Kemunculan Filsafat Iluminasi
Yahya Suhrawardi Al Maqtul (Syeikh Al Isyraq) |
Dari sudut pandang tekstualis, kemunculan filsafat Iluminasi (Isyrâq) dimulai
dalam buku Al-Talwihat. Buku tersebut memaparkan later belakang, visi-misi,
aturan, kaidah, serta argumen-argumen dasar yang menjadi landasan filsafat
Iluminasi. Semuanya dipaparkan begitu jelas, dan dengan argumen demonstratif
Suhrawardî menceritakan sebuah kisah fiktif yang memuat mimpinya bersama
Aristoteles, yang—dengan raut sedih—mengutarakan rasa kekecewaannya pada
kelompok Peripatetik Muslim yang dipelopori oleh Ibnu Sina, karena di anggap
gagal mencapai visi-misi filosofis ketimuran, dan meraih tingkat kebijaksanaan
diri, pengejawantahan sendi-sendi kebenarannya dalam tatanan praktis seperti
yang lakukan pembesar-pembesar sufi, Abu Yazid Al-Bustami dan Halaj.
Kegagalan kelompok Peripatetik diakibatkan permasalahan yang sangat fundamental
(Asasi), yang berakhir pada konklusi yang berbeda. Kaum Peripatetik selalu
membatasi kebenaran pada limit dan nilai-nilai demonstratif, yang akhirnya
membelenggu mereka pada lingkaran teoretis saja. Sedangkan kelompok sufi
melandasi pengetahuannya pada pemahaman “akan-diri-sendiri” (bi ma`rifati
nafsihi) yang diperoleh melaui sensitifitas jiwa dengan mengikis sifat-sifat
kotor yang menyelimuti cahaya hati, dan proses penambahan intensitas[cahaya]nya
dengan merasakan kehadiran zat supraraional yang membiming hati pada jalan yang
terang. Jenis pengetahuan seperti ini mereka kenal dengan “pengetahuan melalui
Iluminasi dan kehadiran”. Modus asketik kaum sufistik berhasil mengangkat
meraka terbang mencapai kesatuan bersama Intelek Aktif (Al-Aql Al-Faâl) dan
melampaui capaian-capaian filsafat diskursif, dan lagi-lagi fantasi itu hanya
ditempuh dengan menyandarkan diri pada pengalaman-pengalaman spiritual mistik.
Walhasil, kebenaran-kebenaran yang diraih dapat dengan mudah diejawantahkan
dalam tatanan praktis, menebarkan kebijkasanaan-kebijaksanan seperti halnya
para filosof, nabi dan para imam.[9]
Mengenai pengetahuan mistik Iluminatif, ia tidak memarginalkan demonstrasi
akal—seperti yang diceritakan sarjana-sarjana Timur modern—, hanya saja modus
kontemplasi pada kekuatan imajenasi dan intuisi, pelepasan jiwa dari kerendahan
jasad, lebih menjadi prioritas menempuh pengetahuan metafisik, tapi setelah itu
ditemukan argumen-argumen filosofis diskursif memainkan perannya dan melakukan
penalaran layaknya kaum Peripatetik Muslim.[10]
Selain fakta kegagalan kaum Peripatetik Mulsim, kemunculan filsafat Iluminasi juga
bermuara dari ke-inkonsistensi-an filsafat Timur (Al-Falsafah Al-Masyriqiyyah)
pada ranah logis, epistemologis, bahkan area [sensitif] metafisis. Filsafat
Timur yang dipahami Ibnu Sina sebagai usaha mencapai kesempurnaan jiwa melalui
konseptualisasi atas realitas teoretis dan praktis sesuai kemampuan manusia,
yang tidak didasari pada rasionasinasi semata, melainkan juga pada
supra-imajinasi[11] gagal direalisasikan pada tatanan praktis. Bahkan terjadi
monopoli Peripatetik di atas dasar imajinasi, yang seharusnya [kedua landasan
ini] berperan sama dan saling bersandingan. Begitupun peletakan Kararsi Fi
Al-Hikmah dan Mantiq Al-Masyriqiyyin yang dinisbatkan Ibnu Sina sebagai metode
dasar “orang Timur” dalam berfilsafat, juga tidak sesuai dengan alam Timur yang
menginginkan kaidah-kaidah yang berbeda dengan kelompok Peripatetik.[12]
Di antara kritikan Suhrawardî pada gurunya Syaikhu Râis, adalah penolakan
Mantik Masyriqiyyin dan Kararsis Fi Al-Hikmah sebagai landasarn dasar filsafat
Iluminasi (filsafat alam Timur) dan penentangan tersebut didasarkan pada
kecurigaan susunan kaidah logika kedua manhaj yang semata adalah rengkarnasi
dari teks-teks logika standar kaum Peripatetik. Lebih jauh lagi Suhrawardî
menekankan, bahwa modifikasi-modifikasi sederhana yang dilakukan Ibnu Sina
tidak menjadikan ia sebagai filosof Timur.
Suhrawardî tidak mengingkari Ibnu Sina sebagai sebagai peletak pertama
pandangan filsafat Timur, bahkan beberapa istilah, teks-teks, metode, bahkan
sebagian landasan yang digunakannya dalam Hikmah Al-Isyrâq banyak digunakan.
Tapi fakta-fakta ini tidak membenarkan konklusi bahwa munculnya filsafat
Iluminasi sebagai alegoris dari filsafat Timur Ibnu Sina, karena sumer-sumber
yang di gunakan tidak hanya bermuara pada Ibnu Sina saja, melainkan banyak
guru-guru lain yang dielaborasinya. Dan dengan deminikan penulis tetap meyakini
bahwa filsafat Iluminasi milik Suhrawardî semata.
Struktur dan Metode Filsafat Iluminasi
“[Suhrawardî] Guru besar Iluminasi yang menapaki [trend] filsafat Timur,
juga penghidup simbol-simbol Persia kuno
Pada teori [hakitat] Cahaya dan Kegelapan.”
[Mulla Shadra][13]
Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran
yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut
dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun
jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan
Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri.
Cahaya Murni-kesepuluh adalah emanasi dari “Wujud Cahaya Agung” yang nantinya
akan menganugrahkan pengalaman visioner setelah subjek berhasil menapaki syarat
dan ritual-ritual yang telah ditentukan sebelumnya. Merasuknya Cahaya-cahaya
Murni ke dalam subjek mengantarkan pada pengetahuan yang tidak diperoleh
melalui proses berfikir, kejadian ini berlangsung pada alam kusus yang disebut
dengan mundus imaginalis (Al-A^lam Al-Mitsâli). Adapun tahapan selanjutnya
ditempuh dengan pendemostrasian dengan landasan logis, epistemologis dan
metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun Al-Syarqiyun) sebgai cara intensif
menjabarkan dari simbol-simbol bahasa yang dimengerti tetapi sulit diungkapkan.
Sebuah statemen yang mungkin membingungkan, tapi akan mudah dimengerti manakala
kita memahami konsep “pengetahuan” yang diimani para sufi dan penganut
Platonisme. Pengetahuan terbagi dalam dua bentuknya; materil dan imateril,
rasional dan irasional, fisika dan metafisika. Dikotomi yang saling
bertentangan, tapi setiap bentuk memiliki kesamaan yang hampir serupa dengan
bentuknya yang lain, yaitu; antara materil, rasional dan fisika, dan begitupun
antara imateril, irasional dan metafisika. Kelompok pertama lazim ditempuh
dengan memaksimalkan bagian manusia yang disebut dengan akal atau intelek, yang
terletak di luar jiwa (nafs) dan jasad. Pengetahuan ini dihasilkan dengan
memahami fenomena alam yang terjadi di jagat raya, dengan melihat arah
perubahan dan menemukan sumber penyebabnya, dengan demikian kongklusinya biasa
disebut sebagai pengetahuan rasional atau diskursif.
Sedang yang kedua, pengetahuan suprarasional yang berada di luar arena
pengetahuan pertama, sistem yang digunankan adalah “memahami-akan-diri-sendiri”
sebagai sumber pemahaman yang lebih mendalam selanjutnya. Modus ini meniscayakan
manifestasi ungkapan Plato yang seirama dengan diktum Al-Quran yang menyatakan
bahwa “Siapa saja yang memahami dirinya, ia akan mengetahui Tuhannya”. Sebuah
teks filosofis yang mensiratkan pesan, bahwa pengetahuan jiwa (ruh) tentang
diri sendiri adalah ladasan segala pengetahuan [yang] trensenden. Lebih
jelasnya, pengetahuan jiwa tentang dirinya sendiri diibaratkan pantulan cahaya
(yang dimaksud; pengetahuan) abstrak yang berasal dari Sumber Cahaya (Wujud
Cahaya Agung) yang merambat dengan sendirinya begitu [sumber cayaha] itu
menyala, yang tidak dipancarkan secara sengaja serta tidak terputus-putus.[14]
Begutupun Pengetahuan ruh tentang dirinya-sendiri menjadi “kunci” kaum
Iluminasionis mendapatkan pengetahuan melalui “kehadiran” (Al-`Ilm
Al-Hudhûrî)[15].
Selain pengetahuan ruh tentang dirinya-sendiri, struktur filsafat Iluminasi
juga kerap menggunakan dimensi-dimensi imagenalis dengan porsi yang cukup
besar. Sehingga sebelum memasuki epistemologinya merupakan hal yang sangat
urgen memahami komponen-komponen dasar pembangun pikiran-pikiran mistik.
Pemahaman itu dimulai dengan mendefinisikan arti penting trilogi kaidah
Iluminasionis; imajinasi, intuisi, dan imitasi, yang secara gneologis memiliki
cara pandang bebeda dengan kelompok Peripatetik Timur maupun Barat (Yunani).
Imajinasi (Al-Khayâlah) dalam pandangan kaum Iluminasionis adalah daya
penyimpan dan penyeimbang jiwa, yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra
atau kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap (dari
indra), juga pengontrolan atas citra dengan menyusun dan menguraikannya
kembali, untuk kemudian dipotensikan membentuk citra yang baru.[16] Proses ini
menjadi dasar penataran membentuk jiwa-jiwa sensitif, yang merasakan
wujud-wujud benda non-sensible (tidak terindra) dan yang tidak berwujud.
Tapi tidak semua sensitifitas jiwa—yang digambarkan imagenasi--, memiliki
kongklusi wujud yang sesuai dengan kenyataannya, adakalanya penggambaran citra
terkontaminasi oleh emosi, rasa takut atau gembria yang terbawa dari alam
nyata, sehingga citra yang tergambarkan tidaklah murni. Dan imajenasi yang
demikian dinamakan imajenasi palsu, karena memberikan konkusi berbeda dengan
substansi sesungguhnya, adapun imajenasi murni adalah perasaan “cerah” yang
dirasakan jiwa yang suci, yang telepas dari ketergantungannya pada dunia
materi, sehingga ia tampak berseri-seri karena cahaya Ilahi telah memacar dalam
hati.
Adapun kekuatan intuisi memiliki peran yang sama dengan daya imajenasi, bahkan
dikutip oleh Dr. Husain Ghilâm Dinanî dalam Isyrâq Al-Fikr wa Al-Syuhûd fi
Falasafah Al-Suhrawardî, bahwa keduanya bekerja besamaan dalam proses
kontemplasi, berkhayal, dan penjelajahan realitas-realitas suprarasional[17].
Lain halnya dengan daya imitasi yang merupakan kontinuitas potensi imajenasi.
Ia mewakili kemampuan subjek menggambarkan realitas-realitas suprarasional
melalui citra-citra lain, yang berbeda dengan substansi awal.[18] Penggambaran
realitas intelijebel pun bisa juga dipraktekan dalam area sensible (indrawi),
sehingga memperluas jangkauannya, yang mungkin menyentuh penggambaran
temperamental, emosi dan kebutuhan-kebutuhan tubuh, serta eksistensi benda
non-sensible —dimaksud di sini; semua benda wujud, tak terlihat—disekitar kita,
seperti bentuk udara, cahaya, panas, dan mahluk-mahluk halus.
Setelah memahami dan mengerti fungsi masing-masing komponen serta perngaruhnya
dalam sturktur epistemologi filasafat Iluminasi, penjelajahan dilanjutkan
dengan meniti jenis-jenis metode yang menyusun pemikiran Iluminasi. Telah
singgung sebelumnya pada pernyataan Mullâ Shadrâ, bahwa “filsafat Iluminasi
menapaki [trend] filsafat Timur, juga penghidup simbol-simbol Persia kuno Pada
teori [hakitat] Cahaya dan Kegelapan”, ungkapan ini akan menjadi landasan dalam
meneliti pemakaian simbolisme cahaya sebagai penyibak rahasia ontologis dan
struktur- struktur kosmologis. Seperti dicontohkan Suhrawardî dalam Hikmah
Al-Isyrâq yang menyebutkan Wujud Wajib (Al-Wâjibu Al-Wujûd) dalam filsafat
Peripatetik Ibnu Sina, dengan “Cahaya segala cahaya” (Nûr Al-Anwâr), begitupun
penamaan Intelek-intelek terpisah Tuhan (intelek sepuluh dalam struktur
penciptaan semesta), diubah menjadi “cahaya-cahaya abstrak” (Al-Anwâr
Al-Mujarradah). Perlu ditekankan bahwa semua komponen-komponen ini tidak hanya
menjadi ciri-khas filsafat Suhrawardî yang merekontruksi filsafat Peripatetik
Timur, tapi juga menjadi visi-misi filsafat Iluminasi yang diciptakannya.
Penggunaan simbol cahaya dalam filsafat Iluminasi mempunyai beberapa rahasia
unik yang tidak terwakili oleh wujud lain, diantaranya; cahaya mirip dengan
eksistensi Tuhan dan wujud-wujud trensenden lainnya, eksistensinya nyata dan
aksiomatik, sehingga tidak membutuhkan pendefinisian, keterangan atau
penjelasan, karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas kecuali
cahaya itu sendiri.[19]
Rahasia kedua, penggunaan simbolisme cahaya sangatlah “pas” dalam memahamkan
arti jarak dan tinggkatan-tingkatan (Al-Thabaqât), derajat keimanan, dan urutan
penciptaan semesta. Cahaya mempunyai intensitas yang berbeda, walaupun secara
esensi terlihat sama. Dan dengan rumus sederhana, “semakin dekat benda dengan
sumber cahaya, maka intensitas yang diterima sangatlah tinggi. Dan sebaiknya,
semakin jauh [benda] dari sumber cayaha, intensitas yang diterima semakin
rendah”. Kejadian ini serupa dalam tingkatan keimanan seseorang; cahaya Tuhan
yang pancar dalam sosok yang derajatnya lebih tinggi (Mutaqin) mempunyai
[pancaran] aura kebijakan yang lebih besar, karena jarak antara dia dengan
Tuhan sangatlah dekat, hingga intensitas cahaya yang terpancarkan adalah
perwujudan dari kesempurnaan Wujud Cahaya Agung.
Dengan cara ini filsafat Iluminasi dapat memahamkan dengan mudah—pada
publik—teori-teori radikal sufistik yang sekilas bertentangan dengan
konsep-konsep teologi agama yang lumrah. Sebut saja teori “kesatuan Eksistensi”
(Wahdah Al-Wujûd) baik dipahami sebagai kesatuan zat ataupun sifat, tapi pada
kenyataannya para Mutakalimin dan Fuqaha masih belum sepakat menerima teori
tersebut, malah sesekali mereka melebelkan kata “zindik” keluar dari agama yang
sah, bagi kelompok yang mengimaninya. Mungkin lain cerita jika teori-teori
nakal ini dijelaskan dengan ungkapan-ungkapan kaum Ilumiasionis, yang mungkin
dapat mencerahkan hati-hati mereka yang belum berseri. —dalam pandangan
Ilumisionis—Tuhan adalah Cahaya segala cahaya (Nûr Al-Anwâr) yang aktivitas dan
sifatNya adalah memancarkan sinar kesempurnaanNya, sehingga menjadi keniscayaan
pancaran itu tertampi dalam diri manusia yang mempunyai intelek dan hati, yang
keduanya adalah “cahaya lilin” yang dianugrahkanNya sebagai penerang di tengah
kegelapan jiwa yang diselimuti nafsu-nafsu kehewanan.
Alam adalah manifestasi kesempuranan Tuhan, karena Ia menciptakan semesta,
adalah untuk memuji diriNya sendiri, melihat keagunganNya melalui kreasi-kreasi
yang diciptakanNya, hingga tak ada satupun dari mereka—ciptaan Tuhan—yang tidak
memiliki hikmah (manfaat), karena jika itu terjadi ia tak dapat
memanifestasikan sifat-sifat kemuliaan yang melekat dalam zat Tuhan, dan ini
mustahil.
Hingga senista apapun wujud di alam semesta ini, mereka adalah manifestasi
Tuhan yang perlu dipuja, di hargai, dan dinikmati. Substansi-substansi
(Al-Jawahir) mereka walaupun bukan benda yang bercahaya, tapi esensinya sebagai
manifestasi sang Cahaya Agung tetap ada, walaupun itu hanya sebercik cahaya,
tapi ia terus memancar dan menghubungkan eksistensinya dengan sang Maha Wujud.
Dengan beberapa metode, struktur, serta proses pengaplikasiannya dalam filsafat
Iluminasi seringkalai para Iluminsionis itu mengklaim bahwa sistem mereka ini
adalah pendekatan yang paling handal dalam membuktikan sifat-sifat sang
Maha-Trensenden (Wujud Wajib), alam kedua, kehidupan selain dunia, bahkan
hal-hal yang lebih non-standar lainnya, seperti; kejadian ajaib dalam kehidupan
sufistik dan para nabi, mimpi yang benar, ilham, wahyu, kemampuan meramal masa
depan, dan bahkan kekuatan menghidupkan orang yang sudah mati. Hal-hal yang
demikian memang bukanlah hal yang mustahil, bahkan yang lebih dari itupun
mungkin terjadi, karena kekuatan yang ada dalam jiwa (manusia yang tercerahkan)
bukanlah kekuatannya sendiri, melainkan ia memancarkan kesempurnaan kuasa bagi
zat yang maha Kuasa.
Dengan demikian adanya filsafat Iluminasi adalah penyeimbang arus Peripatetik
yang keduanya memikili tujuan sama—walau masing-masing menempuh jalannya yang
berbeda—, yaitu merumuskan kembali jalan yang lurus menuju suatu kehidupan
filosofis yang dipenuhi udara kebenaran, juga menjadi sarana yang secara ilmiah
lebih valid dalam meneliti sifat dan hakikat, serta media utama mencapai
kebahagiaan, dan meraih kebijaksanaan yang lebih peraktis, yang digunakan untuk
mengabdi kepada kekuasaan sang maha Adil (Wujud Niscaya).
0 comments:
Posting Komentar