Si kecil
yang baru berusia 6 bulan sedang tidur bergelung. Saya tiduran di sampingnya
sambil mengamatinya dari belakang. Mungil nian anak ini, lucu sekali batin
saya….
Mengapa
orang-orang menginginkan anak? Demikian pikir saya. Bukankah anak hanya
menambah kerepotan?
Sebuah
keluarga memiliki anak mungkin dengan alasan yang berbeda-beda. Saya kira
tingkat harapan mereka kepada anak juga berbeda-beda.
Tingkatan
yang paling rendah, saya kira, adalah mereka yang punya anak hanya agar merasa
hidupnya normal seperti orang lain. Kalau sudah berkeluarga, ya mestinya ada
anak. Kalau nggak ada, ya.. berarti kurang normal, tidak seperti orang lain
umumnya. Begitulah kira-kira cara pandang sebagian orang pada tingkatan ini,
anak dipandang sebagai sebuah kejadian lewat yang sudah semestinya. Biasa-biasa
saja.
Tingkatan
kedua yang lebih tinggi adalah mereka yang memandang anak sebagai harta milik. Biasanya
tujuan mereka terhadap anak adalah untuk mendapatkan kegembiraan dan
kebanggaan. Gembira mempunyai mainan yang lucu, ya anaknya itu. Bangga juga
kalau anaknya tampan, atau berprestasi tinggi. Layaklah untuk dibanggakan. Anak
adalah hiburan. Orang pada tingkatan ini menginginkan anak hanya pada sisi enaknya
saja, senang-senangnya saja. Urusan susah, silahkan ditangani pembantu. Kalau
anak sudah besar, ya bikin lagi, biar ada yang kecil dan lucu lagi.
Tingkatan
ketiga adalah mereka yang memandang anak sebagai persiapan di hari tua. Ini
pemikiran yang lebih maju, bukankah kita nanti semakin tua, nanti siapa yang
mengurus kita? Anak adalah asuransi. Anak yang berhasil dan sukses, biasanya
yang diperhatikan adalah hasil duitnya, adalah jaminan untuk menghindari
penderitaan di hari tua. Makanya orang tua banyak yang mendorong anaknya agar
sukses sekolah dan bekerja. Anak sukses kan orang tua ikut terjamin? Anak
adalah investasi. Anak adalah asuransi.
Tingkatan
paling tinggi adalah mereka yang memandang anak adalah ladang beramal. Sama
dengan tingkatan ke tiga yang memandang anak adalah asuransi. Bedanya, pada
tingkatan ke tiga anak dipandang hanya sebagai asuransi di dunia, sedangkan
tingkatan keempat ini anak dipandang sebagai asuransi di akhirat. Hanya
sebagian orang yang sungguh-sungguh sadar bahwa anak adalah asuransi terpenting
yang akan memberikan amal tak terputus saat si orang tua telah mati. Tentu saja
itu terjadi bila anak tersebut adalah anak shalih yang mendoakan orang tuanya.
Pada tingkatan ini orangtua berfokus mendidik anaknya agar menjadi anak yang shalih
sehingga hidupnya memberi manfaat pula kepada orang tuanya.
Seharusnya
kita menjadi orang pada tingkatan keempat itu.
Ternyata
demikian pula halnya dengan uang.
Ada orang
yang memandang mencari uang itu hanya sebagai suatu kenormalan hidup. Hidup ya…
cari uang. Nggak kerja, rasanya nggak jadi manusia. Kerja ya biar menjadi
normal, bisa hidup seperti orang lain pada umumnya.
Tingkatan
kedua adalah yang memandang uang untuk mencari kegembiraan dan kebanggaan.
Biasanya uangnya dipakai untuk kesenangan hari itu juga. Wawasannya tentang
uang sangat pendek, ada uang ya dipakai. Enjoy saja….
Tingkatan
ketiga adalah yang memandang uang sebagai persiapan masa depan. Mereka
memikirkan uang sedemikian rupa sehingga pada saat yang sulit di masa tua
mereka sudah memiliki persiapan. Uang mereka sudah direncanakan sebagi asuransi
dunia.
Nah,
tingkatan keempat tentunya adalah mereka yang memandang uang sebagai jalan
amal. Uang dipandang sebagai asuransi buat kehidupan akhirat. Melalui uang
mereka dapat menabung pahal sebanyak-banyaknya buat bekal mati.
Seharusnya
kita menjadi orang pada tingkatan keempat itu.
Seharusnya
kita memandang anak dan uang pada tingkat harapan yang tertinggi, menjadi
penyelamat kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti….
Sumber : http://khairulu.blogsome.com
0 comments:
Posting Komentar