Kamis, 08 April 2021

Menegakkan Syariat Islam

 


Suatu ketika ada rombongan santri sedang berburu di hutan. Kemudian mereka memanah seekor burung, dan yang kena ternyata burung gagak. Saat tau itu burung gagak, para santri kemudian menjadi bingung dan bertanya pada kyai nya. "Apakah boleh kita memakan burung gagak ini?"

 

Lalu Pak Kyai menjawab "menurut mazhab Hanafi boleh, menurut mazhab Hambali memakan burung gagak itu makruh, dan menurut mazhab Syafi'i haram. 

 

"Kalau menurut mazhab Pak Kyai?", tanya para santri lagi. "Saya tak punya Mazhab", jawab Pak Kyai sambil tersenyum pada murid-muridnya.

 

***

Belakangan kita sering mendengar suatu ajakan mengikuti hukum tuhan atau hukum islam. Ketika kalimat konsekuensi ditambakan, kita menjadi semakin tak berdaya. Seperti segala kemerdekaan yang telah diberikan tuhan secara gratis kepada kita direnggut begitu saja. Dan kita pun terpaksa mengikutinya karena tak mau dicap sebagai tidak beriman, atau kafir.

 

Di medsos itu makin gencar dilakukan, dan anehnya banyak sekali yang mengikutinya. Seperti sebuah postingan gambar, disana diperintahkan "ketik amin supaya kamu dan keluargamu tak menjadi kafir". Atau kalimat lain dengan narasi berbeda tapi dengan model yang sama. Kok sepertinya tuhan juga sedang bermain facebook dan membaca komentar-komentar itu.

 

Kemudian beberapa pengguna medsos berlomba-lomba menunjukan keimanannya dimedia sosial. Semoga saja mereka juga ingat dengan sebuah hadis shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari, "Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari gangguannya". Ucapkan Istighfar sebanyak 3x supaya kamu termasuk orang beriman.

 

Yang seperti ini mungkin tidak populer dikalangan umat islam. Karena makna tetangga bisa jadi sangat luas, bahkan bisa mencakup semua tetangga apapun mazhabnya, apapun agamanya. Hadis lain berbunyi "tidak beriman seseorang hingga ia mencintai tetangganya seperti ia mencintai dirinya sendiri". Sepertinya yang ini akan lebih menyesakkan tuk diamalkan.

 

Mungkin kita bertanya, hadist itu ditujukan pada siapa?. Tentu saja untuk orang islam. Artinya orang islam harus memperlakukan tetangganya dengan sangat baik. Jangan sampai membuat mereka terusik, atau terganggu, atau tak nyaman dengan beberapa aktifitas kita meskipun itu aktifitas keagamaan. Apabila itu tak dilakukan bisa jadi kita belum beriman, meskipun sudah islam.

 

Ternyata ada juga orang islam yang belum beriman. Yaitu orang islam yang seringkali mengganggu atau membuat tetangga tak aman dari gangguannya. Misalnya seorang islam memiliki dua tetangga atheis, dengan alasan dakwah dia memutar bacaan ayat al quran atau kultum setiap habis shalat subuh dengan suara keras. Ternyata diwaktu itu, sang tetangga sedang tidur lelap karena paginya harus kerja. Bisa jadi orang islam itu juga belum beriman.

 

Kata teman saya dulu, dalam agama ada hukum yang mengatur tata cara menjalankan ibadah. Seperti cara kita membersihkan diri atau wudhu sebelum shalat. Saya masih ingat ayatnya hingga kini, karena saat kuliah dulu teman saya paling sering mengutipnya didepanku. Surat Al Maidah ayat 6 : "Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki".

 

Usai mengutip ayat tersebut, saya mulai dibombardir dengan banyak pertanyaan oleh teman saya. Katanya "itu bunyi Ayat Al Quran, tak disebutkan jumlahnya berapa kali harus dibasuh atau diusap. Awal mengenal agama dan melakukan hukum-hukumnya, sejak kecil kita sudah diajarkan untuk wudhu sebanyak tiga kali. Coba ingat-ingat lagi, urutannya dimulai darimana kemudian kemana dan berhenti dimana, kemudian perhatikan ayat diatas dan bandingkan. Apakah cara kita melakukan wudhu sudah sama dengan yang diperintahkan Al Qur'an?".

 

Tentu saja saya menjawab tidak, setidaknya itu jawaban terbaik yang kupikirkan dalam waktu singkat, daripada disebut tak mengikuti Al Quran. Setelah itu kupikir dia akan melunak, malahan dia melanjutkan dengan pertanyaan baru, parah yang sebelumnya saja belum bisa kujawab kataku dalam hati. "Lalu darimana asalnya urutan dan jumlah yang telah kita lakukan selama ini sejak dari kecil?", katanya lagi.

 

"Jangan sampai shalat kitapun jadi tak sah karenanya, dan itu belum kita sadari hingga kini. Sedangkan semua orang disekitar kita dan ditelevisi juga melakukan hal yang sama. Itu baru satu hal, yaitu wudhu, kemungkinan perbedaan yang lain masih banyak dan kita belum atau tak pernah menyadari". Saat itu saya jadi serba salah, menjawab salah diam pun salah, karena jawabanku takkan mempengaruhi semangatnya untuk terus berbicara.

 

Pernah suatu ketika kudapati temanku itu tak seagresif  biasanya. Dia tampil dihadapanku dengan lebih bijak dan keren, dia berbicara dengan tenang dan saya sangat mengaguminya. Dia seperti menjawab beberapa pertanyaan yang dulu diberikannya padaku, "disitulah pentingnya peran ulama, mereka yang menjelaskan pada kita berdasarkan pemahaman mereka pada ayat-ayat Al Quran dan hadist Nabi Saww". 

 

Untuk urusan seperti itu, yang menyangkut perbuatan kita sehari-hari dan tata cara beribadah, para ulama yang lebih berhak memberi penjelasan atas Quran dan Hadist. Tugas kita sebagai yang tidak belajar dan tidak merenungkan ayat dan hadist seperti mereka, yang tidak belajar agama sampai puluhan tahun seperti mereka, yang tidak memiliki guru dan tak belajar dipesantren seperti mereka, tugas kita adalah mengikutinya.

 

Karena yang mereka kemukakan mengenai hukum-hukum agama adalah Fatwa. Dalam islam setidaknya ada lima ulama besar yang fatwanya masih diikuti hingga kini, mereka yang mengajarkan tata cara beribadah sesuai pemahaman mereka tentang Qur'an dan Hadist Nabi. Mengenai jumlah dan urutan wudhu yang kita lakukan selama ini juga dari mereka, bukan langsung dari Nabi. Jadi kalau ada yang mengatakan ajaran islam yang murni, tentu saja itu tidak benar. 

 

Semua ibadah yang kita jalankan selama ini, bersumber dari ajaran lima ulama besar itu. Imam Hambali, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i dan Imam Jafar. Dari mereka mazhab islam lahir dan diberi nama sesuai nama mereka, mazhab Hambali, Maliki, Hanafi, Syafi'i dan mazhab Jafari. Kita tak bisa lari dari lima mazhab besar tersebut, karena ibadah yang kita lakukan adalah warisan mereka yang dikutip ulama dan ustad hari ini.

 

Saya yang sebelumnya cuma fokus belajar ilmu akademik dan beberapa alat-alat pendukungnya, hanya terdiam. Saya sedikit merenung kenapa baru tau tentang itu saat saya berada ditahap akhir kuliah. Jadi ketika seseorang ingin menegakkan syariat islam atau menginginkan tegaknya hukum islam, kita mesti tanya dulu, hukum islam  berdasarkan imam yang mana?.

 

Karena semua hukum agama yang saat ini dikatakan hukum islam atau hukum tuhan atau hukum langit, itu merupakan penafsiran salah satu imam atau sekelompok ulama. Bisa saja antar ulama berbeda penafsiran tentang Jihad, Amar Maruf Nahi Mungkar, tentang Riba dan lain-lain, semua tergantung Imam mana yang mereka ikuti. 

 

Bisa saja yang menurut Imam Syafi'i memakan burung gagak haram dan masuk neraka apabila dilakukan, ternyata menurut Imam Hanafi Halal dan boleh dimakan. Seperti itulah kondisi kita hari ini, perbedaan menjalankan ibadah adalah hal yang biasa dan tak perlu dibesar-besarkan. Karena bisa jadi itu benar menurut imam yang satu dan salah menurut imam yang lain, kita hanya mengikuti saja.

 

0 comments: