sumber Gambar : Generate AI |
Di era urbanisasi yang pesat seperti sekarang ini, perencanaan kota menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam bagaimana sebuah perencanaan dapat menciptakan lingkungan yang tidak hanya fungsional, tetapi juga mendukung kualitas hidup masyarakatnya. Fenomena kebahagiaan masyarakat kota dewasa ini menjadi semakin relevan dalam diskusi perencanaan kota, di mana kebahagiaan sering kali diartikan sebagai kondisi subjektif yang mencerminkan kepuasan masyarakat kota terhadap kehidupan mereka atau lingkungan perkotaan yang ditempati. Urbanisasi juga merupakan salah satu perubahan utama yang relevan dengan kesehatan yang dihadapi umat manusia di zaman kita, dan akan dihadapi dalam beberapa dekade mendatang. Saat ini lebih dari 50 persen populasi global tinggal di kota, pada tahun 2050, jumlah ini akan meningkat menjadi hampir 70 persen dengan lebih dari 50 persen penduduk perkotaan tinggal di kota-kota berpenduduk lebih dari 500.000 jiwa.
Gangguan mental adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, bertindak, dan berinteraksi dengan orang lain. Gangguan ini dapat bervariasi dari ringan hingga berat dan memerlukan perhatian serta penanganan yang tepat. Gangguan mental juga dianggao sebagai kondisi kesehatan yang memengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku seseorang. Faktor-faktor yang menjadi penyebab dalam gangguan mental menurut (Pratiwi & Rusinani, 2022) sebagai berikut : 1. Genetik yaitu faktor keturunan dapat meningkatkan risiko gangguan mental. 2. Biologis merupakan ketidakseimbangan kimia di otak, infeksi, atau kerusakan otak. 3. Psikologis yaitu trauma masa kecil, pelecehan, dan kehilangan. 4. Lingkungan sebagai stres kronis, lingkungan sosial yang buruk, dan pengalaman hidup yang menantang[2].
Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Berarti dengan jumlah populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000 orang saat ini mengalami gangguan mental emosional (Depkes, 2007)[3]. Menurut data tahun 2018, di Indonesia prevalensi ganggunan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia (Riskesdas, 2018)[4]. Keamanan merupakan salah satu faktor fundamental yang memengaruhi persepsi dan pengalaman individu dalam lingkungan perkotaan. Rasa aman tidak hanya terkait dengan perlindungan fisik dari kejahatan, tetapi juga dengan stabilitas emosional dan kesehatan mental. Dan dari sekian banyak faktor pengaruhnya, hubungan sosial yang menandakan kedekatan merupakan salah satu yang membentuk perasaan aman dalam lingkungan sosial. Bahwa kebanyakan hubungan sosial kekotaan mempunyai tingkat ketidakakraban yang tinggi dalam manifestasi dan perwujudannya, hal mana adalah sangat berbeda dengan hubungan sosial pedesaan yang intim (akrab)[5].
Ketika masyarakat merasa aman, mereka lebih cenderung berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan interaksi komunitas, yang pada gilirannya berkontribusi pada kebahagiaan kolektif. Sebaliknya, lingkungan yang tidak aman dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan isolasi sosial, yang berdampak negatif pada kualitas hidup. Keamanan kota dapat diketahui dengan melihat dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dari suatu kota, faktor-faktor tersebut dapat memprengaruhi keamanan suatu kota adalah salah satunya faktor risiko struktural/sosial dan kondisi dari kejahatan dan kekerasan[6]. Kejahatan yang terjadi di perkotaan tersebut perlu menjadi perhatian khusus untuk menciptakan kota dengan rasa aman yang harus dirasakan setiap masyarakat yang ada. Untuk penanganan tindak kriminalitas antara lain dapat mewujudkan paradigma Crime Prevention Through Environmental Design (CPTED) yang merupakan upaya pencegahan kriminalitas melalui desain lingkungan fisik[7].
Integrasi antara konsep kebahagiaan dan kebutuhan keamanan masyarakat dalam perencanaan kota menjadi semakin penting dalam konteks saat ini, yang mana hal ini ditandai oleh meningkatnya angka kejahatan dan ketidakpastian sosial dilingkungan perkotaan. Dengan menggabungkan kedua aspek ini, perencana kota dapat menciptakan ruang publik yang tidak hanya aman tetapi juga menyenangkan dan mendukung interaksi sosial. Kesan ruang publik yang dianggap tidak aman dipengaruhi oleh kondisi fisik yang terjadi pada ruang publik itu sendiri. Kondisi ruang publik yang kurang memadai memberikan kesempatan bagi para oknum tertentu untuk melakukan tindak kriminal seperti menjambret atau melakukan asusila[8]. Jane Jacob menemukan adanya hubungan antara keamanan, konsep mixed-use, kawasan yang ramai, desain ruang kota, dengan kemungkinan-kemungkinan dari penduduk perkotaan untuk mengobservasi kegiatan-kegiatan yang terjadi di jalan-jalan lingkungan tempat tinggal mereka serta ruang-ruang publik yang berada di sekitar pemukiman mereka. Sepuluh tahun kemudian, lahirlah prinsip Crime Prevention through Environmental Design (CPTED) yang didefinisikan sebagai sebuah teknik untuk mengurangi atau menghilangkan rasa takut dan kejahatan dengan mengedepankan konsep pengawasan oleh lingkungan dan peran komunitas masyarakat[9]. Kebahagiaan perkotaan dan kebahagiaan penduduk saling terkait erat, karena desain, infrastruktur, dan dinamika sosial kota secara signifikan memengaruhi kesejahteraan, kepuasan, dan kualitas hidup penduduknya. Ini adalah konsep multifaset yang mencakup persepsi positif tentang suatu tempat oleh penghuninya dan mewakili ukuran kuantitatif dari kepuasan dan kualitas hidup warga secara keseluruhan di wilayah geografis tertentu (Sepe 2016; Liao dkk. 2022)[10].
Perencanaan kota yang mempertimbangkan elemen keamanan dalam mewujudkan kebahagiaan masyarakat kota, dapat dilihat dengan hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Maslow mendefinisikan semua tindakan yang dipilih dalam kehidupan manusia berdasarkan pada motivasi untuk mencapai kebutuhan tertentu. Yang berarti ketika seseorang mencapai tingkat kebutuhan dan kepuasannya, orang itu akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi. menjelaskan suatu hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) yang menunjukkan adanya lima tingkatan dari kebutuhan dasar dan keinginan dalam diri manusia. Lima tingkatan kebutuhan dasar manusia adalah sebagai berikut : kebutuhan fisiologi, rasa aman, cinta dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri[11]. Tingkat kedua dari hierarchy of needs adalah kebutuhan keselamatan dan keamanan, termasuk keamanan dan perlindungan. Keselamatan sangat penting bagi manusia, karena memungkinkan orang merasa aman dan terlindungi di lingkungan kerja mereka (Kim dan Kim, 2017). Tanpa keselamatan, kita akan terus-menerus khawatir dan cemas, tidak dapat fokus pada hal lain. Posisinya adalah bahwa ketika individu puas dengan persyaratan mendasar mereka, mereka mulai fokus pada masalah yang lebih penting, seperti stabilitas pekerjaan, keselamatan, kehidupan, dan harta benda, dengan argumen bahwa ketika kebutuhan ini terpenuhi, tingkat berikutnya dalam hierarki diaktifkan[12]. Keamanan dapat mencakup berbagai hal, seperti penyediaan ruang terbuka hijau, pencahayaan yang memadai, dan tata letak fasilitas yang mendukung interaksi sosial. Dimana ruang-ruang ini berfungsi tidak hanya sebagai fasilitas fisik, tetapi juga sebagai tempat untuk membangun komunitas dan meningkatkan interaksi sosial yang membuat rasa memiliki di antara sesama warga kota kian tinggi, sampai ikatan sosial dan perasaan saling menjaga mulai terbentuk.
Perasaan aman dengan lingkungan maupun orang lain yang sekarang disebut ikatan, merupakan efek dari bertambahnya senyawa kimia di otak manusia, yang disebut oksitosin. Perasaan yang kita sebut "kebahagiaan" berasal dari empat bahan kimia otak khusus : “Dopamin, Endorfin, Oksitosin, dan Serotonin. "Bahan kimia bahagia" ini menyala ketika otak Anda melihat sesuatu yang baik untuk kelangsungan hidup Anda. Kemudian mereka mati, sehingga mereka siap untuk aktif lagi ketika sesuatu yang baik melintasi jalan Anda. Setiap bahan kimia yang bahagia memicu perasaan baik yang berbeda. Oksitosin adalah kesenangan yang menurunkan kewaspadaan anda di dekat orang-orang yang anda percayai. Ini bukan keputusan sadar untuk percaya, tetapi perasaan aman fisik yang anda dapatkan/rasakan dari kedekatan dengan orang lain yang dipercaya. Saat ini, keterikatan yang langgeng kurang disukai dan sering diremehkan. Namun, tanpa mereka, kita merasa ada yang tidak beres. Kami tidak tahu mengapa, tetapi kami merindukan tempat di mana "semua orang tahu nama Anda." Atau arena olahraga atau aula konser yang ramai di mana ribuan orang bertindak dengan dorongan yang sama. Hal-hal ini terasa menyenangkan karena aliansi sosial merangsang oksitosin. Tentu saja, itu hanya momen kepercayaan yang singkat—semprotan kecil yang akan segera berlalu. Dan itulah mengapa otak selalu mencari kesempatan untuk merangsang lebih banyak[13]. Pada keadaan bahagia, dopamine dan serotonin akan dihasilkan yang akan membuat tubuh menjadi semangat, terpacu untuk melakukan banyak aktifitas, salah satunya berolahraga. Namun kedua neurotransmitter tersebut bekerja dalam waktu yang singkat saja (short-term) untuk mempertahankan kondisi yang bahagia dihasilkan neurotransmitter oksitosin. Saat rasa bahagia dianggap sudah mulai luntur dan oksitosin pun sudah berkurang efeknya, akan didapatkan rasa ‘jenuh’ atau bisa disebut masa kritis, tubuh kita seolah-olah memberikan pilihan kepada kita untuk melanjutkan perasaan bahagia atau menghentikan perasaan tersebut. Jika tubuh dapat memertahankan perasaan tersebut. Hal ini sudah beralih kepada sesuatu yang disebut komitmen. Setelah melewati fase tersebut, kebahagiaan menjadi hal yang dapat dipertahankan terus menerus oleh tubuh, tidak fluktuatif atau sementara waktu dan tentunya menambah efek positif bagi tubuh[14].
Olahraga sebagai sarana untuk mengurangi tingkat stres telah ditemukan memiliki efek positif terhadap sistem saraf otonom dan keseimbangan hormon stres seperti kortisol. Aktivitas fisik secara signifikan dapat mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi darah, membantu dalam melepaskan ketegangan fisik yang seringkali berdampak pada kesehatan mental. Selain itu, olahraga juga terbukti dapat meningkatkan mood dan mengurangi tingkat depresi. Ketika seseorang berolahraga, tubuh menghasilkan endorfin, neurotransmitter yang berperan dalam meningkatkan perasaan bahagia dan mengurangi rasa sakit. Dalam jangka panjang, olahraga teratur juga dapat memainkan peran preventif terhadap masalah kesehatan mental seperti depresi klinis[15]. Olahraga kesehatan dapat dilaksanakan secara massaal misalnya: jalan cepat atau lari lambat (jogging), senam aerobik, senam pernafasan dan olahraga-olahraga massaal lain yang sejenis. Senam aerobik sangat baik oleh karena dapat menjangkau seluruh sendi dan otot-otot tubuh, di samping juga merangsang otak untuk berpikir, karena Peserta harus memperhatikan dan segera menirukan gerak instruktur yang selalu berubah tanpa pola, sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat dihafalkan. Jadi Olahraga Kesehatan membuat manusia menjadi sehat Jasmani, Rohani dan Sosial yaitu Sehat seutuhnya sesuai konsep Sehat WHO[16].
Selain olahraga, kebahagiaan juga dapat diperoleh dengan interaksi sosial, dimana hubungan sosial yang kuat dan harmonis merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kebahagiaan. Menurut Seligman & Csikszentmihalyi (Taufik, 2012), orang yang memiliki jalinan sosial memuaskan akan memiliki kebahagiaan. Melalui kegiatan silaturahmi dan bermaaf-maafan menjadikan masyarakat dapat merasakan kebahagiaan sosial yang mendalam[17]. Faktor eksternal tentang kehidupan sosial untuk bisa berinteraksi dengan orang lain serta faktor internal tentang optimisme terhadap masa depan yang memberikan penjelasan bahwa sense of humor menghadirkan tawa atau kebahagiaan dalam situasi yang mungkin sulit dan kontributor yang potensial yang dimiliki individu (Seligman, 2005). Menurut Nielsen, Seseorang yang memiliki rasa humor yang tinggi cenderung memiliki emosi positif yang menyertai humor dan diikuti dengan tertawa[18]. Selain itu dukungan sosial dapat memberikan efek positif dan meningkatkan harga diri yang dapat mempengaruhi kebahagiaan individu (Cohen & Wills, 1985). Dukungan sosial juga dapat menurunkan psychological distress yang meliputi depresi dan kecemasan (Taylor, 2006). Dukungan sosial dapat diperoleh dari relasi terdekat, yaitu keluarga dan sahabat (Gore dalam Saputri & Indrawati, 2011). Dukungan sosial yang dirasakan individu dari individu atau kelompok lain dapat berupa emotional support dan informational support[19].
Salah satu dari tujuan sebuah kota adalah, dimana setiap individu yang mengunjungi akan merasa aman dan bahagia. Salah satunya adalah penyediaan pedestrian yang nyaman (area untuk orang yang berjalan kaki) dan penciptaan ruang publik yang diwujudkan melalui berbagai bentuk taman tematik. Secara konseptual, ruang publik semacam ini memiliki fungsi sebagai ranah yang “memanusiakan” masyarakat, karena banyak kegiatan dan interaksi sosial yang bisa dilakukan di ruang publik. Sedangkan dalam studi komunikasi, khususnya komunikasi publik dalam konteks pembangunan perkotaan, fungsi ruang publik sangatlah penting. Berada dalam tengah tekanan hidup di perkotaan, masyarakat membutuhkan ruang untuk bernapas, bergerak, dan berinteraksi dengan warga lain dengan penuh sentuhan manusiawi[20].
Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara kebahagiaan dan keamanan dalam konteks perencanaan kota untuk kemudian mengaitkan keduanya dengan konsep CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design). Dengan analisis deskriptif kualitatif terhadap kebutuhan perencanaan fasilitas publik kota yang sesuai prinsip CPTED, maka penelitian ini akan memberikan wawasan tentang bagaimana ketiga konsep ini dapat diintegrasikan secara efektif. Seperti beberapa prinsip penerapannya pada ; Lingkungan : (1) minimalkan jumlah pintu masuk dan keluar dalm sebuah kawasan/ blok; (2) desain jalan sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi keberanian atau rasa bebas para pengguna jalan yang melaluinya; (3) maksimalkan akses view dari setiap rumah terhadap ruang publik di sekitarnya; (4) maksimalkan penggunaan ruang publik oleh para penghuni di sekitarnya; (5) sediakan penerangan yang cukup baik untuk jalan umum, pedestrian, jalan akses ke rumah, dan tempat parkir kendaraan; (6) biasakan para penghuni untuk lebih saling perhatian dengan para tetangganya. Perumahan : (1) gambarkan dengan jelas perbedaan kawasan privat dan publik melalui tanaman pembatas, kombinasi warna paving block pada area publik dan privat, dan permainan perbedaan ketinggian; (2) ciptakan ruang-ruang publik yang mudah diakses secara visual dari semua arah; (3) desain entrance atau pintu masuk dapat terlihat dan selalu dikombinasikan dengan jendela transparan; (4) hindari desain lansekap yang dapat dijadikan persembunyian bagi pelanggar/ orang yang bermaksud tidak baik; (5) ciptakan tata cahaya buatan yang cukup baik/ terang pada setiap kawasan; (6) gunakan material yang solid dan kuat untuk setiap pintu eksterior. Ruang publik : (1) upayakan agar ruang publik selalu digunakan oleh penghuni terdekat dan bukan oleh orang tidak dikenal atau dari kawasan yang berjauhan; (2) hindari tempat-tempat yang gelap serta area yang tersembunyi yang berdekat dengan pusat aktivitas; (3) sediakan tata cahaya yang baik yang cukup terang di malam hari; (4) hindari ruang-ruang terlindung yang dapat mengundang orang untuk bergelandangan di area ini[21].
[1] Oliver Gruebner, dkk, Cities and Mental Health, Jerman 2017
[2] Kevin Vitoasmara, dkk. Gangguan Mental (Mental Disorders), Student Research Journal, Surakarta 2024
[3] Adisty, dkk. Kesehatan mental masyarakat indonesia (pengetahuan, dan keterbukaan masyarakat terhadap gangguan kesehatan mental), Universitas Padjadjaran, Bandung, 2015
[4] Sri Endriyani, dkk. Gangguan mental emosional dan depresi pada remaja, Healthcare Nursing Journal, Palembang 2022
[5] Thriwaty Arsal, Sosiologi Perkotaan, Sektor Informal, Karakteristik dan Tata Ruang Kota, LPPM Universitas Negeri Semarang, Semarang.
[6] Ristka Sarimukti dan Dyah Titisari Widyastuti, Crime prevention through environmental design (CPTED) sebagai respon dari tindak kejahatan di kawasan jalan pahlawan kota semarang, Jurnal Ilmiah Indonesia, Jogjakarta, 2022
[7] Yuliana Marchelina Mandey, dkk. Manifestasi Paradigma Crime Prevention Through Environmental Design (CPTED) di Kawasan Pusat Kota Lama Manado dan Hubungannya dengan Tingkat Kriminalitas. Jurnal Fraktal Vol.8 No.1 (27-34). Manado, 2023
[8] Woro Utari Dwi Kinanti dan Grandy Loranessa Wungo, Tingkat Keamanan Ruang Publik Bagi Kaum Perempuan dengan Pendekatan CPTED di Koridor Jalan Cihampelas Bandung, Biro penerbit planologi undip. Bandung 2023.
[9] Wiyantara Wizaka, Adaptasi crime prevention through environment design (cpted): studi kasus fenomena desain fasilitas public. Universitas Bina Nusantara, Jakarta 2012.
[10] Saeideh Sobhaninia, dkk. Designing for happiness, building for resilience : a systematic review of key factors for cities. Informa UK Limited, trading as Taylor & Francis Group, Boston USA 2024
[11] Fitri Rachmiati Sunarya, Urgensi teori hirarki kebutuhan dari abraham maslow dalam sebuah organisasi. Institut Agama Islam Al Zaytun Indonesia, Indramayu Hal-649
[12] Bunmi Yesaya Omodan dan Samuel O. Abejide, Reconstructing Abraham Maslow’s hierarchy of needs towards inclusive infrastructure development needs assessment. Journal of Infrastructure, Policy and Development, South Africa 2022
[13] Loretta Graziano Breuning, PhD, Habit Of A Happy Brain, Adams Media, Massachusetts, 2016
[14] Chalista Putri Tessalonika Ambarita, Peran Status Emosi Bahagia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup ditinjau dari Sistem Fisiologi Manusia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2019
[15] Bima Utama, dkk, Manfaat Olahraga Bagi Peningkatan Kesehatan Mental : Tinjauan Pustaka, Edukasimu.org Volume 3 (2), 2023
[16] Surya Adi Saputra, Menjaga Imunitas dan Kesehatan Tubuh melalui Olahraga yang Efektif, Seminar Nasional Pendidikan STKIP Kusuma Negara II, Jakarta Timur, 2020
[17] Ratmi Fathia dan Siti Khairisa, Lebaran dan psikologi positif : membangun kebahagiaan melalui tradisi dan interaksi sosial di nanga tayap, IAIN, Pontianak, 2024
[18] Dina Aprilia, dkk, Interaksi Sosial dan Rasa Humor Terhadap Kebahagiaan Lansia, Psikoborneo Jurnal Imiah Psikologi, Surabaya, 2022
[19] Jessica Harijanto, dkk. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Kebahagiaan Pada Mahasiswa Perantau Di Surabaya, Universitas Ciputra, Surabaya, 2017, Hal-6
[20] Rita Gani, taman kota sebagai modal sosial dan interaksi masyarakat kota bandung, Universitas Islam Bandung, Bandung,2017
[21] Wiyantara Wizaka, Adaptasi crime prevention through environment design (CPTED): studi kasus fenomena desain fasilitas public. Universitas Bina Nusantara, Jakarta 2012.
0 comments:
Posting Komentar