Suhrawardî; Grand Master Iluminasi
“Ia (Suhrawardî) termulia [dikalangan Sufi] dengan cerminnya yang berbeda,
[karena] sinar sang Surya telah mewujud dalam [diri]nya,
[terkadang] sinar itu merah, kuning, atau biru.
Tapi semuanya tampak sempurna sebagaimana adanya”
[Al-Jami][2]
“Ia (Suhrawardî) termulia [dikalangan Sufi] dengan cerminnya yang berbeda,
[karena] sinar sang Surya telah mewujud dalam [diri]nya,
[terkadang] sinar itu merah, kuning, atau biru.
Tapi semuanya tampak sempurna sebagaimana adanya”
[Al-Jami][2]
Syihâbu Al-Dîn Yahyâ ibn Habasy ibn Amîrak Abû Al-Futûh Suhrawardî adalah pribadi yang sangat dikenal dalam sejarah filsafat Islam, khusunya ketika ia berhasil mendirikan faham filsafat baru dengan epistemologi yang dikembangkan dari tradisi dan kepercayaan Persia kuno. Filsafat yang dikenal dengan nama Iluminasi (Isyrâq) secara metodologis dan epistemologis sangat berkebalikan dengan pendekatan kaum Peripatetik yang melulu mendahulukan rasio dan memarjinalkan intuisi dan imajinasi yang tersimpan dalam jiwa manusia.
Suhrawardî lahir di kota kecil Suhraward di Persia barat laut, tepatnya pada tahun 549 H/1154 M, saat umat Islam Timur mengalami puncak peperanganan dengan bangsa Mongol di kawasan Azerbaijan.[3] Imbas keadaan itu terjadinya penjamuran gerakan spiritualis yang mencoba menenangkan kejiwaan warga, dan sekaligus menumbuhkan semangat nasionalisme melawan bangsa-bangsa Kolonial. Memang benar, tidak pernah ada peperangan yang memberikan kedamaian, dan penjajahan yang menyisakan ketenangan. Ambisi orang-orang bengis itu, hanya membuahkan derita dan air mata, bagi mereka yang kalah dan kaum kecil yang mengalaminya. Kejamnya bangsa Mongol saat menjajah Muslim Timur diilustrasikan Ibnu Khaldûn dalam Muqadimahnya, sebagai topan yang melanda Baghdad dan sekitarnya, yang menghancurkan sendi-sendi kejayaan Islam, menghitamkan sungai Tigris dan Hulagu dengan tinta dari buku-buku yang dijadikan jembatan. Begitupun komentar Al-Qurthuby saat menafsiri ayat-ayat sifat Ya’zuz-Ma’zuz, yang keduanya digambarkan sebagai bangsa Mongol dan Tartar yang melakukan penyiksaan pada umat Muslim di Timur.
Walaupun demikian adanya, informasi yang diberikan sejarah mengenai perjalanan filosof satu ini (Suhrawardî) relatif komplit dan luas. Meskipun situasi dan kondsisi di sekitar kematiannya tetap menjadi objek spekulasi bagi para sejarahwan yang mengkajinya. Filosof yang dikenal sebagai guru besar Iluminasi, menjalani kehidupannya yang sangat singkat, mungkin sekitar tiga puluh delapan tahun Qomariah, atau kurang lebih; tiga puluh enam tahun Syamsiah. Dan di akhir hayatnya ia menemui kematian yang tragis melalui eksekusi mati di Aleppo (Halab, Suriah) pada tahun 587 H/1191 M, dan karena itulah terkadang ia disebut sebagai Guru Besar yang terbunuh (Al-Syekh Al-Maqtûl).[4]
Lembaran agenda intelektual Suhrawardî diawali dengan belajar filsafat dan teologi pada Majd Al-Dîn Al-Jillî di Maraghah, yang kemudaian dilanjutkan ke Isfahân (Mardîn) untuk belajar kepada Fakhr Al-Dîn Al-Mardanî, yang konon pada pandangan pertamanya telah meramalkan kematian—tragis—Suhrawardî. Setelah beberapa tahun belajar bersama Al-Mardanî, Suhrawardî merasakan kemapanan di jenjang awal ilmu filsafat dan teologinya, yang kemudian meminta izin intuk melanjutkan pengembarannya bersama Zahir Al-Farsî ke seorang tokoh logikawan besar, ‘Umar ibn Sahlan Al-Shawî (w. 594 H/1198 M).[5] Dan darinyalah Suhrawardî mempelajari logika super pada mahakaryanya Al-Bashâir. Sebuah karya penting yang berhasil membentuk logika visi Iluminasi, yang secara global telah menyimpang dari pembagian logika Aristoteles—logika sembilan—dalam bukunya Organon. Dalam buku tersebut Aristoteles hanya mengakui dua bentuk logika saja; logika formal dan logika material. Sedangkan formasi baru yang ditawarkan Suhrawardî menggunakan sistem yang lebih sederhana, dan membagi logika pada tiga bagiannya; simantik, logika formal dan logika material.[6]
Kesempurnaan intelektual berhasil diraihnya dalam waktu singkat, sehingga pada umur tiga puluh tahun ia telah menuntaskan karya filsafatnya yang lain Al-Masyâri wa Al-Muthârahât yang diselesaikan pada 579 H/11883 M.[7] Adapun karya-karyanya yang lain disusun dalam bentuk risalah (surat) selama sepuluh tahun, waktu yang tidak cukup panjang dalam mengembangkan dua gaya filsafat khasnya; gaya Iluminasionis yang kemudian disusul dengan demonstrasi Peripatetik. Satu lagi kekhasan yang sering diperlihatkan Suhrawardî dalam surat-surat filosofisnya, adalah memberikan rujukan silang atau penjelasan terkait antara satu karya dengan karya yang lain, sehingga tampak berkelindan dan saling menglengkapi. Dan gaya seperti ini menjadi bukti para sarjana yang menyatakan bahwa tulisan-tulisan itu disusun lebih-kurang dalam waktu yang bersamaan.
Kecerdasan intelktual membawanya ke Aleppo, di sana Suhrawardî memulai karir dan pengabdiannya pada pangeran Al-Malik Al-Zahîr Ghazî, seorang gubernur Aleppo yang juga dikenal sebagai Malik Zahîr Syah, putra Sultan Shalah Al-Dîn Al-Ayubî yang dijuluki “raja Saladin”. Kebrilian dalam berpikir mengangkatnya pada posisi penting yang setara dengan penasehat raja, dan sederajat dengan para mentri dan hakim-hakim agung kerajaan. Kesibukannya di istana tidak membuatnya lalai pada proyek yang dimilikinya, malah saat-saat itulah ia berhasil menyempurnakan konsep Iluminasinya dengan kehadiran buku monumentalnya yang dikenal dengan Hikmah Al-Isyrâq.
Adanya buku tersebut membawanya unggul di atas para fuqaha, astronom dan teolog Istana. Bahkan terpercik keinginan sang pangeran untuk mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan filsafatnya pada khalayak publik. Dan tak pelak lagi, istimewanya posisi Suhrawardî di hadapan pangeran bersinggungan dengan intrik-intrik politik yang melahirkan kecemburuan para hakim, mentri, fuqaha, serta para pembesar-pembesar Aleppo lainya. Tuduhan-tuduhan tak senonoh pun tersebar, isu “zindik”, pengrusak agama, bahkan ke-Syiahan Suhrawardî yang dahulu dianggap biasa, kini menjadi momok dan sasaran empuk untuk menyisihkannya dari taman istana. Puncak tuduhan itu terjadi ketika sampainya surat Qadhi Al-Fahdîl yang berisi pemberitahuan isu-isu yang tersebar di istana pada raja Saladin di Mesir, dan dengan kepercayaan yang begitu tinggi (pada Qadhi tersebut) raja Saladin memerintahkan Malik Zahîr Syah untuk mengeksekusi Suhrawardî di Aleppo.[8]
Walaupun demikian, validitas cerita ini masih kontroversial dan “debatable”, tapi telaah yang berhasil dibuktikan adalah eksekusi mati Suhrawardî bersifat politis, akibat adanya kecurigaan pemuka-pemuka istana pada “doktrin politik Iluminasi”—yang didasari pikiran Syiah Imamiyah—yang telurkan oleh Suhrawardî, dan mirip dengan teori Al-Farabi dalam “Madînah Al-Fadhîlah”. Kehawatiran ini pun didorong dengan memuncaknya konflik politik dan militer yang berlangsung antara pasukan Muslim dengan prajurit raja Inggris perbatasan. Ditambah pertempuran-pertempuran besar umat Muslimin dengan pemeluk Nasrani saat memperebutkan tanah suci Palestina, sehingga sekecil apapun gerakan mencurigakan langsung ditindak tegas tanpa pertimbangan yang lebih lanjut.
Walaupun akhir perjalanan hidup Suhrawardî masih menjadi dilema sejarah, tapi
satu hal yang pasti; ia mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pemikiran
filosofis di masa selanjutnya, begitupun keberhasilannya mendirikan Madrasah
Isyrâqiyyah yang kelak menjelma menjadi mazhab Isfahân, tempat bernaung para
“Urafâ” mempelajari kansep-konsep ketuhanan dan Iluminasi, adalah fakta-fakta
yang disepakati oleh semua penulis biografi Suhrawardî.
0 comments:
Posting Komentar