebisnis pemula, godaannya justru seringkali adalah bagaimana memiliki bungkusan yang bagus, entah ada isi nya atau tidak.
Sewaktu baru mendirikan usaha, saya memiliki pemahaman, bahwa yang namanya usaha, kantor, harus langsung dilengkapi infrastruktur yang lengkap. Sekalipun baru berdiri. Yang penting bungkusnya dulu.
Tidak ada yang salah sebenarnya, apabila usaha nya berjalan dengan baik. Tapi dalam kasus saya dulu, karena revenue tak kunjung tiba, sementara “tongkrongan” kantor sudah terlanjur keren, kemana-mana pake jas. Malah jadi mirip main kantor-kantor-an … hehehe.
Saya belajar bahwa ternyata percuma buang-buang resources demi “bungkusan”, kalau tidak ada isi nya. Jangan sampai perusahaan seolah menjadi bungkusan besar, padahal isi nya tidak ada. Kantor nya bagus, karyawan banyak, bos nya naik mercy semua. Tapi revenue nya secara konsisten selalu kecil. Ya percuma. Sebaliknya, tanpa memaksakan diri untuk “main kantor-kantoran”, bungkusan toh akan membesar sendiri ketika isi nya memang sudah besar. Tanpa perlu kita paksakan.
3. Modal tidak Selalu Berupa Uang
Pertanyaan klasik yang selalu disampaikan dalam setiap diskusi yang pernah saya lakukan adalah: “Bagaimana memulai usaha, sementara saya tidak punya modal.” Atau “Bagaimana mau memulai, Saya tidak punya uang?”
Setelah menjalani usaha, Anda akan paham bahwa modal awal tidak selalu berupa uang. Dalam pengalaman saya, ketika saya mencoba menginvestasikan segenap sumber-daya keuangan yang saya miliki, sampai habis-habis an, ternyata usaha yang saya rintis malah tidak menghasilkan. Mungkin karena sebagian besar habis untuk main kantor-kantoran tadi. Tapi justru pada saat saya kehabisan sumber-daya uang, dan tinggal mengandalkan sumber-daya ide dan jaringan kerja, usaha saya malah mulai berjalan.
Jadi menurut saya modal utama yang harus dimiliki adalah idea atau gagasan. Dan ide ini diproduksi oleh otak kita sendiri, gratis. Kalau Anda saat ini belum punya ide, tidak apa2. Masih punya otak kan? Karena selama masih punya otak, ide nanti akan dating sendiri, tentunya kalau kita stimulasi terus menerus melalui baca buku, diskusi dan brainstorming dengan teman-teman. Kalau setelah di cek ternyata otak juga sudah tidak punya, nah itu soal lain.
Saya percaya kalau sebuah ide terbukti dapat menghasilkan uang, maka dengan sendiri nya akan menarik hal-hal lain untuk mendukungnya. Termasuk menarik pemilik modal berupa uang yang kita perlukan.
Nah, dengan demikian kita juga harus punya skill untuk menjual gagasan. Ide atau gagasan tadi harus kita sampaikan kepada orang yang tepat, dengan cara yang tepat, pada waktu yang tepat. Jadi kalau mau mulai usaha harus terbiasa menyampaikan gagasan secara lisan, tertulis ataupun melalui demo. Ini skill yang tidak mudah, tapi bisa dilatih dan dipelajari.
4. Anda Bukan Superman
Mungkin saja, di tempat kerja sebelumnya kita dikenal memiliki keahlian teknis yang baik. Bisa jadi kita adalah engineer dengan segudang keahlian dan sertifikasi di tangan. Tapi seorang teknisi yang baik, seandainya kemudian diminta untuk duduk di jajaran management, belum tentu akan menjadi manager yang baik.
Sebagai manager, bukan lagi skill teknis yang harus dikuasai, namun lebih banyak strategi dan taktik bagaimana bisa mendapat hasil melalui orang lain. Namun, manager yang baik belum tentu bisa menjadi pewirausaha yang baik juga. Karena sebagai pewirausaha, tidak lagi bagaimana mengurus hari ini, tapi harus berorientasi masa depan, lebih banyak berurusan dengan visi, mau dibawa kemana perusahaan.
Programmer yang hebat, tidak selalu adalah seorang project manager yang hebat juga, project manager yang sukses dalam berbagai implementasi, belum tentu akan menjadi pewirausaha handal. Ketiganya adalah sosok berbeda. Dan jika Anda tidak bisa menjadi ketiganya, maka Anda butuh orang lain untuk menjadi partner usaha Anda. Kalau Anda jago dibidang pengembangan, dan hanya mau bekerja dalam hal pengembangan, maka Anda butuh partner yang menguasai pengelolaan sumber daya, pemasaran, keuangan, dsb.
Berpartner dalam usaha tidak mudah. Usaha pertama saya, yang didirikan oleh empat partner, tidak berjalan dengan baik. Kami memutuskan berpisah di depan. Karena sungguh sulit menyatukan ide 4 kepala.
Untuk bisa berjalan dengan baik, kata kunci nya adalah adanya rasa saling percaya (“trust”), dan toleransi. Toh kita bukan Superman. Kita bukan manusia sempurna, maka kita juga harus bisa menerima ketidak-sempurnaan partner kita.
5. Manfaatkan Jaringan
Yang saya lupakan pada tahap awal membangun usaha adalah kedekatan dengan jaringan kerja. Padahal, dikemudian hari terbukti, jaringan adalah modal yang sangat berharga.
Pertama, kita harus mengenal komunitas pelanggan kita. Kalau perlu hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka, jika ada. Berinteraksi dengan intens dengan mereka. Supaya kita dapat memahami “what’s hot” dan dapat segera merespon dengan produk atau solusi yang kita tawarkan.
Kedua, kita juga harus dikenal dikalangan usaha sejenis. Penting untuk eksis dan dikenal oleh perusahaan-perusahaan sejenis, terutama yang sudah lebih dulu maju. Kita harus bersikap kooperatif, bukan kompetitif. Kalau keahlian kita sudah dikenal, jangan heran, seringkali pekerjaan-pekerjaan penting bisa datang dari kerjasama dengan perusahaan sejenis.
Ketiga, kita juga harus eksis dimata pemilik modal. Apakah itu bank, lembaga keuangan, ataupun pribadi-pribadi yang punya uang tapi bingung mau bisnis apa. Track record kita dimata mereka harus baik. Pada masa pertumbuhan, dukungan mereka akan penting.
Keempat, kita juga harus dekat dengan pihak-pihak yang berpotensi membantu pemasaran produk kita. Apakah itu sebagai partner, agent atau reseller.
Kelima, kalau kita memerlukan produk dari pihak ketiga, maka kita harus dekat dengan jaringan supplier. Jika ada, maka bagus lagi masuk dalam komunitas supplier, sehingga kita tidak bergantung pada satu pihak saja.
6. Jangan Malu Untuk “Narsis”
Banyak teman pelaku usaha IT yang saya tahu sangat hebat dalam menciptakan produk. Sayangnya mereka terlalu “malu-malu kucing”. Nah, kalau sudah menjadi pewirausaha, saatnya untuk “narsis-narsis macan”.
Bagaimana orang tahu Anda punya produk hebat, kalau Anda simpan untuk diri sendiri. Tampilkan diri Anda dan produk Anda, supaya dikenal. Dengan demikian Anda sudah membantu mempermudah hidup orang yang sedang mencari produk Anda.
Tidak perlu iklan yang mahal. Rajin-rajin lah berbagi tentang apa yang Anda sukai. Baik secara offline maupun online. Rajinlah menulis, berkomentar di milis, dan berbicara tentang topik yang Anda kuasai, terkait bisnis Anda. Bagikan ilmunya secara gratis, tidak usah terlalu memikirkan uangnya dulu. Setelah Anda mendapatkan atensi dan reputasi, maka uang akan mengikuti.
7. Tetap fleksibel
Selama perjalanan Anda dalam berbisnis, tetaplah fleksibel. Memang Anda disarankan untuk merumuskan tujuan yang jelas, sehingga tahu persis aksi apa yang harus dilakukan. Namun tujuan bukanlah peta mati yang membatasi gerak Anda. Lebih sesuai kita sebut tujuan tadi adalah kompas yang menunjuk kemana Anda akan menuju. Jika di tengah jalan ada kejutan? Ya, improvisasi-lah.
Pada waktu memulai usaha IT, saya berniat berjualan system untuk remote trading. Eh ternyata gagal. Kemudian, sempat membangun visi untuk menjadi penyedia solusi mobile. Kurang greng. Memposisikan sebagai web application developer, lumayan, tapi sedikit “kurang gizi”. Maklum baru nyari bentuk. Ketika ada peluang masuk ke market IT Service Management dan IT Asset Management, dan kita coba. Ternyata berjalan. Dan segala rintisan yang sudah dijalani pun seperti menemukan momentum.
Bisnis memang lebih banyak kejutan, dibanding peristiwa “sesuai scenario”. Coba kalau saya “fanatik” hanya mau jualan solusi remote trading, misalnya. Demi visi, cita-cita, dan tujuan sakral yang tdk boleh diganggu gugat misalnya. Entah apa yang akan terjadi. Saya memutuskan tujuan menjadi guide saya, tanpa menolak peluang yang hadir ditengah perjalanan.
8. Think Big – Start Small – Act Now.
Punya rencana besar kalau tidak dilaksanakan percuma. Saya dulu sempat dikenal sebagai tukang bikin rencana. Mudah sekali saya memunculkan ide-ide bisnis. Yang tidak satupun saya kerjakan.
Sampai suatu hari ada teman mengingatkan. Stop berwacana. Kerjakan. Nah, ini yang bikin bingung. Memang kalau mau dikerjakan semua jadi bingung. Maka cita-cita besar kita harus coba dipecah dalam rencana-rencana kecil. Dan yang kecil-kecil ini dulu yang kita kerjakan.
Ingin punya online store buku nomer satu di Indonesia? Sebuah cita-cita besar. Tapi langkah pertamanya apa? Karena online store Anda tidak bisa tiba2 muncul begitu saja. Anda bisa pecah dalam “start small”. Menyusun catalog buku yang akan dijual? Merancang tampilan? Memilih aplikasi online store yang cocok? Membeli domain? Memesan hosting? Dan sebagainya. Ketika dipecah menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil, semua jadi masuk akal untuk dikerjakan.
Nah, kapan mulainya? Ya sekarang! Semua bisa dikerjakan sekarang. Belum punya uang untuk beli domain, bisa merancang tampilan dulu. Belum bisa aplikasi online store, bisa belajar dulu, dsb. Jadi, Think Big – Start Small – Act Now!
Lalu, mengapa masih membaca tulisan saya ini. Ayo mulai kerjakan sekarang!
(*) Tulisan ini adalah rangkuman materi yang saya sampaikan pada Seminar penutupan Program Pemagangan untuk SDM IT yang diselenggarakan RICE dan PT.INTI di Bandung 8 Oktober 2009.
Ya, ibarat mencoba meluncurkan Apollo ke Bulan, boro-boro sampai bulan. Mesin nya saja gak langsung nyala. Masih untung gak sampai meledak.
Tapi itu dulu … Alhamdulillah sekarang usaha IT yang saya tekuni relatif berjalan dengan baik. Ini yang membuat saya sering ditodong berbagi pengalaman. Tentu banyak sekali pengalaman yang bisa dibagikan. Baik pengalaman yang indah maupun tidak indah untuk dikenang. Kalau mau diceritakan satu persatu, mungkin bisa jadi novel. Hari ini, saya ingin share 8 hal yang menurut saya harus diperhatikan oleh siapapun yang sedang memulai usaha nya sendiri. Ini bukan dari teori, bukan dari buku, tapi saya ambil dari pengalaman saya sendiri.
1. Ide Harus Besar, Tapi Tetap Membumi
Sewaktu memulai usaha, terus terang saya dan rekan-rekan saya memiliki segudang ide besar. Yang mungkin saking besar nya, tidak cukup realistis dengan kenyataan di pasar. Produk yang kami bawa memang bagus secara teknologi, tapi hampir-hampir tidak bisa dijual. Memiliki ide besar boleh, tapi jangan sampai melupakan realitas pasar, karena ujung-ujung nya kita harus menjual sesuatu.
Untuk tidak mengulang kesalahan semacam itu, paling tidak kita harus memperhatikan:
Pertama: Apa sebenarnya produknya? Menjawab ini saja bagi saya dulu, kadang sulit. Mungkin saking ingin menerapkan prinsip “apa lu mau gua ada”, sampai-sampai sosok “binatang” nya apa tidak jelas. Dari A – Z ingin di cover semua, sampai bingung sendiri kalau harus diceritakan ke calon pelanggan. Kalau kita saja bingung, gimana yang mau beli?
Kedua: Produk ini mau dijual kesiapa? Siapa yang memerlukan? Kadang-kadang kami di bidang IT saking asik nya menciptakan produk dengan teknologi terkini, sampai lupa siapa sebenarnya yang memerlukan produk ini. Kami mencipta karena kami bisa, bukan karena ada pihak yang memerlukan.
Ketiga: Kira-kira berapa nilai pasarnya? Wah, musti riset pasar? Iya, tapi bisa riset pasar kecil-kecilan, tanpa bayar konsultan. Artinya, secara sederhana kita bisa mengukur sendiri, pihak yang memerlukan produk yang kita jual, sebenarnya bersedia membayar berapa. Jangan-jangan butuh sih butuh, tapi kalau disuruh beli tidak mau. Dan selanjutnya kita juga perlu tahu ada berapa banyak potensi pelanggan di area yang jadi sasaran kita.
Keempat: Bagaimana persaingannya? Siapa saja pemain lama yang lebih dulu ada. Seberapa banyak mereka menguasai pasar yang jadi sasaran tadi. Apakah pasarnya tetap, berkembang, atau malah sedang menyusut.
Kelima: Mengapa produk kita lebih baik dibanding produk pesaing? Apa keunikan-nya? Apa kelebihannya? Apa USP nya? dsb. Bagaimana strategi kita untuk membawa produk kita ke pasar tadi. Apa irresistible sensational offer yang ingin kita sampaikan ke pelanggan potensial kita?
Kelima hal tadi kalau Anda tulis, sudah sama isinya dengan rencana pemasaran. Memang tidak canggih, tapi cukup untuk membumikan ide besar kita.
2. “Isi” Lebih Penting dari “Bungkusan”
Lho bukannya sudah jelas? Kalau makan Duren, mending isinya apa kulitnya? Ya tentu isi nya. Untuk kasus Duren sepertinya jelas. Nah, tapi bagi para pebisnis pemula, godaannya justru seringkali adalah bagaimana memiliki bungkusan yang bagus, entah ada isi nya atau tidak.
Sewaktu baru mendirikan usaha, saya memiliki pemahaman, bahwa yang namanya usaha, kantor, harus langsung dilengkapi infrastruktur yang lengkap. Sekalipun baru berdiri. Yang penting bungkusnya dulu.
Tidak ada yang salah sebenarnya, apabila usaha nya berjalan dengan baik. Tapi dalam kasus saya dulu, karena revenue tak kunjung tiba, sementara “tongkrongan” kantor sudah terlanjur keren, kemana-mana pake jas. Malah jadi mirip main kantor-kantor-an … hehehe.
Saya belajar bahwa ternyata percuma buang-buang resources demi “bungkusan”, kalau tidak ada isi nya. Jangan sampai perusahaan seolah menjadi bungkusan besar, padahal isi nya tidak ada. Kantor nya bagus, karyawan banyak, bos nya naik mercy semua. Tapi revenue nya secara konsisten selalu kecil. Ya percuma. Sebaliknya, tanpa memaksakan diri untuk “main kantor-kantoran”, bungkusan toh akan membesar sendiri ketika isi nya memang sudah besar. Tanpa perlu kita paksakan.
3. Modal tidak Selalu Berupa Uang
Pertanyaan klasik yang selalu disampaikan dalam setiap diskusi yang pernah saya lakukan adalah: “Bagaimana memulai usaha, sementara saya tidak punya modal.” Atau “Bagaimana mau memulai, Saya tidak punya uang?”
Setelah menjalani usaha, Anda akan paham bahwa modal awal tidak selalu berupa uang. Dalam pengalaman saya, ketika saya mencoba menginvestasikan segenap sumber-daya keuangan yang saya miliki, sampai habis-habis an, ternyata usaha yang saya rintis malah tidak menghasilkan. Mungkin karena sebagian besar habis untuk main kantor-kantoran tadi. Tapi justru pada saat saya kehabisan sumber-daya uang, dan tinggal mengandalkan sumber-daya ide dan jaringan kerja, usaha saya malah mulai berjalan.
Jadi menurut saya modal utama yang harus dimiliki adalah idea atau gagasan. Dan ide ini diproduksi oleh otak kita sendiri, gratis. Kalau Anda saat ini belum punya ide, tidak apa2. Masih punya otak kan? Karena selama masih punya otak, ide nanti akan dating sendiri, tentunya kalau kita stimulasi terus menerus melalui baca buku, diskusi dan brainstorming dengan teman-teman. Kalau setelah di cek ternyata otak juga sudah tidak punya, nah itu soal lain.
Saya percaya kalau sebuah ide terbukti dapat menghasilkan uang, maka dengan sendiri nya akan menarik hal-hal lain untuk mendukungnya. Termasuk menarik pemilik modal berupa uang yang kita perlukan.
Nah, dengan demikian kita juga harus punya skill untuk menjual gagasan. Ide atau gagasan tadi harus kita sampaikan kepada orang yang tepat, dengan cara yang tepat, pada waktu yang tepat. Jadi kalau mau mulai usaha harus terbiasa menyampaikan gagasan secara lisan, tertulis ataupun melalui demo. Ini skill yang tidak mudah, tapi bisa dilatih dan dipelajari.
4. Anda Bukan Superman
Mungkin saja, di tempat kerja sebelumnya kita dikenal memiliki keahlian teknis yang baik. Bisa jadi kita adalah engineer dengan segudang keahlian dan sertifikasi di tangan. Tapi seorang teknisi yang baik, seandainya kemudian diminta untuk duduk di jajaran management, belum tentu akan menjadi manager yang baik.
Sebagai manager, bukan lagi skill teknis yang harus dikuasai, namun lebih banyak strategi dan taktik bagaimana bisa mendapat hasil melalui orang lain. Namun, manager yang baik belum tentu bisa menjadi pewirausaha yang baik juga. Karena sebagai pewirausaha, tidak lagi bagaimana mengurus hari ini, tapi harus berorientasi masa depan, lebih banyak berurusan dengan visi, mau dibawa kemana perusahaan.
Programmer yang hebat, tidak selalu adalah seorang project manager yang hebat juga, project manager yang sukses dalam berbagai implementasi, belum tentu akan menjadi pewirausaha handal. Ketiganya adalah sosok berbeda. Dan jika Anda tidak bisa menjadi ketiganya, maka Anda butuh orang lain untuk menjadi partner usaha Anda. Kalau Anda jago dibidang pengembangan, dan hanya mau bekerja dalam hal pengembangan, maka Anda butuh partner yang menguasai pengelolaan sumber daya, pemasaran, keuangan, dsb.
Berpartner dalam usaha tidak mudah. Usaha pertama saya, yang didirikan oleh empat partner, tidak berjalan dengan baik. Kami memutuskan berpisah di depan. Karena sungguh sulit menyatukan ide 4 kepala.
Untuk bisa berjalan dengan baik, kata kunci nya adalah adanya rasa saling percaya (“trust”), dan toleransi. Toh kita bukan Superman. Kita bukan manusia sempurna, maka kita juga harus bisa menerima ketidak-sempurnaan partner kita.
5. Manfaatkan Jaringan
Yang saya lupakan pada tahap awal membangun usaha adalah kedekatan dengan jaringan kerja. Padahal, dikemudian hari terbukti, jaringan adalah modal yang sangat berharga.
Pertama, kita harus mengenal komunitas pelanggan kita. Kalau perlu hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka, jika ada. Berinteraksi dengan intens dengan mereka. Supaya kita dapat memahami “what’s hot” dan dapat segera merespon dengan produk atau solusi yang kita tawarkan.
Kedua, kita juga harus dikenal dikalangan usaha sejenis. Penting untuk eksis dan dikenal oleh perusahaan-perusahaan sejenis, terutama yang sudah lebih dulu maju. Kita harus bersikap kooperatif, bukan kompetitif. Kalau keahlian kita sudah dikenal, jangan heran, seringkali pekerjaan-pekerjaan penting bisa datang dari kerjasama dengan perusahaan sejenis.
Ketiga, kita juga harus eksis dimata pemilik modal. Apakah itu bank, lembaga keuangan, ataupun pribadi-pribadi yang punya uang tapi bingung mau bisnis apa. Track record kita dimata mereka harus baik. Pada masa pertumbuhan, dukungan mereka akan penting.
Keempat, kita juga harus dekat dengan pihak-pihak yang berpotensi membantu pemasaran produk kita. Apakah itu sebagai partner, agent atau reseller.
Kelima, kalau kita memerlukan produk dari pihak ketiga, maka kita harus dekat dengan jaringan supplier. Jika ada, maka bagus lagi masuk dalam komunitas supplier, sehingga kita tidak bergantung pada satu pihak saja.
6. Jangan Malu Untuk “Narsis”
Banyak teman pelaku usaha IT yang saya tahu sangat hebat dalam menciptakan produk. Sayangnya mereka terlalu “malu-malu kucing”. Nah, kalau sudah menjadi pewirausaha, saatnya untuk “narsis-narsis macan”.
Bagaimana orang tahu Anda punya produk hebat, kalau Anda simpan untuk diri sendiri. Tampilkan diri Anda dan produk Anda, supaya dikenal. Dengan demikian Anda sudah membantu mempermudah hidup orang yang sedang mencari produk Anda.
Tidak perlu iklan yang mahal. Rajin-rajin lah berbagi tentang apa yang Anda sukai. Baik secara offline maupun online. Rajinlah menulis, berkomentar di milis, dan berbicara tentang topik yang Anda kuasai, terkait bisnis Anda. Bagikan ilmunya secara gratis, tidak usah terlalu memikirkan uangnya dulu. Setelah Anda mendapatkan atensi dan reputasi, maka uang akan mengikuti.
7. Tetap fleksibel
Selama perjalanan Anda dalam berbisnis, tetaplah fleksibel. Memang Anda disarankan untuk merumuskan tujuan yang jelas, sehingga tahu persis aksi apa yang harus dilakukan. Namun tujuan bukanlah peta mati yang membatasi gerak Anda. Lebih sesuai kita sebut tujuan tadi adalah kompas yang menunjuk kemana Anda akan menuju. Jika di tengah jalan ada kejutan? Ya, improvisasi-lah.
Pada waktu memulai usaha IT, saya berniat berjualan system untuk remote trading. Eh ternyata gagal. Kemudian, sempat membangun visi untuk menjadi penyedia solusi mobile. Kurang greng. Memposisikan sebagai web application developer, lumayan, tapi sedikit “kurang gizi”. Maklum baru nyari bentuk. Ketika ada peluang masuk ke market IT Service Management dan IT Asset Management, dan kita coba. Ternyata berjalan. Dan segala rintisan yang sudah dijalani pun seperti menemukan momentum.
Bisnis memang lebih banyak kejutan, dibanding peristiwa “sesuai scenario”. Coba kalau saya “fanatik” hanya mau jualan solusi remote trading, misalnya. Demi visi, cita-cita, dan tujuan sakral yang tdk boleh diganggu gugat misalnya. Entah apa yang akan terjadi. Saya memutuskan tujuan menjadi guide saya, tanpa menolak peluang yang hadir ditengah perjalanan.
8. Think Big – Start Small – Act Now.
Punya rencana besar kalau tidak dilaksanakan percuma. Saya dulu sempat dikenal sebagai tukang bikin rencana. Mudah sekali saya memunculkan ide-ide bisnis. Yang tidak satupun saya kerjakan.
Sampai suatu hari ada teman mengingatkan. Stop berwacana. Kerjakan. Nah, ini yang bikin bingung. Memang kalau mau dikerjakan semua jadi bingung. Maka cita-cita besar kita harus coba dipecah dalam rencana-rencana kecil. Dan yang kecil-kecil ini dulu yang kita kerjakan.
Ingin punya online store buku nomer satu di Indonesia? Sebuah cita-cita besar. Tapi langkah pertamanya apa? Karena online store Anda tidak bisa tiba2 muncul begitu saja. Anda bisa pecah dalam “start small”. Menyusun catalog buku yang akan dijual? Merancang tampilan? Memilih aplikasi online store yang cocok? Membeli domain? Memesan hosting? Dan sebagainya. Ketika dipecah menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil, semua jadi masuk akal untuk dikerjakan.
Nah, kapan mulainya? Ya sekarang! Semua bisa dikerjakan sekarang. Belum punya uang untuk beli domain, bisa merancang tampilan dulu. Belum bisa aplikasi online store, bisa belajar dulu, dsb. Jadi, Think Big – Start Small – Act Now!
Lalu, mengapa masih membaca tulisan saya ini. Ayo mulai kerjakan sekarang!
(*) Tulisan ini adalah rangkuman materi yang saya sampaikan pada Seminar penutupan Program Pemagangan untuk SDM IT yang diselenggarakan RICE dan PT.INTI di Bandung 8 Oktober 2009.
Sumber : http://fauzirachmanto.blogspot.com/
0 comments:
Posting Komentar