Sabtu, 28 September 2019

PEMBERONTAK - Takdir Anak Baru (Bagian 3)

"Sakit?". "Tidak Senior!". "Marah ko?". "Tidak Senior!"

Entah sudah berapa kali sandal eiger mendarat keras dikedua pipiku. Telinga yang sudah dari tadi terus siaga mencari-cari suara teman, hampir tak dapat mendengar bunyi lain selain bunyi ngiiii. Berdengung. Hantaman sandal eiger keras mendarat lagi dibagian kanan pipi sampai telinga, "taik! siapa yang memukul", kumaki mereka dalam hati. Dari balik gelapnya malam dan semak belukar yang tumbuh liar dikedua sisi jalan, hanya bayangan hitam yang terlihat samar tapi terus memukul. Bagaimana mungkin bisa melihat, sedang mengangkat kepala saja dianggap tabu.

"Tunduukk ko!, Tidak boleh anak baru mengangkat kepala!".

Perasaanku baru 3 pos didatangi, tapi rasanya seperti sudah dipukuli 10 orang lebih. Pos pertama, kejutan pertama  yang kami dapatkan dari seorang wanita, tamparan keras disalah satu pipi yang dipilih sesuka hatinya. Salah kami hanya satu, karena kami anak baru. Pos kedua, hantaman keras dikepala dengan penggaris logam, dan sakitnya masih belum hilang. Salah kami karena tak bisa merayap melewati penggaris yang ditempatkan berjarak 10 cm dari permukaan aspal. Belum lagi pos bayangan diantara pos, yang jumlahnya tak diketahui. Mereka lebih kreatif, dengan permainan membakar bulu hidung tiap anak lelaki yang lewat. Beruntung saya tak bernasib sial seperti teman disampingku tadi, disuru buka mulut kemudian diludahi seorang senior.

Masih banyak pos lain didepan sana, artinya masih ada puluhan orang kreatif yang dapat menciptakan beragam tindakan kekerasan jenis baru. Apakah setelah ini saya telah menjadi mahasiswa?. Setelah melewati penjara ini apakah saya telah menjadi mahasiswa?. Apa artinya semua ini?, apa gunanya materi keilmuan, organisasi dan kemanusiaan yang kemarin disampaikan kalau mereka sendiri melakukan kekerasan atas nama Mahasiswa?.

***
Didepan kami berdiri seorang pemateri, dia membawakan materi ke organisasian. Gaya bicaranya sangat berwibawah,  mencerminkan sosok seorang aktivis kampus yang telah malang melintang didunia ke organisasian. Orang-orang seperti dia yang kulihat selalu berdemonstrasi di tv saat SMA dulu, dengan mikrofon ditangannya mereka berorasi sambil membakar ban dan menutup jalan. Dia menyebutkan satu demi satu nama organisasi yang dapat kami masuki nanti, mulai dari organisasi fakultas, jurusan, dan organisasi lebih besar yang punya cabang disemua fakultas diseluruh kampus.

Kalian butuh organisasi, untuk membentuk karakter sebagai mahasiswa, karena mengikuti kuliah saja masih belum cukup untuk membentuk kepribadian dan kepemimpinan kalian. Mahasiswa adalah agen of change, yang punya tanggung jawab moril sangat besar pada bangsa dan juga negara. Tugas kita sangat berat, karenanya kita harus memasuki organisasi untuk dapat menjalankan peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Suara dan intonasinya sangat enak didengar, sepertinya semua temanku kagum padanya tak terkecuali saya, dia pasti seorang yang hebat dan sudah sering memimpin demo dikampus ini.

Materi telah selesai, masih tak ada juga dari kami yang mengajukan pertanyaan. Saya sendiri juga bingung apa yang hendak ditanyakan, kalaupun ada, saya pun tak berani. Tak banyak yang saya paham dari ucapannya, terlalu banyak istilah yang buatku bingung karena tak tau artinya. Kuliat kembali catatanku, sepulang dirumah nanti, semua kata asing yang dikatakannya tadi harus kucari artinya dikamus, kemudian kuhafal. Tentu akan sangat keren ketika mampu kugunakan saat berbincang atau berdebat dengan teman-teman.

Hari makin sore, waktu telah menunjukan pukul 17.05. Materi Pengenalan Organisasi Jurusan kemudian Metode persidangan juga telah usai, dan semua anak baru mulai menunjukan ekspresi kelelahan. Sebelum bubar, panitia kembali memberi arahan mengenai persiapan yang harus dibawa untuk besok, juga pakaian apa yang harus dipakai. Setiap anak baru pulang dengan membawa selembar kertas catatan, sepertinya malam ini cukup berat, dan tubuh ini pula terasa berat, butuh istrahat setidaknya biar sebentar.

Dalam angkot biru dengan garis hitam, entah berapa nomor trayeknya saya tak terlalu memperhatikan, ada jimy dan gani yang ternyata searah jalan pulang denganku. Kami bercakap seadanya, saling bertanya dimana tempat tinggal, jelas sekali terlihat kelelahan dari wajah kami semua dan para penumpang lain tau itu. "Kiri Pak", supir angkot menghentikan mobilnya. Sebelum pergi, saya menyerahkan selembar uang pecahan seribu dan satu koin pecahan lima ratus rupiah. Jimy dan Gani sudah turun duluan, katanya mereka tinggal didaerah batua raya, entahlah, saya belum cukup tau dan hafal jalan-jalan dan tempat-tempat di Kota ini.

Saya berhenti didepan lorong kecil, tak jauh disebelah kiri ada penjual gorengan, seorang perempuan paruh baya dari jawa, yang punya anak gadis berwajah menawan. Didepan bagian kiri ada sebuah pohon jati besar, itu pohon jati satu-satunya yang pernah kulihat di Kota ini, pohon jati yang sama dengan yang ada dihutan jompi dikampungku. Saya ingin pulang cepat untuk istrahat, tapi gerobak tahu isi sepertinya menarikku, hanya untuk sekedar melihat si gadis yang begitu menawan. Ah, betul juga, saya harus membeli tahu isi dan tempe goreng tuk makan malam.

Lorong kecil permukaannya setapak, dua kali belok kanan dan dua kali belok kiri, sampailah didepan rumah nenek haji yang kamar depannya kami kontrak. Lelahnya mulai terasa setelah tubuhku rebah diatas kasur, mataku sangat berat, rasanya ingin tidur saja supaya besok bisa bangun cepat. Diatas lantai keramik disamping dispenser, tahu isi dan tempe goreng hangat masih belum berani keluar dari kantung kresek berwarna bening. Dalam posisi terlentang, sayup-sayup kudengar suara seorang wanita bertanya, ternyata kakak perempuanku yang datang untuk menjenguk. Dia hanya ingin memastikan ada atau tidak pesan dari senior sebelum pulang dari kampus tadi. "Ada" jawabku, saya menarik selembar kertas yang sudah dari tadi tinggal cukup lama dikantung belakang celana jeansku, dan kuberikan padanya.

"Ini e. Bantu dulu carikan, cape sekali kurasa". Makan saja belum, apalagi mandi, saya hanya ingin tidur nyenyak diatas kasur kecil ini. Untung saja ada kakakku, meski perempuan dia sangat hafal jalanan di Kota ini. Dia datang hanya untuk mengambil selembar kertas itu, kemudian akan pergi entah kemana. "Kasi bangun saja kalau datang sebentar nah", kataku padanya.

Kembali kubayangkan tiap kejadian hari ini, dengan mata terpejam dapat kusaksikan dengan jelas tiap urutan kejadian, sepertinya masih berlangsung dialam lain dalam memoriku. Kuliat diriku sedang duduk dalam ruangan, menerima kuliah dari dosen sebagai seorang mahasiswa semester awal. Teman-teman keliatan sudah tak canggung lagi, beberapa dari mereka sering bertanya dan dosen selalu memberikan jawaban yang memuaskan. Saya hanya menyimak sambil banyak mencatat, sepertinya saya cukup menikmati tiap sesi tanya jawab dalam ruangan kuliah. Akhirnya semua dapat berjalan normal, tiada hal buruk yang terjadi selama masa orientasi, semua kelihatan sangat akrab, antara sesama anak baru dan para senior sangat dekat tak ada sekat. Kampus juga sangat ramai, banyak mahasiswa ditiap sudut, di loby, di pelataran, di bawah pohon, semuanya tersenyum, sangat ramah.

"Breek, Breek".

Samar-samar kudengar ada yang memanggil, tapi dari mana saya tak tau. Panggilan itu jelas tertuju padaku, tapi siapa yang memanggil saat sedang kuliah begini. 

"Brek", ingin kujawab panggilannya tapi perasaanku tak enak pada dosen yang sedang menjelaskan didepan. 

"Brek bangun. Banguun oi".

Ah itu pasti kakakku, "masuk saja, pintu tidak dikunci". Kujawab panggilannya dengan suara seadanya yang terkesan malas, malas bicara, malas buka mata dan malas bergerak. Sepertinya mimpiku tadi cukup menyenangkan, tapi dia datang merusaknya dengan tiba-tiba, hm. Tapi tak apa, untungnya dengan cepat dia mengembalikanku pada dunia nyata, bukan dunia fantasi yang penuh realitas imajiner. Hampir saja saya tersesat dalam anggapan seolah semua ini telah berakhir dan masa orientasi telah berjalan normal. Sesaat kata-kata temanku La Galigo kembali terlintas, benar juga, biasanya apa yang terlihat dimimpi berbanding terbalik dengan kenyataan yang akan terjadi. Kata orang tua dikampung, kadang mimpi memberi peringatan dalam bentuk kejadian yang menyenangkan, supaya kita selalu waspada.

"Bangunmi, ini pesananmu e, coba liat dulu, siapa tau ada yang kurang", kata kakakku. Saya hanya membuka mata. Didepanku ada 2 kantung plastik hitam yang cukup besar dan satu kantung plastik bening agak kecil. "Itu nasi bungkus untuk makan malammu, kabari saja kalau ada yang diperlukan lagi nah. Semua yang ada didaftar sudah ada dalam sini", telunjuknya menunjuk kearah dua kantung plastik hitam disudut kamar.

"Saya pulang dulu". "Oke, Terimakasih banyak, nanti kuhubungi kalau adalagi", setelah menutup pintu dia pun pergi. Sampai tak kudengar lagi suara kendaraannya, saya masih belum ingin bangun.

0 comments: