Minggu, 25 November 2012

Anak-Anak dan Uang


Si kecil yang baru berusia 6 bulan sedang tidur bergelung. Saya tiduran di sampingnya sambil mengamatinya dari belakang. Mungil nian anak ini, lucu sekali batin saya….
Mengapa orang-orang menginginkan anak? Demikian pikir saya. Bukankah anak hanya menambah kerepotan?

Sebuah keluarga memiliki anak mungkin dengan alasan yang berbeda-beda. Saya kira tingkat harapan mereka kepada anak juga berbeda-beda.





Tingkatan yang paling rendah, saya kira, adalah mereka yang punya anak hanya agar merasa hidupnya normal seperti orang lain. Kalau sudah berkeluarga, ya mestinya ada anak. Kalau nggak ada, ya.. berarti kurang normal, tidak seperti orang lain umumnya. Begitulah kira-kira cara pandang sebagian orang pada tingkatan ini, anak dipandang sebagai sebuah kejadian lewat yang sudah semestinya. Biasa-biasa saja.

Tingkatan kedua yang lebih tinggi adalah mereka yang memandang anak sebagai harta milik. Biasanya tujuan mereka terhadap anak adalah untuk mendapatkan kegembiraan dan kebanggaan. Gembira mempunyai mainan yang lucu, ya anaknya itu. Bangga juga kalau anaknya tampan, atau berprestasi tinggi. Layaklah untuk dibanggakan. Anak adalah hiburan. Orang pada tingkatan ini menginginkan anak hanya pada sisi enaknya saja, senang-senangnya saja. Urusan susah, silahkan ditangani pembantu. Kalau anak sudah besar, ya bikin lagi, biar ada yang kecil dan lucu lagi.

Tingkatan ketiga adalah mereka yang memandang anak sebagai persiapan di hari tua. Ini pemikiran yang lebih maju, bukankah kita nanti semakin tua, nanti siapa yang mengurus kita? Anak adalah asuransi. Anak yang berhasil dan sukses, biasanya yang diperhatikan adalah hasil duitnya, adalah jaminan untuk menghindari penderitaan di hari tua. Makanya orang tua banyak yang mendorong anaknya agar sukses sekolah dan bekerja. Anak sukses kan orang tua ikut terjamin? Anak adalah investasi. Anak adalah asuransi.

Tingkatan paling tinggi adalah mereka yang memandang anak adalah ladang beramal. Sama dengan tingkatan ke tiga yang memandang anak adalah asuransi. Bedanya, pada tingkatan ke tiga anak dipandang hanya sebagai asuransi di dunia, sedangkan tingkatan keempat ini anak dipandang sebagai asuransi di akhirat. Hanya sebagian orang yang sungguh-sungguh sadar bahwa anak adalah asuransi terpenting yang akan memberikan amal tak terputus saat si orang tua telah mati. Tentu saja itu terjadi bila anak tersebut adalah anak shalih yang mendoakan orang tuanya. Pada tingkatan ini orangtua berfokus mendidik anaknya agar menjadi anak yang shalih sehingga hidupnya memberi manfaat pula kepada orang tuanya.
Seharusnya kita menjadi orang pada tingkatan keempat itu.

Ternyata demikian pula halnya dengan uang.
Ada orang yang memandang mencari uang itu hanya sebagai suatu kenormalan hidup. Hidup ya… cari uang. Nggak kerja, rasanya nggak jadi manusia. Kerja ya biar menjadi normal, bisa hidup seperti orang lain pada umumnya.

Tingkatan kedua adalah yang memandang uang untuk mencari kegembiraan dan kebanggaan. Biasanya uangnya dipakai untuk kesenangan hari itu juga. Wawasannya tentang uang sangat pendek, ada uang ya dipakai. Enjoy saja….

Tingkatan ketiga adalah yang memandang uang sebagai persiapan masa depan. Mereka memikirkan uang sedemikian rupa sehingga pada saat yang sulit di masa tua mereka sudah memiliki persiapan. Uang mereka sudah direncanakan sebagi asuransi dunia.

Nah, tingkatan keempat tentunya adalah mereka yang memandang uang sebagai jalan amal. Uang dipandang sebagai asuransi buat kehidupan akhirat. Melalui uang mereka dapat menabung pahal sebanyak-banyaknya buat bekal mati.

Seharusnya kita menjadi orang pada tingkatan keempat itu.
Seharusnya kita memandang anak dan uang pada tingkat harapan yang tertinggi, menjadi penyelamat kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti….

Sumber : http://khairulu.blogsome.com

0 comments: