"Beruntung kita hari ini, semoga besok masih sama, hanya olahraga pagi", bisik Lagaligo padaku.
"Ya, bukannya semua dalam pengawasan dosen?"
"Semoga saja, tapi saya masih ragu dengan semua senior itu"
"Kelihatannya mereka cukup baik"
"Dilapangan siapa yang tau"
"Mereka orang-orang terpelajar, menindas dengan kekerasan jelas mempermalukan diri sendiri"
"Itu kalau mereka semua mengerti"
"Bukannya mereka Mahasiswa?"
"Ya, kadangkala teori berbeda dengan prakteknya, jangan mudah percaya, itu saranku"
"Iya, terimakasih kawan"
Ruang auditorium terletak dilantai 2, setelah memasuki lobi harus menaiki tangga dibagian kiri, disana ada lorong kecil yang menghubungkan dengan gedung utama perkuliahan. Satu persatu para anak baru mengisi daftar hadir, kemudian diberikan sekantung perlengkapan yang didalamnya ada buku, pin, syal juga stiker dan baju kaos hitam khusus untuk para anak baru. Kata panitia, besok dan seterusnya anak baru sudah harus memakai baju kaos yang disiapkan, tidak lagi memakai putih hitam.
Pak ketua jurusan datang, acara pun dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia raya kemudian lagu himne jurusan. Setelah itu secara berurutan ketua jurusan dan para dosen yang hadir memberikan kata sambutan, dan diakhiri sambutan dari ketua himpunan mahasiswa jurusan juga ketua panitia. Ada jedah waktu sebelum masuk materi pertama yang akan dibawakan oleh dosen, jedah ini kembali digunakan panitia untuk memberikan arahan, agar supaya banyak yang bertanya setelah dosen memberikan materi singkat. Namun sampai dosen selesai, tak juga ada yang berani bertanya, "itu artinya kalian belum mampu menjadi Mahasiswa", kata seorang panitia.
Dari balik jendela kaca ruang auditorium, nampak matahari hampir berada tepat diatas kepala, pertanda waktu hampir menunjukan pukul 12.00 siang, mungkin sebentar lagi akan tiba waktu istrahat dan makan siang. Sampai saat ini dua dosen telah memberikan materi, rasanya seperti sudah mulai kuliah, dan belum ada satupun anak baru yang berani mengajukan pertanyaan. Diluar ruangan, kampus mulai ramai, para senior berkumpul dilorong-lorong, sesekali beberapa dari mereka datang melihat-lihat, dari jendela kaca juga pintu 2 daun yang terletak didepan dan bagian belakang ruang auditorium.
Hampir tak banyak warna yang tersaji dari pemandangan diluar sana, sepertinya warna hitam menguasai seluruh area, semoga ini bukan pertanda mendung kemudian muncul petir yang diiringi hujan. Dalam percakapan singkat, seorang teman sesama anak baru sedikit memberitau, katanya saat sekarang ini banyak senior yang masuk kampus, padahal sebelumnya mereka biasanya ada kegiatan diluar dan enggan kekampus. Sepertinya acara orientasi mulai digunakan para senior untuk melihat-lihat para anak baru, yang perempuan akan mendapat perhatian khusus dari senior lelaki. Seperti yang terjadi pada beberapa teman perempuan kami anak baru, namanya mulai diingat dan sering dipanggil beberapa senior yang sedang melintas.
Begitulah perempuan, makhluk tuhan yang satu ini memang sudah kodratnya menarik lawan jenis, karenanya para lelaki akan dengan mudah menunjukan ketertarikannya, supaya mendapat kesempatan mengantar pulang. Berbeda dengan para anak baru lelaki, meskipun berwajah tampan atau manis layaknya anggur, mustahil bagi senior perempuan menunjukan ketertarikannya didepan banyak orang. Kadangkala hal seperti itu ikut menentukan nasib laki-laki dan perempuan akan mendapat perlakuan baik atau tidak dari para senior. Beruntung bagi mereka (perempuan), hanya dengan sedikit senyum dan memberi jawaban pengharapan, maka nasibnya akan aman, setidaknya itu menjadi jaminan sampai acara orientasi berakhir.
Waktu istrahat tiba, saatnya meregangkan sendi-sendi yang sempat kaku untuk beberapa saat. Para panitia bergerak cepat, menyediakan nasi bungkus untuk makan siang peserta orientasi. Setelah makan siang, panitia membolehkan para anak baru yang beragama islam untuk menjalankan ibadahnya dimasjid kampus. Kesempatan itu dimanfaatkan para anak baru untuk sedikit menjauh dari senior, juga untuk membasuh muka supaya lebih segar saat menerima materi selanjutnya yang akan dibawakan para dewan senior.
Rombongan anak baru pergi menuju masjid, tanpa koordinator, dalam barisan yang tak teratur. Mulai nampak kelompok-kelompok kecil diantara mereka. Masa orientasi menjadi pemicu munculnya komunikasi yang mulai terjalin akrab dan rasa saling mengerti maksud satu sama lain. Sebagian mulai berani menunjukan sikap berbaur, dengan memberikan respon tertawa lepas pada cerita temannya, sebagian cuma tertawa kecil pertanda masih malu-malu. Cuma beberapa lainnya masih jaim, dengan sikap diam berusaha menunjukan arogansi dan wibawahnya.
Entah apa yang diceritakan, mereka hanya sedang menikmati perjalanan, melewati setapak belakang kampus menuju masjid yang letaknya disudut sana. Orientasi telah mendekatkan, karena memiliki rasa takut yang sama tentang apa saja yang akan dilakukan senior. Setelah rasa tegang yang mengganggu sejak malam sampai saat selesai makan siang tadi, kini mereka lebih santai, lebih bisa menerima dan membuka diri dalam pergaulan bersama temannya. Tak mudah membuat ikatan pertemanan dengan orang asing, yang beda bahasa, beda asal apalagi beda agama, masa orientasi telah menghapus sekat itu.
Tak semua datang ke masjid beraga islam dan ingin beribadah, ada yang cuma ikut-ikutan hanya karena ingin mendapat waktu istrahat lebih. Diteras masjid mereka membuat lingkaran dengan duduk bersila. "Saya Bara asal sulawesi tenggara, senang bisa ketemu kalian dari seluruh Indonesia. Dahulu saya punya teman SD pindahan dari Ambon namanya Iskandar, juga Yanti seorang siswi pindahan dari SMP Manokwari".
"Pantas, dari logatmu saya dengar sepertinya tak asing, saya Ode juga dari sulawesi tenggara, di Muna", sambungnya dengan cepat. "Berarti kalian sekampung, perkenalkan saya Khair dari maluku utara". "Ternate ya?" tanyaku. "Bukan, tapi sebuah pulau dibagian selatan yang kamu pasti tidak tau". Dan kami semua tertawa.
Sebuah upacara layaknya sukuran mulai berlangsung, dalam perkenalan ini mereka dapat saling mengenal nama, asal dan wajah masing-masing. Wajah-wajah kampung yang lugu, masih kusam karena belum tersentuh bedak-bedak kota, dalam beberapa tahun setelah ini akan banyak yang berubah karena menyesuaikan dengan kehidupan kota. Beberapa lainnya telah selesai shalat dan langsung bergabung dalam lingkaran.
"Saya Kais, dari Papua". "Betul kau orang papua kah?". "Iya, saya kelahiran Papua". "Aku baru liat orang papua putih dan rambutnya lurus kayak kamu, saya Ardi dari Kalimantan". "Saya Bojes dari Sulawesi Tengah". "Saya Gani, dari Pulau Buru, Ambon".
"Pulau Buru ya, sepertinya pulau itu salah satu tempat yang diilhami di negri ini, banyak tokoh besar Indonesia yang pemikirannya bermekaran dari tempat itu. Pramoedya Ananta Toer, kau kenal nama itu gani?, sastrawan Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara yang terkenal dengan maha karyanya tetralogi pulau buru. Semoga kau bukan si Minke yang datang kuliah ke Makassar dan mendapatkan gadis cantik seperti Annelies kemudian dijadikan istri".
"Ah, Lagaligo, paling suka kau bercanda. Saya pernah dengar nama Pramoedya dari para orang tua, beliau sepertinya mantan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru, kalau saya tak salah ingat. Tapi Minke, siapa lagi orang itu?". "Haha, sudahlah tak usah dipikirkan, saya Lagaligo dari Luwu". "Salam kenal, saya Upi dari Padang".
"Fara dari Sorong". "Alam dari Majene Sulawesi Barat". "Amel dari Manado". "Fidel dari Ternate". "Faldo dari Merauke". "Huma dari Tobelo". "Mujiono dari Jawa". "Jimy dari Nusa Tenggara". Satu persatu dari mereka memperkenalkan diri dan persahabatan menjadi kian erat, meruntuhkan segala sekat yang sempat tumbuh beberapa hari lalu. "Hei kalian para anak baru, segera kembali, pemateri sudah datang, kalian tak boleh terlambat", kata seorang panitia mengingatkan.
"Ya, bukannya semua dalam pengawasan dosen?"
"Semoga saja, tapi saya masih ragu dengan semua senior itu"
"Kelihatannya mereka cukup baik"
"Dilapangan siapa yang tau"
"Mereka orang-orang terpelajar, menindas dengan kekerasan jelas mempermalukan diri sendiri"
"Itu kalau mereka semua mengerti"
"Bukannya mereka Mahasiswa?"
"Ya, kadangkala teori berbeda dengan prakteknya, jangan mudah percaya, itu saranku"
"Iya, terimakasih kawan"
Ruang auditorium terletak dilantai 2, setelah memasuki lobi harus menaiki tangga dibagian kiri, disana ada lorong kecil yang menghubungkan dengan gedung utama perkuliahan. Satu persatu para anak baru mengisi daftar hadir, kemudian diberikan sekantung perlengkapan yang didalamnya ada buku, pin, syal juga stiker dan baju kaos hitam khusus untuk para anak baru. Kata panitia, besok dan seterusnya anak baru sudah harus memakai baju kaos yang disiapkan, tidak lagi memakai putih hitam.
Pak ketua jurusan datang, acara pun dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia raya kemudian lagu himne jurusan. Setelah itu secara berurutan ketua jurusan dan para dosen yang hadir memberikan kata sambutan, dan diakhiri sambutan dari ketua himpunan mahasiswa jurusan juga ketua panitia. Ada jedah waktu sebelum masuk materi pertama yang akan dibawakan oleh dosen, jedah ini kembali digunakan panitia untuk memberikan arahan, agar supaya banyak yang bertanya setelah dosen memberikan materi singkat. Namun sampai dosen selesai, tak juga ada yang berani bertanya, "itu artinya kalian belum mampu menjadi Mahasiswa", kata seorang panitia.
Dari balik jendela kaca ruang auditorium, nampak matahari hampir berada tepat diatas kepala, pertanda waktu hampir menunjukan pukul 12.00 siang, mungkin sebentar lagi akan tiba waktu istrahat dan makan siang. Sampai saat ini dua dosen telah memberikan materi, rasanya seperti sudah mulai kuliah, dan belum ada satupun anak baru yang berani mengajukan pertanyaan. Diluar ruangan, kampus mulai ramai, para senior berkumpul dilorong-lorong, sesekali beberapa dari mereka datang melihat-lihat, dari jendela kaca juga pintu 2 daun yang terletak didepan dan bagian belakang ruang auditorium.
Hampir tak banyak warna yang tersaji dari pemandangan diluar sana, sepertinya warna hitam menguasai seluruh area, semoga ini bukan pertanda mendung kemudian muncul petir yang diiringi hujan. Dalam percakapan singkat, seorang teman sesama anak baru sedikit memberitau, katanya saat sekarang ini banyak senior yang masuk kampus, padahal sebelumnya mereka biasanya ada kegiatan diluar dan enggan kekampus. Sepertinya acara orientasi mulai digunakan para senior untuk melihat-lihat para anak baru, yang perempuan akan mendapat perhatian khusus dari senior lelaki. Seperti yang terjadi pada beberapa teman perempuan kami anak baru, namanya mulai diingat dan sering dipanggil beberapa senior yang sedang melintas.
Begitulah perempuan, makhluk tuhan yang satu ini memang sudah kodratnya menarik lawan jenis, karenanya para lelaki akan dengan mudah menunjukan ketertarikannya, supaya mendapat kesempatan mengantar pulang. Berbeda dengan para anak baru lelaki, meskipun berwajah tampan atau manis layaknya anggur, mustahil bagi senior perempuan menunjukan ketertarikannya didepan banyak orang. Kadangkala hal seperti itu ikut menentukan nasib laki-laki dan perempuan akan mendapat perlakuan baik atau tidak dari para senior. Beruntung bagi mereka (perempuan), hanya dengan sedikit senyum dan memberi jawaban pengharapan, maka nasibnya akan aman, setidaknya itu menjadi jaminan sampai acara orientasi berakhir.
Waktu istrahat tiba, saatnya meregangkan sendi-sendi yang sempat kaku untuk beberapa saat. Para panitia bergerak cepat, menyediakan nasi bungkus untuk makan siang peserta orientasi. Setelah makan siang, panitia membolehkan para anak baru yang beragama islam untuk menjalankan ibadahnya dimasjid kampus. Kesempatan itu dimanfaatkan para anak baru untuk sedikit menjauh dari senior, juga untuk membasuh muka supaya lebih segar saat menerima materi selanjutnya yang akan dibawakan para dewan senior.
Rombongan anak baru pergi menuju masjid, tanpa koordinator, dalam barisan yang tak teratur. Mulai nampak kelompok-kelompok kecil diantara mereka. Masa orientasi menjadi pemicu munculnya komunikasi yang mulai terjalin akrab dan rasa saling mengerti maksud satu sama lain. Sebagian mulai berani menunjukan sikap berbaur, dengan memberikan respon tertawa lepas pada cerita temannya, sebagian cuma tertawa kecil pertanda masih malu-malu. Cuma beberapa lainnya masih jaim, dengan sikap diam berusaha menunjukan arogansi dan wibawahnya.
Entah apa yang diceritakan, mereka hanya sedang menikmati perjalanan, melewati setapak belakang kampus menuju masjid yang letaknya disudut sana. Orientasi telah mendekatkan, karena memiliki rasa takut yang sama tentang apa saja yang akan dilakukan senior. Setelah rasa tegang yang mengganggu sejak malam sampai saat selesai makan siang tadi, kini mereka lebih santai, lebih bisa menerima dan membuka diri dalam pergaulan bersama temannya. Tak mudah membuat ikatan pertemanan dengan orang asing, yang beda bahasa, beda asal apalagi beda agama, masa orientasi telah menghapus sekat itu.
Tak semua datang ke masjid beraga islam dan ingin beribadah, ada yang cuma ikut-ikutan hanya karena ingin mendapat waktu istrahat lebih. Diteras masjid mereka membuat lingkaran dengan duduk bersila. "Saya Bara asal sulawesi tenggara, senang bisa ketemu kalian dari seluruh Indonesia. Dahulu saya punya teman SD pindahan dari Ambon namanya Iskandar, juga Yanti seorang siswi pindahan dari SMP Manokwari".
"Pantas, dari logatmu saya dengar sepertinya tak asing, saya Ode juga dari sulawesi tenggara, di Muna", sambungnya dengan cepat. "Berarti kalian sekampung, perkenalkan saya Khair dari maluku utara". "Ternate ya?" tanyaku. "Bukan, tapi sebuah pulau dibagian selatan yang kamu pasti tidak tau". Dan kami semua tertawa.
Sebuah upacara layaknya sukuran mulai berlangsung, dalam perkenalan ini mereka dapat saling mengenal nama, asal dan wajah masing-masing. Wajah-wajah kampung yang lugu, masih kusam karena belum tersentuh bedak-bedak kota, dalam beberapa tahun setelah ini akan banyak yang berubah karena menyesuaikan dengan kehidupan kota. Beberapa lainnya telah selesai shalat dan langsung bergabung dalam lingkaran.
"Saya Kais, dari Papua". "Betul kau orang papua kah?". "Iya, saya kelahiran Papua". "Aku baru liat orang papua putih dan rambutnya lurus kayak kamu, saya Ardi dari Kalimantan". "Saya Bojes dari Sulawesi Tengah". "Saya Gani, dari Pulau Buru, Ambon".
"Pulau Buru ya, sepertinya pulau itu salah satu tempat yang diilhami di negri ini, banyak tokoh besar Indonesia yang pemikirannya bermekaran dari tempat itu. Pramoedya Ananta Toer, kau kenal nama itu gani?, sastrawan Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara yang terkenal dengan maha karyanya tetralogi pulau buru. Semoga kau bukan si Minke yang datang kuliah ke Makassar dan mendapatkan gadis cantik seperti Annelies kemudian dijadikan istri".
"Ah, Lagaligo, paling suka kau bercanda. Saya pernah dengar nama Pramoedya dari para orang tua, beliau sepertinya mantan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru, kalau saya tak salah ingat. Tapi Minke, siapa lagi orang itu?". "Haha, sudahlah tak usah dipikirkan, saya Lagaligo dari Luwu". "Salam kenal, saya Upi dari Padang".
"Fara dari Sorong". "Alam dari Majene Sulawesi Barat". "Amel dari Manado". "Fidel dari Ternate". "Faldo dari Merauke". "Huma dari Tobelo". "Mujiono dari Jawa". "Jimy dari Nusa Tenggara". Satu persatu dari mereka memperkenalkan diri dan persahabatan menjadi kian erat, meruntuhkan segala sekat yang sempat tumbuh beberapa hari lalu. "Hei kalian para anak baru, segera kembali, pemateri sudah datang, kalian tak boleh terlambat", kata seorang panitia mengingatkan.
0 comments:
Posting Komentar