Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Merupakan realitas yang sangat logis dan jelas bahwa apabila filsafat
ingin menegakkan integritas dan kesatuan sistematis penalaran akal manusia,
maka dia perlu menyatukan semua bentuk, kerangka, dan manifestasi pengetahuan
serta mendudukkannya kepada kekuatan penilaian kesadaran intelektual manusia
yang menduduki posisi paling utama. Dalam upaya merealisasikan pekerjaan yang
begitu rumit ini, filsafat Barat modern sejak awal telah termotivasi untuk
menyingkirkan klaim-klaim kesadaran tertentu dari ranah dan wilayah pengetahuan
manusia, dan menggolongkannya sebagai sebuah ungkapan gairah atau
lompatan-lompatan imajinasi belaka. Hal ini dilakukan supaya logika-logika
filsafat tidak mengalami kekacauan, kerancuan, dan mengakibatkan disintegrasi
kesadaran dan pengetahuan mendasar.
Sebagai contoh, karena
pengalaman-pengalaman mistik dipahami dan dijelaskan dengan kualitas-kualitas
rasional dalam artian bahwa pengalaman-pengalaman mistik tersebut yang
melahirkan klaim tertentu tentang kesadaran dan pengetahuan hakiki terhadap
dunia realitas, dengan demikian penyelidikan dan pengkajian filosofis diberi
tanggung jawab untuk menegaskan kebenaran atau kepalsuan pengalaman-pengalaman
mistik tersebut dimana sebagai kemungkinan bagi sumber pengetahuan lain selain
dari akal manusia. Sementara hal yang sama bisa dikatakan mengenai masalah
pengetahuan dan kesadaran tentang diri sendiri, masalah pengetahuan kita
tentang penginderaan dan perasaan kita, pengetahuan kita tentang
fakultas-fakultas pemahaman kita, dan pengetahuan kita tentang tubuh kita,
penalaran teoritis dituntut untuk memeriksa kedudukannya dalam seluruh bahasan
dan kajian filosofis mengenai kesadaran dan makrifat manusia. Akan tetapi,
filsafat modern sangat mengecam dimasukkannya spesies-spesies pengetahuan yang
bersumber dari pengalaman mistik ini ke dalam batang tubuh pemikirannya demi
mempertahankan kesatuan pemahaman rasional. Sekalipun begitu, pengabaian
filsafat terhadap jenis pengetahuan intuitif ini tidaklah berarti bahwa
filsafat telah membuktikan ketidakbenaran dan ketidakvalidan jenis-jenis
pengetahuan ini.
Dalam kenyataannya, pengkajian ini akan
menjelaskan bahwa bentuk-bentuk pengetahuan mistik ini dapat dimasukkan ke
dalam penyelidikan filosofis dan bisa mengikuti kaidah-kaidah filsafat, serta
sejalan dengan sistem pemikiran logis, bahkan akan memacu lebih jauh tentang
penelitian mengenai hakikat eksistensi. Penelusuran sejarah konsep ilmu hudhuri
akan membuktikan kebenaran yang sudah sangat jelas dan aksioma ini serta
bertindak sebagai pendahuluan bagi pengkajian terhadap logika-logika
pengetahuannya serta implikasi-implikasinya bagi filsafat. Gagasan ilmu hudhuri
tidak hanya merupakan warisan historis tapi ia sendiri juga merupakan pelaku
sejarah yang mengakibatkan hadirnya dikotomi antara filsafat Islam dan filsafat
Barat, yang keduanya bersumber dari tradisi filsafat Hellenistik. Alasan
mengapa filsafat Islam memberikan kedudukan yang tinggi pada mode pengetahuan
primordial (pengetahuan intuitif dan mistik) seperti itu, yang dengan dasar
inilah telah melahirkan jarak dengan tradisi analitik Barat, merupakan sebuah
pertanyaan yang sangat menarik dan sangat penting. Mungkin benang merah atas
jawaban pertanyaan ini terletak pada kualitas metodologi filsafat Islam dan
Barat dalam mencerap dan memetakan pemikiran Yunani. Tinjauan selintas terhadap
sejarah pembentukan filsafat Islam akan memberikan petunjuk yang jelas mengenai
hal ini, dan juga akan menjelaskan signifikansi utama gagasan ilmu hudhuri
dalam filsafat Islam, dan cara dimana pemikiran filosofis awal, dengan
perantaraan ilmu hudhuri ini, telah mengarahkannya pada pencapaian teori-teori
sistimatik yang berhubungan dengan ilmu hudhuri ‘isyraqi.[1]
Semenjak zaman Plato dan Aristoteles arus utama
mengenai tradisi epistemologi telah berselisih pendapat dalam masalah yang
paling mendasar tentang pengetahuan rasional manusia, dan melahirkan dua jalur
yang berbeda secara diametrik.
Pertama, terdapat pandangan Platonik dimana
pengetahuan intelektual merupakan refleksi akal pikiran manusia mengenai obyek-obyek
yang satu, tunggal, universal, tak berubah, dan nonmateri. Dalam pandangan ini,
pengetahuan intelektual dalam kenyataannya adalah penyaksian akal terhadap
obyek-obyek dalam wilayah yang transenden (di alam nonmateri). Bentuk-bentuk
dimana sebagai obyek pengetahuan transenden kita, pada hakikatnya memiliki
eksistensi yang nyata dan metafisik serta merupakan wujud-wujud yang terlepas
dari pikiran manusia atau benda-benda fisik yang mandiri, Plato mengembangkan
gagasannya tentang “realitas sejati” sebagai bidang rujukan obyektif bagi
pengetahuan akal kita. Realitas sejati ini dicirikan sebagai sesuatu yang
mempunyai kekuatan sebagai sumber pengetahuan dalam pikiran kita dan kemampuan
untuk membentuk realitas segala sesuatu di alam kesadaran kita dengan berdasarkan
pada hakikat segala sesuatu itu di alam eksternal atau hakikat-hakikat yang
sebenarnya.[2] Berlawanan dengan itu, Plato meletakkkan “hakikat” itu sebagai
lahan bagi lahirnya suatu keyakinan atau, yang sebagaimana dinyatakan oleh F.M.
Cornford, ditempatkannya di antara realitas dan non-realitas”, sedemikian
sehingga orang tidak bisa mewujudkan konsepsi yang stabil, baik sebagai wujud
atau bukan wujud, atau bukan kedua-duanya.[3] Dalam kenyataannya, teori Plato
tentang pengetahuan bisa dipandang sebagai pola “persepsi akal” dan bukannya
sebagai “konseptualisasi dan abstraksi teoritis akal”.
Plato menjabarkan apa-apa yang dapat dicapai dari
persepsi intelektual sebagai berikut, “Pendakian untuk “melihat” sesuatu di
dunia transenden, bisa Anda anggap sebagai perjalanan jiwa ke arah atas
memasuki wilayah-wilayah yang bisa dipahami, kemudian Anda akan menjumpai apa
yang telah saya perkirakan dan yakini, karena inilah yang sebenarnya yang ingin
disampaikan kepadamu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa hal itu benar atau tidak,
bagaimanapun begitulah yang tampak bagi saya. Dalam dunia pengetahuan dan
makrifat, hal terakhir yang harus “dipersepsi” dan hanya bisa tercapai dengan
usaha yang keras adalah Bentuk Esensial Kebaikan. Jika ia telah “dipersepsi”,
maka akan muncul kesimpulan bahwa inilah sebab dari segala yang benar dan baik
dalam segala hal, di dunia yang tampak, ia melahirkan cahaya dan pemilik
cahaya, sementara ia sendiri berdaulat dalam akal budi dan dalam kebenaran.
Tanpa memiliki “penglihatan” tentang Bentuk ini tak seorang pun bisa bertindak
dengan bijaksana, baik dalam kehidupannya sendiri ataupun dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan negara”.[4]
Kedua, terdapat pandangan dan perspektif antitesis
terhadap metodologi berpikir Platonis tersebut. Gagasan ini, sebagaimana
dinyatakan oleh Aristoteles, menegaskan kenyataan bahwa tidak ada keidentikan
dan kesatuan antara “melihat” dengan “mengetahui”[5], karena mengetahui tidak
pernah berarti melihat jika tidak ada benda atau objek terinderai yang bisa dilihat.
Jadi, persoalan sentral bagi Aristoteles adalah: Apakah mengetahui itu, jika ia
lebih dari melihat dan jika tidak ada obyek-obyek anteseden di dunia obyektif
yang bisa dilihat, adalah sama seperti Bentuk-bentuk Platonis?
Apabila orang setuju dengan Aristoteles bahwa
“Ide-ide” (mutsul) Plato itu tidak memiliki kenyataan dan bahwa “penglihatan
akal” yang merupakan konsekuensi dari Ide-ide anteseden dan Bentuk-bentuk
Platonis ini bukan yang sesungguhnya membentuk esensi pengetahuan akal manusia,
maka orang pasti dihadapkan pada masalah: Kalau begitu, apa obyek-obyek sejati
pengetahuan akal manusia? Sebagai contoh, apabila realitas murni sebuah
segitiga tidak mewujud di dunia yang nyata, dan pengetahuan akal kita mengenai
segitiga qua segitiga tidak diperoleh melalui persepsi akal tentang realitas
murni sebuah segitiga, maka bagaimana orang bisa memiliki pengetahuan
intelektual mengenai sebuah segitiga? Kalau realitas murni sebuah segitiga
tidak ada di antara benda-benda yang terindera secara lahiriah, maka pendapat
Aristoteles menghadapi masalah. Dengan tujuan untuk menjawab permasalahan
inilah Aristoteles berupaya menyuguhkan analisisnya yang terkenal mengenai
pengetahuan akal sebagai berikut, “Pengetahuan dan penginderaan akan terbagi
sesuai dengan objek-objeknya, pengetahuan dan penginderaan potensial untuk
mencerap dimensi-dimensi potensialitas, dan pengetahuan dan penginderaan aktual
untuk mencerap aspek-aspek aktualitas. Di dalam jiwa, fakultas pengetahuan dan
penginderaan, obyek-obyek itu terdapat secara potensial, yang pertama adalah
yang bisa diketahui, dan yang kedua adalah yang bisa diinderai. Obyek-obyek
tersebut haruslah benda itu sendiri atau bentuk-bentuknya. Alternatif yang
disebut terlebih dahulu tentu saja tidak mungkin, karena bukan batu itu
sendiri, misalnya, yang ada dalam jiwa, melainkan bentuk dan gambaran batu itu
sendiri. Dengan sendirinya bisa dikatakan bahwa jiwa analogi dengan tangan,
sebab sebagaimana tangan adalah alat dari alat-alat, begitu pula pikiran adalah
bentuk dari bentuk-bentuk dan indera adalah bentuk dari benda-benda yang bisa
diinderai.
Karena menurut argumen umum tidak ada sesuatu yang
berada di luar dan terpisah dalam eksistensinya dari benda-benda langit yang
besar yang dapat diinderai, maka niscaya tidak akan ada obyek-obyek pikiran –
baik itu obyek-obyek abstrak maupun semua keadaan dan afeksi hal-hal yang
terindera- dalam bentuk-bentuk yang terindera. Dari sini (1) tak seorang pun
bisa mengetahui atau memahami sesuatu dalam ketiadaan indera-indera, dan (2) ketika
pikiran secara aktif mencerap sesuatu dan mendapatkan pengetahuan maka niscaya
bahwa pengetahuan ini mempunyai bentuk-bentuk imajinasi, sebab bentuk-bentuk
imajinasi itu seperti bentuk-bentuk inderawi kecuali bahwa bentuk-bentuk
imajinasi itu tidak mengandung materi.[6]
Kesimpulannya, karena Aristoteles jelas-jelas
menafikan eksistensi benda-benda yang bisa dicerap di luar dari fitrah manusia
dan terpisah dari maujud-maujud materi yang terkait dengan ruang dan waktu,
maka dari itu, dia tidak setuju dengan Plato bahwa pengetahuan intelektual
sebenarnya adalah persepsi akal terhadap obyek-obyek yang terpisah. Karena itu,
ketika tidak ada rujukan obyektif yang bisa ditemukan untuk penyaksian akal,
maka penyaksian itu terbukti hanya sebagai hasil rekayasa imajinasi belaka.
Konklusinya, obyek-obyek sejati bagi akal-pikiran adalah dalam bentuk-bentuk
yang dapat terinderai secara lahiriah dan akan menjadi pengetahuan rasional
melalui suatu “abstraksi”.
Perbedaan ekstrim antara kedua pendekatan ini yang
terjadi sejak awal sejarah filsafat telah membawa kepada pemeriksaan masalah
pengetahuan melalui dua pendekatan yang berbeda itu, yakni pendekatan Plato dan
pendekatan Aristoteles. Seiring dengan perkembangan tradisi filsafat Barat,
pembagian ini menjadi demikian jelas dan mengesampingkan adanya kesatuan tujuan
akhir dari kedua madzhab pemikiran tersebut, hingga banyak filosof modern
kemudian menyimpulkan bahwa filsafat Platonik dan Aristotelian pada hakikatnya
bertolak belakang secara mutlak, dan karenanya upaya apapun untuk membawa
keduanya ke dalam kesatuan yang sistematis akan berujung kepada kesia-siaan
belaka. Adanya perbedaan sudut pandang filosofis yang ekstrim ini, membuat
permasalahan epistemologis mengenai pengetahuan intelektual atau transenden
manusia menjadi sulit terselesaikan. Oleh karena itu, baik tradisi filsafat
Platonik maupun Aristotelian yang telah sedemikian berusaha untuk sampai pada
pengetahuan intelektual yang dibedakan dari pengetahuan empiric yang bersifat
inderawi itu, ketidaksepakatan kedua maktab ini mengenai jalan yang harus
ditempuh – baik sebagai “penglihatan” rasional atas benda-benda yang bisa
dilihat oleh akal ataupun “abstraksi” dari pengalaman-pengalaman inderawi kita
– telah menimbulkan suatu kebingungan pada upaya menemukan fondasi
pra-epistemik yang mendasar bagi pengetahuan transenden manusia.
Sejak awal mula sejarah filsafat Islam telah
terdapat suatu kesepakatan bulat untuk menegakkan landasan bersama di antara
kedua maktab itu, Platonik dan Aristotelian, dalam masalah pengetahuan manusia.
Pada prinsipnya, pendekatan filsafat Islam menunjukkan bahwa kedua sistem
epistemologi yang tampaknya bertolak belakang itu, Platonik dan Aristotelian,
bisa diaplikasikan dalam kerangka dan konstruksi filosofis yang sederhana
dengan tujuan agar sampai pada solusi dan jawaban yang memuaskan terhadap
masalah-masalah pengetahuan manusia. Dalam hal ini, filsafat Islam berpendirian
bahwa akal-pikiran pada hakikatnya ditetapkan untuk berfungsi dalam berbagai
cara pada waktu yang sama; karena di satu pihak akal-pikiran itu bersifat
perseptif terhadap substansi-substansi yang bisa dipahami dan di lain pihak dia
bersifat spekulatif terhadap obyek-obyek yang bisa terinderai secara lahiriah.
Sekalipun demikian, filsafat Islam jauh melampaui upaya-upaya untuk sampai pada
penyelesaian perbedaan antara Plato dan Aristoteles, dan menunjukkan
kekurangan-kekurangan analitis mereka. Filsafat Islam beranggapan bahwa seperti
halnya analisis Aritotelian tentang “abstraksi” meskipun tidak harus ditolak,
tetap tidak mampu memberikan solusi dan penyelesaian yang komprehensif dan
memuasakan terhadap masalah-masalah pengetahuan akal. Demikian pula teori Plato
tentang “persepsi” akal pun tidak bisa dipandang sebagai penanganan yang tuntas
terhadap masalah-masalah tersebut. Filsafat Islam, sementara didasarkan pada
fusi pendekatan Plato dan Aristoteles, pada akhirnya meluas melampaui
batas-batas kedua madzhab ini, dan menegaskan bahwa baik pandangan Plato maupun
Aristoteles dapat ditegakkan kembali di atas pengertian primordial pengetahuan,
yang maknanya akan menjadi begitu fundamental dan radikal hingga semua bentuk
dan tingkatan pengetahuan manusia bisa direduksikan kepadanya. Terdapat
beberapa konsepsi berhubungan dengan pengertian primordial kesadaran dan
pengetahuan ini dalam kesederhanaan yang dengannya semua penerapan kata
“pengetahuan” bertemu bagaikan garis-garis yang bertemu pada satu titik pusat.
Dengan ungkapan lain, mesti ada satu landasan dan pijakan ontologis bagi
“abstraksi” maupun “penyaksian” akal sehingga semua jenis dan ragam makrifat
dan pengetahuan manusia bisa terwujud darinya.
Tentu saja, kita harus mengakui bahwa metode
filsafat ini dirintis oleh kaum Neoplatonis “pagan” yang bermula dengan
Plotinus dan berakhir pada Proclus di Barat. Merekalah yang mula-mula
menggunakan gagasan “emanasi”, “pengetahuan dengan kehadiran”, dan
“pencerahan”, yang semuanya berfungsi sebagai langkah-langkah menuju pandangan
filsafat Islam mengenai landasan ontologis tertinggi dari semua pengetahuan.
Kaum Neoplatonis tak syak lagi telah memberikan kontribusi besar bagi
penyelesaian masalah-masalah penting dalam filsafat, dan secara khusus
memberikan tilikan-tilikan baru ke dalam masalah pengetahuan mistik dan
pemahaman mengenai Yang Esa dan Yang Tunggal. Tanpa presenden yang penting ini,
akan sulit membayangkan bahwa filsafat Islam di kemudian hari akan mampu
mensistematisasi pendekatannya dengan sukses.
Dalam filsafat Dionysus khususnya terdapat
pembahasan tentang beberapa prinsip iluminasi yang telah lanjut yang bisa memudahkan
penyusunan sebuah sistem filsafat. Oleh karena itu, sementara adalah
pemikir-pemikir Muslim yang melibatkan diri dalam sistemisasi ajaran-ajaran
para pendahulu mereka, prinsip-prinsip iluminasi yang digunakan dalam
rumusan-rumusan mereka – seperti yang didasarkan pada gagasan emanasi dan
konsep ilmu hudhuri – dimulai dan dikembangkan secara eksklusif oleh kaum
Neoplatonis. Akan tetapi, kaum Neoplatonis pada umumnya tidak menaruh perhatian
terhadap masalah-masalah mendasar yang dikemukakan di sini, yakni apakah ada
dasar-dasar eksistensial bagi semua mode pemahaman dan epistemologi manusia
atau tidak, yakni dasar-dasar bagi semua mode pengetahuan manusia. Adakah
landasan bersama bagi penyaksian akal atas Bentuk-bentuk Platonik, pengetahuan
abstrak Aristoteles, pengetahuan tentang diri, pengetahuan inderawi, serta
pengetahuan mistik? Madzhab filsafat awal ini (Neoplatonis) tidak secara
eksplisit mengidentikkan mode primordial pengetahuan itu dengan
tingkatan-tingkatan eksistensial realitas diri itu sendiri, meskipun ketika
menjumpai masalah mistisisme dia menyentuh dasar tersebut dan berbicara tentang
sejenis ilmu hudhuri, sebagai lawan dari pengetahuan biasa yang berkaitan
dengan hubungan subyek-obyek (pengetahuan hushuli). Lebih jauh lagi, Neoplatonisme
tidak mencirikan pengertiannya tentang ilmu hudhuri melalui kebenaran mistik
tentang Yang Esa yang bisa timbul dalam pikiran manusia sebagai salah satu
bentuk ilmu hudhuri.[7] Akan tetapi, dalam filsafat pencerahan (Iluminasi)
Islam semua langkah ini ada secara nyata, dan menjelaskan apa yang dimaksud
dengan ilmu hudhuri yang didasarkan pada pengungkapan historis filsafat Islam.
Elaborasi arus pertama penafsiran Islam mengenai filsafat Hellenik dan
Hellenistik pada akhirnya membawa kepada munculnya sistem pencerahan dalam
filsafat Islam, yang didasarkan pada kebenaran logis ilmu hudhuri. Hadirnya
ketidakpercayaan terhadap proses historis ini sendiri telah melahirkan
pandangan yang penting untuk kemudian memacu suatu pengkajian terhadap konsep
ilmu hudhuri.
[1] . Ungkapan metode filsafat pencerahan (isyraqi) yang
secara resmi digunakan oleh Suhrawardi untuk ilmu hudhuri. Lihat H. Corbin,
Kitab Al-Masyari’wa Al-Mutharihat, Opera Metaphysica et Mystica (Istanbul,
1945) jilid 1, hal. 474-89. Ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran,
kesadaran swa-obyek, teori swa-obyektifitas, pengetahuan swa-obyektif,
pengetahuan non-intensional, pengetahuan non-fenomenal, dan pengetahuan
non-representasional) adalah suatu pengetahuan yang berhubungan langsung dengan
hakikat sesuatu dan bukan gambaran atau bentuk sesuatu itu. Pengetahuan jenis
hadir secara langsung dalam jiwa manusia dan tidak dihasilkan melalui
pemahaman, pemikiran, dan abstraksi akal terhadap objek-objek eksternal. Oleh
karena itu, ilmu ini bertolak belakang dengan ilmu hushuli (pengetahuan
rasional dan konsepsional).
[2] . Plato, The Republic, (v. 474, B-480).
[3] . Ibid, hal. 188.
[4] . Ibid, vol. 7, hal. 517.
[5] . Aristoteles, De Anima, buku ketiga, B. 422-29.
[6] . Op. cit, bab 7-8, B. 431-32.
[7] . Membicarakan masalah ilmu hudhuri, Plotinus terkadang nampak menghubungkan dirinya kepada sejenis “pengetahuan” mengenai Ketunggalan, seperti ketika dia menulis: “Dalam keadaan suci dari semua keburukan dalam niat kita terhadap Yang Baik, kita harus naik kepada hal yang prinsipil dalam diri kita sendiri, dari yang banyak dan jamak, kita harus menuju ke yang Tunggal, hanya dengan demikianlah kita bisa mencapai pengetahuan tentang Kesatuan dan yang prinsipil (The Enneads, terj. Stephen Mackenna; London, 1967, VI9, paragraph 3.) Akan tetapi, terkadang Plotinus dengan terang-terangan menafikan adanya kemungkinan “mengetahui” dan “kesadaran” akan sesuatu yang prinsipil ini dengan menyatakan: “Dalam mengetahui, jiwa atau pikiran meninggalkan kesatuannya; dia tidak bisa tetap tinggal sebagai sesuatu yang tunggal (al-basith), mengetahui berarti memperhitungkan segala sesuatu; perhitungan tersebut bersifat majemuk, pikiran terjun ke dalam jumlah dan kemajemukan dengan beranjak dari kesatuan”. (The Enneads, VI9, paragraph 4).
Semua ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak membedakan antara kedua jenis pengetahuan tersebut. Sekalipun begitu, lingkup pembedaan seperti itu dan bagaimana dia mesti dirancang secara logis tidak muncul dalam The Enneads
[2] . Plato, The Republic, (v. 474, B-480).
[3] . Ibid, hal. 188.
[4] . Ibid, vol. 7, hal. 517.
[5] . Aristoteles, De Anima, buku ketiga, B. 422-29.
[6] . Op. cit, bab 7-8, B. 431-32.
[7] . Membicarakan masalah ilmu hudhuri, Plotinus terkadang nampak menghubungkan dirinya kepada sejenis “pengetahuan” mengenai Ketunggalan, seperti ketika dia menulis: “Dalam keadaan suci dari semua keburukan dalam niat kita terhadap Yang Baik, kita harus naik kepada hal yang prinsipil dalam diri kita sendiri, dari yang banyak dan jamak, kita harus menuju ke yang Tunggal, hanya dengan demikianlah kita bisa mencapai pengetahuan tentang Kesatuan dan yang prinsipil (The Enneads, terj. Stephen Mackenna; London, 1967, VI9, paragraph 3.) Akan tetapi, terkadang Plotinus dengan terang-terangan menafikan adanya kemungkinan “mengetahui” dan “kesadaran” akan sesuatu yang prinsipil ini dengan menyatakan: “Dalam mengetahui, jiwa atau pikiran meninggalkan kesatuannya; dia tidak bisa tetap tinggal sebagai sesuatu yang tunggal (al-basith), mengetahui berarti memperhitungkan segala sesuatu; perhitungan tersebut bersifat majemuk, pikiran terjun ke dalam jumlah dan kemajemukan dengan beranjak dari kesatuan”. (The Enneads, VI9, paragraph 4).
Semua ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak membedakan antara kedua jenis pengetahuan tersebut. Sekalipun begitu, lingkup pembedaan seperti itu dan bagaimana dia mesti dirancang secara logis tidak muncul dalam The Enneads
0 comments:
Posting Komentar