# Surat dari Rembulan
Di laci lemari kayu usang kamar mama, tersembunyi sepucuk surat yang kemungkinan ditulisnya pada malam terakhir mama masih mengenali namaku. Tinta biru yang mulai memudar itu berujar : "Ada dunia lain di balik mimpi kita, Nak. Di sana, mungkin kamu akan menemukan diriku yang masih utuh." Kalimat itu menjadi kunci yang tak sengaja kubuka ketika kelupaannya mencapai puncak, dan seorang perempuan asing dengan wajah yang sama persis dengannya muncul di teras rumah, membawa aroma melati dari Desa Lohia yang sudah sejak lama menghilang.
# Lohia
Mama terlahir sebagai Waode Muliana, anak tunggal dari pasangan La Mursidi (seorang guru yang mengajar di sekolah dasar) di Desa Lohia, Muna dengan Waode suruhani perempuan asal Kampung Mabuti. Ayahnya, La Mursidi, menikah lagi dengan Wa Rudu seorang gadis cantik asal Desa Lohia yang baik hati dan menyayangi semua anak-anaknya tanpa membedakan. Wa Rudu adalah ibu tiri yang jarang ditemukan di cerita dongeng : merajut kasih pada Waode Muliana dengan telaten, mengajarinya membaca di bawah pelita minyak dan mengajarinya adab seorang Perempuan sebagai anak, ibu dan sebagai seorang istri bagi suaminya.
Di Usia 18 tahun, Waode Muliana dan La Halifa mulai berpacaran diam-diam. Suatu senja, La Halifa menjemputnya dengan sepeda Raleigh hadiah dari pamannya di Raha. Mereka menuruni lereng bukit menuju kota raha, tertawa sampai Waode Muliana memegang erat pinggangnya. Tapi ban depan meletus di tikungan wapunto. Waode Muliana terlempar, kepalanya menghunjam batu karang kecil disekitar jalan. Dan seketika alirah darah menggenang di tanah merah, sementara La Halifa menjerit histeris, mengira nyawanya pergi. Tiga hari koma, dan ketika bangkit, ada yang berubah : Waode Muliana mulai melihat bayangan yang hanya dia sebut Fiolagi — makhluk halus dalam kepercayaan Masyarakat Muna yang selalu mengawasi orang tersesat.
Ibunya Wa Rudu merawatnya dengan penuh kasih sayang, memberikannya ramuan kalamo (kunyit liar) kemudian berkata dengan suara lembutnya. "Kau harus hidup untuk cerita yang lebih besar dimasa depan,". Waode Muliana akhirnya bisa sembuh, tapi sakit kepala berdenyut-denyut selalu kembali setiap musim hujan. La Halifa bersumpah tak akan membiarkannya terluka lagi. Mereka akhirnya menikah 3 tahun kemudian di usia 21 tahun, di bawah pohon kamboja yang kelak tumbuh subur, menjulang di pekarangan rumah ayahnya di Desa Lohia.
# Alzheimer dan Pintu Dibalik Cermin
Setelah 30 tahun mengajar biologi, Mama pensiun pada 2010. Beberapa tahun setelah pensiun, saya, salah satu anak laki-lakinya, menemukan dia sering terpaku di depan koleksi herbariumnya, bertanya-tanya mengapa nama Ficus ribes tiba-tiba hilang dari ingatannya. Dokter menyebutnya gejala awal Alzheimer. Tapi malam itu, ketika dia memanggilku "bapa wa oni" panggilan untuk ayahku yang sudah meninggal dan berkata, "Di sana, di ujung kabut, ada versi lain kita yang tak pernah terjatuh," aku mulai curiga ini bukan sekadar penyakit.
Suatu pagi, Mama menghilang. Kami menemukannya di dapur yang sudah beberapa tahun tertutup tak kami gunakan lagi, berbicara dalam bahasa Muna kuno dengan seorang perempuan yang mirip dirinya yang 20 tahun lebih muda. Perempuan itu juga berkata berasal dari "Desa Lohia", di mana Waode Muliana tidak pernah jatuh dari sepeda, menikahi La Halifa, dan menjadi seorang peneliti hutan tropis. "Aku tertukar saat kau menyentuh surat itu," katanya padaku, menunjukkan surat yang sama dari laci lemari kayu dikamar Mama. Alzheimer, menurutnya, adalah "terowongan" antara dua universe.
# Perempuan yang Tak Pernah Patah
Waode Muliana yang dari universe lain yang kami juga memanggilnya "mama" memiliki hidup gemilang, seorang S3 bidang ekologi, menikah dengan lelaki lain dengan nama yang sama dengan nama ayahku, dan tanpa anak. Tapi dia datang karena di dunianya, La Halifa mati muda dalam kecelakaan yang sama. Sementara mama yang asli kini ada di sana di universe lain, tiba-tiba sehat, tapi merindukan kami. Mama bilang : "Kami bertukar tempat karena ingatan yang retak — seperti sungai yang mencari jalur baru."
Kedua universe mulai bertabrakan, Foto-foto keluarga kami memudar berganti gambar Mama yang di laboratorium. Mama, meski cerdas, tak bisa mengajariku memasak kasuami (kelapa parut khas Muna) seperti dulu. Di saat yang sama, adikku di universe lain menghubungi kami lewat mimpi, memohon agar Mama kembali. Tapi bagaimana? Alzheimer ternyata kunci portalnya.
# Upacara Faghorae Terakhir
Kami membawa Mama ke makam ayahnya di Desa Lohia. Di bawah bulan purnama, dengan mantra yang diajarkan Mama lewat mimpi, kami mencampur tanah dari dua dunia di kuburan itu. Kabut pun menyapu desa. Ketika kabut hampir meredah, Mama berdiri di depan kami, tersenyum dengan bekas lukanya dahulu. "Aku harus kembali. Tapi Alzheimer bukan akhir — itu pintu yang kita buka bersama."
Esoknya, kami menemukan kedua versi Mama telah menyatu, di keningnya ada bekas luka, tapi matanya berbinar seperti mata Mama yang datang dari universe lain. Dia masih pelupa, tapi kini, di sela-sela kebingungannya, dia bercerita tentang hutan-hutan dari dua dunia, dan bagaimana cinta bisa menjadi jembatan di antara retakan realitas.
***
Untuk semua anak yang melihat orangtuanya perlahan menghilang : Mungkin
mereka sedang menjelajahi semesta lain di mana mereka masih utuh. Biarkan
cerita itu menjadi pelita.
0 comments:
Posting Komentar