Definisi dan Urgensi Mantiq
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam
berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan
formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari
cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas
dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh
berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat
berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang
dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum
diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak
kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah
bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari
bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang
benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan
tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna.
Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia
bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam
ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah
yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka
konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan
[2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah
ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar,
maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan
susunan argumentasi yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam
ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena
membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu,
makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin)
mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu
ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan
sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam
dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu".
Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada
gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun
gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak
hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement).
(Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut
tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq.
Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq
adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau
"tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air
itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia
itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari.
Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis).
Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan
pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan
pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri
adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran.
Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif
adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan
nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui
pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir).
Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang
dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang
nadzari.
Kulli dan Juz'i
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat
erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan
tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada
beberapa benda di luar.
Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak
orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda
saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan
tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya
sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun,
yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah
tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang
yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap
akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya.
Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang
universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap
yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli
). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai
hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai
"Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori
relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus
Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan
sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang
masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan
(ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim
dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul
tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm
tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan
"had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan
"Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara
bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan
hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had
(definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan
dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang
berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia
kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas
menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang
digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut
"kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2]
jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan
[5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini
secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan
penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah;
manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq
berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai
maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu
disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah.
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3)
rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing
unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi
kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan
rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau
menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut
mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara
keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah".
"Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan
"itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu
tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah
(afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan
dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu
banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan
hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan
kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu
banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan
hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah.
Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh
di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya
"keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah.
Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan
keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu
genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak
mungkin kumpul.
Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan
muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya
ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua"
dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua".
Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan
dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia
akan mati, atau manusia itu pintar.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah
yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan
terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri
ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah
mahshurah mempunyai empat macam:
2. Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu. 3. Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar 4. Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya
(qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah,
daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah,
maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas
dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan
berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah
mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat
macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3]
umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula
terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah:
[1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua
qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang
satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil)
keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan
ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua
qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu
salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin
benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif),
jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar.
Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata
lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah
tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur
kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali).
Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya,
jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar. Tetapi,
jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar.
Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka
pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah
B", maka belum pasti "setiap A adalah B".
Tanaqudh Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada: 1. Kesamaan tempat (makan) 2. Kesamaan waktu (zaman) 3. Kesamaan kondisi (syart) 4. Kesamaan korelasi (idhafah) 5. Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull ) 6. Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas,
sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau
ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar,
maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain
(baru).
Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara
sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui
hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i
(silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah
atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain
tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil
(konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah
yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara
terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan
"setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu
akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1]
Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu
akan memuai jika dipanaskan.
Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua
disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah
(konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada
dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika
dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah
shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had
awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak
tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah
shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika
memenuhi dua syarat berikut ini:
a. Muqaddimah shugra harus mujabah.b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua
muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak
satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu
pendosa".
Syarat-syarat syakl kedua. a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah). b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua
muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian
nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga. a. Muqaddimah sughra harus mujabah. b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada
muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari
syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.
a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas
sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan
pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh
karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak
mencantumkan bentuk yang keempat.
2. Qiyas Istitsna'i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah
dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka
dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia
utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka
dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari
muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia
mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia
mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat
kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas
istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam positif dan
tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai
mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah".
Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu,
maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu
(tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya,
"Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia
mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif
dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak
akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".
|
0 comments:
Posting Komentar