Selasa, 22 Januari 2013

Filsafat Iluminasi, Epistemologi dan Perkembangannya - Oleh: Amirullah Esa


Epistemologi Filsafat Iluminasi

Dalam pembahasan utama ini, kiranya perlu tekankan bahwa prinsip dasar pengetahuan Iluminasionis adalah pengalaman visioner, yang dirasakan subjek pada tingkatan ketiga setelah Cahaya Ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat itulah ia telah mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbatas. Dan itu diungkapkan dalam perkataan, “mengetahui sesuatu, berarti memperoleh pengalaman tentangnya”.



Untuk memperoleh pengalaman visioner tersebut seorang yang hendak menjadi filosof harus melewati beberapa tahapan yang telah ditentukan. Dan dalam bukunya Al-Masyari wa Al-Mutharahat Suhrawardî menetapkan tiga tahapan yang menggarap persoalan pengetahuan, dan diikuti oleh tahapan keempat yang memaparkan pendokumentasian pengalaman-pengalaman suprarasional.

Pada tahapan awal, ditandai dengan kegiatan persiapan para filosof dalam menapaki dimensi-dimensi iluminasi. Dengan demikian langkah yang harus ditempuh adalah meninggalkan kehidupan dunia, melakukan uzlah selama empat puluh hari, puasa, “ngerowot” (tidak makan yang bernyawa) dan aktivitas lainnya yang tergolong praktik asketik dan mistik. Dengan tujuan sebagai persiapan diri subjek untuk menerima ilham dan wahyu, penyaksian (musyahadah) dan penyingkapan (mukasyafah) realitas Cahaya Murni serata mengenal kebenaran intuisinya sendiri.[20]

Tahapan kedua disebut tahapan pencerahan, yang mengisyaratkan merasuknya Cahaya Ilahi ke dalam wujud manusia (subjek). Dalam proses ini Cahaya Ilahi mengambil peran penting sebagai fondasi dasar pembangun ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantara kehadiran.

Adapun tahapan ketiga adalah tahapan konstuksi (perolehan) suatu ilmu yang benar dan pencapaian pengetahuan yang tak terbatas. Dalam tahapan ini subjek telah dikatakan sebagai filosof Ilumisasi yang mencapai tingkatan “melihat” Cahaya Ilahi, dan mengajarkannya secara langsung tanpa perantara ilham dan wahyu. Dan tahapan ini disempurnakan dengan pendemostrasian Aristotelian dengan menggerakan data-data indrawi (yang di lihat) kepada akal sebagai pusat pengetahuan ilmiah diskursif.[21]

Sedangkan tahapan terakhir adalah pendokumentasian pengalaman-pengalaman visioner ke dalam tulisan, adanya tahapan ini sebagai antisipasi ketika rasa ekstase itu hilang dan menjauh dari subjek. Menurut mereka yang telah merasakan, kejadian “ekstase” yang dirasakan para sufi hanyalah sebentar dan tidak dalam masa yang lama. Sehingga tulisan tentang perasaan itu lebih terwakili oleh syair dan pusi-puisi karena daya hayal dan pengungkapannya lebih menjiwai.

Dan dalam pemaparan epistemologis filsafat Iluminasi, penulis hanya memaparkan bagian-bagian penting, yang sekiranya mempunyai peran dalam pembentukan pemikiran Iluminatif. Dan epistemologi itu dimulai bernuara pada tiga teori; pemahaman hakikat Cahaya dan sifat-sifatnya, teori Cahaya dari segala cahaya (Nûr Al-Anwâr), dan yang terakhir proses penciptaan semesta berdasarka kaidah Isyrâq.



1. Hakikat Cahaya Murni (Wujud Cahaya Agung) dan sifat-sifatNya 

Dalam buku Hikmah Al-Isyrâq, tepatnya dalam pembahasan macam-macam cahaya, guru besar Iluminasi (Suhrawardî) beranggapan bahwa Cahaya Murni—dengan C besar—merupakan suatu hakikat, yang nyata dan aksiomatik, tidak memerlukan penjelasan dan definisi. Cahaya adalah sesutau yang terang, gamlang, yang eksistensinya dibutuhkan oleh benda-benda yang menyusun eksistensi alam semesta; cahaya tidak murni, substansi gelap dan aksiden-aksiden gelap,[22] sehingga tidak ada cahaya yang lebih terang kecuali Cahaya itu sendiri. Dan yang di maksud dengan Cahaya—dengna C besar—yang tidak memerlukan definisi, adalah Cahaya Murni, yang menjadi sebab wujud setiap eksistensi di alam semesta ini. Dan eksistensinya tidak bergantung pada wujud yang lain.[23]

Sebagaimana lazimnya cahaya selalu tampak jelas dan terang, baik dalam hakikat ataupun zatnya. Dan secara esensial, ia selalu memberikan penerangan (pancaran) bagi yang lainnya, kejelasan dan keterangan cahaya memanglah bersifat sesensial, dan ini juga mebuktika bahwa cahaya (esensi) itu lebih terang, daripada sesuatu yang becahaya tapi sifat terangnya bersifat non-esensial.[24]

Begitupun kehadiran cahaya-cahaya yang tidak murni, mereka bukanlah sederetan sifat tambahan pada zatnya. Cahaya-cahaya ini secara esensial tidak tersembunyi dan juga tidak tampak, bahkan terkadang terang dan kehadirannya bersifat non-esensial.

Hakikat Cahaya Murni murni adalah tidak dapat diindra, tidak bisa di tunjuk, tidak memiliki arah, dan sebaliknya setiap cahaya yang sensibel adalah cayaha tak murni.

Cahaya murni memancar untuk dirinya sendiri (linafsihi), tidak bergantung kepada yang lain dan beridi dengan substansinya sendiri. Cahaya tak murni adalah cahaya yang bukan bercahaya dari dirinya sendiri, karena eksistensi dan keberadaanya tidaklah mandiri, ia selalu membutuh pada wujud dan realitas yang lain. Dan ketiadaan wujud yang lainpun meniscayakan ketiadaan cahayanya.

Cahaya Murni memiliki pengetahian dan mengetahui zatnya sendiri. Dan pengetahuan Cahaya Murni pada wujud dan zatnya bersifat hudhuri (hadir secara langsung), bukan dengan husuli (melalui penggambaran pikiran) karena pengetahuan cahaya pada zatnya sendiri yang dihasilkan melaui gambaran, senantiasa berada di luar [zat] subjek. Karena dalam kenyataannya, objek yang dipahami hanyalah gambaran daro zat bukanlah esensi asli yang mewujud dalam zat.[25]

Sifat Cahaya Murni yang mengetahui zatnya sendiri, menandakan ia hidup, berpengetahuan dan memiliki aktivitas. Adapun benda gelap, substansi, dan aksiden-aksiden gelap lainnya, mereka diam dan tidak memiliki pengetahuan pada zatnya sendiri, karena mereka memiliki kebergantungan pada wujud yang lain, dan kediamannya meniscayakan tidaadanya pengetahuan dan aktivitas (diam).

Cahaya Murni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, dijabarkan oleh Suhrawardi dalam satu perumpamaan sederhana yang mengangkat eksistensi A sebagai penyebab keberadaan, dan pengetahuan bagi eksistensi B. Dengan demikian, mejadi sebuah keharusan, bahwa A mengtahui dirinya sendiri dan mengetahui segala eksistensi dan wujud-wujud B. Sedangkan B tidak bisa menghasilkan penetahuan akan dari dirinya sendiri karena esensinya bergantung pada eksistensi A, yang menjadi sebab keberadaannya.[26]

Berdasarkan substansinya tidak ada satu faktor pun yang dapat mengubah suatu hakikat yang memiliki pengetahian atas zatnya sendiri, menjadi hakikat yang tidak mengaetahui dirinya sendiri. dan begitupun tidak ada satupun faktor yang dapat merubah posisinya menjadi realitas yang tak berilmu menjadi hakikat yang mengetahui dirinya sendiri. Tapi apakah sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan pada dirinya sendiri menjadi esensial yang berpengetahuan? Hal itu mungkin dan jika pengetahuan yang dimiliki Cahaya Murnii dihadirkan dalam esensinya.[27]


2. Nur al-Anwar (Cahaya segala cahaya)

Perbedaan cahaya-cahaya murni adalah sifat gradasional, yaitu tingkatan masing-maing cahaya. Semua cahaya-cahaya murni dipandang dari zat dan hakikatnya adalah satu. Perbedaannya hanya terdiri dari aspek kesempurnaan, kekurangan, aksiden-aksiden, yang ada di luar zat. Karena jika perbedaan itu terletak pada zat, maka setiap dari cahaya-cahaya itu akan tersusun dari dua deferensia yang saling bertentangan, dan ini akan merujuk pada dualisme wujud cahaya, yaitu; gelap dan terang. Sedangkan dualisme dalam satu zat yang sama adalah hal yang mustahil.[28]

Nûr Al-Anwâr tidak terdapat perbedaan antara zat dan hakikatnya, keduanya adalah satu dan bukan unsur yang berlainan, bahkan bertentangan (cahaya dan kegelapan).[29]

Wujud Cahaya di atas cahaya, adalah sebuah keniscayaan dan dapat dibuktikan dengan penalaran pada ungkapan logis, “jikalau Cahaya Murni itu begantung pada realitas yang lain, maka kebutuhannya memuat ia menjaid substansi gelap atau benda tak hidup (karean ia butuh pada wujud yang lain), dan jikalau ia benda gelap maka ia membutuhka pada Cahaya Murni, yang lain. Sedangkan perputaran hukum penciptaan pada rantai yang tak terhingga adalah mustahil terjadi. Dan karena ketakterhinggaan adalah mustahil maka sebab keberadaan Cahaya Murni harusla ada dan cahaya ini tidak lain adalah Cahaya segala cahaya (Nur Al-Anwar).[30]

Kebutuhan setiap eksistensi pada faktor pencipta, menetapkan sifat kemanunggalannya (Cahaya segala cahaya).[31] Karena jikalau terdapat dua Cahaya Murni yang tak saling membutuhkan adalah mustahil, karena kedua cahaya ini dari sisi zat dan hakikatnya sama, dan kesamaan kepribadian keduanya mustahil menjadi penyebab perbedaan cahaya-cahaya yang ada.[32]



3. Proses penciptaan [semesta] berdasarkan kaidah Isyrâq

Dalam pemaparan teori penciptaan, Suhrawardî sepakat dengan pandangan kaum Peripatetik yang meyakini bahwa “Zat manunggal hanya memancarkan pada satu bentuk yang tunggal”. Nur Al-Anwar yang ditegaskan sebelumnya sebagai sumber penciptaan hanya memancarkan cahayaNya pada satu Cahaya murni yang juga memiliki sifat yang sama dengan Nur Al-Anwar. Pemancaran cahaya ini diakibatkan oleh aktivitas Nur Al-Anwar yang senantiasa memancarkan cahaya dari substansinya. Dan sebenarnya mata rantai dari aktivitas Nur Al-Anwar inilah, yang dalam pemikiran kelompok Iluminasioner mendasari perannya (Nur Al-Anwar) sebagai pencipta alam semesta.[33]

Sebagai hasil pemancaran cahaya substansinya terjadilah satu pelimpahan atau emanasi pada Cahaya Murni-pertama dan dibarengi dengan satu materi alam abadi (yang disebut dengan Huyuli) yang menjadi materi dasar pembentuk alam semesta. Cahaya murni pertama ini, seperti Nur Al-Anwar dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa, yaitu meneruma pancaran cahaya Nur Al-Anwar dan memancarkan CahayaNya kembali dari substansinya. Tapi walaupun demikiran keduanya tetap memiliki perbedaan fundamental, baik dalam zat ataupun strata fungsionalnya.

Sang guru besar (Suhrawardî) menjelaskannya dalam satu contoh sedrhana yang mengambarkan proses pemancaran Nur Al-Anwar pada Cahaya Murni-pertama. Nur Al-Anwar digambarkan sebagai Matahari sedangkan Cahaya murni-pertama adalah cermin, pancaran sinar matahari yang tak beraturan tertampi dalam sebuah cermin yang dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari cahaya sebelumnya. Keduanya sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya yang dipancarkan cermin tidaklah sama dengan cahaya Matahari, karena cermin hanyalah perantara yang menerima cahaya yang besar dan memantulkan cahaya sesuai kemampuannya.[34]

Proses menerima dan memancarkan cahaya, terus diulangi Suhrawardî sebagai proses penciptaan alam semesta, dan keberadaan cahaya-cahaya murni yang mengelilinginya. Dan proses pemancaran dari setiap Cahaya Murni, selalu disertai oleh materi-materi yang menjadi susunan dalam tatanan cosmos. Seperti pemancaran Cahaya Murni-kedua pada cahaya murni ketiga disertai dengan bola-bola langit yang bersesuaian dengannya, yaitu langit pertama. Dan akhir dari proses emanasional adalah dunia sublanatural yang terletak di bawah alam bulan, tempat hidupnya manusia dan mahluk-mahluk lain yang juga menerima pancaran dari Cahaya Murni-kesepuluh.

Proses emanasi dari Cahaya Nur Al-Anwar ke materi-materi yang ada di alam semesta, adalah pengerucutan cahaya dari bentuknya yang supra-kemilau ke dalam bentuk parsial sesuai kemamuan penerimannya. Dan inilah bukti kebenaran ungkapkan Ibnu Sina saat mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah bentuk sesempurnaan Cahaya Al-Wujud, namun ia akan menjelma sebagaimana seseorang menangkap pancaran cahayanya. Subjek yang berjiwa rendah, akan mengatakan Muhammad layaknya manusia biasa. Adapun bagi subjek yang memiliki jiwa yang sedikit bercahaya, akan mendapatkan kebijakan-kebijaannya dalam jumlah yang terbagas. Sedangkan bagi subjek yang mempunyai jiwa yang tercerahkan akan merasakan pancaran yang begitu sempurna dari diri Muhammad, karena ia adalah “sebentuk dari kesempurnaan zat yang Maha Sempurna”.


Trend Iluminasi Pasca Suhrawardî

Tidak bisa diingkari tradisi filsafat Iluminasi yang dibangun oleh Suhrawardî pada abad ke-6 H/12 M memberikan pengaruh luar biasa dalam perkembangan filsafat Islam di abad ke-10 H/16 M hingga saat ini. Khususnya ketika maraknya sintesis baru filsafat Iluminasi vis à vis Peripatetik yang akhirnya merlahikan arus [filsafat] baru yang dikenal dengan mazhab Isfahan.

Tradisi Iluminasionis adalah satu-satunya sistem filsafat yang utuh hingga sekarang. Sebutan Iluminasionis masih tetap dipakai, khususnya di Iran, untuk mencirikan metode dan pandangan filosofis individual yang lebih mengedepankan landasan-landasan logis epistemologis non-Aristotelian.[35]

Adapun tokoh-tokoh yang menjadi pewaris fisafat Iluminasi tergolong menjadi dua; pertama, kelompok yang mendeklarasikan dan menamakan dirinya sebagai Iluminasionis sejati. Dan kedua sebagian tokoh lain menyamarkan identitasnya, tetapi tetap mengakui keterpengaruhannya oleh pemikiran Ilumiasionis Suhrawardî. Para pewaris awal pandangan Iluminasi Suhrawardî mayoritas adalah sarjana-sarjana muda abad ke-7 H/ke-13 M yang menulis komentar-komentar atas teks yang ditulis oleh Suhrawardî, yang kemudian disusul dengan menyusun surat-filosofis lepas yang berisi tentang pandangan baru filasafat Iluminasionis menurut persepsi masing-masing.

Diantara mereka yang tergolong pewaris pertama filsafat Iluminsi Suhrawardî, adalah Syams Al-Dîn Syhrazurî (w. 688 H/1288 M), yang juga dikenal sebagai penulis komentar pertama atas karya Suhrawardî, Hikmah Al-Isyrâq dan Al-Talwihât. Diantara semua komentator, Syahrazuri adalah yang murid yang berbakti karena hingga akhir hayatnya ia tetap “setia” pada konsepsi filosofis Iluminasi Suhrawardî.

Diantara karya-karya lepasya, adalah Al-Syajârah Al-Ilahiyyah, yang mencoba mengembangkan lebih jauh unsur-unsur yang berkaitan dengan sisi insfiratif, alegoris, dan fantastis. Walaupun trend ini kurang menjadi prioritas para pengkaji filsafat Iluminasi, akan tetapi ia mempunyai pengaruh besar dalam membentuk filsafat misik yang religius.[36]

Yang kedua, adalah Ibnû Kamûnah (w. 683 H/1284 M) yang juga membuat komentar baru atas karya-karya Suhrawardî Al-Tlawihât, dan menjadi buku pegangan para filosof Iluminasionis di Iran. Dalam karyanya Syarh Al-Talwihât, Risâlah fî Al-Nafs dan Al-Hikmah, ia mencoba memprioritaskan sisi diskursif dan filosofis-sistematis dari filsafat Iluminasi. Karya-karyanya juga menjadi rujuan para Ilumiasionis yang hendak memperdalam definisi simbolisme dan alegori-alegori iluminsionis dalam kaitannya dengan doktrin Peripatetik standar.[37]

Yang ketiga, adalah Quthb Al-Dîn Syirâzî (w. 710 H/1311 M) adalah penulis Iluminasionis yang paling termashur dibandingkan pendahulu-pendahulunya. Dengan karya supernya Durrah Al-Tâjj ia dinobatkan sebagai filosof Iluminsionis (paska Suhrawardî) Iran- pertama, yang berhasil mensintesiskan tiga kutub filsafat Islam; filsafat Timur Ibnu Sina, Iluminasi Suhrawardî dengan pandangan gnosis Ibnu Arabi. Dalam mahakaryanya ini, Syirazî telah “mengawinkan” metodologi metafisika Ibnu Sina dengan teori imajenasi filsafat Iluminasi. Selain itu karya ini pun dikatakan sebagai teks Persia pertama yang menerima doktrin psikologi Suhrawardî tentang prolehan ilmu pengetahuan dengan kehadiran, dan teori kesadaran-akan-diri-sendiri sebagai prinsip dasar pembuktian ilmu kenabian.[38]

Sedangkan komentator Abad Pertengahan paling akhir tentang teks-teks Suhrawardî adalah Muhammad Syarîf Nizhâm Al-Dîn Harâwî yang menyusun karya-karyanya sekitar tahun 1008 H/1600 M. Walaupun terkesan ketinggalan, Harâwî mampu memberikan coraknya sendiri dalam menginterpretasi teks-teks Mistik Iluminasi, keunikan yang dilakukan Harâwî saat ia nensingkronkan prinsip-prinsip Iluminasionis dengan sistem Advita dan filsafat India.

Karya lepasnya Anwâriyyah terdiri atas komentar-komentarnya pada bebrapa pasal pilihan yang lebih menjabarkan bagian-bagian penting filsafat Iluminasi, seperti; permasalahan metafisika, kosmologi, serta hal-hal yang berhubungan pengalaman visioner. Dalam pengembangan yang dilakukannya ia menambahkan beberapa contoh yang diambil dari sumber-sumber mistik populer, khususnya Matsnâwî karya Jalâludîn Rummî. [39]

Dalam sejumlah paragraf, Harawi juga menarik beberapa pandangan mistis Hindu yang menggelitik, dan kemudian dibandingkan dengan pandangan-pandangan Iluminasionis. Prakteknya, ketika ia mebandingkan teori kosmologis Iluminasionis, tentang imagnialis (alam Al-Mitsâl) dengan empat bagian Sangsekerta, Andaja, Arayuta, Udbhija, dan Khanija, serta pembahasan Suhrawardî tentang waktu yang kekeal dengan teori India tentang Yuga[40]

Adapun kelompok Iluminasionis yang tergolong kelompok yang telah memasukan prinsip-prinsip Iluminasionis ke dalam karya-karyanya, namun mereka kurang layak dikatagorikan sebagai penganut Iluminasionis “sejati”.

Diantara mereka yang terindikasi, adalah Nashîr Al-Dîn Al-Thûsî (672 H/1274 M) pensyarah mahakarya Ibnu Sina, Al-Isyârât wâ Al-Tanbihât yang menjadi “mukoror” wajib para cndikirawan yang ingin memahami filsafat Peripatetik Ibnu Sina. Namun priotitas epistemologi yang diberikan Thûsî pada pengetahuan akan kehadiran tidak menggolongkannya sebagai filosof Peripatetik Muslim sejati.

Orang kedua yang juga terindikasi sebagai Iluminasionsi, adalah Muhammad Baqîr ibn Syams Al-Dîn Muhammad (w. 1040 H/1631 M), yang dikenal dengan sebutan Mir Damad. Melihat sejarah perjalanan panjangnya dalam dunia filsafat, sekiranya lebih pantas jika kita menggolongkan Mir Damad dalam kelompok filosof Ilumisionsi yang sebenarnya, yang sederajat dengan Syarâzurî, Ibnu Kamûnâh dan Harawî. Begutpun akhir-akhir ini ditemukan data yang menyatakan bahwa nama samaran Mir Damad, ketika menulis puisi-puisi Persia dengan nama Isyrâqi (sang Iluminasionis), suatu petunjuk nyata akan kesetiaanya pada filsafat Iluminasi (Suhrawardî). Dalam beberapa karya terkenalnya, Al-Ufuq Al-Mubîn, Jadzawât, dan Qabasât, Mir Damad menggabungkan prinsip diskursif Ibnu Sina dengan pendekatan intuitif Suhrawardî dalam Hikmah Al-Isyrâq.

Dan yang terakhir adalah “Shyekh Kubrô” Shadr Al-Din Al-Syîrâzî (w. 1050 H/1640 M) yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Seorang teosof besar yang menggagas filsafat Teosofi Trensenden (Al-Hikmah Al-Mutaaliyah) yang hingga hari ini tetap eksis di negri para Mulla (Iran). Indikasi keiluminasian Mulla Shadra tampak jelas dalam pemikirannya tentang; keberpulangan (Maad), substansi alam narutal (Jauhar Alam Al-Thabii), susunan eksistensi (Marâtib Al-Wujûd), dan eksistensi alam Imagnialis, semuanya dikutip rapi dalam, Al-Asfâr Al-Arba`ah dan Syawâhid Al-Rubûbiyyah.

Sebagai penutup, di bahwah ini penulis mengutip perkataan Mulla Shadra yang nampaknya terindikasi bau-bau Iluminasionis, yang dikutip oleh Mahredad Mahren dalam Falsafah Al-Syarq;
”[..]...Setiap yang wujud di alam natural (Alam Al-Thabiat;alam kehidupan), mempunyai hakikat yang tetap di alam kemuliaan (Al-Malakut). Dengan kata lain; setiap benda wujud memiliki dua sisi; sisi yang selalu bergerak dan berubah, dan sisi yang selamanya tetap. [Sisi] yang selalu berubah itu dinamakan wujud-wujud yang ada di alam natural, karena alam natural berposisi lebih rendah dari alam kemuliaan, dan alam kemuliaan yang selamanya tetap hanya berada di alam arwah...” [41]

[Mulla Shadra]
[1] Amirullah Asy`arie; Mahasiswa tahun keempat universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, fakultas Theologi and Islamic Philosophy.

[2] Pujian Al-Jamî yang dikutip Mahredad Mahren dalam bukunya Falsafah Al-Syarq, Maglis A`la li Tsaqâfah, Kairo, cet I, 2003, hal. 452

[3] Henri Corbin, Histoire De La Philosophie Islamique, diarabkan oleh Nasr Morwa & Hasan Kobeissi, dengan judul Târîkh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Ouiedat, Beirut, cet II, 1983, hal. 304

[4] Moh Ali Abû Rayân, Ushûl Al-Falsafah Al-Isyrâqiyyah, Maktabah Angglo, Kairo, cet I, 1959, hal. 11

[5] Ibid, hal. 12-14

[6] Mahmûd Muhammad Alî Muhammad, Al-Mantiq Al-Isyrâqy `Inda Syihab Al-Dîn Al-Suhrawardî, Misr El-Arabiyyah, Kairo, cet I, 1999, hal. 62

[7] Karya ini ditulis setelah dua mahakarya sebelumnya Al-Talwihat dan Al-Muqawamat. (ket.)

[8] Moh Ali Abû Rayân, Târîkh Al-Fikr Al-Falsafî fî Al-Islâm, Dar el-Ma`rifah, Iskandariyah, t.t. hal. 484

[9] Moh Ali Abû Rayân, Ushûl Al-Falsafah Al-Isyrâqiyyah, opcit, hal. 264

[10] Ibid, hal. 279

[11] Moh Ali Abû Rayân, Târîkh Al-Fikr Al-Falsafî fî Al-Islâm, opcit, hal. 268

[12] Suhrawardî, Al-Talwihat, tashih Henri Corbin, Haiah El-Ammah Li Qushur El-Tsaqafah, vol II, t.t. hal. 30

[13] Perkataan Mulla Shadra dalam karyanya Al-Asfâr Al-Arba`ah, yang dikutip Henri Corbin dalam, Histoire De La Philosophie Islamique, opcit, hal. 307

[14] Dalam pangdangan kaum Iluminasionis; hati yang bercahaya diibaratkan cermin yang memantulkan cahaya abstrak yang terpancar dari sumber Cahaya, pemantulan itu mengejawantahkan pengetahuan yang melebihi manusia pada umumnya (ket.)

[15] Dr. Ghilam Husein El-Ibrâhêm El-Dinâni, Isyrâq Al-Fikr wa Al-Syuhûd Fi Falsafah Al-Suhrawardî, Dar El-Hadi, Beirut, cet I, 2005, hal. 253

[16] Ibid, hal. 311

[17] Ibid, hal. 310

[18] Praktek daya imitasi, dicontohkan langsung oleh Suhrawardî dalam menggambarkan entitas Tuhan sebagai “Wujud Cahaya Agung”, proses penggambaran realitas trensenden ke dalam citra yang sensibel. (ket)

[19] Suhrawardî, Hikmah Al-Isyrâq, tashih Henri Corbin, Haiah El-Ammah Li Qushur El-Tsaqâfah, vol II, t.t. hal. 106

[20] Suhrawardî, Al-Masyâri wa Al-Muthârahât, tashih Henri Corbin, Haiah El-Ammah Li Qushur El-Tsaqâfah, vol II, t.t. hal. 474

[21] Ibid, hal.475

[22] Suhrawardî, Hikmah Al- Isyrâq, tashih Henri Corbin, opcit, hal. 106. Suhrawardî membagi wujud ke dalam sembilan katagori. Yang masing-masing terbagi dalam dua kelompok; eksistensi bercahaya dan gelap, dari setiap katagori terbagi dalam sibstansi dan aksiden. Dan kemudian dibagi lagi sesuai sifat ketergantungannya pada wujud lain atau tidak. Kesembilan wujud ini dinyatakan sebagai pembentuk eksistensi alam semesta yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dan sumber segala eksistensi adalah Cahaya Murni yang bercahaya dari substansinya sendiri, dan tidak bergantung pada wujud lainnya.

[23]. Ibid, hal. 107

[24] Seperti matahari dan bola-bola langit yang lain, yang mendapatkan cahayanya dari yang lain, bukan dari dirinya sendiri. Dan dengan pengertian ini matahari, bulan dan bintang tergolong dalam benda yang bercahaya tapi bukan dari substansinya. (ket.)

[25] Ibid, hal. 107

[26] Ibid, hal. 108

[27] Ibid, hal. 110. Ketidakaslian pengetahuan yang dimiliki oleh selain Cahaya Murni, menunjukan kemustahilan benda-benda itu menjadi pencipta bagi keberadaan benda-benda yang lain. (ket.)

[28] Ibid, hal. 121. Pernyataan ini yang membedakan antara pandangan Suhrawardî dengan Zoroaster dan tradisi Persia kuno, yang mengatakan setiap benda memiliki dualisme wujud, gelap dan terang. Begitupun dalalam teori gelap, Iluminasionis; adanya kegelapan bukan berasal dari benda itu sendiri, tetapi akibat jauhnya dari sumber cahaya. (ket.)

[29] Ibid, hal 117. Konsep ini serupa dengan konsep Ibnu Sina, pada masalah hakikat Wujud, yang mengatakan bahwa antara zat dan hakikat, esensi dan substansi (Jauhar dan Mâhiyyah) Al-Wujud adalah satu (Aian Al-Dzat). (ket.)

[30] Ibid, hal.118

[31] Kebutuhan setiap eksistensi pada Nûr Al-Anwâr menunjukan kemustahilan ketiadaanNya. Dengan ungkapan logis “Jikalau ketiadaanya bersifat mungkin (tidak niscaya), maka keberadaanya pun bersifat sama. Dan jika ini terjadi maka seseungguhnya dia memerlukan pada zat kuasa yang mewujudkannya.” (ket.)

[32] Ibid, hal. 119

[33] Ibid, hal.126

[34] Ibid, hal.133. Proses ini menjadi saduran dari teori emanasi Al-Farabi, hanya saja Suhrawardî memakai idiom Nur Al-Anwar, Cahaya Murni-pertama, kedua dan selanjutnya, sebagai pengganti dari Intelek Aktif (Al-Aql Al-Fa`al), Intelek pertama, kedua, ketiga hingga kesepuluh. (ket.) Baca keterangan lebih lanjut pada karya Al-Farabi, Arâ Ahl Al-Madînah Al-Fadhîlah, Maktabah El-Azhariyah li Turats, Kairo, 2002, hal. 76

[35] Namun bagi mereka yang muncul paska tradisi-mistik, khususnya setelah menjamurnya filsafat teosofi trensendennya Mulla Shadra “Al-Hikmah Al-Mutaaliah”, disebut dengan “`Urafa”, ahli Irfan. (ket.)

[36] Henri Corbin, Histoire De La Philosophie Islamique, opcit, hal. 325

[37] Ibid, hal. 326

[38] Sayed Hosen Nasr & Oliver Lehman, History of Islamic Philosophy, diindonesiakan oleh Mizan, dengan judul Ensiklopedi Tematis Filsafat Ilsam, Mizan, Bandung, cet I, 2003, hal. 586

[39] Ibid, hal. 586

[40] Ibid, hal. 585

[41] Mahredad Mahren, Falsafah Al-Syarq, opcit, hal.457

0 comments: