Selasa, 22 Januari 2013

Filsafat Iluminasi, Kemunculan, Struktur dan Metode - Oleh: Amirullah Esa


Kemunculan Filsafat Iluminasi

Yahya Suhrawardi Al Maqtul
(Syeikh Al Isyraq)
Dari sudut pandang tekstualis, kemunculan filsafat Iluminasi (Isyrâq) dimulai dalam buku Al-Talwihat. Buku tersebut memaparkan later belakang, visi-misi, aturan, kaidah, serta argumen-argumen dasar yang menjadi landasan filsafat Iluminasi. Semuanya dipaparkan begitu jelas, dan dengan argumen demonstratif Suhrawardî menceritakan sebuah kisah fiktif yang memuat mimpinya bersama Aristoteles, yang—dengan raut sedih—mengutarakan rasa kekecewaannya pada kelompok Peripatetik Muslim yang dipelopori oleh Ibnu Sina, karena di anggap gagal mencapai visi-misi filosofis ketimuran, dan meraih tingkat kebijaksanaan diri, pengejawantahan sendi-sendi kebenarannya dalam tatanan praktis seperti yang lakukan pembesar-pembesar sufi, Abu Yazid Al-Bustami dan Halaj.




Kegagalan kelompok Peripatetik diakibatkan permasalahan yang sangat fundamental (Asasi), yang berakhir pada konklusi yang berbeda. Kaum Peripatetik selalu membatasi kebenaran pada limit dan nilai-nilai demonstratif, yang akhirnya membelenggu mereka pada lingkaran teoretis saja. Sedangkan kelompok sufi melandasi pengetahuannya pada pemahaman “akan-diri-sendiri” (bi ma`rifati nafsihi) yang diperoleh melaui sensitifitas jiwa dengan mengikis sifat-sifat kotor yang menyelimuti cahaya hati, dan proses penambahan intensitas[cahaya]nya dengan merasakan kehadiran zat supraraional yang membiming hati pada jalan yang terang. Jenis pengetahuan seperti ini mereka kenal dengan “pengetahuan melalui Iluminasi dan kehadiran”. Modus asketik kaum sufistik berhasil mengangkat meraka terbang mencapai kesatuan bersama Intelek Aktif (Al-Aql Al-Faâl) dan melampaui capaian-capaian filsafat diskursif, dan lagi-lagi fantasi itu hanya ditempuh dengan menyandarkan diri pada pengalaman-pengalaman spiritual mistik. Walhasil, kebenaran-kebenaran yang diraih dapat dengan mudah diejawantahkan dalam tatanan praktis, menebarkan kebijkasanaan-kebijaksanan seperti halnya para filosof, nabi dan para imam.[9]

Mengenai pengetahuan mistik Iluminatif, ia tidak memarginalkan demonstrasi akal—seperti yang diceritakan sarjana-sarjana Timur modern—, hanya saja modus kontemplasi pada kekuatan imajenasi dan intuisi, pelepasan jiwa dari kerendahan jasad, lebih menjadi prioritas menempuh pengetahuan metafisik, tapi setelah itu ditemukan argumen-argumen filosofis diskursif memainkan perannya dan melakukan penalaran layaknya kaum Peripatetik Muslim.[10]

Selain fakta kegagalan kaum Peripatetik Mulsim, kemunculan filsafat Iluminasi juga bermuara dari ke-inkonsistensi-an filsafat Timur (Al-Falsafah Al-Masyriqiyyah) pada ranah logis, epistemologis, bahkan area [sensitif] metafisis. Filsafat Timur yang dipahami Ibnu Sina sebagai usaha mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi atas realitas teoretis dan praktis sesuai kemampuan manusia, yang tidak didasari pada rasionasinasi semata, melainkan juga pada supra-imajinasi[11] gagal direalisasikan pada tatanan praktis. Bahkan terjadi monopoli Peripatetik di atas dasar imajinasi, yang seharusnya [kedua landasan ini] berperan sama dan saling bersandingan. Begitupun peletakan Kararsi Fi Al-Hikmah dan Mantiq Al-Masyriqiyyin yang dinisbatkan Ibnu Sina sebagai metode dasar “orang Timur” dalam berfilsafat, juga tidak sesuai dengan alam Timur yang menginginkan kaidah-kaidah yang berbeda dengan kelompok Peripatetik.[12]

Di antara kritikan Suhrawardî pada gurunya Syaikhu Râis, adalah penolakan Mantik Masyriqiyyin dan Kararsis Fi Al-Hikmah sebagai landasarn dasar filsafat Iluminasi (filsafat alam Timur) dan penentangan tersebut didasarkan pada kecurigaan susunan kaidah logika kedua manhaj yang semata adalah rengkarnasi dari teks-teks logika standar kaum Peripatetik. Lebih jauh lagi Suhrawardî menekankan, bahwa modifikasi-modifikasi sederhana yang dilakukan Ibnu Sina tidak menjadikan ia sebagai filosof Timur.

Suhrawardî tidak mengingkari Ibnu Sina sebagai sebagai peletak pertama pandangan filsafat Timur, bahkan beberapa istilah, teks-teks, metode, bahkan sebagian landasan yang digunakannya dalam Hikmah Al-Isyrâq banyak digunakan. Tapi fakta-fakta ini tidak membenarkan konklusi bahwa munculnya filsafat Iluminasi sebagai alegoris dari filsafat Timur Ibnu Sina, karena sumer-sumber yang di gunakan tidak hanya bermuara pada Ibnu Sina saja, melainkan banyak guru-guru lain yang dielaborasinya. Dan dengan deminikan penulis tetap meyakini bahwa filsafat Iluminasi milik Suhrawardî semata.


Struktur dan Metode Filsafat Iluminasi

“[Suhrawardî] Guru besar Iluminasi yang menapaki [trend] filsafat Timur,
juga penghidup simbol-simbol Persia kuno
Pada teori [hakitat] Cahaya dan Kegelapan.”
[Mulla Shadra][13]

Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri. Cahaya Murni-kesepuluh adalah emanasi dari “Wujud Cahaya Agung” yang nantinya akan menganugrahkan pengalaman visioner setelah subjek berhasil menapaki syarat dan ritual-ritual yang telah ditentukan sebelumnya. Merasuknya Cahaya-cahaya Murni ke dalam subjek mengantarkan pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berfikir, kejadian ini berlangsung pada alam kusus yang disebut dengan mundus imaginalis (Al-A^lam Al-Mitsâli). Adapun tahapan selanjutnya ditempuh dengan pendemostrasian dengan landasan logis, epistemologis dan metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun Al-Syarqiyun) sebgai cara intensif menjabarkan dari simbol-simbol bahasa yang dimengerti tetapi sulit diungkapkan.

Sebuah statemen yang mungkin membingungkan, tapi akan mudah dimengerti manakala kita memahami konsep “pengetahuan” yang diimani para sufi dan penganut Platonisme. Pengetahuan terbagi dalam dua bentuknya; materil dan imateril, rasional dan irasional, fisika dan metafisika. Dikotomi yang saling bertentangan, tapi setiap bentuk memiliki kesamaan yang hampir serupa dengan bentuknya yang lain, yaitu; antara materil, rasional dan fisika, dan begitupun antara imateril, irasional dan metafisika. Kelompok pertama lazim ditempuh dengan memaksimalkan bagian manusia yang disebut dengan akal atau intelek, yang terletak di luar jiwa (nafs) dan jasad. Pengetahuan ini dihasilkan dengan memahami fenomena alam yang terjadi di jagat raya, dengan melihat arah perubahan dan menemukan sumber penyebabnya, dengan demikian kongklusinya biasa disebut sebagai pengetahuan rasional atau diskursif.

Sedang yang kedua, pengetahuan suprarasional yang berada di luar arena pengetahuan pertama, sistem yang digunankan adalah “memahami-akan-diri-sendiri” sebagai sumber pemahaman yang lebih mendalam selanjutnya. Modus ini meniscayakan manifestasi ungkapan Plato yang seirama dengan diktum Al-Quran yang menyatakan bahwa “Siapa saja yang memahami dirinya, ia akan mengetahui Tuhannya”. Sebuah teks filosofis yang mensiratkan pesan, bahwa pengetahuan jiwa (ruh) tentang diri sendiri adalah ladasan segala pengetahuan [yang] trensenden. Lebih jelasnya, pengetahuan jiwa tentang dirinya sendiri diibaratkan pantulan cahaya (yang dimaksud; pengetahuan) abstrak yang berasal dari Sumber Cahaya (Wujud Cahaya Agung) yang merambat dengan sendirinya begitu [sumber cayaha] itu menyala, yang tidak dipancarkan secara sengaja serta tidak terputus-putus.[14] Begutupun Pengetahuan ruh tentang dirinya-sendiri menjadi “kunci” kaum Iluminasionis mendapatkan pengetahuan melalui “kehadiran” (Al-`Ilm Al-Hudhûrî)[15].

Selain pengetahuan ruh tentang dirinya-sendiri, struktur filsafat Iluminasi juga kerap menggunakan dimensi-dimensi imagenalis dengan porsi yang cukup besar. Sehingga sebelum memasuki epistemologinya merupakan hal yang sangat urgen memahami komponen-komponen dasar pembangun pikiran-pikiran mistik. Pemahaman itu dimulai dengan mendefinisikan arti penting trilogi kaidah Iluminasionis; imajinasi, intuisi, dan imitasi, yang secara gneologis memiliki cara pandang bebeda dengan kelompok Peripatetik Timur maupun Barat (Yunani).

Imajinasi (Al-Khayâlah) dalam pandangan kaum Iluminasionis adalah daya penyimpan dan penyeimbang jiwa, yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap (dari indra), juga pengontrolan atas citra dengan menyusun dan menguraikannya kembali, untuk kemudian dipotensikan membentuk citra yang baru.[16] Proses ini menjadi dasar penataran membentuk jiwa-jiwa sensitif, yang merasakan wujud-wujud benda non-sensible (tidak terindra) dan yang tidak berwujud.

Tapi tidak semua sensitifitas jiwa—yang digambarkan imagenasi--, memiliki kongklusi wujud yang sesuai dengan kenyataannya, adakalanya penggambaran citra terkontaminasi oleh emosi, rasa takut atau gembria yang terbawa dari alam nyata, sehingga citra yang tergambarkan tidaklah murni. Dan imajenasi yang demikian dinamakan imajenasi palsu, karena memberikan konkusi berbeda dengan substansi sesungguhnya, adapun imajenasi murni adalah perasaan “cerah” yang dirasakan jiwa yang suci, yang telepas dari ketergantungannya pada dunia materi, sehingga ia tampak berseri-seri karena cahaya Ilahi telah memacar dalam hati.

Adapun kekuatan intuisi memiliki peran yang sama dengan daya imajenasi, bahkan dikutip oleh Dr. Husain Ghilâm Dinanî dalam Isyrâq Al-Fikr wa Al-Syuhûd fi Falasafah Al-Suhrawardî, bahwa keduanya bekerja besamaan dalam proses kontemplasi, berkhayal, dan penjelajahan realitas-realitas suprarasional[17].

Lain halnya dengan daya imitasi yang merupakan kontinuitas potensi imajenasi. Ia mewakili kemampuan subjek menggambarkan realitas-realitas suprarasional melalui citra-citra lain, yang berbeda dengan substansi awal.[18] Penggambaran realitas intelijebel pun bisa juga dipraktekan dalam area sensible (indrawi), sehingga memperluas jangkauannya, yang mungkin menyentuh penggambaran temperamental, emosi dan kebutuhan-kebutuhan tubuh, serta eksistensi benda non-sensible —dimaksud di sini; semua benda wujud, tak terlihat—disekitar kita, seperti bentuk udara, cahaya, panas, dan mahluk-mahluk halus.

Setelah memahami dan mengerti fungsi masing-masing komponen serta perngaruhnya dalam sturktur epistemologi filasafat Iluminasi, penjelajahan dilanjutkan dengan meniti jenis-jenis metode yang menyusun pemikiran Iluminasi. Telah singgung sebelumnya pada pernyataan Mullâ Shadrâ, bahwa “filsafat Iluminasi menapaki [trend] filsafat Timur, juga penghidup simbol-simbol Persia kuno Pada teori [hakitat] Cahaya dan Kegelapan”, ungkapan ini akan menjadi landasan dalam meneliti pemakaian simbolisme cahaya sebagai penyibak rahasia ontologis dan struktur- struktur kosmologis. Seperti dicontohkan Suhrawardî dalam Hikmah Al-Isyrâq yang menyebutkan Wujud Wajib (Al-Wâjibu Al-Wujûd) dalam filsafat Peripatetik Ibnu Sina, dengan “Cahaya segala cahaya” (Nûr Al-Anwâr), begitupun penamaan Intelek-intelek terpisah Tuhan (intelek sepuluh dalam struktur penciptaan semesta), diubah menjadi “cahaya-cahaya abstrak” (Al-Anwâr Al-Mujarradah). Perlu ditekankan bahwa semua komponen-komponen ini tidak hanya menjadi ciri-khas filsafat Suhrawardî yang merekontruksi filsafat Peripatetik Timur, tapi juga menjadi visi-misi filsafat Iluminasi yang diciptakannya.

Penggunaan simbol cahaya dalam filsafat Iluminasi mempunyai beberapa rahasia unik yang tidak terwakili oleh wujud lain, diantaranya; cahaya mirip dengan eksistensi Tuhan dan wujud-wujud trensenden lainnya, eksistensinya nyata dan aksiomatik, sehingga tidak membutuhkan pendefinisian, keterangan atau penjelasan, karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas kecuali cahaya itu sendiri.[19]

Rahasia kedua, penggunaan simbolisme cahaya sangatlah “pas” dalam memahamkan arti jarak dan tinggkatan-tingkatan (Al-Thabaqât), derajat keimanan, dan urutan penciptaan semesta. Cahaya mempunyai intensitas yang berbeda, walaupun secara esensi terlihat sama. Dan dengan rumus sederhana, “semakin dekat benda dengan sumber cahaya, maka intensitas yang diterima sangatlah tinggi. Dan sebaiknya, semakin jauh [benda] dari sumber cayaha, intensitas yang diterima semakin rendah”. Kejadian ini serupa dalam tingkatan keimanan seseorang; cahaya Tuhan yang pancar dalam sosok yang derajatnya lebih tinggi (Mutaqin) mempunyai [pancaran] aura kebijakan yang lebih besar, karena jarak antara dia dengan Tuhan sangatlah dekat, hingga intensitas cahaya yang terpancarkan adalah perwujudan dari kesempurnaan Wujud Cahaya Agung.

Dengan cara ini filsafat Iluminasi dapat memahamkan dengan mudah—pada publik—teori-teori radikal sufistik yang sekilas bertentangan dengan konsep-konsep teologi agama yang lumrah. Sebut saja teori “kesatuan Eksistensi” (Wahdah Al-Wujûd) baik dipahami sebagai kesatuan zat ataupun sifat, tapi pada kenyataannya para Mutakalimin dan Fuqaha masih belum sepakat menerima teori tersebut, malah sesekali mereka melebelkan kata “zindik” keluar dari agama yang sah, bagi kelompok yang mengimaninya. Mungkin lain cerita jika teori-teori nakal ini dijelaskan dengan ungkapan-ungkapan kaum Ilumiasionis, yang mungkin dapat mencerahkan hati-hati mereka yang belum berseri. —dalam pandangan Ilumisionis—Tuhan adalah Cahaya segala cahaya (Nûr Al-Anwâr) yang aktivitas dan sifatNya adalah memancarkan sinar kesempurnaanNya, sehingga menjadi keniscayaan pancaran itu tertampi dalam diri manusia yang mempunyai intelek dan hati, yang keduanya adalah “cahaya lilin” yang dianugrahkanNya sebagai penerang di tengah kegelapan jiwa yang diselimuti nafsu-nafsu kehewanan.

Alam adalah manifestasi kesempuranan Tuhan, karena Ia menciptakan semesta, adalah untuk memuji diriNya sendiri, melihat keagunganNya melalui kreasi-kreasi yang diciptakanNya, hingga tak ada satupun dari mereka—ciptaan Tuhan—yang tidak memiliki hikmah (manfaat), karena jika itu terjadi ia tak dapat memanifestasikan sifat-sifat kemuliaan yang melekat dalam zat Tuhan, dan ini mustahil.

Hingga senista apapun wujud di alam semesta ini, mereka adalah manifestasi Tuhan yang perlu dipuja, di hargai, dan dinikmati. Substansi-substansi (Al-Jawahir) mereka walaupun bukan benda yang bercahaya, tapi esensinya sebagai manifestasi sang Cahaya Agung tetap ada, walaupun itu hanya sebercik cahaya, tapi ia terus memancar dan menghubungkan eksistensinya dengan sang Maha Wujud.

Dengan beberapa metode, struktur, serta proses pengaplikasiannya dalam filsafat Iluminasi seringkalai para Iluminsionis itu mengklaim bahwa sistem mereka ini adalah pendekatan yang paling handal dalam membuktikan sifat-sifat sang Maha-Trensenden (Wujud Wajib), alam kedua, kehidupan selain dunia, bahkan hal-hal yang lebih non-standar lainnya, seperti; kejadian ajaib dalam kehidupan sufistik dan para nabi, mimpi yang benar, ilham, wahyu, kemampuan meramal masa depan, dan bahkan kekuatan menghidupkan orang yang sudah mati. Hal-hal yang demikian memang bukanlah hal yang mustahil, bahkan yang lebih dari itupun mungkin terjadi, karena kekuatan yang ada dalam jiwa (manusia yang tercerahkan) bukanlah kekuatannya sendiri, melainkan ia memancarkan kesempurnaan kuasa bagi zat yang maha Kuasa.

Dengan demikian adanya filsafat Iluminasi adalah penyeimbang arus Peripatetik yang keduanya memikili tujuan sama—walau masing-masing menempuh jalannya yang berbeda—, yaitu merumuskan kembali jalan yang lurus menuju suatu kehidupan filosofis yang dipenuhi udara kebenaran, juga menjadi sarana yang secara ilmiah lebih valid dalam meneliti sifat dan hakikat, serta media utama mencapai kebahagiaan, dan meraih kebijaksanaan yang lebih peraktis, yang digunakan untuk mengabdi kepada kekuasaan sang maha Adil (Wujud Niscaya). 

0 comments: