#1 : Kenangan yang Hilang
Aku selalu percaya bahwa ingatan adalah sesuatu yang sakral, seperti harta karun yang disimpan dalam benak kita. Namun, melihat mama perlahan-lahan kehilangan dirinya sendiri bagaikan menyaksikan perpustakaan yang terbakar habis—setiap buku adalah kenangan yang lenyap tanpa bisa diselamatkan.
Ibuku, seorang perempuan dari Desa Lohia di Kabupaten Muna, tumbuh dengan kisah yang penuh warna. Saat kecil, kakek (ayahnya) menikah lagi, dan mama harus hidup bersama ibu tirinya yang, syukurnya, memperlakukannya dengan sangat baik dan penuh kasih sayang.
Masa remajanya diisi dengan cinta pertamanya, Bapak. Mereka bertemu saat sekolah menengah pertama, menjalani masa-masa remaja dengan canda dan tawa. Salah satu kenangan yang selalu diceritakan Mama adalah ketika Bapak menjemputnya ke kampung untuk bersepeda ke kota. Namun, perjalanan romantis itu berakhir dengan kecelakaan di perbukitan. Ibuku terjatuh, kepalanya terbentur keras, dan ia pingsan selama tiga hari.Waktu berlalu, mama menjalani hidupnya sebagai seorang guru biologi yang berdedikasi di SMP. Ia adalah seorang pendidik yang dihormati, seorang istri yang setia, dan seorang ibu yang penuh cinta. Saat cucu pertamanya lahir, tak ada tanda-tanda bahwa cedera di masa mudanya akan berdampak buruk di kemudian hari. Namun, sekitar dua dekade setelah ia pensiun, gejala itu mulai muncul.
Awalnya, hanya sekadar lupa di mana ia meletakkan sesuatu. Lalu, ia mulai mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, ia tak lagi mengenali anak-anaknya, bahkan suaminya. Sampai akhirnya dokter mendiagnosis dirinya mengalami Alzheimer.
Aku melihatnya duduk di teras, menatap ke kejauhan, seolah pikirannya terjebak di suatu tempat yang tidak bisa kugapai.
"Ma?" panggilku.
Ia menoleh dengan tatapan kosong. "Siapa kamu?"
Hatiku hancur.
#2 : Suatu Malam yang Aneh
Suatu malam, sesuatu yang aneh terjadi. Saat aku masuk ke kamarnya, mama sedang duduk di tempat tidur, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya yang biasanya kosong kini berkilat-kilat dengan kesadaran. Senyumnya bukan senyum samar yang penuh kebingungan, melainkan senyum hangat yang sangat kukenal.
"Nak, kapan kamu pulang dari makassar?" tanyanya dengan suara ceria.
Aku tertegun. "Mama... mengenaliku?"
Ia tertawa kecil. "Tentu saja. Kenapa aku tidak mengenali anakku sendiri?"
Aku ingin menangis bahagia, tetapi sesuatu terasa aneh. Caranya berbicara, ekspresinya... seolah ini bukan mama yang beberapa tahun terakhir ini aku kenal.
Beberapa hari berlalu, dan mama terus menunjukkan perubahan drastis. Ia tidak hanya kembali mengingat segala hal, tetapi juga memiliki kebiasaan yang aneh. Ia bercerita tentang hal-hal yang tidak pernah ia alami—seolah-olah ia menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda.
Kemudian aku menemukan sesuatu yang mencengangkan. Di laci meja kamarnya, terdapat buku harian dengan tulisan yang tidak seperti tulisan mama yang kukenal. Dalam catatan itu, ia menulis tentang dunia yang berbeda, dunia di mana dirinya masih mengajar di sekolah, dunia di mana ayah masih muda, dunia di mana ia tidak pernah mengalami kecelakaan sepeda.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, sampai suatu malam aku mendengar mama berbisik dalam tidurnya.
"Aku harus kembali... Ini bukan duniaku... Aku harus mencari jalan pulang."
#3 : Perjalanan di Antara Dimensi
Aku mulai mencurigai sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Dengan bantuan seorang teman yang merupakan seorang fisikawan, kami mulai menggali kemungkinan bahwa mama telah terhubung dengan dunia paralel. Entah bagaimana, suatu peristiwa telah menukar mama yang ada di dunia ini dengan versinya yang lain dari universe yang berbeda.
Pertanyaannya, bagaimana hal ini bisa terjadi? Dan jika mama yang sekarang berasal dari universe lain, di mana mama yang sebenarnya?
Kami mulai mencari tahu dan menyusun petunjuk, hingga suatu hari mama mengajakku ke suatu tempat, jalan berbukit yang sama tempat ia mengalami kecelakaan di masa mudanya dulu. "Di sini semuanya dimulai," katanya.
Di sana, di bawah cahaya bulan, aku menyaksikan sesuatu yang tak dapat dijelaskan dengan logika. Sekilas, aku melihat bayangan seorang wanita yang mirip mama, berdiri di sisi lain udara, seolah ada cermin tak kasatmata yang memisahkan kami.
"Itu aku..." bisik mama.
#4 : Memilih Takdir
Sekarang aku dihadapkan pada pilihan sulit. Jika mama dari universe lain berhasil kembali ke dunianya, apakah itu berarti aku akan kehilangan mama untuk kedua kalinya? Tetapi jika ia tetap tinggal di sini, apakah itu adil bagi keluarganya di universe lain?
Saat keputusan harus dibuat, mama menggenggam tanganku. "Aku tahu kamu mencintaiku, Nak. Tapi ibumu yang sebenarnya ada di sana, dan dia pasti ingin kembali padamu. Aku pun harus kembali pada keluargaku."
Dengan berat hati, aku membantunya menemukan cara untuk kembali, dan malam itu, di tempat kecelakaan dulu, ia melangkah masuk ke dalam cahaya yang muncul di hadapan kami. Seolah waktu berputar, sekelebat bayangan melintas, dan tiba-tiba, mama yang asli berdiri di hadapanku, matanya bingung, tetapi penuh kehangatan yang familiar.
"Nak... Aku pulang..."
Aku menangis dan memeluknya erat, bersyukur bahwa akhirnya, mama telah kembali.
***
Terkadang, dunia ini lebih misterius daripada yang bisa kita pahami. Aku tidak pernah tahu apakah betul kata para fisikawan bahwa ada lebih dari satu universe, dan kita hidup disalah satunya. Namun, satu hal yang kutahu, cinta seorang ibu melampaui batas ruang dan waktu. Dan entah bagaimana, di antara dimensi yang tak terlihat, mama telah menemukan jalan pulang.
_L.M. Azis Syahban, H
Kendari 30 Januari 2025
0 comments:
Posting Komentar